Cerita Tentang Tumbang Malahoi (Empat)

Sistem Kelola Wilayah Adat

 

Masyarakat Adat Tumbang Malahoi memiliki begitu banyak kearifan maupun pengetahuan masyarakat adat (indigenous wisdom/indigenous knowledge) yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap sistem tata kelola wilayah adat. Mulai dari acara penyambutan tamu hingga pada cara dan tahapan membuka ladang, seluruhnya memiliki aturan dan ritual yang menunjukkan bahwa masyarakat adat sangat memperhatikan aspek pelestarian alam, terutama hutan adat.

IMG_5025

Keeratan relasi Masyarakat Adat Tumbang Malahoi terhadap wilayah adat dan sumber daya di dalamnya, ditunjukkan dengan ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan pokok berupa pangan yang diperoleh dari hasil kelola wilayah adat dan hutan adat dalam corak perladangan.

 

Seperti halnya di komunitas adat lain, masyarakat Tumbang Malahoi mengonsumsi tidak hanya satu jenis karbohidrat sebagai makanan utama sehari-hari. Nasi memang adalah salah satu makanan pokok yang penting dan hal itu telah berlangsung lama sekali, bahkan hingga hari ini. Mereka telah mengenal pola perladangan tanaman padi dengan corak yang berbeda dari pola padi basah atau persawahan, yaitu padi ladang yang bergantung pada curah hujan. Masyarakat Adat Tumbang Malahoi juga menanam dan mengonsumsi singkong. Namun karena adanya perubahan pola makan, maka sekarang singkong hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu saja dan bisa dikatakan sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari masyarakat tersebut. Yang tidak kalah menariknya, meski kini dominasi menanam padi dan memakan nasi menjadi begitu kental dengan keseharian warga, tetapi masyarakat Tumbang Malahoi tidak lupa untuk tetap menanam jagung di ladang.

 

”Itu adalah kebiasaan turun temurun. Kurang lengkap rasanya kalau pada saat panen padi, kami tidak juga panen jagung,“ ungkap Pak Hadi, seorang Mantir Adat setempat.

IMG_5175

Berangkat kerja lewat jalur sungai

Selain padi, singkong, dan jagung, ada pula sumber gizi lain yang dihasilkan oleh wilayah adat Tumbang Malahoi. Sedikit perbedaan yang terjadi antara daerah Tumbang Malahoi dan daerah lain, khususnya di Kabupaten Gunung Mas, adalah banyaknya tanaman umbut rotan (rotan muda). Di Tumbang Malahoi, tanaman rotan banyak terdapat di samping-samping rumah warga. Rotan juga menjadi asupan gizi bagi warga setempat sebagai sayuran yang bisa dikonsumsi setiap hari tanpa repot harus dibeli. Rasanya pun tidak kalah nikmat dengan sayur lain yang ada di pasar. Umbut rotan adalah contoh kekayaan hutan adat yang kemudian dibudidayakan oleh masyarakat di sekitar wilayah permukiman. Kalau di daerah lain, umbut rotan mungkin sudah hampir susah ditemukan, kecuali jika mau sedikit bersusah payah masuk ke dalam hutan. Maka, warga setempat sepakat bahwa umbut rotan masuk sebagai klasifikasi pangan lokal yang ditanam secara masif dan langsung di sekitar pekarangan.

IMG_5149

Pergi ke ladang

Kearifan lain yang memiliki hubungan erat dengan tata kelola wilayah adat, salah satunya adalah ngariu. Sebelum memulai perladangan, ada serangkaian tahap yang harus dilalui oleh masyarakat adat. Areal hutan yang terpilih untuk dibuka menjadi ladang, terlebih dulu harus ditinjau dan dimohonkan “izin.” Tetua adat memainkan peran strategis dalam proses ritual itu di mana ia terlebih dulu akan mengutus beberapa orang yang berpengalaman di komunitas adat untuk mengecek lokasi yang hendak dijadikan tempat berladang. Proses ritual ngariu pun dilakukan, yaitu meminta izin kepada roh penunggu hutan tersebut dan berdoa agar terhindar dari bencana alam, sehingga kelak bisa menghasilkan panen yang melimpah dan berkah.

 

Dari sejarah asal-usul hingga saat ini, masyarakat adat di seluruh Nusantara masih terus berjuang. Keberadaan Tugu Kedaulatan di Tumbang Malahoi adalah bukti yang relevan untuk melihat kontribusi masyarakat adat di seluruh Nusantara, khususnya Masyarakat Adat Tumbang Malahoi dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Tetapi kini, tugu itu seolah punya makna lain bagi masyarakat adat yang belum sepenuhnya memperoleh kedaulatan atas wilayah adatnya. Perjuangan masih terus berlanjut dan dilakukan di mana Indonesia masih memiliki hutang terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah adat, dan sumber daya di dalamnya.

 

-Murni D. Liun Rangka-

Cerita Tentang Tumbang Malahoi (Tiga)

Kelembagaan dan Hukum Adat

 

Walaupun agama mayoritas masyarakat adat Tumbang Malahoi adalah Kristen, namun mereka masih memegang teguh adat istiadat yang sudah ada sejak dulu. Misalnya, setiap pendatang yang berkunjung ke kampung, harus menggunakan tata cara penerimaan secara adat, yaitu tamu dipasangkan gelang di tangan oleh tetua adat dengan tujuan bahwa tamu tersebut membawa maksud yang baik bagi masyarakat adat setempat. Kegiatan itu bisa terlaksana jika tamu yang bersangkutan melaporkan terlebih dulu kedatangannya dengan izin atau permisi ke tetua adat setempat. Dengan begitu, warga di komunitas adat pun menjadi tahu keberadaan tamu dan mungkin juga memaklumi jika tamu tersebut belum memahami aturan atau kebiasaan selama berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat adat maupun wilayah adat. Hal itu menjadi jelas penegasannya. Sebab ada banyak aturan dan kebiasaan, termasuk larangan-larangan, selama berada di wilayah adat dan hutan adat. Kita tak pernah tahu ketidaksengajaan yang dilakukan oleh tamu bisa berdampak atau menimbulkan sanksi adat yang mungkin sulit dipenuhi tamu itu.

 

Dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Komunitas Tumbang Malahoi juga tidak terlepas dari dinamika sosial yang ada. Karena masyarakatnya adalah masyarakat yang majemuk, maka ada juga banyak persoalan yang terjadi. Proses penyelesaian permasalahan ini biasanya dilakukan secara musyawarah oleh pihak yang bertikai, maka tokoh adat menggunakan piring putih sebagai mediasi penyelesaiannya. Jika piring putih ini sudah dikeluarkan, pihak keluarga yang bertikai wajib membayar semua biaya penyelesaian masalah tersebut. Namun media piring putih ini jarang terjadi, karena sekarang Masyarakat Adat Tumbang Malahoi lebih menggunakan sistem jipen (denda adat) bagi orang yang melakukan kesalahan dan permasalahan tidak boleh dibawa ke ranah hukum positif sebelum dipecahkan di tingkat komunitas. Tata cara penyelesaian konflik tersebut tentu saja mencakup pula berbagai konflik dan sanksi adat yang juga terjadi dalam kaitannya dengan wilayah adat dan pelestarian lingkungan, contohnya penebangan pohon sembarangan, pencemaran sungai, pertikaian klaim batas atau ahli waris, dan lain-lain.

 

 

-Murni D. Liun Rangka-

 

 

Cerita Tentang Tumbang Malahoi (Dua)

Perjuangan Mempertahankan Kedaulatan

 

Sejarah Asal-Usul

Seperti pada umumnya daerah-daerah lain, nama desa “Tumbang Malahoi” tidak muncul begitu saja dan mempunyai latar belakang sejarah dalam pembentukkannya. Sebelum berada di Tumbang Malahoi (nama desa sekarang), dahulu kebiasaan masyarakat adat, adalah hidup berpindah-pindah di wilayah adatnya dikarenakan berbagai faktor, salah satunya mencari tempat hidup yang lebih baik, aman, dan tentram maupun menghindari tekanan psikologi dan sosial kemasyarakatan.

 

Menurut cerita, penduduk Tumbang Malahoi berasal dari daerah Pekang Sambon (sekarang wilayah yang menjadi bagian dari Kalimantan Barat), tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Malahoi/Malawi. Orang yang pertama mencari tempat hidup baru ke arah Kalimantan Tengah saat itu, – yaitu di Bukit Riwut di antara Sungai Samba dan Sungai Manuhing – adalah Ongko Langi. Di Bukit Riwut itu Ongko Langi beserta beberapa anggota keluarganya hidup beberapa saat. Di dalam keluarga mereka lalu terdapat seorang perempuan cantik yang diberi perhatian khusus menjadi bawi kuwu (perempuan yang dipingit). Nama perempuan itu adalah Nyai Mulung yang kemudian kawin dengan salah seorang pemuda dari Kayangan (Pantai Sangiang) bernama Umban Bulau. Bukti bahwa Nyai Mulung pernah menjadi bawi kuwu, adalah adanya ukiran di depan pintu kamar perempuan yang kini disimpan di betang yang bernama Betang Toyoi di Tumbang Malahoi.

 

Dari perkawinan Nyai Mulung dan Umban Bulau itulah lahir keturunan yang bernama Aluh Lakari (perempuan), Patan (laki-laki), Pantan (laki-laki), dan Tanggalung atau Timah (perempuan). Sebagian keturunan pasangan tersebut ada yang pindah, sebagian ada pula yang menetap di daerah Sungai Sampaga, Katingan, Rungan, serta Kahayan.

IMG_4963

Dijelaskan bahwa keluarga yang menjadi keturunan masyarakat Desa Tumbang Malahoi, adalah pasangan Bungai dan Burow. Mereka ini menetap di Sange. Nama tempat tinggal itu masih ada sampai sekarang, yaitu di bagian selatan Desa Tumbang Malahoi.

 

Jadi bisa dipastikan bahwa Bungai dan Burow ini adalah keturunan dari hasil perkawinan Nyai Mulung dan Umban Bulau. Seperti dijelaskan di atas, bahwa keempat anak Nyai Mulung dan Umban Bulau, menyebar ke beberapa daerah aliran sungai, termasuk Sungai Rungan yang merupakan bagian dari daerah Kampung Tumbang Malahoi.

 

Setelah beberapa kali pindah tempat hidup, salah satu keluarga dari keturunan Bungai dan Burow bernama Bira Dandan merasa perlu mencari petunjuk agar memperoleh tempat tinggal yang pantas dan membuat mereka tentram selama-lamanya. Cara yang ditempuh oleh Bira Dandan itu adalah dengan cara manajah antang (meminta petunjuk) dari Yang Maha Kuasa. Dengan manajah antang itu ditetapkan lokasi di pinggiran Sungai Baringei (nama sungai yang melintas di Desa Tumbang Malahoi sekarang). Nama “Malahoi” diambil dari nama daerah asal mereka, yaitu Malahoi di Kalimantan Barat sekarang. Selain tetap mengambil nama daerah, ikut pula diambil segumpal tanah dan air agar kelak mereka hidup seperti di daerah asalnya.

 

Setelah mendapat tempat (desa) yang dianggap menjanjikan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan, salah satu dari keturunan asal Malahoi di daerah Kalimantan Barat yang bernama Toyoi, mengkoordinir anak menantunya untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk mulai membangun rumah betang. Diperlukan waktu sekitar tiga tahun untuk mengumpulkan bahan bangunan. Pendirian betang dilakukan secara gotong royong oleh beberapa keluarga dari daerah Rungan, Manuhing, dan daerah-daerah lainnya.

 

Saat ini, masih terdapat betang tua yang bernama Betang Toyoi yang didirikan sekitar tahun 1869. Rumah adat tersebut diberi nama “Betang Toyoi” karena mengambil nama pendirinya: Toyoi. Toyoi kemudian di-tiwah-kan tahun 1948. Tiwah adalah prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.

 

Dalam menelusuri sejarah asal-usul Tumbang Malahoi, tidak lengkap untuk tidak menyinggung peran aktif masyarakat adat dalam mengusir penjajah dan mendukung kemerdekaan negara ini. Ada kisah yang seringkali disebut dengan Perjuangan Bungai. Bungai adalah seorang putra terbaik Kalimantan Tengah yang amat berpengaruh dan ia tinggal di Desa Tumbang Malahoi. Akibat kekuatan dan pengaruh Bungai, dahulu Raja Banjar yang bernama Sultan Mochammad Seman pun mengangkat Bungai menjadi pemimpin perjuangan untuk melawan penjajahan Belanda.

 

Bungai diberi gelar Temanggung Singa Pati oleh Sultan Mochammad Seman. Pemberian gelar kepada Bungai itu ditandai oleh sebuah bendera berwarna kuning yang menjadi panji perang melawan Belanda di bawah kepemimpinan Bungai. Untuk mengenang peristiwa bersejarah itu, maka nama Sungai Beringei yang melintasi Desa Tumbang Malahoi, disebut “Batang Danum Riak Jamban Raja.” Artinya, sungai yang pernah dilalui oleh orang bangsawan.

 

Setelah Bungai memperoleh kepercayaan untuk memimpin peperangan melawan Belanda dari Raja Banjar, maka kedua tokoh itu bersama-sama terlibat perang di daerah Pelaihari (Tabangian), Sungai Saluang (Banjar), dan Kayu Tangi (Martapura).

 

Selain perang melawan penjajah, saat terjadi perang antar-suku di Kalimantan (Zaman Asang Kayau), masyarakat Desa Tumbang Malahoi juga mengirimkan utusan untuk melakukan perdamaian di Tumbang Anoi yang dikoordinir oleh Demang Batu.

 

Pasca-kemerdekaan, Masyarakat Adat Tumbang Malahoi juga aktif mempertahankan berdirinya Indonesia. Pada tahun 1946 di Desa Tumbang Malahoi, semua tokoh masyarakat dari seluruh desa yang ada di daerah Rungan/Manuhing melakukan perundingan mencari jalan keluar mempertahankan Kemerdekaan RI dan mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara, termasuk Kalimantan.

 

Ide mencari jalan keluar untuk menghadapi penjajahan Belanda itu disampaikan oleh Diter Merang. Ia mengusulkan agar perundingan dilakukan di betang di Tumbang Malahoi. Hal tersebut diterima oleh kepala betang waktu itu, yaitu Panyat Bin Toyoi. Masyarakat Tumbang Malahoi pun memberi kesempatan seluas mungkin untuk berunding dan menyusun berbagai bentuk kegiatan.

 

Dari hasil perundingan tokoh masyarakat pejuang GRRI, diperoleh jalan keluar, yaitu dengan jalan manajah antang (meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa). Hasil manajah antang perjuangan GRRI, termasuk Rungan/Manuhing, adalah Indonesia pasti bebas dari belenggu penjajahan Belanda. Namun syaratnya, adalah harus manggantung sahur atau perjuangan sebagai tanda memohon kepada Sang Pencipta dan para leluhur. Perjuangan menjadi patut dilakukan untuk melawan perbuatan semena-mena yang dilakukan oleh negara lain. Sasaran perjuangan GRRI Rungan/Manuhing yang bermarkas di Desa Tumbang Malahoi, adalah markas pertahanan Belanda di Danau Mare, Kecamatan Tumbang Samba. Selain melakukan manajah antang, para tokoh masyarakat Rungan/Manuhing juga sampai menyusun komposisi pengurus terkait perjuangan GRRI. Komposisi para pejuang GRRI itu dinamai Pasukan Ujan Panas yang terdiri dari 46 personil utama, termasuk Samudin Aman sebagai komandan kala itu.

tugu_perjuangan

Untuk mengenang kisah perjuangan tersebut, maka pada tanggal 28 Desember 1949, didirikan-lah Tugu Kedaulatan. Tugu itu pertama kali dibangun dengan kayu ulin. Lalu tugu kedua, dibangun kembali dengan beton bertuliskan “Basis Perjuangan Gerilya Merebut/Mempertahankan Kemerdekaan RI Tahun 1945 s.d. 1949 di Tumbang Malahoi.”

 

-Murni D. Liun Rangka-

 

 

Cerita Tentang Tumbang Malahoi (Satu)

Tanah yang Kami Banggakan

 

Senin pagi di tanggal 9 November 2015, handphone saya berdering. Ketua PW BPAN menelpon.

 

“Ada apa, Bang?”

 

Bang Kesiadi menjawab sapa saya dengan pula pertanyaan: “Di mana posisi, De? Apa masih sibuk?” Bang Kesiadi biasa memanggil saya yang lebih muda dengan panggilan “De” (adik).

 

”Ini di tempat kerja, Bang. Kalau tidak sibuk, memang ada apa?”

 

Bang Kesiadi pun bertanya lagi apakah saya bisa ikut pelatihan pendokumentasian di Bogor selama satu minggu. Saat itu, saya bingung untuk menjawab. Jadi saya bilang saja kalau saya pikir-pikir dulu.

 

“Mungkin hari Rabu saya kasih jawaban,” balas saya santai tak hendak memastikan janji.

 

Lantas pada Rabu sore, saya datang ke kantor PW AMAN untuk mengabarkan kalau saya siap untuk berangkat mengikuti pelatihan di Bogor. Walau sebenarnya, saya masih ragu karena itu akan menjadi pertama kalinya bagi saya ikut pelatihan di luar kota.

 

Bang Kesiadi memberitahu bahwa ada tugas untuk membuat tulisan tentang komunitas di Bogor. Saya mulai bingung lagi mau menulis tentang komunitas apa, sedangkan saya dari kecil tinggal di kota dan sudah lama meninggalkan kampung.  Bang Kesiadi memberi saran bagaimana kalau saya membawa tulisan dari komunitas Tumbang Bahanei saja. Saya sendiri tidak terlalu tahu tentang kampung tersebut. Maka karena sudah tidak ada pilihan lain, saya bilang saya setuju.

 

Senin berikutnya di tanggal 16 November 2015 saat pagi masih gelap, saya berangkat dari rumah menuju Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya. Dengan keyakinan di hati, saya bulatkan tekad ikut pelatihan di Bogor dengan harapan kelak dapat belajar banyak hal dari ilmu yang akan disampaikan dan pengalaman baru yang akan didapatkan dengan bertemu pemuda-pemudi BPAN se-Nusantara.

 

Sampai di bandara, saya langsung check-in. Perjalanan pun dimulai untuk sejenak meninggalkan kampung halaman. Sekitar 1 jam 45 menit saya berada di udara dan melihat birunya langit dengan awan putih yang menggumpal. Mengantarkan saya untuk kemudian tiba di Jakarta, lalu Bogor.

 

Keesokan paginya, pelatihan dimulai. Pada hari pertama, kami disuguhkan materi tentang bagaimana caranya melakukan pendokumentasian terhadap masyarakat adat. Selama satu minggu, setiap hari saya dan kawan-kawan BPAN lainnya menyerap berbagai materi dan ilmu tentang pendokumentasian. Usai pelatihan, 15 orang dari kami akan ditugaskan untuk live in di komunitas-komunitas adat yang sudah ditentukan dan sembilan orang lainnya akan kembali ke komunitas masing-masing untuk hal yang sama.

 

Saya terpilih untuk mendapat tugas pulang ke kampung sendiri untuk menggali profil leluhur. Saya akan mendokumentasikan profil dari Masyarakat Adat Tumbang Malahoi.

 

Sabtu pagi pada tanggal 12 Desember 2015, saya bersama seorang kawan pemuda adat dari Kapuas, bernama Aditya, berangkat menuju Tumbang Malahoi. Pagi itu kami menggunakan sepeda motor dari Palangkaraya ke Tumbang Malahoi selama empat jam perjalanan. Kami sempat mampir sejenak di Tangkiling untuk sarapan.

 

Saat kami masuk Kampung Takaras, saya terkejut melihat banyak areal hutan yang terbakar dan sebagian sudah ditanami sawit. Lalu begitu memasuki Kabupaten Gunung Mas, kami berhenti untuk istirahat sebentar sambil menikmati segarnya udara pagi dengan alunan musik alam yang tercipta dari perpaduan aliran sungai yang mengalir dan kicau burung yang sahut menyahut. Sesekali, ada juga teriakan orangutan yang saling memanggil. Saya termenung sejenak. Sekian tahun lamanya saya tidak pernah pulang ke kampung, kini betapa takjubnya saya mendengar suara dari alam sekitar seperti nyanyian “Alam Raya Sekolahku” yang selalu kami nyanyikan di saat pelatihan alam di sekolahku.

 

Kami lantas melanjutkan perjalanan usai mengumpulkan energi dengan bersantai sejenak. Sepanjang perjalanan, saya kembali memperhatikan kiri-kanan jalan yang didominasi oleh pemandangan berupa hamparan kebun sawit saja. Hutan telah banyak ditebang dan dibakar. Sungguh sedih melihat hal itu. Terbersit di pikiran saya dengan hutan yang semakin sedikit, bagaimana nanti warisan untuk generasi yang akan datang.

 

Sekitar pukul 10 pagi, sampailah kami di Kampung Tumbang Talaken. Lagi-lagi kami pun disambut dengan pemandangan kebun sawit yang begitu luas dan entah berapa hektar. Di depan jalan masuk perusahaan, terpasang kokoh nama perusahaan kebun sawit tersebut. Saya sangat terkejut saat melihat pemandangan itu. Saya mulai mengingat tahun 2007, lokasi itu masih hutan yang indah dan hijau, namun kini berubah menjadi hamparan kebun sawit yang begitu luas sejauh mata memandang. Tetapi begitu kami melewati Tumbang Talaken, pemandangan berganti kembali menjadi hutan dengan rindang yang hijau. Udara segar menghapus rasa lelah kami. Sekitar pukul 12.00 siang, kami tiba di Desa Tajah Antang. Di situ-lah kami berhenti untuk beristirahat di tempat keluarga ibu saya.

 

Hari mulai sore. Saya bertanya kepada adik sepupu saya di mana tempat untuk mandi.

 

“Kalau di kampung, mandinya di sungai,” jawabnya.

perahu_sungai

 

Saat mendengar itu, saya pun berpikir keren juga bisa mandi di sungai. Saya bersiap untuk pergi mandi ke sungai yang ternyata berada di dalam hutan sejauh jarak sekitar 30 meter. Inilah kehidupan masyarakat adat yang bergantung dengan hutan, mulai dari mandi, hingga mencari sayur maupun obat-obatan, semuanya dari hutan.

 

Sekitar pukul 18.30, kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Tumbang Malahoi. Kali ini, kami diantar oleh sepupu laki-laki saya. Waktu yang ditempuh dari Kampung Tajah Antang ke Tumbang Malahoi hanya sekitar 30 menit.

 

Tiba di Kampung Tumbang Malahoi, saya merasakan aura yang berbeda dengan kampung yang sebelumnya. Dalam hati saya berkata, semoga para leluhur merestui saya masuk kembali ke kampung ini.

 

Saya dan kawan disambut oleh om (paman) yang tinggal di kampung malam itu, sehingga – karena hari sudah malam – kami menginap di rumah om yang tidak lain adalah adik dari ibu saya.

 

Tanggal 13 Desember 2015, sekitar pukul 05.00, masyarakat di kampung sudah bangun dan memulai aktivitas. Ada yang sudah mandi pagi-pagi sekali, ada pula yang sudah repot memasak. Karena hari Minggu, jadi warga yang beragama Kristen pergi ke gereja. Setelah pulang beribadah, biasanya mereka pergi ke tana untuk bekerja menyadap karet. Tana – dalam bahasa Dayak – berarti ladang. Masyarakat Adat Tumbang Malahoi juga lebih senang tinggal di pasah, yaitu pondok kecil di dalam hutan yang menjadi lokasi tana berada. Terkadang saat hari menjelang sore, mereka pulang. Namun ada juga yang memang tinggal di dalam hutan. Menurut mereka, tinggal di dalam hutan lebih mendekatkan mereka dengan alam.

 

Siang harinya, saya mengunjungi rumah adat Tumbang Malahoi, yaitu rumah betang yang diberi nama Betang Toyoi. Saya meminta izin untuk masuk ke dalamnya dan saya disambut oleh Tambi Eri (Nenek Eri). Tambi adalah sebutan bagi orang yang tinggal dan mengurus betang. Sebelum masuk ke dalam, saya terlebih dulu melakukan ritual adat tampung tawar, yaitu pensucian diri yang dilakukan oleh tetua-tetua adat terhadap orang luar yang sedang mengunjungi komunitas tersebut dengan harapan bahwa orang yang di-tampung tawar benar-benar membawa niat baik. Itu adalah suatu kewajiban bagi adat mereka. Lalu, mulailah saya bertanya-tanya tentang sejarah Betang Toyoi.

 

Saya berbincang sekitar satu jam. Saya pun jadi mengetahui bagaimana sejarah awal betang ini berdiri, siapa pendirinya, dan bagaimana silsilah keturunan keluarganya. Setelah dirasa cukup, lantas saya izin mengambil foto terhadap sesuatu yang saya anggap menarik, salah satunya adalah sandung. Sandung adalah tempat menyimpan tulang orang yang sudah meninggal. Peletakkan tulang di sandung, dilakukan setelah upacara tiwah.

 

Saya sempat memotret sebuah monumen berupa Tugu Peringatan Kedaulatan Indonesia yang tertera tanggal 28 Desember 1949. Di sanalah terdapat tanda perjuangan GRRI (Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia) Rungan/Manuhing dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1947-1948. Tugu terbuat dari kayu ulin atau tabalien dalam bahasa Dayak.

 

Saya dan kawan mendokumentasikan foto kegiatan sehari-hari masyarakat adat di sana. Sebagian dari mereka ada yang membuat kerajinan tangan untuk dijual atau digunakan sendiri, misalnya anyaman tikar rotan. Tidak ketinggalan, mengambil gambar dari udara menggunakan pesawat tanpa awak atau disebut drone, agar saya dapat melihat perspektif berbeda berupa pemandangan keseluruhan kampung dari atas di mana saya dapat menikmati keindahannya. Gambar yang diambil menjadi penting dan harus diketahui semua orang di luar sana supaya kita bersama bisa melihat seberapa indahnya Kampung Tumbang Malahoi yang masih menyisakan bukti sejarah leluhur dengan tradisi dan budaya adat yang kental.

 

Melalui hasil pendokumentasian ini, saya ingin memperlihatkan kepada publik secara luas bahwa inilah tanah leluhur yang dibanggakan dan akan dijaga selalu agar tetap abadi sampai pada keturunan selanjutnya.

 

Salam tabe! Dayak Ngaju, Masyarakat Adat Tumbang Malahoi.

 

-Murni D. Liun Rangka-

 

 

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Sistem Kelola Wilayah Adat (Bg 5)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Masyarakat Adat Punan Dulau memiliki hubungan yang sangat erat dengan wilayah adatnya, termasuk hutan adat. Wilayah adat adalah bagian yang tak bisa dipisahkan ketika berbicara tentang kelangsungan hidup masyarakat adat.

minum_dari guci

Masyarakat adat mengelola wilayah adat melalui berbagai praktek baik yang terintegrasi dengan sistem kepercayaan mereka terhadap roh dan leluhur. Misalnya saja, ketika membuka lahan di hutan untuk bercocok tanam, mereka melakukan upacara ritual adat terlebih dulu yang secara turun temurun telah diwariskan kepada generasi mereka. Yang dilakukan pertama, adalah mereka mengambil sebuah tanaman kencur untuk disembur ke atas yang dipercaya dapat memanggil roh-roh leluhur yang sudah lama mati agar menyampaikan kepada Tuhan bahwa mereka hendak bercocok tanam. Setelah beberapa hari melakukan penyemburan kencur, barulah datang beberapa burung, seperti beberapa jenis yang mereka kenal dengan bahasa mereka, yaitu bukong, tekalih, dan sagap. Melalui bunyi burung-burung tersebut, mereka memahami ada kode yang diberikan. Suara burung dari kiri itu pertanda buruk, sehingga masyarakat tidak akan melakukan aktivitas bercocok tanam.

Selain melestarikan tata kelola untuk kelestarian pangan (sumber penghidupan) dan kelangsungan ritual tradisi dan budaya, Masyarakat Adat Punan Dulau juga memiliki pengetahuan asli terhadap obat-obatan herbal dan tradisional yang terdapat di hutan adat. Dengan keterbatasan akses dan layanan kesehatan modern, maka selama ini, cara-cara dan pemahaman itulah yang menyelamatkan masyarakat adat ketika penyakit datang.

penganan

Obat-obatan yang dikenal oleh masyarakat adat di Desa Punan Dulau, antara lain:

  1. Palan sa’ay digunakan untuk sakit gigi dengan cara batang dari pohon palan sa’ay dimasukkan ke dalam gigi yang sakit.
  2. Pemuncu digunakan untuk melancarkan buang air dengan cara batang dan daunnya direbus, lalu air rebusan tersebut diminum.
  3. Tiawo digunakan untuk maag dengan cara batang dan daunnya direbus, lalu air rebusan tersebut diminum.
  4. Pedalan digunakan untuk rematik/sakit-sakit tulang dengan cara isinya diparut dan diperas, lalu air perasannya diminum.
  5. Kerutut digunakan untuk demam dengan cara batangnya dibakar sampai menjadi arang, setelah itu ditumbuk halus dan dicampur air untuk diminumkan kepada yang sakit.
  6. Kulit pohon ketimang digunakan untuk luka dalam dan luka luar, contoh luka dalam adalah pada perempuan yang baru melahirkan, sedangkan luka luar adalah luka terkena parang.
  7. Pohon tabar digunakan untuk obat dalam tubuh, seperti sakit berak darah dengan cara dipotong kecil, lalu dimasukan ke dalam ceret untuk direbus dan diminumkan setelah dingin (air tidak panas).
  8. Pohon oka gula digunakan untuk sakit buang-buang air dengan cara batang pohon dibakar, lalu buat halus untuk kemudian diminumkan.

Masyarakat Adat Suku Dayak Punan yang hidupnya bergantung pada kelestarian hutan dan memiliki prinsip “lunag telang otah ine yang artinya “hutan adalah air susu ibu.” Hutan yang merawat, memelihara, dan membesarkan mereka. Hutan menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan pakaian, lauk pauk, dan bahan makanan lainnya. Mereka selalu menggantungkan hidupnya dari hasil hutan dan kekayaan alam. Jika tidak ada hutan, maka Orang Punan tidak akan bisa hidup.

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Wilayah Adat (Bg 4)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Masyarakat Punan menggunakan sistem penguasaan dan pengelolaan wilayah adat secara kolektif. Hak atas tanah dan pengelolaan wilayah diatur berdasarkan aturan adat, termasuk hutan adat, hutan berkebun, serta hutan wali waris leluhur yang menjadi bagian dari kesatuan suatu wilayah adat.

pinggir_sungai

Masyarakat Adat Punan Dulau mempunyai wilayah adat dengan luas mencapai 22.234 hektar di hulu Sungai Magong. Pada tahun 1972, mereka dipindahkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan dari tempat asal di hulu sungai tersebut. Meskipun permukiman telah pindah di Sekatak Buji, tapi kebun-kebun masyarakat adat masih berada di desa lama yang berjarak sekitar 50 km dari desa baru atau yang ditinggali sekarang. Jangankan untuk memikirkan berkebun lagi seperti dulu dengan nilai-nilai masyarakat adat yang arif, bahkan proses pemindahan pun sempat menuai konflik antar-warga. Pada tahun 2000, Suku Tidung – pemilik asli wilayah – menuntut ganti rugi lahan yang dijadikan tempat pemukiman masyarakat Suku Dayak Punan Dulau di Sekatak Buji.

Saat ini, kehidupan Masyarakat Adat Punan Dulau terkait dengan wilayah adatnya bukanlah tanpa persoalan. Berbagai tantangan hadir seiring dengan masuknya korporasi yang hadir ke tengah-tengah kehidupan dan masuk ke dalam wilayah adat mereka. Korporasi dan negara yang mengklaim wilayah adat mereka kemudian bukan hanya merampas hutan adat, tetapi juga berkontribusi pada kerusakan yang terjadi dan mempengaruhi sumber penghidupan dan tradisi yang telah terjaga selama ini.

Mencari nafkah, seperti menangkap ikan dan berburu, dahulu cukup dilakukan di belakang kebun saja. Daging buruan serta tangkapan ikan di sungai menjadi lauk sehari-hari. Begitu pun dengan material kayu untuk rumah yang berasal dari pohon-pohon yang telah mereka tanam di hutan. Apa pun yang dibutuhkan telah dirawat dan tersedia di alam. Tetapi situasi telah berubah. Sejak datangnya perusahaan dengan alat-alat berat, misalnya buldoser, hewan-hewan buruan pun berpindah ke tempat yang sulit dijangkau. Suara-suara bising dari alat berat mengganggu habitat di hutan. Kayu besar untuk membangun rumah juga sudah tiada lagi. Jika pun ada, letaknya sangat jauh untuk bisa diraih menggunakan tenaga manusia.

Pada awal tahun 2005, sebuah perusahaan masuk ke wilayah Desa Punan Dulau untuk membuat kesepakatan dengan masyarakat. Namun di tahun sebelumnya, sesungguhnya perusahaan sudah memasuki kawasan adat Punan Dulau tanpa izin dan tanpa sepengetahuan masyarakat. Masyarakat adat yang mengetahuinya secara tidak sengaja ketika hendak mencari gaharu kala itu melihat sendiri wilayah adat yang diberi tanda batas petak blok operasional perusahaan menggunakan pita penanda di hulu Sungai Sembiling – areal yang pula berdekatan dengan perbatasan Desa Mendupo, Desa Seputuk, dan Desa Punan Dulau. Warga akhirnya melapor peristiwa itu kepada Kepala Desa Punan Dulau.

Proses negosiasi pun berlangsung antara masyarakat dan perusahaan. Tetapi seiring berjalannya waktu, masyarakat adat terus dirugikan dengan apa yang terjadi di wilayah adat mereka yang telah dirawat secara turun-temurun dan menjadi sumber penghidupan masyarakat adat selama ini. Berbagai aturan hukum dan izin negara yang tidak diketahui dan dipahami oleh masyarakat adat kerap menjadi dalik untuk menakuti masyarakat adat dan mengeruk poetnsi sumber daya alam di wilayah adat.

kapal_perusahaan

“Perusahaan menebang kayu besar tanpa ada rasa peduli di sekeliling kayu yang mereka tebang. Sehingga makam leluhur kami, ditimpa kayu yang ditebang mereka,” tutur salah seorang warga. Pihak perusahaan kerap mengelak apabila warga menuntut dan meminta ganti rugi, padahal perusahaan sebelum masuk telah sepakat tidak menggarap sekitar areal pemakaman. Mereka selalu beralasan bahwa mereka tidak melihat tanda-tanda di sekitar tempat yang dilindungi.

Sejak kehadiran perusahaan, konflik kerap timbul di antara masyarakat Desa Punan Dulau dan Desa Bambang terkait batas wilayah adat yang mengalami pergeseran patok batas hutan adat. Tetapi masalh yang timbul di antara mereka, selalu bisa diselesaikan musyawarah. Masing masing pihak patuh pada kesepakatan tentang batas wilayah baik hak individu maupun hak komunal.

“Wilayah kami digarap oleh perusahaan. Semenjak itu pula hak-hak atas tanah, ahli waris, dan penguasaan hutan, berubah,” kata Pak Imin, Ketua Suku Punan Dulau.

Kini setelah kayu log habis, perusahaan tak juga angkat kaki. Mereka membuat suatu kawasan yang bernama Petak Ukur Permanen (PUP) di wilayah Desa Punan Dulau tanpa persetujuan warga. PUP mencakup luasan sekitar 24 hektar yang merupakan bekas ladang milik Aki Ibas yang pernah memimpin Desa Punan Dulau. Kawasan PUP ditanami pohon kayu jenis meranti sekaligus menjadi objek penelitian perusahaan. Ketika waktunya kayu yang mereka tanam sudah layak panen, artinya sisa kayu di areal yang sudah tergarap sudah bisa di ambil lagi. Bukan hanya itu, kini ada pula kawasan hutan lindung yang berdampak pada menyempitnya ruang lingkup mata pencaharian masyarakat karena kawasan tersebut menjadi kawasan terlarang untuk diakses oleh masyarakat adat.

alat_berat

Pihak-pihak yang datang dan merebut wilayah adat tersebut, kemudian telah memberikan bermacam-macam kerugian dan kerusakan yang harus dihadapi oleh masyarakat adat terhadap wilayah adatnya, mulai dari kerugian ekonomi (sumber penghidupan/mata pencaharian), ekologi/lingkungan, sosial-budaya, hingga ancaman kesehatan dan rasa aman masyarakat adat untuk berkehidupan sesuai dengan adat istiadat yang mereka jalankan selama ini.

Hewan-hewan buruan telah berkurang akibat menyempitnya ruang hidup hewan-hewan tersebut. Di beberapa titik, sungai menjadi keruh dan mengalami pendangkalan. Warga juga merasakan betul kesulitan untuk mempraktekkan perladangan seperti dulu lagi. Sarang lebah yang biasanya terdapat di pohon menggris juga mulai hilang seiring dengan rusak dan ditebangnya pohon-pohon itu yang menyebabkan sumber madu tak lagi mudah dicari. Kebun-kebun buah masyarakat adat pun ikut sirnah karena kehadiran alat-alat berat milik perusahaan. Kini sebagian hutan adat telah gundul dan ancaman banjir dan longsor yang lebih besar seolah semakin dekat.

hutan_adat

Selain itu, kuburan leluhur Punan Dulau juga ikut tergusur. Masyarakat sempat menuntut perusahaan pada Februari 2010 lalu, tetapi hal itu tidak mendapatkan tanggapan serius. Dan karena telah langkanya madu di siana, ritual lemali yang terkait dengan ritual pantangan untuk pengambilan madu pun tak lagi dilakukan. Ada banyak efek dan dampak yang kini tengah dihadapi Masyarakat Adat Punan Dulau. Pro dan kontra hadirnya perusahaan menjadi dilema bagi masyarakat adat.

Masyarakat Adat Punan Dulau kini sedang menyusun peta melalui proses pemetaan wilayah adat yang partisipatif. Pada peta tersebut, ditentukan kesepakatan bersama tentang batas-batas tertentu, seperti hutan, perkebunan, ahli waris, lokasi permukiman, hutan lindung, jakau (bekas ladang), sagang (kuburan), dan situs atau peninggalan nenek moyang mereka yang sebagian masih tersisa.

Pada 27 Juni 2012 lalu, Kaharudin T. – mantan Kepala Desa Punan Dulau yang ke-9 – berangkat ke Jakarta untuk hadir dan memberikan kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi (MK) perihal pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sepulang dari Jakarta, beliau mengumpulkan warga beserta ketua adat, staf, dan lembaga terkait lainnya untuk menyampaikan hal yang dilakukannya di Jakarta. Beliau berkata, “Kita tinggal menunggu hasil dari Putusan MK apakah berpihak kepada masyarakat adat atau tidak.”

Pada 16 Mei 2013, MK membacakan keputusannya: MK 35/PPU-X/2012. Salah satu keputusan penting MK 35 tersebut adalah “hutan adat bukan hutan negara.” Putusan MK 35 membangkitkan semangat dan menguatkan harapan masyarakat adat di seluruh Nusantara, termasuk Desa Punan Dulau untuk mendapatkan pengakuan secara yuridis dan formal sesuai konstitusi.

Pada 13 september 2013, delapan orang pemuda pergi ke wilayah hutan adat Desa Punan Dulau untuk memasang empat buah plang di sudut-sudut batas konsesi wilayah hutan adat Desa Punan Dulau. Plang-plang yang mereka pasang, antara lain bertuliskan “hutan adat Punan Dulau bukan hutan negara.”

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Kelembagaan dan Hukum Adat (Bg 3)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Struktur kelembagaan adat dari Masyarakat Adat Dayak Punan, terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, serta empat orang anggota. Dayak Punan juga memiliki lembaga adat yang mengurus urusan adat di mana ketua adat memiliki tugas dan fungsi terkait dengan sengketa adat dan ritual adat. Mereka menerapkan prinsip musyawarah mufakat dalam proses-proses pengambilan keputusan. Pratek-praktek ritual masih berjalan sesuai aturan adat, terutama mengenai penetapan waktu penyelenggaraannya. Contoh lain dari aturan yang masih mengacu pada aturan adat, adalah penerapan denda adat berupa tempayan atau guci.

gucci

Kepala Adat Punan Dulau hanya ada satu dan hanya akan digantikan jika kepala adat yang tengah menjabat meninggal. Biasanya posisi itu akan digantikan oleh keturunan kepala adat itu sendiri. Tetapi setelah mereka dipindahkan ke Desa Punan Dulau yang ditempati sekarang, kepala adat memiliki tingkatan, yaitu kepala adat provinsi, kepala adat kabupaten, kepala adat kecamatan, dan kepala adat desa.

Masyarakat Adat Punan Dulau sampai sekarang menjaga tradisi dan budaya sebagai warisan leluhur. Selain masih menerapkan musyawarah adat dan sanksi adat, ada pula serangkaian upacara adat yang masih tetap dilakukan, antara lain upacara perkawinan, upacara kematian, upacara kelahiran, upacara bercocok tanam, upacara terkait hutan, upacara terkait laut (perikanan), upacara terkait pengelolaan sumber daya alam, upacara pembangunan, dan upacara penyelesaian konflik. Setiap upacara memiliki penamaan dan proses yang unik.

Salah satu bentuk upacara adat yang menarik untuk diulas, adalah tentang upacara adat perkawinan. Proses awal yang dilakukan oleh masyarakat di Punan Dulau dalam melakukan proses perkawinan, yaitu pertama-tama pihak laki bersama keluarga datang kerumah pihak keluarga perempuan dengan membawa tempayan atau guci (belanai) sebanyak 30 buah. Acara ini di disebut dusu‘ bumbung. Pihak perempuan menerima pihak laki-laki dan melakukan namu mekan atau menjamu tamu. Setelah itu, mereka meminta kotos (kepala mahar) dan belanai keluvang (tempayan berluobang). Jika sudah terpenuhi, barulah mereka melakukan pegurungan (ijab-kabul) dengan mengunakan pakaian adat sambil duduk di atas agung (gong). Kedua kaki mempelai menginjak mandau (semacam parang-nya Orang Dayak) sambil mendengar keluarga memberi arahan dan menyuapi pengantin laki-laki dan perempuan. Kemudian pengantin pria dan perempuan meminum pengasih. Pengasih adalah minuman lokal yang merupakan hasil fermentasi ragi, ubi rebus, dan kulit padi yang dicampur rata dan disimpan 20 hari di dalam tempayan. Usai meminum pengasih, lalu mereka menari Tari Tuntung Tubu.

Setelah acara selesai, pengantin laki-laki akan membawa pakaian pribadinya ke kamar perempuan. Sedangkan pengantin perempuan akan membawa bintang (tempat sirih) ke keluarga laki-laki. Barulah pengasih diberikan ke mertua sebagai tanda penghormatan dan membuat kesepakatan kapan pengantin perempuan diantar ke rumah pihak laki-laki. Sebelum perempuan diantar ke rumah besan, laki-laki harus melakukan lak kayu nyuku yang nantinya pihak perempuan akan disambut oleh keluarga laki-laki dengan melakukan pegurungan serta Tari Tuntung Tubu dan minum pengasih. Pengantin perempuan lantas akan mengambil air dengan bumbu piring (bumbu beras) sebagai tanda pertama kalinya datang di rumah mertua yang disebut dengan malak nyaku.

Selain upacara perkawinan, upacara kematian pun memiliki keunikannya sendiri yang sarat akan makna. Pada saat ada yang meninggal, maka acara adat akan dilakukan. Jika yang meninggal telah beragama Islam, umumnya ritual akan diutamakan secara Islam terlebih dulu, barulah ritual adat yang mengacu pada tradisi dan kepercayaan Punan Dulau kemudian dilakukan.

IMG_1909

Ketika terdapat berita kematian, warga secara gotong royong – termasuk mereka dari dusun/desa tetangga – akan memberikan sumbangan, seperti beras, ubi, pengasih, dan lainnya yang dipersiapkan untuk keluarga yang berduka serta sesama warga. Yang Pertama akan dilakukan, adalah keman ting toh (kita makan bersama). Makanan yang dimakan saat ada kematin, berbeda dari yang biasa. Mereka makan arut, yaitu nasi yang dibungkus daun opow dengan lauk berupa daging, ikan, sayur dan lainnya. Setelah keman ting toh, prosesi dilanjutkan dengan tarian adat. Nama tarian yang dimainkan oleh keluarga yang meninggal tanpa pakaian adat, bernama Tari Tarik Gerak Sama. Seperti halnya pada upacara perkawinan, begitu pun pada upacara kematian, para warga ikut minum pengasih secara bersama. Ada ritual khusus yang dilakukan, yakni pebalu atau menjandakan pasangan yang ditinggalkan, lalu ada pula temudung atau pemberitahuan kepala warga yang datang bahwa besok akan dilakukan tari bersama oleh Desa Tetangga. Pemberitahuan tersebut juga dikabarkan kepada Utok (tengkorak kepala) kerena dipercaya akan mengantar roh yang meninggal ke surga untuk langsung dilakukan pemakaman keesokan harinya. Sehingga, Desa tetangga akan melakukan mekey narik (naik tari) di levu‘ aru (rumah panjang) mengunakan pakaian adat lengkap. Sebelum penguburan dilangsungkan, terlebih dulu diawali dengan kum betakan/pencuaian (makanan perpisahan) untuk para penari dari keluarga maupun desa tetangga. Setelah seluruh tahapan dilalui, barulah diakhiri dengan gudok (menari lagi sebagai tanda acara sudah selesai) dan mepah lun (membersikan rumah).

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Hutan yang Bagai Air Susu Ibu (Bg 2)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Sejarah Asal Usul

Punan Dulau di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara adalah sebuah komunitas adat yang menjadi bagian dari Suku Dayak. Luas wilayah adatnya mencapai 22,234 hektar. Ia berbatasan di sebelah utara dengan Desa Mendupo dan Seputuk KTT, sebelah selatan dengan Desa Ujang, timur dengan Desa Bambang, dan barat dengan Desa Mangkuasar di Kabupaten Malinau. Penduduknya berjumlah 70 kepala keluarga. Total keseluruhan sekitar 270 jiwa yang terdiri dari 148 laki-laki dan 122 perempuan.

tari_Dayak

Menurut cerita dari Kepala Provinsi Suku Dayak Punan Dulau, konon Suku Dayak Punan Dulau identik dinamakan Kelompok/Kampung/Tukung Punan. Dulau adalah nama sungai yang bermuara di Limbu. Limbu inilah yang dinamakan Lidung  Dulau, artinya tegilau yaitu air tidak tenang yang selalu berombak kecil. Dulu, Limbu menjadi tempat kelompok Punan yang tinggal di sungai dan berkebun/berladang di gunung-gunung dan perbukitan. Selain mengonsumsi orok nyifung sebagai makanan pokok yang tumbuh di hutan, mereka sehari-hari juga memiliki sumber karbohidrat lain, seperti padai ladang, singkong, pisang, ubi rambat, dan tumbuhan lainnya yang ditanam di sekitar pegunungan.

Sejarah tentang terjadinya Desa Punan Dulau didapatkan dari cerita yang disampaikan oleh Bapak Bungei sebagai Kepala Provinsi Suku Dayak Punan Dulau.

Menurut catatan pada tahun 1870, Masyarakat Adat Punan Dulau terdata memiliki penduduk berjumlah 15 kepala keluarga atau 50 jiwa yang tinggal di permukiman yang dipenuhi dengan lamin-lamin (rumah panjang) di sepanjang alur Sungai Magong atau Meko di Gunung Jolok. Disebut jolok karena di sanalah terdapat kayu jolok yang dipakai menjadi tiang bagi rumah adat Suku Punan.

batas_desa

Pada saat itu, kepemimpinan Punan terbagi ke dalam dua pemimpin di dua wilayah, yaitu alur Sungai Magong atau Meko Kiri dipimpin oleh Aki Tawang dan alur Sungai Magong Kanan dipimpin oleh Aki Ukong tahun 1880-1926. Pergantian kepemimpinan pun lantas berganti seiring dengan berjalannya waktu. Para pemimpin Punan kemudian tidak lagi terpecah menjadi dua, tetapi hanya seorang untuk keseluruhan Punan. Secara berurutan, pemimpin-pemimpin yang pernah menjabat, antara lain Aki Ulok (1927-1850), Aki Lalang (1951-1959), Pembakal Ipah (1960-1969), Pembakal Ibas (1975), Pembakal Pigun (1976-1978), Kepala Desa Unjan (1979-1989), Kepala Desa Bungei (1990-2007), Kepala Desa Kaharuddin (2008-2013), dan Kepala Desa Johan Belun (2013-sekarang). Penamaan pada sebutan pemimpin-pemimpin juga mengalami perubahan, dari sebutan “aki,” berubah menjadi “pembakal,” dan sekarang menjadi “kepala desa.”

Pada tahun 1972, Masyarakat Adat Punan Dulau dipindahkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan dari tempat asal mereka di hulu Sungai Magong ke sebuah kawasan permukiman di Desa Sekatak Buji. Hingga kini, Desa Punan Dulau masih berada di lokasi Desa Sekatak Buji. Pemindahan tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk kelancaran administrasi serta jangkauan atau akses terhadap pelayanan oleh pemerintah penghubung (kecamatan) di Tanjung Palas. Kini, warga Desa Punan Dulau terbagi ke dalam dua RT (RT 01 dan RT 02). Itulah mengapa jika sebelumnya – pada masa penjajahan Belanda dahulu – Desa Punan Dulau dipimpin oleh kapiten atau pembakal kepala suku, kini pemimpin desa menjadi lebih dikenal dengan sebutan kepala kampung atau kepala desa.

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Menemukan Keluarga Baru (Bg 1)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Kami teringat suatu perenungan ketika dalam perjalanan menuju Kalimantan Utara (Kaltara). Bahwa belajar itu tidak tergantung pada bangku sekolah, namun juga kita bisa belajar banyak hal di luar sekolah. Layaknya semua orang itu bisa jadi guru, maka setiap orang bisa jadi adalah sumber pengetahuan. Meski pula tidak selamanya guru selalu benar.

Perjalanan kami ke Kaltara kali ini, adalah mendatangi rumah Suku Dayak Punan Dulau. Tempat yang belum pernah kami kunjungi dan ketahui. Di tengah berbagai kekhawatiran, muncul juga suatu kebanggaan bahwa pada akhirnya kami akan dapat pengalaman untuk bisa belajar banyak hal secara langsung dari kehidupan Masyarakat Adat Punan Dulau yang berada di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kaltara.

Kami menaiki taksi dari bandara menuju Pelabuhan Beringin yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Setelah sampai di pelabuhan, kami melanjutkan perjalanan dengan kapal cepat dari Tarakan ke Sekatak. Mereka biasa menyebutnya dengan speed yang berkecepatan kira-kira 80 km/jam. Mungkin maksudnya adalah speed boat. Melalui speed, perjalanan ke Tarakan kami tempuh selama dua jam.

Tiba di Tarakan, ternyata kami sudah ditunggu oleh keluarga besar Pak Tahing dan warga Punan Dulau. Dengan perasaan senang karena sudah sampai di tempat tujuan, kami pun menaiki levu’ aru (rumah adat Punan yang juga sering disebut dan diartikan sebagai rumah panjang). Kami sebut naik, karena untuk masuk ke dalamnya, kami harus menapaki anak tangga. Kami cukup tertegun karena untuk pertama kalinya kami melihat dan merasakan berada di dalam rumah panjang. Kami di sambut secara adat dengan sajian sirih. Kami perlahan mulai mengambil sehelai daun sirih, kemudian mereka mengajarkan cara menyiapkan sirih yang dioleskan kapur dan bahan-bahan lainnya sebelum siap dilahap.

sirih

Sensasi memakan sirih menjadi pengalaman yang luar biasa bagi kami soal rasa yang tercipta di lidah ketika kami melahap dan mengunyahnya sampai halus. Ada rasa pedas, pahit, dan segala macam yang campur aduk dan sulit kami deskripsikan. Usai menyirih, baru kami berbicara tentang tujuan kedatangan ke Desa Punan Dulau.

Jika ada dari kita yang berpendapat bahwa masyarakat adat itu bodoh, primitif, dan miskin, ternyata itu adalah kesalahan besar. Ketika saya berinteraksi dengan mereka, justru kesan kebalikannya yang saya rasakan tentang mereka. Bahwa sesungguhnya masyarakat adat itu begitu baik, cerdas, dan bijaksana dalam berbudaya dan mengelola wilayah adat, baik dalam hal berladang maupun mengelola hutan adat.  Mereka tidak sembarang dalam berladang dan tidak asal menebang pohon di hutan. Ada serangkaian proses ritual adat yang panjang ketika mereka hendak berladang dan menebang pohon. Masyarakat adat masih memiliki kepercayaan dan memberikan hormat yang tinggi terhadap leluhur dan alam.

Ketika berbincang dengan mereka, saya diberitahu bahwa pesan yang disampaikan melalui ritual kepada leluhur dan alam, akan dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kegagalan dalam segala aktivitas. Ada pemahaman tentang simbol-simbol yang terdapat di alam, seperti pada pohon dan kicau burung. Misalnya saja jika terdengar suara yang indah pada burung dari sebelah kanan, artinya adalah pertanda kebaikan. Sebaliknya, jika terdengar kicau burung yang terdengar sumbang dari sebelah kiri, itu menjadi pertanda buruk.

Masyarakat Adat Punan Dulau mempunyai prinsip hidup yang mereka sebut “hutan adalah air susu ibu.” Hutan telah menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan pakaian, lauk-pauk, dan segala kebutuhan hidup mereka. Masyarakat adat pun menggantungkan sumber penghidupan dari hasil hutan dan kekayaan alam sekitar. Tanpa hutan, maka Orang Punan tidak akan bisa bertahan hidup.

Selama bersama Orang Punan, saya merasa menjadi bagian dari keluarga. Asas kekeluargaan begitu kuat terlihat sebagai bagian dari tradisi yang dimiliki leluhur, salah satunya adalah pada saat penyelenggaraan upacara adat kematian. Tidak hanya Punan Dulau, tradisi tersebut juga dimiliki oleh hampir di seluruh Kabupaten Bulungan. Upacara adat tersebut ditandai dengan tarian dan pesta. Tradisi itulah yang menyatukan mereka dalam hubungan sosial dengan masyarakat lain. Meski meminum minuman beralkohol lokal, namun jangan dibayangkan akan ada orang-orang yang berbuat onar atau keributan. Justru suasana yang emosional semakin terbangun lebih dekat antar-desa. Mereka tertawa, bercerita, dan kita pun ikut minum bersama untuk menunjukan suatu tanda penghormatan. Minuman lokal yang mereka minum terbuat dari bahan alami yang mengandung alkohol, seperti umumnya disebut toak atau ciu. Mereka menyebutnya pengasih – terbuat dari fermentasi ubi kayu yang dicampur dengan lengkuas, daun papaya, dan daun pohon langsat yang dimasukkan ke dalam tempayan atau guci selama periode waktu tertentu. Selain upacara kematian, ada banyak lagi upacara adat yang dilakukan Masyarakat Adat Dayak Punan Dulau dengan kearifan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Selama 20 hari bersama Orang Punan, saya bersama kawan-kawan merasakan betul perhatian tulus yang mereka berikan. Bukan sekadar sebagai tamu, tetapi saya merasa di rumah dalam suasana kekaluargaan. Sungguh pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. Begitu pun dengan mereka yang saya harap juga tak hendak melupakan saya dan kawan-kawan yang pernah tinggal sementara bersama mereka.

Sebelum saya dan kawan saya yang bernama Yosi tiba di Desa Punan Dulau, mereka telah dibertahu perihal kedatangan kami melalui komunikasi dengan handphone. Kami berkontak dengan Sri dan Denny yang tak lain adalah bagian dari BPAN dan AMAN di Kaltara. Mereka pun aktif membangun gerakan masyarakat adat di Desa Punan Dulau. Awalnya, itulah yang membuat saya merasa tenang dan dengan mudah menikmati keindahan alam selama perjalanan di sekitar wilayah adat Orang Punan.

Saya ingat kala itu. Setibanya di sana, kami disambut oleh masyarakat Desa Punan Dulau dengan acara adat di mana warga berkumpul di rumah panjang (limit). Kami tiba saat hari telah sore dan kondisi begitu lelah. Dengan penuh pengertian, dipersilakannya kami untuk beristirahat.

Esoknya, kami mulai melakukan observasi dan diskusi. Kami bertemu dan berkenalan dengan Pak Bungei, Kepala Masyararat Adat Suku Dayak Punan Dulau. Pengetahuan Pak Bungei yang begitu dalam tentang masyarakat adat di sana, membuat kami semakin penasaran dengan Desa Punan Dulau. Ternyata kami baru tahu kalau mereka tak lagi tinggal di wilayah adat leluhur mereka, melainkan wilayah Kecamatan Sekatak Buji.

Tempat yang kami tinggali kala itu bukanlah tempat awal Orang Punan Dulau. Mereka awalnya tinggal di dalam hutan, sebelum kemudian dipindahkan/dibuatkan permukiman baru. Tempat tinggal mereka sekarang pun memang tampak damai dan asri. Tapi ternyata damai itu cuma terlihat dari luar. Banyak warga tidak mempunyai pekerjaan. Tidak ada ladang tersedia karena pemerintah hanya memberi tanah di atas rumah yang didirikan. Ada pemikiran warga yang mengganggu jiwa: antara tetap tinggal di desa atau kembali lagi ke hutan dengan bermacam risiko. Jika mereka kembali ke hutan, anak-anak mereka mungkin tidak dapat melanjutkan sekolah (pendidikan formal). Tetapi jika mereka tetap di desa, tidak pula ada lahan yang menunjang keahlian mereka dalam berladang. Sedangkan setiap bahan untuk pangan sehari-hari kini harus menggunakan uang. Mereka pergi dari hutan pada tahun 1972, dan mereka masih tinggal jauh dari tanah adatnya sampai sekarang.

Pada saat itulah kami pikir permasalahan mungkin itu bisa jadi persoalan buat kami menjalani proses dan meraih tujuan kami. Selain sulit menggali pola hidup mereka yang sebenarnya (berdasarkan seni, agama/kepercayaan, dan budaya asli leluhur), kami tidak bisa melakukan pendokumentasian yang memperkuat cerita masyarakat adat melalui situs-situs sejarah peninggalan Masyarakat Adat Punan Dulau.

Kami pun melakukan musyawarah. Saya dan kawan-kawan memohon agar bisa diantar dan tinggal beberapa hari di wilayah mereka di hulu aliran Sungai Magong. Kami bersepakat untuk berada di sana selama empat hari saja.

Perjalanan tentu tidak mudah. Saya dan kawan-kawan harus menempuh jarak yang menghabiskan waktu sekitar lima jam. Kami menaiki apa yang sebut dengan ketinting didampingi oleh Aki Iwang, Pak Martin, Pak Sodianto, Ibu Sodianto, anak dari Sodianto, dan Sri. Medan dipenuhi dengan bebatuan besar dan tajam di sepanjang aliran sungai. Saya ekstra hati-hati. Tetapi jangan bayangkan saya berada dalam ketegangan yang mengerikan. Meski memerlukan kewaspadaan, tetapi letih seperti sirnah karena perjalanan yang diiringi dengan kicauan burung dan hembusan angin. Pepohonan rindang yang selalu menemani, membuat suasana tak terasa bosan sama sekali. Semuanya terbayar tuntas dengan keindahan panorama ibu pertiwi. Di sanalah kami berkesempatan melihat kuburan para leluhur.

Selama di hulu Sungai Magong, kami mendokumentasikan tempat permukiman lama, makam leluhur, tempat berburu binatang masyarakat adat di Sungai Keong, lokasi perladangan, dan mengenal obat-obat serta makanan masyarakat Punan Dulau.

Tentang makanan sehari-hari dan bagaimana cara mereka mendapatkannya, kami lihat sendiri ketika keesokan hari kami melihat Pak Sodianto yang bersama kami tiba-tiba bergegas pergi dengan parang yang menggantung di pinggang. Kami bertanya hendak ke manakah ia. Ia bilang kalau ia mau melihat pukat (jaring) dan pancing yang dipasang pada malam sebelumnya. Salah satu dari kami pun ikut dengan Pak Sodianto dengan semangat. Perkiraan kami, ikan yang ingin dijaring adalah ikan-ikan kecil yang mungkin seukuran lebar dua jari orang dewasa. Tetapi kami salah besar! Ikan yang dijaring dan dipancing ternyata sebesar lima jari orang dewasa. Dan pagi itu cukup banyak ikan didapatkan. Senyum sumringah terpancar dari raut wajah kami. Sungguh menyenangkan buat kami dapat melihat ikan-ikan besar dan segar yang mudah sekali didapat di sungai itu.

Hasil pancingan dan jaringan tersebut kami jadikan lauk sarapan. Setelah makan, kami pun pergi dengan ketinting lagi untuk menjelajahi tempat tinggal Orang Punan yang dulunya terpisah. Bukti wilayah adat mereka adalah pemakaman yang terdapat di beberapa tempat yang berjauhan. Di sanalah kami menyaksikan betul seperti apa hutan yang sesungguhnya begitu kaya: pepohonan besar dan rotan ada di mana-mana. Bukan hanya ikan yang didapat dengan gampang, tetapi juga ubi, buah, dan tanaman obat yang semuanya tersedia di hutan.

Temuan-temuan kami memperkuat pernyataan bahwa sebelum negara ini ada, sebelumnya telah sejak dulu masyarakat adat berkehidupan dengan aturan adat mereka sekaligus mengelola wilayah adat dengan lestari. Dengan pepohonan yang asri dan potensi sumber daya alam lainnya yang besar di wilayah adat, telah membangun kepercayaan diri Masyarakat Adat Punan Dulau untuk perlahan-lahan pindah kembali ke permukiman awal mereka di hulu sungai.

Dengan keramahtamahan warga Punan Dulau kepada kami, tentu terbersit rasa bersalah dengan pemikiran yang sempat terlintas sejak awal. Tentang stigma yang tidak benar tentang Orang Punan yang kerap dipandang sebagai orang-orang ganas. Kami sempat melihat pada sebuah tulisan pada halaman website menjelaskan bahwa Orang Punan itu memakan orang. Berita kosong itu sempat juga membuat nyali kami menciut pada awalnya. Namun, ternyata semuanya berbanding terbalik. Mereka sungguh termata ramah, baik, dan peduli pada sesama.

Keadaan yang mendorong kami untuk mengikuti pola-pola kehidupan masyarakat adat, sungguh tak terbayangkan, menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Saya belajar ada banyak perbedaan yang patut dihargai dan dihormati, seperti seni dan budaya. Saya merasakan persaudaraan yang kuat. Merekalah keluarga kami selama berada di Kaltara.

Sungguh menjadi tidak penting tentang apa yang terlihat, sebelum benar-benar dirasa. Mereka terlihat damai dengan bagunan yang kokoh, tapi hati teriris. Mereka butuh hutan rimbun sebagai tempat tiggal di mana hutan itu tetap terjaga secara adat yang terangkai secara dahsyat. Mereka pintar dengan hutan dan isinya. Mereka mampu bertahan hidup tanpa harus merusak sesuatu yang indah apa adanya. Betapa sesungguhnya masyarakat adat itu sudah hebat, kalau pun tanpa harus ada tangan pemerintah yang seolah menjadi super hero.

Ketika tiba waktunya kami kami harus berpamitan pulang, mereka pun mengadakan acara perpisahan dengan warga yang dilakukan satu hari satu malam secara adat. Kami memakai pakaian adat, menari, dan – tidak ketinggalan – meminum pengasih yang disusul dengan makan bersama. Betapa kami merasa orang yang sangat di hargai..

Terima kasih Bapak Tahing dan keluarga serta Masyarakat Adat Punan Dulau yang telah membuat kami melihat dan belajar tentang apa yang terjadi serta apa yang berarti. Kalian adalah orang-orang hebat. Kalian menjaga adat dengan sangat baik. Dan itu adalah hal yang paling berharga. Tetaplah berjuang demi leluhur dan kemakmuran. Kalian adalah guru yang sempurna. Semoga dilain waktu kita dapat berjumpa lagi.

 

Masyarakat Adat Nua Nea: Sistem Kelola Wilayah Adat (V)

Sumber kehidupan Masyarakat Maluku pada umumnya bergantung pada hasil hutan dan kebun. Dengan begitu mereka mengolah tanah dan mendapatkan hasil untuk kebutuhan konsumsi harian. Selain memainkan peran ekologis, hutan adat juga menyimpan potensi ekonomi dan sosial-budaya. Melalui hutan, masyarakat adat di Negeri Nua Nea melakukan interaksi-interaksi sosial dan ritual adat.

gotong royong_bangun rumah

Hutan memang terkesan lebih sering diakses oleh kaum lelaki mengingat aktivitas berburu (yahoku) hanya dilakukan oleh lelaki. Setiap marga mempunyai pantangan memakan dan memburu hewan-hewan tertentu. Tetapi bukan berarti hutan tertutup bagi perempuan. Di dalam Komunitas Nuaulu, perempuan memainkan peran strategis dalam tata kelola ladang/kebun. Selain itu, ada pula tradisi aumua, yaitu kegiatan mencari/menangkap ikan di sungai yang dikhususkan bagi kaum perempuan. Tata cara pengambilan ikan disebut saloi.

Istri Bapa Raja Marga Mattoke mengatakan, “Katong Hidop dari Hasil Kebong. Katong pu kebong luas, seng tau lae luas brapa.” (Kami hidup di sini bersumber dari hasil kebun. Kami punya kebun luas sekali, tidak tahu luasnya berapa.)

Beberapa tanaman yang bisa kita jumpai di kebun, antara lain pohon aren, kasbi (singkong), pisang, keladi, patatas (ubi jalar), kelapa, cokelat, pala, nangka, cempedak, langsat, durian, rambutan, pepaya, mangga, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan (kacang panjang, buncis, kacang hijau). Tanaman tersebut sangat berfungsi dalam keseharian warga karena hasil kebunlah yang menyuplai kehidupan warga sebagai sumber bahan pangan pokok (bukan nasi), seperti sagu (papeda), ubi, keladi, dan pisang. Meski tak selalu pasti menjadi makanan pokok, nasi kadang juga dikonsumsi masyarakat. Hanya marga Matoke yang tidak makan nasi. Sementara marga Nahatue tidak bisa makan kacang hijau. Ada pantangan sendiri di masing-masing marga mengenai pantangan-pantangan, termasuk larangan mengonsumsi makanan tertentu.

Dalam hal pengetahuan terkait tata kelola kebun, ada sebutan lokal bernama eunoinisie yang merujuk pada makna berkebun atau mengelola kebun secara tradisional dengan serangkaian tahapan seperti di bawah ini.

  1. Pertama yang dilakukan adalah ahunata, yaitu membersihkan atau membuka lahan dengan cara menebang pohon (rana’ai).
  2. Lalu membersihkan rumput-rumput liar atau disebut auneninisi dengan cara mencabut rumput dan menyapih akar-akar kecil menggunakan jari-jari, namun beberapa warga ada yang menggunakan teknik semprot monota yang artinya semprot rumput.
  3. Setelah membersihkan rumput dan memotong dahan-dahan pohon, dilanjutkan dengan mencangkul dengan teknik memutar.
  4. Kemudian dua sampai tiga hari, kembali ke kebun untuk menanam bibit tanaman kebun. Biasanya yang ditanam di kebun untuk tanaman umur pendek, meliputi jagung (yakong), tomat (tamate), dan lainnya.
  5. Proses panen disebut

 

Beberapa inae (sebutan untuk ibu) atau perempuan adat di negeri Nua Nea menyinggung soal peristiwa kebakaran hutan dan lahan beberapa bulan kemarin di wilayah adat mereka. Kebakaran lahan dalam bahasa Nuaulu disebut usa reinuna aikuna. 

 

Seng tau lae!” Yang artinya “Entahlah tidak tahu,“ ujar inae-inae di kebun ketika ditanya apakah kebakaran kemarin disebabkan oleh kemarau panjang semata atau sengaja dibakar orang/pihak yang tidak bertanggung jawab. Kebakaran menyebabkan sebagian ladang/kebun gagal panen. Tanaman kebun ada pula yang ikut terbakar, sehingga tidak dapat dikonsumsi.

Masyarakat Adat Nuaulu melihat hutan tidak hanya sebagai sumber kehidupan. Hutan adalah warisan leluhur untuk dititipkan kepada anak-cucu mendatang. Bukan hanya hutan dengan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial-budayanya saja, tetapi di dalam hutan ikut tersimpan situs-situs dan ritual adat yang keberlangsungannya bergantung pada pelestarian hutan.

Syahadatul Khair

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish