Tonaas Rinto Taroreh dan Kisah 11 Tahun Penyelamatan Situs Budaya

29 Maret menjadi tanggal yang penting bagi Tonaas Rinto Taroreh.  Tanggal tersebut menjadi penanda waktu baginya ketika memulai kerja pengabdian tanpa pamrih bagi eksistensi kebudayaan Minahasa. 

Sebelas tahun silam, di tanggal tersebut, ia pertama kali melakukan penyelamatan situs yang rusak akibat vandalisme. Bersama beberapa orang yang masih keluarga dekat, sahabat, dan rekan komunitas, ia memulai kerja untuk memperbaiki waruga yang rusak akibat penjarahan. Di Wanua Ure Lotta, semua itu dimulai.

“Kalau merawat situs peninggalan leluhur sudah lebih dari 20 tahun.  Kalau penyelamatan situs, memperbaiki situs, itu sudah 11 tahun. Tepat hari ini 11 tahun. 29 Maret 2021,” tutur Tonaas Rinto.

Tonaas Rinto Taroreh (memakai kaos hitam) dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa saat mulai memperbaiki situs Waruga Opa Lawit Potot di Wanua Ure Lotta.

Masawang-sawangan, Ru’kup, dan Panggilan Hati

Nama lengkapnya, Christian Rinto Taroreh. Ia biasa disapa Tonaas Rinto. Kini, aktivitasnya sehari-hari ia abdikan untuk kerja-kerja kebudayaan Minahasa. Misal, memperbaiki situs, mengobati orang lewat pengobatan tradisional Minahasa, melatih Kawasaran, dan lain sebagainya terkait dengan peran sebagai Tonaas.

Tonaas Rinto Taroreh

Hampir semua hari, di sebelas tahun terakhir ini, ia habiskan untuk menjaga, merawat, dan memperbaiki situs peninggalan leluhur yang merupakan aset kultural Minahasa. Semua kerja itu dilakukannya sebagai penghormatan kepada leluhur. Menurutnya, leluhur adalah orang tua dan ia adalah anak. Sebagai anak adalah tanggung jawabnya untuk menjaga milik dan peninggalan orang tua. Salah satunya situs budaya. Kesadaran inilah yang memotivasinya dan memulai menyelamatkan situs. Waruga, makam leluhur Minahasa, di Lota menjadi situs pertama yang diselamatkannya bersama komunitas.

“Sebenarnya yang memotivasi saya karena situs ini adalah milik leluhur kita. Kalau ini leluhur kita, berarti dia adalah orang tua kita. Kalau mereka adalah orang tua kita, berarti tanggungjawabnya ada pada kita. Jadi, tidak perlu menunggu siapa-siapa. Kalau sudah melihat hal yang seperti ini, langsung bertindak. Ini soal kepekaan. Tapi kepekaan tidak cukup. Harus ada wujud nyata. Tindakan langsung. Jadi, yang memotivasi saya, yang paling pokok, karena ini orang tua kita. Kalau ini orang tua kita, kepada siapa lagi tanggung jawab ini harus diberikan? Tentu kepada kita. Dimulai dari kita,” jelas Rinto.

Tonaas Rinto, Tonaas Jack Reppi, dan beberapa Tonaas lain serta komunitas adat saat menyelamatkan Watu Tumotowa Opo Sarayar yang dirusak di Minahasa Selatan dan dibuang di Poigar Tahun 2012.

Tonaas Rinto menjelaskan bahwa motivasinya menyelamatkan situs adalah wujud bakti seorang anak kepada orang tua. Selain itu, upayanya ini merupakan sebuah tanggung jawab untuk generasi selanjutnya.

“Karena menurut saya yang paling utama adalah keterhubungan kita dengan situs leluhur. Ini soal tanggung jawab kepada leluhur kita, kepada orang tua kita. Dan tanggung jawab untuk anak cucu kita”

Selama ini, ia bekerja memperbaiki situs, melakukan aksi penyelamatan situs budaya karena panggilan hati. Ia dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa melakukan kerja tersebut berdasar atas nilai-nilai ke-Minahasaan.

Tonaas Rinto Taroreh dkk saat melakukan aksi kampanye penyelamatan Waruga di ruang publik

“Menurut saya, ini terkait dengan salah satu dari nilai Keminahasaan. Ada beberapa nilai Keminahasaan. Pertama, Masawang-sawangan. Jadi ini kerja bersama. Kami bersama-sama, kerja di tempat leluhur. Dengan kami bekerja di tempat leluhur, ini wujud nyata dari kami untuk menghormati mereka. Dan kedua, ini menjadi pembelajaran untuk generasi berikutnya. Menjadi landasan untuk mereka nanti. Bagaimana ber-Minahasa. Dengan salah satu sisi, mesti ada kerja-kerja nyata, turun langsung ke lapangan. Melakukan aksi penyelamatan situs”

Menurut Tonaas Rinto, upaya penyelamatan situs dilakukan karena situs tersebut bukan hanya sekedar benda, tetapi ia memiliki nilai-nilai kearifan Minahasa.

“Penyelamatan situs ini, karena situs ini bukan sekedar benda, tetapi di situ terkadung nilai-nilai kearifan Minahasa. Kerja yang kami lakukan Masawang-sawangan itu, bagian dari nilai-nilai ke-Minahasaan yang para leluhur wariskan,” ungkapnya.

Saat Kerja bersama memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot

Masawang-sawangan dalam bahasa Minahasa berarti ‘saling bantu-membantu atau saling menopang’. Ini hanya bisa terjadi kalau dilakukan secara bersama-sama. Satu orang dengan yang lain. Panggilan hati dan tanggung jawab kepada leluhur serta nilai Masawang-sawangan menjadi dasar upaya penyelamatan situs yang mereka lakukan. Dasar ini kemudian menjadi bukti bahwa mereka mampu melakukan ini tanpa bantuan dana pemerintah. Ini juga yang menjadi salah satu cara mereka menujukan kepada banyak orang bahwa upaya mereka murni karena panggilan hati sebagai seorang anak Minahasa. Upaya mereka memperbaiki situs selama ini, dilakukan dalam spirit Masawang-sawangan, tanpa mengharap bantuan atau dapat bantuan dana dari pemerintah. Kearifan Minahasa, Ru’kup, menjadi dasar untuk memenuhi segala keperluan yang dibutukan untuk merawat dan memperbaiki situs yang rusak.

“Uang didapatkan dari Ru’kup. Dikumpulkan dari teman-teman semua. Bahan material, ada yang dibeli. Ada juga yang diambil dari rumah saya. Jadi kami semua patungan. Selain ada yang memberi uang, ada yang memberikan tenaganya. Selain tenaga, ada juga yang memberi bahan, contoh semen. Kemudian ada yang memberi makanan, pisang goreng, nasi, makanan yang kami makan di lokasi”, terangnya.

Makan bersama hasil Ru’kup saat sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot

Ru’kup adalah salah satu kearifan Minahasa. Ia banyak digunakan orang Minahasa saat melakukan sesuatu, kegiatan, atau acara. Masing-masing orang memberikan apa yang ia punyai secara tulus dan ikhlas.

Berjuang Bersama Masyarakat Adat Nusantara

Selain melakukan banyak kerja dan karya dalam bidang kebudayaan Minahasa, Tonaas Rinto juga aktif dalam gerakan masyarakat adat nusantara bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tahun 2017, ia menjadi salah satu kader AMAN dari Sulawesi Utara mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara.

Tonaas Rinto bersama AMAN Wilayah Sulut berfoto bersama Sekjend AMAN Terpilih, Rukka Sombolinggi

Ia juga aktif terlibat bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Utara. BPAN merupakan organisasi sayap AMAN yang menjadi wadah pemuda-pemudi adat se-Nusantara untuk berjuang bersama. Di Sulawesi Utara, BPAN memiliki kepengurusan. Dalam kepengurusan tersebut, Tonaas Rinto dimandatkan oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN Wilayah Sulut untuk menjadi penasehat. Posisi ini diberikan kepada Tonaas Rinto karena ketokohan, wawasan tentang adat tradisi Minahasa, dan pemberian dirinya bagi eksistensi kebudayaan Minahasa yang luar biasa. Allan Sumeleh, S.Teol selaku Ketua BPAN Wilayah Sulut, menyampaikan bahwa Tonaas Rinto menjadi teladan bagi pemuda-pemudi adat Minahasa. Karya dan kerja-kerjanya yang tulus bagi Tanah Toar Lumimuut menjadi inspirasi bagi mereka.

Tonaas Rinto Taroreh bersama Kawasaran BPAN Sulut saat mengikuti Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara di Muara Samu, Kalimatan Timur.

“Tonaas Rinto mengajarkan keteladanan. Tidak hanya cara hidupnya yang mengabdikan dirinya secara tulus bagi eksistensi kebudayaan Minahasa, tapi ia juga membagikan pengetahuan tersebut kepada generasi muda Minahasa. Ia tanpa pamrih, aktif terlibat bersama pemuda-pemudi adat. Ia juga hadir menjadi Kelung um Banua bagi Minahasa di konteks kekinian,” ungkap Allan.

Bagi Alan, Tonaas Rinto begitu bijaksana dalam hal apapun. Perannya bagi pemuda adat sangat berpengaruh. Tonaas sering berbagi tentang apa yang baik dan yang harus diikuti oleh mereka.

“Tonaas Rinto juga sebagai penasehat BPAN Sulut juga sangat berkontribusi dalam berbagai hal. Antara lain, sering memberikan latihan tarian Kawasaran dan memberikan atribut Kawasaran untuk kami pakai,” tambahnya.

Tonaas Rinto sendiri sudah bergabung dalam perjuangan masyarakat adat ketika terlibat dalam Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Komunitas Adat dan Tradisi  Tahun 2012 di Surabaya. Ia waktu itu hadir lewat undangan dari AMAN. Sejak saat itu ia semakin intens bergerak dalam perjuangan bersama AMAN dan masyarakat adat nusantara. Terutama, dalam perjuangan bersama masyarakat adat di Minahasa melakukan advokasi, menggiatkan tradisi leluhur, aksi menyelamatkan situs, serta pelestarian seni tradisi dan warisan pengetahuan Minahasa.

Pencapaian yang Tak Pernah Diduga

Kiprah Tonaas Rinto yang tulus dan penuh dedikasi bagi Minahasa, juga terlihat dari kiprahnya melestarikan Kawasaran sebagai ritual dan Kawasaran sebagai seni pertunjukan.

Tonaas Rinto Taroreh melakukan Kawasaran sebagai ritual di Wanua Ure Lotta

Sudah satu dekade lebih, ia menggelorakan kembali Kawasaran di seluruh pelosok Minahasa. Sekarang ini, di Minahasa terjadi sebuah kebangkitan kultural. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak kelompok Kawasaran. Mulai dari kelompok Kawasaran di kampung-kampung, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, komunitas, serta sanggar-sanggar. Banyak di antaranya, dilatih dan digerakkan oleh Tonaas Rinto. Upayanya ini dilakukan sebagai panggilan hati untuk menjaga warisan pengetahuan leluhur. Tanpa ia duga, kerja dan karyanya ini, membuatnya mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) Tahun 2020 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Pelestari Kawasaran.

Di hari ia menerima penghargaan ini, ucapan selamat datang dari banyak pihak. Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, turut memberikan ucapan selamat. Begitu juga BPAN, lewat Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo ikut mengucapkan selamat. Penghargaan kepada Tonaas Rinto menjadi salah satu bukti eksistensi masyarakat adat yang konsisten menjaga warisan leluhurnya.

Waruga Opo Lawit Potot: Jejak Awal Aksi Penyelamatan Situs

Di daerah lain di Nusantara, masyarakat adat berhadapan dengan banyak tantangan. Mulai dari perampasan tanah sampai kriminalisasi masyarakat adat. Sementara di Minahasa, vandalisme atau pembongkaran dan pengrusakan aset kultural, seperti situs, menjadi masalah utama.

Vandalisme terhadap situs budaya telah lama terjadi di Minahasa. Bahkan sampai sekarang masih terjadi. Kasus terakhir, di daerah Minahasa Selatan. Memang, pengrusakan terhadap aset kultural Minahasa menjadi salah satu masalah besar yang dihadapai masyarakat adat Minahasa.

Vandalisme terhadap aset kulutral di Minahasa, membuat orang-orang seperti Tonaas Rinto Taroreh dan pegiat budaya lain langsung bergerak, memenuhi panggilan hati. Kasus pengrusakan dan penjarahan situs, langsung direspon dengan bukti nyata. Turun langsung dan bekerja secara tulus tanpa pamrih.

“Sudah banyak situs budaya yang diperbaiki. Ada Waruga, ada Lisung, ada Batu Tumani, Batu Tumotowa, Batu Sumanti. Kalu Waruga sudah ratusan, Watu Tumani, puluhan. Sama dengan Lisung-lisung Tua. Ratusan Waruga, Lisung dan beberapa situs lainnya diperbaiki secara swadaya dengan komunitas,” pungkasnya.

Tonaas Rinto mencatat ada beberapa kali terjadi pengrusakan dan pembongkaran terhadap situs terakhir yang baru saja ia dan reka-rekannya selesai perbaiki. Aset kultural Minahasa tersebut berupa Waruga yang sudah beberapa kali dirusak, sejak tahun 1980.

Situs Waruga Opo Lawit Potot yang hancur akibat vandalisme

“Yang menyebabkan situs itu rusak, kalau faktor alam kecil sekali. Hal utama yang membuatnya rusak karena adanya penjarahan, perampokan isi waruga. Itu terjadi dua kali. Jadi pertama kali dibongkar itu, tahun 1980. Baru kemudian, tahun 1987. Ada orang yang bilang pertama 1990, tapi dia ubah lagi jadi 1987,” paparnya.

Situs terakhir yang diselamatkan dan perbaiki oleh Tonaas Rinto terletak di Wanua Ure (Kampung Tua) Lotta. Situs tersebut berupa Waruga dari leluhur Minahasa, Opo Lawit Potot.

“Situs terakhir ini, baru selesai beberapa hari yang lalu, hari sabtu. Situs dari Opo Lawit Potot. OPo Lawit Potot ini, dia seorang Tonaas Perang, Teterusan, Mamuis dari Wanua Ure Lotta”

Waruga Opo Lawit Potot menjadi situs yang pertama kali ia selamatkan, sekaligus menjadi situs terakhir yang diperbaiki baru-baru ini. Pekerjaan perbaikan situs ini, menjadi penanda  waktu bagi Tonaas Rinto mulai terjun dalam aksi penyelamatan situs yakni sebelas tahun, sejak 29 Maret 2010.

“Merawat dan memperbaiki situs, seperti waruga yang dirusak adalah wujud bakti kepada leluhur sebagai orang tua kita,” tutup Tonaas Rinto.

Epilog

Hari Senin, 29 Maret 2021, Tonaas Rinto Taroreh mengupload sekitar 36 foto di sebuah album di akun Facebook miliknya. Album foto tersebut ia beri nama Wanua Ure Lotta’ (Kalih Tua). Album itu berisi foto-fotonya bersama para pegiat budaya Minahasa yang sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot. Ia kemudian menambahkan keterangan pada album tersebut dengan tulisan yang agak panjang.  Ia menulis itu sebagai sebuah ingatan. Berikut tulisannya:

“Penyelamatan situs sejarah dan benda cagar budaya adalah tanggung jawab kita bersama.

Penyelamatan dan pemugaran situs secara mandiri adalah salah satu bukti bahwa nilai-nilai ke-Minahasaan (Masawa-sawangan, Matombo-tombolan, dsb) masih kuat dan terus tumbuh.

Ini adalah panggilan hati, kepekaan yang mewujud menjadi kerja nyata.

Hari ini genap 11 tahun kami memulai kegiatan penyelamatan situs-situs sejarah budaya dihampir seluruh tanah minahasa, secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah.

Hancurnya situs budaya khususnya Waruga itu akibat penjarahan disekitar tahun 1970-1990an.

Kali ini kami melakukan penyelamatan situs bersejarah di Wanua Ure Lotta’, di Waruga dari Opo Lawit.

Teman-teman yang terlibat dari lintas komunitas adat dan pribadi. Ada dari Wanua Kembes, Bitung, Tomohon, Manado dan beberapa wanua seputaran situs.

Pekerjaan ini kami lakukan hampir 2 minggu dan selesai beberapa hari yg lalu.

Terima kasih banyak buat semua yang terlibat dalam kegiatan ini; Tua Isan, Om Mik, Papa, Firsa, Fano, Ayen, Ando, Jeki, Rio, Eber, Figo, Steven, Paschal, Hip, Charles, Ichan, Maikel, Andre, Doni, Onal.

Mari teman-teman semua, bersama kita selamatkan situs-situs sejarah dan budaya warisan peradaban Para Leluhur Minahasa.

Semoga semesta dan Para Leluhur menyertai kita semua.

Arii.. pe-to’

Minahasa, 29 maret 2021.

#Minahasa

Waruga Opa Lawit saat selesai diperbaiki

Penulis: Kalfein M. Wuisan

Profil ABDON NABABAN

Abdon Nababan, lahir (2 April 1964) dan dibesarkan di Humbang, Tano Batak, Sumatera Utara.

Memulai pendidikan dasar di SDN Paniaran, Kec. Siborongborong, berlanjut ke SMP RK St. Yosef berasrama di Lintong ni Huta, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA RK Budi Mulia di Pematang Siantar, kelas 3 pindah ke SMAN II Jakarta dan lulus 1982.

Pada 1987 menamatkan pendidikan jenjang strata satu dari Institut Pertanian Bogor [IPB]. Sejak mahasiswa telah aktif berorganisasi, di dalam kampus, di luar kampus (PMKRI), kepencinta-alaman (Lawalata IPB) dan menggeluti pendidikan lingkungan hidup bersama Yayasan Indonesia Hijau (YIH).

Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan S1-nya, di samping terus mengembangkan gerakan lingkungan hidup di Indonesia dengan bergabung di WALHI sejak 1989, lalu ikut mendirikan dan memimpin Yayasan Sejati, Yayasan dan Perkumpulan Telapak dan Forest Watch Indonesia (FWI). Abdon Nababan juga secara tekun mendalami dan menggeluti bidang pengembangan dan pengelolaan strategis organisasi serta pengorganisasian masyarakat adat.

Selama menggeluti bidang tersebut, Abdon Nababan, telah menggalang sinergi antarsesama aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan beragam elemen gerakan sosial untuk melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat.

Upaya itu antara lain diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya sebagai Koordinator Komite Pengarah pada Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (Indonesian NGOs Network for Indigenous Rights Advocacy, JAPHAMA) – suatu koalisi ORNOP yang secara bersama-sama melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat di tingkat nasional dan internasional.

Abdon Nababan terlibat juga dalam struktur kepanitiaan pada pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara atau KMAN, sejak pertama sekali (1999) sampai yang ke-5 di Medan pada Maret 2017 yang lalu. Dia tercatat sebagai Wakil Ketua Panitia Pelaksana KMAN I [1999], Ketua Panitia Pelaksana KMAN II [2003], Wakil Ketua Panitia Pengarah pada KMAN III [2007], Ketua Panitia Pengarah KMAN IV [2012] dan Penanggung-jawab KMAN V [2017].

Keterlibatannya pada berbagai proses pengorganisasian gerakan Masyarakat Adat tersebut membuat komunitas-komunitas adat anggota AMAN yang saat ini berjumlah 2.332 (dua ribu tiga ratus tiga puluh dua) komunitas adat dan populasinya sekitar 17.000.000 (tujuh belas juta) jiwa memilihnya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN selama dua periode, yaitu 2007–2012 dan 2012-2017.

Sebagai pemimpin organisasi masyarakat adat nasional terbesar di dunia, Abdon juga mengambil peran dalan kepemimpinan kolektif gerakan masyarakat adat internasional dan terlibat dalam negosiasi tingkat tinggi dan menjadi juru bicara dalam forum-forum PBB mewakili “major grups” Indigenous Peoples.

Jabatan serupa sebelumnya pernah diemban oleh Abdon Nababan, sebagai Sekretaris Pelaksana AMAN pada periode 1999 – 2003.

Setelah mengabdi 14 tahun mendirikan, mengembangkan dan memimpin penyelenggaraan harian organisasi AMAN, sejak KMAN V yang lalu, Abdon Nababan dipilih menjadi anggota Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) mewakili Region Sumatera dan dipercaya menjadi Wakil Ketua untuk periode 2017-2022.

Di samping mengemban tugas sebagai Sekjen AMAN, Abdon Nababan, karena pengalaman dan keahliannya, juga dipercaya menjadi Panel Ahli UNDP bidang Keahlian Masyarakat Adat/Lokal dalam penyusunan Indeks Tata Kelola Hutan dan Gambut, Panel Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 Kementerian/Lembaga Non-Kementerian untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan, Panitia Pengarah Tim Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK, anggota Forum Pakar Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial RI, anggota Kelompok Ahli Bidang Humaniora Badan Restorasi Gambut (BRG).

Juga tampil sebagai saksi ahli dalam persidangan-persidangan uji materi berbagai UU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan terlibat kepanitiaan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam pembuatan Naskah Akademik dan perumusan Rancangan UU nasional dan peraturan daerah di tingkat Kabupaten. Puluhan produk hukum dan kebijakan nasional telah berubah sejak Abdon memimpin gerakan masyarakat adat.

Salah satu di antara kasus yang fenomenal dan mendasar yang melibatkan peran penting Abdon Nababan adalah lahirnya  Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” yang kemudian terlibat merancang berbagai produk hukum turunannya yang menghasilkan 4 jalur tempuh pengakuaan masyarakat adat untuk dilaksanakan di daerah.

Sejak 5 tahun terakhir Abdon juga memimpin perjuangan melalui DPR RI dan Kantor Presiden agar segera ada UU Masyarakat Adat di Indonesia.

Selain Sekjend AMAN dan berbagai jabatan di atas, Abdon Nababan saat ini memegang jabatan strategis pada beberapa ORNOP, diantaranya:

(-) Ketua Dewan Pembina Yayasan Setara/NTFP (non-aktif);

(-) Ketua Badan Pengurus Forest Watch Indonesia [FWI];

(-) Ketua Dewan Penyantun Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif [JKPP];

(-) Ketua Dewan Penyantun Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA];

(-) Ketua Dewan Pengawas Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM); da,

(-) Pengawas Credit Union (CU) RANDU.

Jauh sebelumnya, pada tataran organisasi berbagai jabatan pernah disandangnya, antara lain:

(-) Koordinator Program Hutan WALHI [1990-1993];

(-) Pendiri dan Pengelola Program Yayasan Sejati [1993-1996];

(-) Direktur Eksekutif Yayasan Telapak Indonesia [1996-1998];

(-) Direktur Forest Watch Indonesia/FWI [1998 – 2000];

(-) Ketua Umum Perkumpulan Telapak [2004 – 2006];

(-) Anggota Komite Pelaksana Global Forest Watch/GFW [2000 – 2001];

(-) Direktur Utama PT. Poros Nusantara Utama/PNU [2006-2007];

(-) Anggota Majelis Perwalian Anggota Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI [2007-2010];

(-) Anggota Dewan Direktur Tenure Facility yang berbasis di Stockholm (2016-sekarang);

(-) Anggota Komite Pengarah Global Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 yang berafiliasi dengan World Economic Forum (WEF) berbasis di Jenewa, Swis (2015-sekarang). 

Selain itu, Abdon Nababan juga pernah bekerja pada beberapa lembaga internasional dan donor, di antaranya sebagai anggota Komite Pengarah Nasional dan Komite Penilai Proposal pada Global Environmental Facility – Small Grant Program (GEF-SGP), Komite Pengarah untuk Indonesia’s Multi-stakeholders  Forestry Programme – DFID-Departemen Kehutanan, Pimpinan Proyek untuk Peningkatan Kapasitas ORNOP Indonesia dalam Investigasi dan Kampanye Hutan, satu kerjasama program Greenpeace International – WALHI. 

Di bidang penelitian dan kajian, Abdon Nababan pernah menjadi Koordinator Pokja Riset dan Advokasi Kebijakan Kehutanan WALHI [1990-1993], Koordinator Program Riset dan Dukungan bagi Masyarakat Adat sekaligus pendiri Yayasan Sejati [1993-1996], Koordinator Pokja untuk Pengetahuan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati Tradisional BIOFORUM [1996-1999].

Selama menggeluti isu-isu tersebut Abdon Nababan telah banyak menghasilkan sejumlah karya tulis dan memfasilitasi sejumlah pelatihan dan lokakarya, menjadi pengajar tamu, antara lain di Program Studi Lingkungan Paska Sarjana UI, Fakultas Hukum Universitas Jember dan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan menjadi pembicara di berbagai konferensi nasional dan internasional.

Selain itu, dia juga terlibat sebagai Anggota Tim Teknis Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Anggota Tim Teknis Penyusunan Keputusan Menteri tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Masyarakat, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI.

Di antara sederet karya tulisnya, Abdon Nababan menjadi kontributor untuk beberapa buku yang antara lain berjudul:

(1) Lipstick Traces in the Rainforest: Palm oil, Crisis and Forest Loss in Indonesia – The Role of Germany;

(2) Kata Pengantar dalam “In Search of Recognition” dan

(3) Potret Keadaan Hutan Indonesia/State of the Forest Report dan menulis ratusan makalah yang disajikan dalam berbagai pertemuan di dalam negeri dan di luar negeri.

Walaupun Abdon Nababan ini terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh pelosok Nusantara dan berkunjung ke berbagai tempat di seluruh benua, sejak kuliah di IPB tahun 1982, Kota Bogor yang sejuk adalah kampung ke dua baginya setelah kampung leluhurnya di Tano Batak.

Setelah kuliah, aktif di gerakan sosial dan memasuki usia yang sudah matang (35 tahun) Abdon menikah dengan pujaan hatinya, Devi Anggraini, seorang pegiat hak-hak perempuan yang juga pegiat masyarakat adat dari Riau.

Pasangan Abdon Nababan-Devi Anggraini hidup bahagia dengan kesederhanaan membesarkan tiga putri mereka yang sedang beranjak dewasa.

Putri pertama, Meilonia Marintan Nababan, baru saja lulus dari SMA, putri kedua, Mena Azzelia Nababan juga baru lulus dari SMP, sedang putri yang paling bungsu, Mayang Cerana Nababan baru saja menginjak kelas 2 SMP.

Selama 20 tahun ini Abdon juga memberikan perhatian yang khusus untuk Sumatera Utara.

Di Tano Batak, Abdon terlibat dalam beragam advokasi hak-hak masyarakat adat sejak kehadiran PT. Inti Indorayon Utama (IIU) sejak awal 1990-an, yang kemudian berganti wajah sebagai PT. Toba Pulp Lestari (TPL), sampai saat ini.

Memastikan tanah leluhurnya tetap lestari dan warganya tidak menderita akibat dampak pembangunan yang merusak alam dan budaya Batak.

Berbagai prakarsa dari banyak kawannya, dia sokong dan promosikan. Itulah alasannya Abdon sering pulang kampung.

Di Sumatera Timur, Abdon juga aktif mendukung perjuangan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), organisasi perjuangan hak adat tertua di Indonesia. Kesetiaannya berjuang dengan Rakyat

Penunggu selama 20 terakhir telah menempatkan Abdon Nababan sebagai bagian tidak terpisahkan dari BPRPI.

Bagi BPRPI, di samping sebagai Penasehat, Abdon juga dipercaya menyandang kedudukan sebagai Pemangku Setia Rakyat Penunggu.

Abdon tidak membedakan agama dan suku dalam perjuangan melawan ketidakadilan sosial.

Sumber: Abdon Nababan

 

 

[Jakob Siringoringo]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish