Terra Livre dan Solidaritas Global

Brasilia, Brazil (27 April 2017) – Saya, Devi Anggraini dan Jhontoni Tarihoran beruntung mewakili AMAN, Perempuan AMAN dan BPAN dalam Acampento Terra Livre (ATL), yakni pertemuan tahunan Masyarakat Adat se-Brazil, yang diadakan selama 1 minggu di Brasilia, di jantung ibukota Brazil. ATL kali ini adalah yang ke-14 kalinya dilaksanakan dan merupakan salah satu yang terbesar, dihadiri oleh 3.300 orang utusan Masyarakat Adat dari lima region besar di Brazil termasuk Amazon. Ribuan anggota komunitas, para tetua, perempuan, generasi muda, anak-anak hingga balita, datang menggunakan bus-bus antar region dan menginap di tenda-tenda yang disiapkan panitia atau yang dibawa sendiri oleh peserta.

Issue penting tahun ini adalah adanya upaya anggota Mahkamah Konstitusi di Brazil (yang juga berfungsi sebagai Mahkamah Agung), untuk melakukan amandemen Konstitusi Brazil, khususnya bagian yang mengakui hak-hak Masyarakat Adat. Di dalam Konstitusi Brazil, ada dua pasal yang secara khusus mengakui hak Masyarakat Adat dan cukup kuat, meskipun implementasinya masih sangat rendah. Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari dua Chamber (Kamar), terpecah. Sebagian mendukung amandemen, sebagian tidak. Masyarakat Adat menengarai ini akibat ulah para lobi-lobi dari proyek-proyek pembanguan raksasa di Brazil yang ingin mengambil alih wilayah-wilayah adat untuk bisnis, termasuk dalih sarana publik.

Lihat juga Brazil indigenous protest over land rights turns violent

Selasa kemarin 3-4000 orang (dengan para pendukung termasuk aktivis-aktivis gerakan sosial di Brazil), melakukan aksi demonstrasi di depan gedung parlemen Brazil yang berakibat bentrokan fisik. Polisi menembak gas air mata dan peluru karet, dibalas dengan desingan anak panah dari para warrior Masyarakat Adat. Empat orang sempat ditahan, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam aksi tersebut, Masyarakat Adat membawa banyak peti mati dan menaruhnya di depan gedung parlemen sebagai protes terhadap pembunuhan puluhan saudara-saudara mereka dalam setahun terakhir, karena mempertahankan wilayah adatnya. Masyarakat Adat menuntut “demarcação ja!” atau menuntut demarkasi dan pengakuan atas wilayah-wilayah adat.

Kami terlibat dalam beberapa diskusi, mendapat kesempatan memperkenalkan AMAN, PA serta BPAN. Dan mengenalkan “AHOY!” serta “HORAS!”

Beberapa hal menarik yang kami amati misalnya, setiap orang yang hadir, sangat bangga dan percaya diri dengan identitasnya sebagai Masyarakat Adat. Hampir semua mengecat tubuh (bagian dari tradisi) dan mengenakan berbagai ornamen bulu burung serta manik-manik. Wilayah yang cenderung panas membuat hampir tidak ada produk tenunan untuk pakaian, karena nyaris semua tidak berpakaian, namun bangga dengan body painting ciri khas mereka. Adat istiadat; tarian, lagu, musik, bahasa, seni perang, seni rupa mereka, masih sangat kental dan kuat. Adanya pemimpin-pemimpin perempuan yang kuat juga menjadi hal menarik lainnya. Buat saya, itu luar biasa. Di Latin Amerika yang kental budaya “laki-laki yang memimpin”, di sini perempuan berperan kuat, meskipun di komunitas-komunitas, perempuan adat masih memperjuangkan hak-haknya.

Masih ada dua hari pertemuan di mana masih akan didiskusikan isu-isu prioritas yang akan menjadi resolusi dan deklarasi penting dari Terra Livre tahun ini. Masih banyak yang mesti kami pelajari, bagaimana organisasi-organisasi di sini bekerja, bagaimana struktur dan keanggotaan, bagaimana sistem komunikasi dan koordinasi, bagaimana proses-proses pengambilan keputusan dll.

Baca juga Brazil indigenous groups clash with police in Brasilia

Yang jelas, persoalan di Brazil dan di Indonesia tiada beda. Perampasan wilayah adat untuk kepentingan bisnis, baik perkebunan, logging dan bendungan raksasa serta kriminalisasi terhadap anggota komunitas terjadi dimana-mana, bahkan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin perlawanan di kampung-kampung. Satukan semangat, bangun solidaritas global!

 

Mina Setra

Indigenous Peoples, Guardians of the Earth

Our life as indigenous peoples along with our customary lands and territories that we own are an interconnected unity. For our survival, we have to build and protect our strong relationship with our lands and territories. Because our lands and territories are the sources of our life and survival, our history, culture, way of life, oral tradition, literacy, belief, art, as well as the source of our livelihoods. We must respect, preserve, mantain and defend our ancestral lands in order to be sustainable for our future generations.

 

As indigenous youth, we testify that:

 

  1. In our costumary lands, there are indigenous institutions which are able to collectively guard the integrity of our collective territories, the nature and harmony within indigeous peoples, including norms and customary laws.
  2. Our customary lands and territories are managed, protected and preserved by our ancestors for thousands of years. The ancestors had developed and enriched customary governance over land use along with its resourches to make sure sustainability of livelihood to be  passed down to the future generation. Our ancestors had promoted justice and equality for common interest and they had dedicated their own life to defend customary land territoty. Accordingly, we are sure that customary land territory is a saving for the future generation.
  3. Land grabbing, violence and criminalization against indigenous peoples and how the government diminishes indigenous communities through suppresions including discriminating laws have lead to the worsening of social, culture, economics and environment of indigenous peoples as well as to the current multidimentional crisis faced by many indigenous communities.
  4. The lack of recognition and protection over indigenous lands have led to massive incidents where indigenous peoples are the main victims.
  5. The crisis faced by indigenous peoples has been exacerbated by the increased number of indigenous youths who have forgotten their local wisdom, as a result of the rapid change of socio-cultural, including the spread of consumerist culture introduced by global market to indigenous communities.
  6. Many of indigenous women and indigenous persons with disabilites experience massive violations within their communities and territories as well as discrimination from the mainstream society. The issues they are currently facing prevent them from participating in broader decision making processes, as well as decision making process within their own communities. This shoud not continue.
  7. The extreme climate change caused natural dissaster including extinction of plants and a number of forest products which affects livelihoods of indigenous peoples. The approach of indigenus peoples to mitigate the climate change in some cases even being labelled as criminal offense.

 

As indigenous youth, we call for:

  1. Return our customary lands and territories, which we inherit from our ancestors.
  2. Provide recognition and protection over indigenous peoples and their costumary lands and territories through law and regulation making at all levels.
  3. Stop criminalization against indigenous peoples who are struggling to defend their customary lands and territories.
  4. If we want the earth to remain adequate for living in the present and the future, support indigenous peoples in managing and protecting their customary lands and territories in accordance to their traditional knowledge.
  5. Increased participation of youth in decision making processes concerning lands and territories and promote the process of knowledge transfer from indigenous elders to the young people.
  6. Preserve the integrity and sustainability of costumary lands and territories and prevent all forms of land grabbing.

 

 

 

 

[Jhontoni Tarihoran]

Pemuda Adat Peringati Hari Bumi

Masyarakat Adat Penjaga Bumi

 

Hidup kami masyarakat adat dan wilayah adat yang kami miliki merupakan satu kesatuan, yang berhubungan satu sama lainnya. Agar hidup tetap hidup kami harus membangun dan menjaga hubungan yang baik dengan wilayah adat dimana kami berada. Karena wilayah adat adalah ruang hidup di dalamnya ada sejarah, budaya, adat-istiadat, tradisi lisan, tulisan, kepercayaan, kesenian, sumber-sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri. Semuanya itu harus itu dihormati, dilestarikan, dipertahankan dan diperjuangkan serta dikembangkan secara berkelanjutan karena hidup masa lalu, saat ini dan mendatang.  

 

Sebagai pemuda-pemudi adat, kami bersaksi:

  1. Bahwa di dalam wilayah adat itu ada kelembagaan adat yang mampu secara kolektif menjaga keutuhan wilayah adat, layanan alam dan harmoni di dalam masyarakat adat, termasuk dengan aturan-aturan dan hukum-hukum adat.
  2. Bahwa wilayah adat dan segala layanan alam yang diberikan telah dikelola, dilindungi dan dilestarikan oleh leluhur kami sepanjang masa. Para leluhur telah mengembangkan dan memperkaya tata kelola adat yang mengatur penggunaan tanah dan sumber daya didalamnya untuk memastikan kesinambungan mata pencaharian yang dapat dilanjutkan ke generasi masa akan datang. Nenek moyang kami telah mendorong keadilan dan kesamaan untuk kepentingan bersama dan mereka telah mengabdikan hidup mereka untuk mempertahankan wilayah adat. Maka kami yakin bahwa wilayah adat adalah pinjaman dari generasi yang akan datang.
  3. Bahwa perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi atas masyarakat adat, dan cara bagaimana penyelenggara negara dan undang-undang negara mendiskriminasi masyarakat adat, sesungguhnya telah membuat kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan masyarakat adat memburuk dan semakin terpuruk, serta menyebabkan krisis multi-dimensi dewasa ini.
  4. Bahwa tidak adanya pengakuan yang tegas dan perlindungan yang nyata oleh pemerintah bahwa wilayah adat adalah miliknya masyarakat adat mengakibatkan rentetan kejadian lain yang membuat masyarakat adat itu selalu menjadi korban.
  5. Bahwa kemelut ini diperparah oleh kearifan-kearifan lokal yang semakin dilupakan akibat dari perubahan sosial budaya yang sangat cepat termasuk merebaknya budaya konsumtif yang diperkenalkan pasar kepada masyarakat adat itu sendiri. Dari generasi ke generasi terasa kearifan lokal semakin tidak lagi dipelihara, padahal kearifan lokal tersebut dapat menjamin hidup masyarakat adat lebih nyaman dari generasi ke generasi.
  6. Bahwa banyak perempuan adat masih mengalami kekerasan di wilayah adatnya maupun diskriminasi di ruang publik. Hal itu telah menyulitkan diri mereka. Membatasi mereka untuk ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan publik maupun pengambilan keputusan dalam masyarakat adat bukanlah kebiasaan yang patut dilanjutkan.
  7. Bahwa perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan bencana alam termasuk yang menghilangkan tanaman-tanaman dan berbagai layanan alam yang menajdi sumber-sumber pemenuhan ekonomi masyarakat adat. Cara masyarakat adat menyesuaikan diri pada iklim yang berubah tidak secepat perubahan iklim yang drastis itu.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=sgDqDJwQXP0[/embedyt]

Sebagai pemuda-pemudi adat kami menyerukan:

  1. Kembalikan wilayah adat warisan leluhur kami.
  2. Berikan perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adat melalui pembentukan hukum dan kebijakan di berbagai tingkatan.
  3. Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang untuk mempertahankan wilayah adat.
  4. Jika ingin bumi ini tetap layak huni pada saat ini dan masa yang akan datang, dukunglah masyarakat adat untuk mengelola dan menjaga wilayah adat sesuai dengan pengetahuan masyarakat adat itu sendiri.
  5. Menghormati dan melindungi wilayah adat artinya melindungi masyarakat adat serta menjaga bumi untuk semua mahluk.
  6. Pemuda-pemudi adat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas wilayah adat serta diberikan ruang khusus untuk mendorong keterlibatan pemuda dalam pengambilan keputusan serta transfer pengetahuan dari para tetua kepada generasi muda.
  7. Pertahankan keutuhan dan kelestarian wilayah adat dari segala bentuk pengambilalihan dan penguasaan oleh pihak dalam maupun luar mana pun.

[Jhontoni Tarihoran]

Masyarakat Mendesak Polda Papua Mengusut Kasus Korupsi Bupati Raja Ampat

Manokwari Papua Barat, 11/04/2017. Sejumlah mahasiswa, pemuda adat, dan Masyarakat Kabupaten Raja Ampat mendatangi kantor Polda Papua Barat.

 

Aksi berjalan menuju Polda Papua Barat. Salah satu mahasiswa asal Kabupaten Raja Ampat Hugo Hasro mengantakan bawha bupati Raja Ampat makan “uang surga” di Papua. 

 

“Jika kita bicara Papua, bicara raja adalah bicara emas yang dijaga. Bicara Timika adalah emas yang diambil, sehinga kami meminta kepada pihak berwajib, untuk segera tuntaskan/usut kasus korupsi, dan kemudian, kami meminta kepada pihak berwajib untuk, harus menegakkan satu informasi hukum yang demikian melindungi dan mengakui hak-hak dasar masyarakat Raja Ampat,” ujarnya.

 

Sehingga surga kami tidak lagi, sudah dikuasai kapitalisme dan investor asing, sehingga kami meminta kepada Polda Papua Barat dan Komisi Pemilihan Umum untuk menuntaskan kapitalisme demokrasi yang ada di Kabupaten Raja Ampat.

 

Kami mahasiswa Raja Ampat senusantara meminta kepada Polda Papua Barat agar segera mengecek bupati Raja Ampat atas tersangka dugaan kasus korupsi APBD Kabupaten Raja Ampat sebesar 1 miliar rupiah. Pasalnya telah terjadi penyimpangan, penyalagunaan dana APBD 2016, dan kami masyarakat kabupaten Raja Ampat beranggapan bahwa itu satu permasalahan besar yang perlu dituntaskan pihak berwajib.

 

Penyampaian aspirasi mahasiswa Raja Ampat kepada Polda Papua Barat agar segera mengusut kasus kerusakan terumbu karang di awal Maret 2017.

 

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

 

Selain itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Dasar Hukum :

 

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kami atas nama masyarakat Kabupaten Raja Ampat menyatakan dengan tegas kapada Polda Papua Barat agar segera memeriksa  bupati Kabupaten Raja Ampat, tersangka kasus korupsi APBD 2016 sebesar dua puluh miliar (Rp. 20.000.000.000,-) yang belum dibayar kepada masyarakat, dan perlu ada tindak pidana umum yang ditetapkan pihak yang berwenang.

 

Demikian surat pernyataan ini kami buat, atas nama masyarakat Kabuapten Raja Ampat sebagai salah satu  syarat untuk mengikuti Seleksi Terbuka Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kabupaten Raja Ampat.

 

Berdasarkan Mosi Tidak Percaya Amandemen UU 2002. Dengan akal dan pikiran yang sehat dan sempurna serta tidak ada ketegangan dan paksaan dari siapa pun juga, kami menyatakan bahwa:

  1. Kami masyarakat Kabupaten Raja Ampat meminta kepada bapak Kapolda Papua Barat agar segera memeriksa bupati Raja Ampat atas penyalagunaan kewenangan di wilayah pemerintah kabupaten Raja Ampat.
  2. Kami masyarakat Kabupaten Raja Ampat meminta bapak Kapolda Papua Barat segera memeriksa bupati Raja Ampat atas ketidakadilan membatalkan pengawai, pengangkatan honor putra asli Raja Ampat untuk menjadi pegawai negeri sipil di Kabuapten Raja Ampat.
  3. Kami masyarakat Kabupaten Raja Ampat tidak mengakui bupati Raja Ampat karena bupati bukan orang asli Papua.

Penyataan sikap dan sejumlah data tersebut diterima Polda Papua Barat, dalam hal ini diwakili langsung  Bapak  I Nyoman Suastra, Komisaris Besar Polisi Polda Papua Barat. Katanya akan mempelajari lebih lanjut kalau memang itu terdapat  unsur melawan hukum dalam berkas-berkas yang sudah disampaikan kepada kita, tentu dan pasti wajib hukumnya bagi kita, aparat penegak hukum, untuk melakukan proses hukum.

 

“Kemudian terkait tadi ada satu poin itu yang disampaikan oleh ibu dan juga adik mahasiswa tadi, terkait penenyelidikan kasus pemerusakan terumbu karang, Polda Papua Barat sudah melangkah jauh. Saksis-saksi sudah diperiksa semua, tinggal menungu saja,” katanya.

    

Apa yang akan dilakukan berikutnya, proses situ sudah berjalan tidak perlu hawatir, semuanya terbuka tidak ada yang di tutup-tutupi, demikian.  Harapan saya semua penyataan sikap hal-hal yang perlu di sampaikan sudah kita terima tentu ada ranah kewenangan, kalau ini memang ranah kewenangan Polda Papua Barat, pasti kita akan tidak lanjuti, tetapi tentu di sini juga pasti terdapat beberapa hal yang bukan ranah kewenangan Polda Papua Barat. Tentu nanti kita akan salurkan kepada pihak-pihak pemerintah.

*** Achel Ulimpa***

Sambutan Sekjen AMAN Pembakar Semangat Peserta KMAN V

Tanjung Gusta, 17 Maret 2017—Selain anggota AMAN, pada saat pembukaan Kongres Masyarakat Adat V (#KMANV) turut hadir perwakilan dari Pemerintah Indonesia Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, anggota KOMNAS HAM Sandrayati Moniaga, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) H Tengku Erry Nuradi, dan juga pemimpin adat se-Asia.

Dalam sambutan pertama dari Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengulas kembali sedikit pengalaman atas perjuangan yang dialaminya selama ini. Seperti saat memperjuangkan tanah adat Rakyat Penunggu Tanjung Gusta yang sekaligus ditempati kongres tersebut.

“Dulunya tanah (wilayah adat rakyat penunggu Tanjung Gusta) ini penuh darah dan air mata, itulah sebab Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke- 5 diadakan di sini agar kita merenungi kembali masa lalu yang kelam,” teriaknya.

Menurutnya, tidak ada yang lebih pandai menjaga wilayah serta melestarikan hutan selain Masyarakat Adat itu sendiri. Ia juga mengingatkan pesan dari pendahulunya yaitu tokoh BPRPI Almarhum Afnawi Nuh bahwa adalah haram bagi masyarakat adat mengakui yang bukan haknya. “Tapi kenyataan sekarang justru banyak orang yang mengaku dirinya masyarakat adat, sekalipun bukan dari masyarakat adat, dan mengakui yang bukan haknya” sambungnya.

Abdon juga menyampaikan bahwa selama ini pesan tersebut telah menjadi panduan gerakan AMAN kemudian diterjemahkan maknanya sehingga tercipta hymne AMAN. Meskipun masyarakat adat selalu melakukan aksi demonstrasi dengan meneriakkan kemerdekaan, bukan berarti melakukan gerakan separatis atau ingin merdeka sendiri. Selama ini masyarakat adat memang belum diterima atau diakui sepenuhnya di negeri ini.

“Hari ini adalah hari kebangkitan masyarakat adat dan semoga tidak ada lagi konfrontasi setelah kongres ini, karena kami masyarakat adat menaruh kepercayaan pada Jokowi. Semoga nawacitanya yaitu mengakui dan melindungi kami dalam bentuk undang-undang segera disahkan,” harapnya dengan penuh semangat dan disusul antusias tepuk tangan para peserta memeriahkan ruangan.

Gubernur Sumatera Utara H Tengku Erry Nuradi pun menegaskan dalam sambutannya  bahwa tanpa masyarakat adat tidak akan mampu mencapai apa yang diimpikan dalam bernegara. Apresiasi dan dukunganya terhadap masyarakat adat disampaikan dengan nada tegas di atas panggung disaksikan oleh ribuan peserta dan para tamu undangan.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan berkomitmen untuk membuatkan akta kepemilikan lahan kepada Masyarakat Adat di Tanjung Gusta. Dan kami akan memulai dari bawah,” janjinya.

Burhanudin

KMANV: Konsistensi dan Kreativitas Demi Memperjuangkan Warisan Leluhur

Tanjung Gusta, 17 Maret 2017—Sarasehan Kepemimpinan Generasi Penerus Masyarakat Adat pada Kamis (16/03) dihadiri narasumber Eliza Kissya (68) dari Pulau Haruku. Eliza yang terkenal sebagai penyair banyak menceritakan pengalamannya soal memperjuangkan hak Masyarakat Adat, serta terus mengajak untuk menjaga ekosistem laut lewat syair dan pantunnya. Baginya pantun atau puisi adalah senjata paling ampuh untuk membangkitkan semangat juang bagi Masyarakat Adat.

Salah satu pantunnya:

Ke sekolah naik bus kota

Guru kelasku Pak Hartono

Sudah merantau keluar kota

Kearifan lokal jangan dianggap kuno

 

Menurutnya, sebagai masyarakat adat harus memulai dari hal-hal kecil untuk menyelamatkan lingkungan. “Saya memulai dari hal-hal kecil menciptakan kreativitas. Menanam bakau, menyelamatkan penyu, dan berbagai ekosistem laut lainnya. Saya juga memotivasi melalui pantun,” ungkapnya dengan suara yang keras menandakan semangatnya yang tak termakan usia.

Sehubungan dengan perjuangannya terhadap lingkungan, ia juga banyak bercerita mengenai kondisi sosial masyarakat adat di wilayahnya yang masih kuat memegang nilai-nilai kearifan dan hukumnya. “Di komunitas adat saya sekali seminggu diadakan rapat pertemuan (musyawarah adat), bila ada yang tidak hadir maka akan dijemput paksa,” tegasnya.

Berlangsung kurang lebih tiga puluh menit, pertemuan ini juga diselingi diskusi-diskusi kepemudaan. “Menjadi pemimpin harus bijaksana,” sepatah kalimat motivasi Eliza menutup pembicaraannya.

Disambung oleh pembicara selanjutnya, Sekretaris Jenderal Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Medan Alfi Syahri. Mengulas kembali pengalamannya saat memperjuangkan kampungnya dari klaim perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit.

Kampungnya diklaim perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit di Tanjung Gusta. “Sarapan pagi kami dulunya adalah rumah sakit. Karena setiap pagi saat berkumpul kami selalu dikepung dan dipukuli oleh militer di era orde baru,” pungkasnya.

Ia juga menyampaikan beberapa poin penting untuk tetap konsisten dalam perjuangan sehingga mampu mempertahankan wilayah adat.

Menurutnya sejarah sangat penting. “Kenapa kita bertahan? Karena kita punya sejarah. Seperti Sukarno ia juga mengakui pentingnya sejarah. Jangan pernah melupakan sejarah dan sampaikanlah sejarah kita pada generasi selanjutnya,” harapnya kepada generasi muda yang ikut hadir dalam kegiatan tersebut.

Selain itu ia juga mengharapkan agar pemuda tetap bersemangat, bersatu memperjuangkan haknya. Ia berharap pemuda tetap konsisten melakukan kaderisasi dan berjuang mempertahankan wilayah atas segala yang dimilikinya sebagai titipan dari leluhur.

Burhanuddin

Pemutaran Film Dokumenter dari Berbagai Negara Ikut Ramaikan KMANV

Di sela-sela Kongres Masyarakat Adat Nusantara V (#KMANV) Indonesia Nature Film Society (INFIS), Life Mosaic, dan If Not Us Then Who melakukan pemutaran film dan diskusi terkait kondisi masyarakat adat. Baik masyarakat adat yang ada di Indonesia maupun masyarakat adat di Amerika Latin.

Pada hari Sabtu (18/03) mereka memutar film dokumenter Long Sa’an yang dibuat oleh David Metcalf dan beberapa film yang dibuat oleh lembaga-lembaga adat dari Amerika Latin. Puluhan peserta hadir untuk menyaksikan film-film dokumenter yang diputar. Bertempat di Balai Adat Tanjung Gusta, Deli Serdang, Medan, film pertama menayangkan tentang perjuangan Masyarakat Adat Guna Yala, Panama. Mereka mengelola lahannya secara turun-temurun namun saat ini negara tiba-tiba mengklaim wilayah adatnya lalu memberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Akibatnya mereka menjadi miskin dan tersingkir dari wilayah adatnya.

Selain itu, film tersebut juga menceritakan solidaritas Masyarakat Adat Guna Yala yang menjaga wilayah adat sebanyak 366 pulau terutama lautnya. Bersatu menjaga kebersihan lautnya dan tidak membiarkan sembarangan kapal untuk masuk. Bagi mereka kapal-kapal asing kadang hanya datang merusak, membuang sampah sembarangan di laut tanpa mempedulikan ekosistem laut yang berkelanjutan.

Film lainnya menceritakan kondisi sosial ekonomi masyarakat adat di Spanyol yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan. Tidak menebang pohon besar karena baginya itu adalah sumber air untuk kehidupan. Selain kearifan menjaga hutan, juga memiliki nilai seni yang kuat. Bahkan mereka masih mampu bertahan hidup meskipun mendapat tekanan dan intervensi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan atas wilayah adatnya.

Setelah pemutaran Film dilakukan diskusi dengan beberapa ketua masyarakat adat Amerika Latin yang hadir. Salah satunya adalah Yoan Pravia dari Honduras menyampaikan maksud kedatangannya ke Medan dalam kegiatan KMANV. Selain untuk bersilaturahmi juga untuk mendiskusikan isu masyarakat adat dunia dengan memutarkan beberapa film-film dokumenter yang mereka buat. Harapannya melalui film ini mereka bisa membangun solidaritas masyarakat adat dunia. Pravia menjelaskan kondisi Masyarakat Adat di komunitasnya yang sama dengan apa yang dialami Masyarakat Adat Indonesia.

“Masyarakat Adat di Indonesia juga mengalami penindasan, itulah yang membuat saya datang pada kongres ini. Karena saya merasa senasib sepenanggungan” ungkapnya pada sesi tanya jawab.

Prabia juga mengulas pengalamanya selama bertahun-tahun memperjuangkan wilayahnya. Disingkirkan dari wilayah adatnya, ditembaki dan bahkan adapula yang dibunuh. “Kami sudah mendapatkan pengakuan atas wilayah adat kami, tapi sayangnya wilayah kami tidak seperti dulu lagi, banyak yang telah hilang tergusur oleh pemerintah” tambahnya.

Film dokumenter Masyarakat Adat Dayak Long Sa’an di Kalimantan Utara menjadi film penutup. Film yang berdurasi selama 60 menit ini menceritakan kehidupan Philius dan suku lainnya di Long Sa’an mulai tahun 1950 hingga 2015.

“Film tersebut sengaja saya putar perdana pada KMANV agar masyarakat adat termotivasi untuk memperjuangkan wilayahnya dan mendokumentasikan segala kearifan lokalnya agar tetap abadi” ungkap David Metcalf.

David yang merupakan fotografer profesional ikut hadir KMANV hanya untuk bisa memutarkan film Long Sa’an yang baru selesai diedit. Rencananya setelah pemutaran perdana di KMANV, film ini akan diputar di Kalimantan Utara di lokasi di mana film tersebut dibuat. Kegiatan pemutaran film dan diskusi degan para pembuat filmya berlangsung hingga pukul 07.00 WIB. Pada saat sesi penutupan David memberikan beberapa foto-foto karyanya selama di Long Sa’an.

Burhanuddin

Sudahkah Nelayan Sejahtera?

Catatan Hari Nelayan Nasional 6 April 2017: hari ini diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional yang ke 57, namun nasib para nelayan kini belum menunjukkan tanda-tanda kearah kesejahteraan.

Nasib para nelayan masih berada dalam skema kemiskinan struktural, itu terlihat dari meluasnya perampasan wilayah pesisir yang menjadi tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Contoh perampasan ruang wilayah kelola para nelayan tersebut adalah dengan maraknya aksi reklamasi yang didorong pihak-pihak tertentu. Selain itu, kebijakan penetapan 10 Kawasan Strategis Pariwisara Nasional (KSPN) adalah gaya baru perampasan ruang wilayah kelola para nelayan.

Perampasan ruang yang meluas oleh sejumlah pihak tersebut, sangat mempengaruhi kesejahteraan para nelayan. Karena situasi tersebut dapat mempengaruhi kondisi sosiologis nelayan dalam beraktivitas di wilayah pesisir ruang kelola mereka.

Selain 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, data PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman (disadur dari berbagai sumber), terdapat 25 kawasan pesisir yang direklamasi, secara kumulatif telah menggeser sedikitnya 13.433 nelayan dengan melibatkan 18.151 KK dari wilayah kelolanya.

Akibatnya para nelayan tersebut dipaksa mencari mata pencaharian lain di luar tradisi melaut yang telah ratusan tahun mereka lakoni. Di balik alih fungsi mata pencaharian tersebut, ironisnya adalah adanya peran negara yang diketahui ikut mendukung program pergeseran para nelayan tersebut.

Sejumlah fakta di atas telah menegaskan bahwa perampasan ruang wilayah kelola para nelayan telah terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif yang sulit untuk dibatasi karena adanya dukungan yang secara langsung oleh negara.

Kiranya melalui momentum Hari Nelayan kali ini mestinya dijadikan sebagai tonggak penting untuk memulai mensejahterahkan para nelayan, karena nelayan memegang peranan penting dalam mengelola wilayah perairan nasional. Berdasarkan catatan Badan Informasi Geospasial, dua pertiga wilayah laut Indonesia terdiri dari 13.466 pulau dan mencapai luas laut keseluruhan 5,8 juta km². Dengan luas wilayah lautan seperti itu, potensi perikanan yang ada di dalamnya mencapai 6,5 juta ton.

Dengan demikian yang harus segera dilakukan adalah:

  1. Menghentikan seluruh proyek perampasan ruang dengan meninjau ulang kebijakan penetapan 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Menghentikan proyek-proyek reklamasi agar dapat memastikan hak-hak konstitusional nelayan terutama nelayan tradisional
  2. Serius dan bersungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan para nelayan dengan tidak menjadikan setiap kebijakan mengunakan logika pencitraan.

 

Mahyudin Rumata

Ketua PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman

Siti Nurbaya Resmi Buka Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima

Maret 19, 2017

Mewakili Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membuka Kongres Masyarakat Adat Nusantara V (#KMANV) di Kampong Tanjung Gusta, Sumatera Utara, Jumat (17/03). Dalam sambutannya kepada seluruh peserta yang hadir, ia menuturkan bahwa pengakuan masyarakat yang dilakukan Desember tahun lalu oleh Presiden adalah proses yang panjang.

“Pengakuan ini adalah rangkaian dari perhutanan sosial yang telah diputuskan Rakernas yang dipimpin Presiden Jokowi. Saya tahu persis proses ini,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut Siti juga menambahkan bahwa wilayah adat yang di luar kawasan hutan sedang terus didiskusikan dan dibahas di Kantor Staf Presiden (KSP) yang harus berkoordinasi dengan banyak Kementerian serta proses artikulasi dan verifikasi wilayah adat yang terus berlangsung. Harapannya, seluruh pihak bisa bersama-sama mengatasi permasalahan ini karena telah menjadi tugas pemerintah untuk aktualisasi masyarakat adat dan perhutanan sosial.

Selain mewakili Presiden Jokowi dalam membuka kegiatan tersebut, ia juga membawakan pesannya mengenai masyarakat adat, bahwa Jokowi sudah berkomitmen mendukung Masyarakat Adat Nusantara. Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat adalah langkah awal negara dalam bentuk implementasi dari konstitusi.

“Segala kendala akan terasa mudah bila kita menghadapi bersama, menindaklanjuti dan mengidentifikasi wilayah adat, mengembangkan perekonomian masyarakat adat serta mengatasi masalah proses hukum yang pernah terjadi di masa lalu,” ujarnya.

Ia menampakkan dukungannya kepada masyarakat adat dengan berbagai pesan yang disampaikan, serta ajakannya untuk terus mengidentifikasi wilayah adat.

“Langkah-langkah dan proses pengakuan masyarakat adat tidak perlu diragukan lagi,” katanya.

Selain itu, Siti juga menambahkan bahwa dia sudah meminta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memperbaharui peta-peta kawasan hutan Indonesia dan memberikan tanda kawasan hutan adat di Nusantara.

“Pemerintah sekarang ini di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi adalah pemerintah yang memberikan solusi dan memberikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat kita,” tegasnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi yang dijadwalkan hadir pada Jumat (17/03) untuk membuka KMAN V namun batal hadir. Beliau diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Meski banyak peserta yang kecewa, namun kedatangan keduanya tetap mendapat sambutan yang meriah.

Fernando Manurung

Wujud Implementasi Reforma Agraria

Secara garis besar ada dua model reforma agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu Redistribusi Tanah dan Perhutanan Sosial. Namun demikian reforma agraria yang dimaksud bukanlah hanya urusan pemerintah semata. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan reforma agraria sangat penting.

Hal itu disampaikan Budiman Sudjatmiko dalam diskusi Reforma Agraria; Kepentingan Kesejahteraan Rakyat dan Kedaulatan Bangsa pada kegiatan Desiminasi pengetahuan dan diskusi reguler PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman, Jumat, 31 Maret 2017 di Lantai II Sekretariat PB HMI Jalan Sultan Agung No. 25 A Jakarta Selatan.

“Reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi tanah. Bukan juga sekadar persoalan mengatasi kesenjangan ekonomi apalagi sekadar mengatasi kemiskinan. Jauh lebih penting adalah reforma agraria punya tujuan yang transformatif untuk melahirkan, mengubah kaum tani yang lapar tanah menjadi pekerja dan enterprenuer dari tanah itu sendiri,” tegas Budiman.

Sementara itu menurut Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran yang turut memberi tanggapan dalam pertemuan ini menyatakan bahwa konflik tanah masih banyak terjadi di wilayah-wilayah adat. Masalah tata batas kepemilikan tanah masih menjadi polemik di lapangan.

“Tanah-tanah mana yang akan dibagikan pemerintah terkait dengan reforma agraria? Karena kita ketahui saat ini masih banyak persoalan tentang batas kepemilikan dan penguasaan akan tanah. Sehingga banyak terjadi konflik secara khusus di wilayah-wilayah adat,” katanya.

Hingga saat ini konflik pertanahan masih saja terjadi di berbagai penjuru nusantara. Konflik yang berkepanjangan membuat tidak adanya kepastian bagi masyarakat yang selalu berhubungan dengan pemenuhan hidupnya. Penataan batas-batas kepemilikan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi masyarakat atas wilayah berpotensi menimbulkan konflik. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab ketimpangan atas kepemilikan atau pengelolaan tanah yang menyebabkan kemiskinan.

Budiman, anggota DPR RI Komisi II itu menambahkan bahwa yang namanya konflik tanah jauh lebih pelik. Perjuangan atas tanah tak jarang sampai berdarah-darah. Tanah adalah alat produksi paling dasar, terutama bagi masyarakat adat dan atau petani.

“Di mana-mana yang namanya konflik tanah itu jauh lebih berdarah. Reforma agraria berbicara soal teritori, spasial dari kacamata kaum yang paling tidak mendapatkan apa-apa selama ribuan tahun ini. Di sinilah konteksnya, di sinilah revolusionernya, di sinilah progresifnya, di sinilah transformatifnya kalau itu diserahkan,” tegasnya.

Narasumber dari Kantor Staf Presiden (KSP) Roysepta Abimanyu mengatakan bahwa dalam pelaksanaan reforma agraria, negara tidak akan mengambil lahan yang tidak bermasalah secara administrasi. Dengan demikian pemetaan sangat penting untuk menghindari saling klaim atas kepemilikan tanah.

“Dalam penerapan reforma agraria, negara tidak akan mengambil tanah-tanah HGU, Izin dan lain-lain yang tidak bermasalah secara administrasi. Tanah yang menjadi objek reforma agraria adalah tanah dengan HGU/HGB yang telah habis, tanah timbul, tanah terlantar, HGU melampaui batas legal. Maka pemetaan menjadi salah satu yang utama untuk memastikan bahwa lahan tidak ada lagi saling klaim,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Eko Cahyono menghawatirkan reforma agraria yang mau dipraktikkan tersebut. Ia juga menegaskan bahwa saat ini reforma agaria tidak ramah investasi. Hal itu disampaikan menyikapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang akan melaksanakan seminar dengan judul Agraria yang Ramah Investasi.

“Reforma agaria juga bukan soal tanah, namun tentang ruang hidup,” ujarnya.

Lebih lanjut dia tegaskan kalau reforma agraria itu amat konstitusional dan warisan founding fathers. Kita sudahilah bicara agraria melulu soal tanah. Tidak pernah merujuk agraria itu hanya sekadar tanah, reforma agraria juga bicara soal lingkungan hidup”.

Diskusi difasilitasi Mahyudin Rumata dan dimoderatori Departemen Bidang Agraria dan Kemaritiman PB HMI Dipo Suryo Wijoyo. Diskusi berlangsung dari pukul 14:00 sampai 17:30.

 

 

Jakob Siringoringo

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish