oleh Angriawan dan Yosi Narti
Kami teringat suatu perenungan ketika dalam perjalanan menuju Kalimantan Utara (Kaltara). Bahwa belajar itu tidak tergantung pada bangku sekolah, namun juga kita bisa belajar banyak hal di luar sekolah. Layaknya semua orang itu bisa jadi guru, maka setiap orang bisa jadi adalah sumber pengetahuan. Meski pula tidak selamanya guru selalu benar.
Perjalanan kami ke Kaltara kali ini, adalah mendatangi rumah Suku Dayak Punan Dulau. Tempat yang belum pernah kami kunjungi dan ketahui. Di tengah berbagai kekhawatiran, muncul juga suatu kebanggaan bahwa pada akhirnya kami akan dapat pengalaman untuk bisa belajar banyak hal secara langsung dari kehidupan Masyarakat Adat Punan Dulau yang berada di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kaltara.
Kami menaiki taksi dari bandara menuju Pelabuhan Beringin yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Setelah sampai di pelabuhan, kami melanjutkan perjalanan dengan kapal cepat dari Tarakan ke Sekatak. Mereka biasa menyebutnya dengan speed yang berkecepatan kira-kira 80 km/jam. Mungkin maksudnya adalah speed boat. Melalui speed, perjalanan ke Tarakan kami tempuh selama dua jam.
Tiba di Tarakan, ternyata kami sudah ditunggu oleh keluarga besar Pak Tahing dan warga Punan Dulau. Dengan perasaan senang karena sudah sampai di tempat tujuan, kami pun menaiki levu’ aru (rumah adat Punan yang juga sering disebut dan diartikan sebagai rumah panjang). Kami sebut naik, karena untuk masuk ke dalamnya, kami harus menapaki anak tangga. Kami cukup tertegun karena untuk pertama kalinya kami melihat dan merasakan berada di dalam rumah panjang. Kami di sambut secara adat dengan sajian sirih. Kami perlahan mulai mengambil sehelai daun sirih, kemudian mereka mengajarkan cara menyiapkan sirih yang dioleskan kapur dan bahan-bahan lainnya sebelum siap dilahap.
Sensasi memakan sirih menjadi pengalaman yang luar biasa bagi kami soal rasa yang tercipta di lidah ketika kami melahap dan mengunyahnya sampai halus. Ada rasa pedas, pahit, dan segala macam yang campur aduk dan sulit kami deskripsikan. Usai menyirih, baru kami berbicara tentang tujuan kedatangan ke Desa Punan Dulau.
Jika ada dari kita yang berpendapat bahwa masyarakat adat itu bodoh, primitif, dan miskin, ternyata itu adalah kesalahan besar. Ketika saya berinteraksi dengan mereka, justru kesan kebalikannya yang saya rasakan tentang mereka. Bahwa sesungguhnya masyarakat adat itu begitu baik, cerdas, dan bijaksana dalam berbudaya dan mengelola wilayah adat, baik dalam hal berladang maupun mengelola hutan adat. Mereka tidak sembarang dalam berladang dan tidak asal menebang pohon di hutan. Ada serangkaian proses ritual adat yang panjang ketika mereka hendak berladang dan menebang pohon. Masyarakat adat masih memiliki kepercayaan dan memberikan hormat yang tinggi terhadap leluhur dan alam.
Ketika berbincang dengan mereka, saya diberitahu bahwa pesan yang disampaikan melalui ritual kepada leluhur dan alam, akan dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kegagalan dalam segala aktivitas. Ada pemahaman tentang simbol-simbol yang terdapat di alam, seperti pada pohon dan kicau burung. Misalnya saja jika terdengar suara yang indah pada burung dari sebelah kanan, artinya adalah pertanda kebaikan. Sebaliknya, jika terdengar kicau burung yang terdengar sumbang dari sebelah kiri, itu menjadi pertanda buruk.
Masyarakat Adat Punan Dulau mempunyai prinsip hidup yang mereka sebut “hutan adalah air susu ibu.” Hutan telah menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan pakaian, lauk-pauk, dan segala kebutuhan hidup mereka. Masyarakat adat pun menggantungkan sumber penghidupan dari hasil hutan dan kekayaan alam sekitar. Tanpa hutan, maka Orang Punan tidak akan bisa bertahan hidup.
Selama bersama Orang Punan, saya merasa menjadi bagian dari keluarga. Asas kekeluargaan begitu kuat terlihat sebagai bagian dari tradisi yang dimiliki leluhur, salah satunya adalah pada saat penyelenggaraan upacara adat kematian. Tidak hanya Punan Dulau, tradisi tersebut juga dimiliki oleh hampir di seluruh Kabupaten Bulungan. Upacara adat tersebut ditandai dengan tarian dan pesta. Tradisi itulah yang menyatukan mereka dalam hubungan sosial dengan masyarakat lain. Meski meminum minuman beralkohol lokal, namun jangan dibayangkan akan ada orang-orang yang berbuat onar atau keributan. Justru suasana yang emosional semakin terbangun lebih dekat antar-desa. Mereka tertawa, bercerita, dan kita pun ikut minum bersama untuk menunjukan suatu tanda penghormatan. Minuman lokal yang mereka minum terbuat dari bahan alami yang mengandung alkohol, seperti umumnya disebut toak atau ciu. Mereka menyebutnya pengasih – terbuat dari fermentasi ubi kayu yang dicampur dengan lengkuas, daun papaya, dan daun pohon langsat yang dimasukkan ke dalam tempayan atau guci selama periode waktu tertentu. Selain upacara kematian, ada banyak lagi upacara adat yang dilakukan Masyarakat Adat Dayak Punan Dulau dengan kearifan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Selama 20 hari bersama Orang Punan, saya bersama kawan-kawan merasakan betul perhatian tulus yang mereka berikan. Bukan sekadar sebagai tamu, tetapi saya merasa di rumah dalam suasana kekaluargaan. Sungguh pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. Begitu pun dengan mereka yang saya harap juga tak hendak melupakan saya dan kawan-kawan yang pernah tinggal sementara bersama mereka.
Sebelum saya dan kawan saya yang bernama Yosi tiba di Desa Punan Dulau, mereka telah dibertahu perihal kedatangan kami melalui komunikasi dengan handphone. Kami berkontak dengan Sri dan Denny yang tak lain adalah bagian dari BPAN dan AMAN di Kaltara. Mereka pun aktif membangun gerakan masyarakat adat di Desa Punan Dulau. Awalnya, itulah yang membuat saya merasa tenang dan dengan mudah menikmati keindahan alam selama perjalanan di sekitar wilayah adat Orang Punan.
Saya ingat kala itu. Setibanya di sana, kami disambut oleh masyarakat Desa Punan Dulau dengan acara adat di mana warga berkumpul di rumah panjang (limit). Kami tiba saat hari telah sore dan kondisi begitu lelah. Dengan penuh pengertian, dipersilakannya kami untuk beristirahat.
Esoknya, kami mulai melakukan observasi dan diskusi. Kami bertemu dan berkenalan dengan Pak Bungei, Kepala Masyararat Adat Suku Dayak Punan Dulau. Pengetahuan Pak Bungei yang begitu dalam tentang masyarakat adat di sana, membuat kami semakin penasaran dengan Desa Punan Dulau. Ternyata kami baru tahu kalau mereka tak lagi tinggal di wilayah adat leluhur mereka, melainkan wilayah Kecamatan Sekatak Buji.
Tempat yang kami tinggali kala itu bukanlah tempat awal Orang Punan Dulau. Mereka awalnya tinggal di dalam hutan, sebelum kemudian dipindahkan/dibuatkan permukiman baru. Tempat tinggal mereka sekarang pun memang tampak damai dan asri. Tapi ternyata damai itu cuma terlihat dari luar. Banyak warga tidak mempunyai pekerjaan. Tidak ada ladang tersedia karena pemerintah hanya memberi tanah di atas rumah yang didirikan. Ada pemikiran warga yang mengganggu jiwa: antara tetap tinggal di desa atau kembali lagi ke hutan dengan bermacam risiko. Jika mereka kembali ke hutan, anak-anak mereka mungkin tidak dapat melanjutkan sekolah (pendidikan formal). Tetapi jika mereka tetap di desa, tidak pula ada lahan yang menunjang keahlian mereka dalam berladang. Sedangkan setiap bahan untuk pangan sehari-hari kini harus menggunakan uang. Mereka pergi dari hutan pada tahun 1972, dan mereka masih tinggal jauh dari tanah adatnya sampai sekarang.
Pada saat itulah kami pikir permasalahan mungkin itu bisa jadi persoalan buat kami menjalani proses dan meraih tujuan kami. Selain sulit menggali pola hidup mereka yang sebenarnya (berdasarkan seni, agama/kepercayaan, dan budaya asli leluhur), kami tidak bisa melakukan pendokumentasian yang memperkuat cerita masyarakat adat melalui situs-situs sejarah peninggalan Masyarakat Adat Punan Dulau.
Kami pun melakukan musyawarah. Saya dan kawan-kawan memohon agar bisa diantar dan tinggal beberapa hari di wilayah mereka di hulu aliran Sungai Magong. Kami bersepakat untuk berada di sana selama empat hari saja.
Perjalanan tentu tidak mudah. Saya dan kawan-kawan harus menempuh jarak yang menghabiskan waktu sekitar lima jam. Kami menaiki apa yang sebut dengan ketinting didampingi oleh Aki Iwang, Pak Martin, Pak Sodianto, Ibu Sodianto, anak dari Sodianto, dan Sri. Medan dipenuhi dengan bebatuan besar dan tajam di sepanjang aliran sungai. Saya ekstra hati-hati. Tetapi jangan bayangkan saya berada dalam ketegangan yang mengerikan. Meski memerlukan kewaspadaan, tetapi letih seperti sirnah karena perjalanan yang diiringi dengan kicauan burung dan hembusan angin. Pepohonan rindang yang selalu menemani, membuat suasana tak terasa bosan sama sekali. Semuanya terbayar tuntas dengan keindahan panorama ibu pertiwi. Di sanalah kami berkesempatan melihat kuburan para leluhur.
Selama di hulu Sungai Magong, kami mendokumentasikan tempat permukiman lama, makam leluhur, tempat berburu binatang masyarakat adat di Sungai Keong, lokasi perladangan, dan mengenal obat-obat serta makanan masyarakat Punan Dulau.
Tentang makanan sehari-hari dan bagaimana cara mereka mendapatkannya, kami lihat sendiri ketika keesokan hari kami melihat Pak Sodianto yang bersama kami tiba-tiba bergegas pergi dengan parang yang menggantung di pinggang. Kami bertanya hendak ke manakah ia. Ia bilang kalau ia mau melihat pukat (jaring) dan pancing yang dipasang pada malam sebelumnya. Salah satu dari kami pun ikut dengan Pak Sodianto dengan semangat. Perkiraan kami, ikan yang ingin dijaring adalah ikan-ikan kecil yang mungkin seukuran lebar dua jari orang dewasa. Tetapi kami salah besar! Ikan yang dijaring dan dipancing ternyata sebesar lima jari orang dewasa. Dan pagi itu cukup banyak ikan didapatkan. Senyum sumringah terpancar dari raut wajah kami. Sungguh menyenangkan buat kami dapat melihat ikan-ikan besar dan segar yang mudah sekali didapat di sungai itu.
Hasil pancingan dan jaringan tersebut kami jadikan lauk sarapan. Setelah makan, kami pun pergi dengan ketinting lagi untuk menjelajahi tempat tinggal Orang Punan yang dulunya terpisah. Bukti wilayah adat mereka adalah pemakaman yang terdapat di beberapa tempat yang berjauhan. Di sanalah kami menyaksikan betul seperti apa hutan yang sesungguhnya begitu kaya: pepohonan besar dan rotan ada di mana-mana. Bukan hanya ikan yang didapat dengan gampang, tetapi juga ubi, buah, dan tanaman obat yang semuanya tersedia di hutan.
Temuan-temuan kami memperkuat pernyataan bahwa sebelum negara ini ada, sebelumnya telah sejak dulu masyarakat adat berkehidupan dengan aturan adat mereka sekaligus mengelola wilayah adat dengan lestari. Dengan pepohonan yang asri dan potensi sumber daya alam lainnya yang besar di wilayah adat, telah membangun kepercayaan diri Masyarakat Adat Punan Dulau untuk perlahan-lahan pindah kembali ke permukiman awal mereka di hulu sungai.
Dengan keramahtamahan warga Punan Dulau kepada kami, tentu terbersit rasa bersalah dengan pemikiran yang sempat terlintas sejak awal. Tentang stigma yang tidak benar tentang Orang Punan yang kerap dipandang sebagai orang-orang ganas. Kami sempat melihat pada sebuah tulisan pada halaman website menjelaskan bahwa Orang Punan itu memakan orang. Berita kosong itu sempat juga membuat nyali kami menciut pada awalnya. Namun, ternyata semuanya berbanding terbalik. Mereka sungguh termata ramah, baik, dan peduli pada sesama.
Keadaan yang mendorong kami untuk mengikuti pola-pola kehidupan masyarakat adat, sungguh tak terbayangkan, menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Saya belajar ada banyak perbedaan yang patut dihargai dan dihormati, seperti seni dan budaya. Saya merasakan persaudaraan yang kuat. Merekalah keluarga kami selama berada di Kaltara.
Sungguh menjadi tidak penting tentang apa yang terlihat, sebelum benar-benar dirasa. Mereka terlihat damai dengan bagunan yang kokoh, tapi hati teriris. Mereka butuh hutan rimbun sebagai tempat tiggal di mana hutan itu tetap terjaga secara adat yang terangkai secara dahsyat. Mereka pintar dengan hutan dan isinya. Mereka mampu bertahan hidup tanpa harus merusak sesuatu yang indah apa adanya. Betapa sesungguhnya masyarakat adat itu sudah hebat, kalau pun tanpa harus ada tangan pemerintah yang seolah menjadi super hero.
Ketika tiba waktunya kami kami harus berpamitan pulang, mereka pun mengadakan acara perpisahan dengan warga yang dilakukan satu hari satu malam secara adat. Kami memakai pakaian adat, menari, dan – tidak ketinggalan – meminum pengasih yang disusul dengan makan bersama. Betapa kami merasa orang yang sangat di hargai..
Terima kasih Bapak Tahing dan keluarga serta Masyarakat Adat Punan Dulau yang telah membuat kami melihat dan belajar tentang apa yang terjadi serta apa yang berarti. Kalian adalah orang-orang hebat. Kalian menjaga adat dengan sangat baik. Dan itu adalah hal yang paling berharga. Tetaplah berjuang demi leluhur dan kemakmuran. Kalian adalah guru yang sempurna. Semoga dilain waktu kita dapat berjumpa lagi.