Ditulis oleh Novi Yanti (BPAN Kutei Lubuk Kembang)
Rapat Kerja Nasional AMAN yang Ke VII jauh-jauh hari sudah ditetapkan, bahwah pengurus AMAN Wilayah Bengkulu menjadi tuan rumah dalam perhelatan akbar yang diselenggarakan per lima tahun sekali ini. Rapat Kerja Nasional AMAN yang ke VII juga dihadiri oleh Michelin Sallata selaku Ketua Umum Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara sebagai peninjau. Sebagai salah satu organisasi sayap AMAN, para pemuda-pemuda adat yang tergabung didalam BPAN “Barisan Pemuda Adat Nusantara” baik Pengurus Nasional, Wilayah, dan Daerah berjibaku turut serta menyukseskan RAKERNAS AMAN ke VII. Para pemuda-pemuda adat baik dari Taneak Jang, Tanah Serawai, Enggano, Rejang Lebong, dan Kaur saling bahu membahu berkerja sama sebagai tanggung jawab terhadap sebuah organisasi untuk tegak dan berdirinya kemandirian masyarakat adat.
Dikutip dari Keterangan Sulas Tri yang biasa disapa dengan “Cicik” yang mrupakan Ketua BPAN Daerah Taneak Jang, “Beberapa bulan yang lalu kita sudah melakukan pelatihan Jurnalistik”, ungkapnya. Kegiatan pelatihan tersebut dimaksud bagaimana kami bisa mengemas sebuah pemberitaan yang bagus untuk memberitaka kegiatan RAKERNAS yang akan dilakukan.. Pelatihan Jurnalistik bagi mayarakat adat ini dilaksanakan oleh Direktorat Infokom PB AMAN sebelum RAKERNAS VII dilaksanakan dan melibatkan mayoritas pemuda adat sebagai pesertanya.
Rangkaian kegiatan RAKERNAS yang akan dilaksanakan di Kutei Lubuk Kembang diawali dengan Kirab Budaya, Dialog Umum, Malam Budaya, serta kegiatan Dzikir Akbar dalam menyambut bulan puasa 1444 Hijriah. Salah satu anggota BPAN Kutei Lubuk Kembang, Novi, mengungkapkan “Sebagai Pemuda Adat Kutei Lubuk Kembang kami merasa bangga dan sangat senang ketika kampung kami dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan”. Kemudian disambung oleh teman sejawat saudari Novi Erli Purwasi, “Kami akan berusaha semaksimal mungkin, bagaimana kegiatan ini dapat terlaksana dengan sebaik-sebaiknya salah-satu tugas kami yang dipercaya adalah menyiapkan penginapan peserta RAKERNAS dan kebutuhan lain sebagainya”.
Endang Setyawan selaku ketua BPAN Wilayah Bengkulu juga menyampaikan rasa bersyukur dan sukacita bisa bertemu dengan perwakilan masyarakat adat se-Nusantara dalam perhelata ini. “Selamat datang di Bumi Raflesia Provinsi Bengkulu, semoga RAKERNAS yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik dan menghasilkan keputusan-keputusan yang strategis lima tahun mendatang”, Ungkap Endang.
RAKERNAS AMAN adalah salah satu dari beberapa rapat-rapat pengambilan keputusan tertinggi di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Sesuai dengan hasil keputusan RAKERNAS VII AMAN di Kutei Lubuk Kembang, RAKERNAS VIII AMAN berikutnya akan dilaksanakan di Kalimantan Timur pada tahun 2025.
“I Yayat U Santi,” ucap Rukka Sombolinggi dengan lantang.
Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) membuka sesi sambutannya pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2021 dengan mengucapkan kalimat tersebut.
Secara harafiah, I Yayat U Santi berarti “Angkat dan acung-acungkanlah pedang (mu)”. Pekikan atau seruan khas ini berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Seruan ini banyak sekali dipekikkan dalam tarian Kawasaran. Seruan I Yayat U Santi memiliki fungsi dan arti yang penting bagi orang Minahasa. Seperti ditulis oleh budayawan Minahasa, Pdt. Dr. W.A. Roeroe dalam buku Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa, ungkapan ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia mengandung juga seruan supaya gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur. Seruan “I Yayat U Santi!” disambut dan harus dibalas dengan jawaban atau pekikan: ‘Uhuy’ yang berarti Setuju, demikian halnya ! Sorakan “Uhuuy!”, menurut Roeroe bermakna ‘Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita’.
Pekikan Rukka itu langsung disambut dengan sorakan oleh dua pembawa acara HIMAS 2021, Rikson Karundeng dan Nedine Sulu yang berasal dari Minahasa.
“Uhuuy”.
Sebelum sambutan Sekjen AMAN, acara diawali dengan Ritual Hoho, dari Bawomataluo, Nias Selatan. Ritual ini biasanya dilaksanakan sebelum musyawarah komunitas dan hanya dilakukan tetua adat.
HIMAS di Tengah Pandemi
Peringatan HIMAS menjadi salah satu agenda besar yang selalu dilakukan AMAN setiap tahun. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan AMAN secara luring, namun karena pandemi covid-19 yang menyerang awal tahun 2020, HIMAS mulai dilaksanakan secara daring.
HIMAS 2021 diperingati AMAN bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada Senin, 9 Agustus 2021. Sejak tahun lalu hingga kini, HIMAS diselenggarakan secara daring, melalui Aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui akun Facebook dan Youtube milik AMAN. Peringatan HIMAS tahun ini diisi dengan sarasehan dan Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara, dengan tema: ‘Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi’.
Acara sarasehan membahas berbagai aspek tentang kebudayaan Masyarakat Adat dan hubungannya dengan upaya perlindungan bumi. Bagaimana kebudayaan Masyarakat Adat menjadi media perlawanan untuk melindungi wilayah adat dan alam semesta. Sementara, Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara menampilkan pertunjukan budaya dari berbagai komunitas adat di Nusantara, antara lain: seni tari perang dari berbagai wilayah, musik/nyanyian, silat, ritual-ritual, dll.
Sejarah Singkat HIMAS
Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) atau International Day of the World’s Indigenous Peoples diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 9 Agustus. HIMAS pertama kali ditetapkan oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 23 Desember 1994. Keputusan ini tertuang dalam Resolusi PBB No. 49/214. Tanggal 9 Agustus dipilih untuk mengingat pertemuan perdana Kelompok Kerja PBB tentang Masyarakat Adat di tahun 1982. Pertemuan ini dianggap bersejarah karena menjadi momentum internasional di mana isu mengenai Masyarakat Adat mulai dibahas secara serius dan terbuka. Kemudian buah lain dari perjuangan itu pada tanggal 13 September 2007, PBB mengesahkan deklarasi tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, disingkat UNDRIP. Peringatan ini juga diperingati AMAN setiap tahunnya.
Sejarah HIMAS dalam Gambar. Sumber: AMAN
AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat terbesar di dunia yang terbentuk tahun 1999, secara rutin merayakan HIMAS setiap tahun. Seperti ditulis AMAN dalam pemberitaannya, HIMAS secara umum ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia. Perayaan HIMAS juga didedikasikan untuk mengingat pencapaian dan sumbangsih Masyarakat Adat untuk dunia yang lebih baik. Termasuk di soal pelestarian lingkungan dan warisan tradisi lokal yang memperkaya ilmu pengetahuan. Selain HIMAS, perayaan besar lain bagi Masyarakat Adat di nusantara yaitu Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) yang diperingati setiap tanggal 17 Maret. Waktu ini juga menjadi penanda hari lahirnya AMAN pada 17 Maret 1999.
Kebudayaan, Resiliensi di Tengah Pandemi, dan Tugas Menjaga Bumi
“I Yayat U Santi. Angkat Pedangmu dan maju berperang. Kita saat ini sedang dalam situasi perang. Perang melawan diri kita sendiri. Perang melawan penjajahan berupa perampasan willayah adat dan perang melawan penjajah yang merampas wilayah adat. Dan jangan lupa, perang melawan covid-19,” tutur Rukka Sombolinggi usai memekikkan salam khas dari Minahasa itu.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi
Ia hendak memberikan semangat kepada para hadirin. Penjelasannya itu juga sangat berkaitan erat dengan kata ‘perlawanan’ yang menjadi salah satu varibel tema HIMAS 2021.
Selaku Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, mengisi awal sambutannya dengan ungkapan empati atas gugurnya banyak orang, termasuk para tokoh-tokoh pejuang Masyarakat Adat, di tengah pandemi covid-19.
“Hari ini kedua kalinya, kita di seluruh dunia merayakan HIMAS, di tengah-tengah terpaan badai covid-19. Kita terus mengirimkan doa untuk seluruh umat manusia, baik Masyarakat Adat maupun bukan. Kita kirimkan semangat. Kita kirimkan doa, bagi sahabat keluarga dan kerabat kita yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita. Secara khusus dalam beberapa bulan terakhir beberapa pemimpin AMAN pergi meninggalkan kita”.
Ia turut menjelaskan hubungan tema HIMAS 2021 secara global dan tema yang dipilih oleh AMAN.
“Tahun ini di internasional, temanya adalah Tidak Meninggalkan Siapa pun di Belakang: Masyarakat Adat dan Seruan untuk Kontrak Sosial Baru. Di tingkat nasional kita memperdalam tema tersebut, dengan realitas dalam setahun teakhir di seluruh nusantara dengan tema: Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi, sebagai cermin dari situasi yang dialami oleh Masyarakat Adat di nusantara”.
Rukka Sombolinggi terlihat sangat bersemangat. Ia turut memberikan gambaran tentang kebudayaan dalam perspektif Masyarakat Adat.
“Bagi kita Masyarakat Adat, kebudayaan adalah jalan hidup, cara hidup, berdasarkan sistem dan nilai warisan leluhur yang mengatur hubungan kita dengan alam semesta sekitar kita, termasuk dengan manusia, bintang dan tumbuhan, hubungan kita dengan leluhur kita. Dan tentu saja hubungan kita dengan Sang Pencipta alam semesta,” jelas Rukka.
Ditambahkannya, dunia yang ada saat ini tidak lepas dari keberadaaan beragam kebudayaan Masyarakat Adat. Berbagai studi menujukkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga ekosistem terbaik yang tersisa di seluruh dunia.
“Demikian juga kita lihat selama pandemi ternyata kampung-kampung, wilayah-wilayah adat yang masih berdaulat atas wilayah adatnya adalah tempat yang paling berkecukupan. Sehingga kita mampu berbagi dengan sesama Masyarakat Adat maupun bukan. Ini semua menujukan bahwa kebudayaan yang kuat dan utuh, praktek-praktek termasuk musyawarah mufakat, itu menjamin keberlangsungan keberadaan dunia yang baik dan juga umat manusia”.
Sekjen AMAN melanjutkan bicara. Raut wajahnya mulai berubah. Matanya nampak memancarkan kesedihan saat ia mengungkap tantangan terbesar yang dihadapi Masyarakat Adat.
“Tantangan terbesar Masyarakat Adat menjaga bumi, menjaga manusia saat ini adalah justru paling banyak adalah kita sendiri, anak-anak adat. Banyak dari kita bangga menyandang nama adat kita. Pada saat yang sama kita menggadaikan diri, kita menjual wilayah adat kita. Dan dalam banyak hal kita dengan bangga menjadi perisai bagi penindas, menjadi benteng dari perampas wilayah adat. Ini adalah tantangan terbesar kita Masyarakat Adat.”
Ia menuturkan, covid-19 mengingatkan Masyarakat Adat untuk kembali ke akar, hidup lebih baik, dan merefleksikan perjalanan bukan hanya sebagai Masyarakat Adat tetapi juga sebagai bangsa Indonesia.
“Wilayah-wilayah adat yang tadi yang masih menjaga sistem unsur-unsur kebudayaannya, itu menjadi tempat yang paling aman. Ritual, ramuan-ramuan tradisonal, pangan yang cukup, musyawarah adat, tunduk kepada kepemimpinan para tetua dan pemimpin-pemimpin adat, itu yang membuat Masyarakat Adat selama setahun lebih bisa bertahan”.
Disampaikan Rukka, di sisi lain keunggulan tersebut menjadi sumber kerentanan Masyarakat Adat. Wilayah-wilayah yang dijaga Masyarakat Adat tetap tidak lepas dari ancaman, seperti perampasan wilayah adat. Ia kemudian menceritakan satu contoh kasus yang terjadi di Sakai, Riau. Di tengah pandemi covid-19, lahan yang mereka kelola dirusak. Belum lagi, masalah lain yang dialami Masyarakat Adat di tengah pandemi. Misal, ketiadaan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi Masyarakat Adat, menambah kerentanan menghadapi pandemi. Dalam kondisi tersebut, Masyarakat Adat tetap bertahan dengan pengobatan tradisional dan ritual.
“Namun di tengah situasi pandemi, di tengah ketiadaan fasilitas kesehatan dan infrastuktur transpotasi di wilayah adat, di tengah-tengah gempuran covid, kampung-kampung kita cukup ketat dengan ritual dan pengobatan tradisional. Dalam satu tahun terkahir saya banyak sekali mendengar ini. Ada kampung-kampung yang tidak punya pilihan lain selain pengobatan tradisonal dan ritual”.
Menurutnya, dalam menghadapi covid-19, pemerintah lemah dalam proses sosialisasi sampai ke kampung-kampung, khususnya bagi komunitas Masyarakat Adat.
Rukka melihat solusi lain untuk menghadapi pandemi. Baginya, berhenti untuk terus menyalahkan masyarakat dan melihat bagaimana kontribusi, bagaimana kekuatan masyarakat, bagaimana partispiasi Masyarakat Adat di dalam situasi terakhir ini, sesungguhnya adalah kekuatan. Gotong-royong sebagai warisan leluhur Masyarakat Adat menjadi kunci untuk tetap bertahan di tengah pandemi.
“Kita tidak boleh ingkar bahwa kita bertahan di kampung-kampung maupun di kota-kota, semuanya itu karena memang pertama daya tahan orang Indonesia yang luar biasa dan yang kedua karena gotong-royong. Ternyata salah satu budaya luhur warisan leluhur kita belum kita lupakan. Ternyata kita menemukan jalan kembali. Mengingat kembali praktek-praktek luhur leluhur kita yaitu praktek budaya gotong royong. Inilah yang membuat kita bertahan.“
Ia turut menyampaikan tantangan Masyarakat Adat menghadapi kontrak sosial baru. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, gempuran revisi UU Minerba, dan adopsi UU Cipta Kerja digunakan sebagai instrumen hukum untuk merampas, meneguhkan perampasan, memperkukuh perampasan wilayah Adat yang sudah terjadi serta memberikan karpet merah kepada perusahaan untuk wilayah adat yang tersisa. Ditegaskannya, menjadi tangung jawab bersama untuk melakukan perlawanan terhadap hal tersebut.
“Untuk itu saya mengajak kita semua untuk berjuang mempertahankan tanah leluhur kita, bergotong-royong melawan covid-19, memperjuangkan sebuah kontrak sosial baru, untuk memastikan kita tidak terus-terus berada di belakang. Kita menjadi sentral dari sebuah dunia dengan tatananan baru.”
Rukka Sombolinggi menutup sambutannya dengan menuturkan bahwa Masyarakat Adat memiliki lebih dari cukup sumber daya untuk ditawarkan kepada seluruh umat manusia. Tugas Masyarakat Adat dalam menjaga bumi tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua orang dan generasi selanjutnya.
“Masyarakat Adat punya lebih dari cukup untuk kita tawarkan kepada seluruh umat manusia. Itulah hari ini yang harus kita ingat dan terus kita kobarkan semangatnya, bahwa apa yang kita miliki, seluruh kebudayaan kita secara utuh bukan hanya untuk kita sendiri. Kita menjaga bumi bukan karena kita mau menikmatinya sendiri, (tapi) karena kita ingin mewariskannya kepada generasi-generasi berikut dan juga berkontribusi besar terhadap umat manusia yang lain, baik Masyarakat Adat maupun bukan”.
Usai sesi sambutan Sekjen AMAN, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemdikbudristek, Hilmar Farid. Ia mengawali sambutannya dengan salam dan ucapan selamat HIMAS.
“Pertama tentu saya mengucapkan Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2021”.
Dirjen Kebudayaan, Kemdikbudristek: Belajar dari Masyarakat Adat
Hilmar Farid kemudian bicara soal pandemi covid-19 di Indonesia. Menurutnya, semua orang masih masih berjuang untuk vaksinasi, termasuk Masyarakat Adat, sebab dari informasi yang didapat, vaksinasi sangat tidak merata jangkauannya.
Ia juga menuturkan kebijakan baru dari direktoratnya. Bagi mereka yang tidak punya KTP bisa divaksin. Menurutnya, kebijakan sudah ada, tapi perlu dikawal di lapangan untuk memastikan bahwa itu memang bisa diakses oleh semua orang.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemendikbudristek, Hilmar Farid
“Dan khusus untuk Masyarakat Adat, saya kira situasi juga sangat bervariasi. Ada daerah-daerah yang memang masih terjaga dan terlindung dengan baik, situasinya mungkin relatif baik karena ada kedaulatan yang kuat. Sehingga Masyarakat Adat bisa menetapkan sejenis lock down di tingkat lokal. Aturan-aturan dipatuhi. Kita tahu di Sungai Utik, di Kanekes, dan sebagainya. Tapi sebagian lagi tidak atau tidak mengalami atau tidak punya kemewahan seperti itu”.
Dikatakannya, daerah Masyarakat Adat yang tidak lagi punya kemewahan seperti itu, karena sebagian dari lahan-lahan mereka sudah bersinggungan dengan tempat-tempat modern. Ada perkebunan, pertambangan, kota-kota, dan seterusnya. Sehingga irisan ini membatasi kemampuan Masyarakat Adat untuk menerapkan mekanisme kendali yang sesungguhnya ada, secara efektif.
Ditambahkannya, daerah Masyarakat Adat yang kedaulatannya tinggi, mereka memiliki mekanisme sendiri dan bahkan punya istilah untuk pandemi.
“Kita masih sibuk mengeja pandemi, mereka sebetulnya sudah punya istilah yang digunakan turun-termurun untuk memahami situasi seperti yang kita hadapai sekarang. Dan lebih penting dari konsep dan seterusnya itu adalah adanya ikatan sosial yang kuat. Adanya otoritas yang ditaati. Dan yang sangat mendasar, pemahaman bersama yang solid. Itu yang gak ada di perkotaan”.
Hilmar Farid menjelaskan, tantanan modern yang dibangun, seperti di perkotaan, sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi situasi seperti ini. Berbeda dengan Masyarakat Adat yang sudah punya mekanisme sendiri.
“Masyarakat Adat yang hidup turun-temurun, generasi per generasi mewariskan pengetahuannya terus menerus. Sudah punya mekanisme, sudah punya pengetahuan, sudah punya bekal untuk menghadapi semua. Dan ini yang dalam bahasa sekarang kita sebut sebagai resiliensi atau ketahanan. Dan saya kira penting sekali bagi kita untuk mendokumentasiksn pengetahuan dan praktek yang muncul di berbagai tempat yang tadi sudah disebutkan oleh kak Rukka juga”.
Upaya pendokumentasian penting, karena menurut Hilmar Farid, solusi pandemi tidak mungkin tunggal. Tidak ada satu solusi yang berlaku untuk semua. Konteks lokal sangatlah penting.
Ia kemudian lanjut bercerita soal keterhubungan rusaknya ekosistem, pandemi, dan dampaknya kini. Menurutnya, Masyarakat Adat, saat ini berada pada titik perjuangan yang sangat menentukan.
“Kita mesti menjadi bagian dari normal baru. Normal baru ini bersandar pada berbagai macam kearifan lokal yang kita kumpulkan, kita dokumentasikan, dan kita buktikan keampuhannya menghadapi situasi seperti yang kita alami sekarang ini”.
Hilmar Farid percaya bahwa normal baru bukan konsep abstrak yang disusun oleh para perencana yang jauh dari kenyataan. Tapi normal baru mesti disusun berdasarkan praktek dan pengalaman konkret yang ada di bawah.
“Normal baru ini dihidupi oleh filososi yang menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam. Normal baru ini tidak boleh tengelam lagi dalam kebodohan, keangkuhan, dan keserakahan manusia. Dan tidak ada tempat yang lebih baik, saya kira, mempelajari norma-norma dan nilai ini dari pada Masyarakat Adat yang sudah menghidupi tanah kita selama ribuan tahun. Dari sinilah kita bisa belajar untuk memikirkan tantanan normal baru di masa mendatang,” tutupnya.
Sebelum acara sarasehan dimulai, kegiatan HIMAS diisi dengan pemutaran video-video dari komunitas Adat anggota AMAN, salah satunya video tentang Tenun Ikat Pulau Timor.
Masyarakat Adat dan Peran Perlawanan untuk Bumi
Abdon Nababan, selaku Wakil Ketua DAMANNAS (Dewan AMAN Nasional), langsung mengambil alih acara. Ia dipercayakan untuk menjadi moderator dan memandu jalannya sarasehan.
“Tadi dari Ibu Sekjen sama Pak Dirjen sudah menjelaskan ke kita dengan bagus sekali bahwa kebudayaan Masyarakat Adat itu menjadi sangat penting. Pertama karena kebudayaan Masyarakat Adat itu dibangun dari suatu proses yang panjang. Proses yang sangat mendalam yang melahirkan suatu sistem yang bebeda di suatu Masyarakat Adat dengan Masyarakat Adat lainnya,” ungkap Abdon.
Abdon Nababan
Turut disampaikannya, dari apa yang ia dengar dari pembicara sebelumnya, Masyarakat Adat itu punya kesetiaan untuk menjaga kerterhubungannnya dengan lima hal. Pertama, Masyarakat Adat itu setia menjaga hubungannya dengan Sang Pencipta. Kedua, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungan dengan leluhurnya. Ketiga, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan alam semesta atau bentang alam di mana mereka hidup. Keempat, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan sesama manusia. Kelima, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungannya dengan makhluk lain (baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan).
Usai memberikan sedikit pengantar dan memperkenalkan para narasumber, Abdon Nababan memberikan kesempatan bicara kepada Mardiana Derendana sebagai pembicara pertama.
Mardiana Derendana adalah Perempuan Adat Dayak Ma’anyan, Kalimantan Tengah. Ia memulai dengan bercerita tentang adat dan hukum adat.
Mardiana Derendana
“Adat adalah suatu tata cara untuk berhungan antara sesama manusia, atau sesama mahluk hidup. Berhubungan denagn alam, berhubungan dengan roh atau dewa penjaga hutan, penjaga bumi, itu adalah ada aturan yang diatur di dalam adat. Di dalam adat itu ada hukum. Hukum adalah sesuatu yang ditindak oleh tokoh adat Masyarakat Adat maupun lembaga-lembaga adat terhadap para pelanggar-pelanggar adat di Masyarakat Adat”.
Ia kemudian menjelaskan alasan mereka menjaga alam dan filosofi hubungan Masyarakat Adat dan komunitasnya dengan bumi.
“Kami bangkit mempertahakan itu semua karena apa? Karena kita tahu Tuhan hanya satu kali menciptakan bumi ini. Bumi tidak akan bisa melahirkan bumi, apalagi seorang manusia. Seorang perempuan hanya bisa melahirkan anak-anak manusia. Maka oleh sebab itu, bagi kami Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai, bumi adalah ibu kami, hutan adalah nafas dan sumber kehidupan kami. Air adalah darah kami”.
Ia bercerita, sejak tahun 2006, hak hidup mereka mulai dirampas. Oleh karena itu, mereka bangkit melawan.
“Kami bukan anti perusahaan. kami bukan anti pemerintahan. Yang kami anti adalah cara-cara perampasan hak hidup kami dengan pembabatan hutan. Pengrusakan lingkungan itu yang menyebabkan kami harus bangkit mempertahankan bumi dan kami komunitas perempuan adat yang peduli bumi, alam hutan, dan lingkungan. Kami komunitas Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai bangkit demi bumi”.
Usai ibu Mardiana bicara, moderator memberi kesempatan bicara kepada narasumber kedua, Tori Kalami.
Tori adalah tokoh adat dari Moi Kelim, Papua Barat.
“Pertama-tama, dari ufuk timur negeri ini, saya menyampaikan selamat ulang tahun kepada Masyarakat Adat sedunia walaupun kita belum diberikan ruang yang baik di negara ini, tetap kita optimis bahwa ulang tahun ini akan memberikan pelajaran, memberikan modal, memberikan cita-cita yang baik untuk Masyarakat Adat di kemudian hari”.
Tori Kalami
Selanjutnya ia menyatakan keraguannya, terhadap statemen pentingnya ekosistem, pentingnya menjaga ekologi dan sebagainya yang sering disampaikan oleh menteri dan presiden dalam pidato kenegaraaan. Ia pesimis dengan pernyataan tersebut karena menurutnya, pernyataan itu adalah pernyataan panggung politik. Baginya itu hanya pernyataan biasa yang tidak bisa dipegang sebagai suatu kesepakan bersama antara Masyarakat Adat dan pemerintah atau negara.
“Kenapa demikian, karena banyak pernyataan politik di mimbar-mimbar resmi terkait pentingnya eksosistem, ekologi. Tapi pernyataan itu tidak bisa dipegang oleh Masyarakat Adat. Salah satunya adalah Undang Undang Masyarakat Adat yang didorong hari ini tidak sampai ke ujung, sampai ke titik. Itu menujukkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah kita, tidak serius menangani hal-hal yang substansinya, subjeknya adalah Masyarakat Adat itu sendiri yang hari ini kita bicarakan”.
Tori lebih lanjut menjelaskan yang terjadi di Papua Barat, terkait pemberitaan media tentang pencabutan ijin kelapa sawit. Dan hal lain, seperti moratorium sawit akan dicabut tahun ini. Menurutnya, ada kemungkinan terjadi pemutihan terhdap ijin-ijin yang bermasalah.
“Kalau terjadi pemutihan, maka kemudian ada ijin baru yang tanpa kompromi terhadap pemiiliknya yang ada di negerinya sendiri”.
Tori memulai perjuangannya dari Sorong, karena berdasarkan filosofi di Papua, Sorong adalah kepala. Pergerakannya dimulai dari kepala, sehinnga ekornya bisa mengikuti. Filososi itu menurutnya telah ia uji dengan regulasi.
“Membuktikan bahwa keseriusan negara, pemerintah itu ada di Undang Undang Masyarakat Adat, itu serius. Baru kita bilang pemerintah, negara serius. Kalau tidak ada Undang Undang, saya bilang, itu hanya kampanye politik secara pribadi untuk panggung politik, merebut panggung-panggung politik di Masyarakat Adat dan membuat beban-beban yang besar pada Masyarakat Adat”.
Secara pribadi, ia mengatakan sangat membela bumi, ketika ditanya soal itu.
“Saya secara pribadi sebagai anak muda menyatakan sangat sangat sangat membela bumi. Itu buktikan? Bisa dibuktikan”.
Ia kemudian lanjut menceritakan tentang pengalaman advokasi di lapangan dengan Masyarakat Adat.
“Kalau ada advokasi kita yang belum selesai, maka mungkin metodologi kita harus kita ubah, karena kita tidak bisa pakai metodologi yang sama di masalah yang sama. Mungkin ada metodologi lain. Itu pun kami lakukan di Papua Barat dan secara khusus di wilayah Moi, kami lakukan itu”.
Paska pencabutan ijin tahun 2020, Tori dan kawan-kawan generasi muda adat melihat ada ruang berbahaya. Mereka kemudian membuat peta wilayah adat. Ada 14 marga yang terlibat dalam pemetaan tersebut dan prosesnya tinggal menunggu pendemi selesai. Dari pengalaman itu, mereka kini diminta banyak pihak komunitas adat untuk membantu melakukan pemetaan wilayah adat.
Kesempatan bicara selajutnya diberikan kepada narasumber terakhir, Dolorosa Sinaga selaku akademisi dan seniman perupa.
Di awal bicaranya, ia mengantar publik pada pemahaman bahwa semua orang memiliki sejarah yang sama dan memiliki DNA keturunan Masyarakat Adat.
“Kesadaran utama yang saya mau bawa dalam pertemuan ini adalah bahwa kita semua yang hadir di sini memiliki sejarah yang sama. Kita semua yang hadir di sini memiliki DNA keturunan masyarakat tradisi dan Masyarakat Adat. Kita semua, tidak ada pengecualian”.
Dolorosa Sinaga
Kesamaan itulah yang, menurutnya, membuat semua orang penting untuk peduli kepada Masyarakat Adat, dan pada persoalan terkait nenek moyang, yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan banyak hal lain.
‘Mungkin kita tidak hidup dalam tradisi itu. Nenek moyang kita, iya. Warisan DNA itu ada di kita. Jadi kita semua di sini sama khlayak di luar acara ini memang punya kepentingan untuk peduli pada persoalan nenek moyang kita yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan segala macam.”
Alasan ini kemudian berkesimpulan bahwa Masyarakat Adat adalah fondasi dari identitas budaya bangsa.
“Kita bisa mengatakan bahwa, Masyarakat Adat itu adalah fondasi dari identitas budaya kita, budaya bangsa.
Sebagai seniman, ia melihat bahwa DNA kretifitas yang dimiliki orang saat ini diwariskan dari Masyarakat Adat.
“Masyarakat Adat itu memproduksi pengetahuan, memproduksi kecerdasan intelektual, dan Masyarakat Adat itu mewariskan DNA kreatif kepada kita. Kita memiliki daya kemampuan sebagai makhluk yang memiliki kreatifitas. Itu DNA yang diwariskan Masyarakat Adat kepada kita”.
Baginya peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit.
“Peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit. Tidak imajinatif dan tidak mengarang. Sangat konkrit”.
Ia kemudian memberikan ilustrasi hubungan kreatifitas dengan Masyarakat Adat. Ia mengambil contoh Picasso, seorang seniman kontemporer garda depan yang bermula di Paris, Eropa. Picasso, diceritakan Dolorosa, mendapatkan gagasan-gagasannya yang kontemporer dari Masyarakat Adat di Afrika.
“Semua itu menjadi inspirasi yang melihat peran dan kontribusi Masyarakat Adat pada dunia modern itu konkrit”.
Selain DNA kreatifitas, Masyarakat Adat juga memiliki DNA ketahanan.
“Kita memiliki DNA ketahanan. Karena Masyarakat Adat itu memiliki satu hal yang paling penting mereka kerjakan adalah they have the power to survive. Jadi itu ada di kita”.
Dengan hal ini, menurut Dolorosa, negara seharusnya punya daya tahan yang kuat.
“Negara ini seharusnya punya daya tahan yang kuat, bukan menghisap.”
Ia turut menjelaskan tentang perjuangan hak asasi manusia dan tentang tata kelola negara. Selanjutnya ia memberikan beberapa ilustrasi. Salah satu contohnya, di Papua.
“Di Timika itu, puncak gunung yang pernah ada di sana adalah tempat bersemayam leluhur kawan-kawan, saudara- saudara kita di Papua. Kemudian dia diterabas, hilang sampai dia tidak lagi terlihat jauh di dasar tanah sana. Dikerok habis. Apa yang terjadi? Tatanan spritual kawan-kawan di Papua hilang. Ini adalah sebuah bentuk genosida kultural”.
Berkaca dari contoh tersebut, ia menilai bahwa Masyarakat Adat dan masyarakat pada umumnya, harus berani mengkoreksi kekeliruan yang dilakukan oleh negara. Karena ini terkait kelangsungan hidup manusia dan kelangsungan bumi.
“Kita harus berani dan mampu mengkoreksi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan negara dalam menata seluruh pengetahuan, kelangsungan hidup dari Masyarakat Adat yang merupakan juga kelangsungan hidup kita. Terutama kelangsungan hidup bumi, tempat kita berpijak”.
Menurutnya, kemampuan Masyarakat Adat untuk melindungi, merawat, dan memelihara, tidak perlu diajarkan kepada mereka. Tidak perlu juga dibesar-besarkan. Masyarakat Adat tidak akan merusak kawasan lingkungan karena itu tempat mereka menggantungkan hidup.
“Mereka sendiri melindungi hutannya, melindungi sungainya, melindungi tetumbuhannya, karena apa? Karena hidupnya sangat terghantung dengan Mother Earth, dengan alamnya, dengan lingkungannya. Gak mungkin mereka merusak kawasan lingkungan di mana itu adalah tempat mereka mengantungkan hidupnya”.
Ia dengan jelas menggambarkan upaya perlindungan bumi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Namun di sisi lain, Masyarakat Adat tidak mendapatkan penghormatan dan jaminan dari negara. Ia kemudian menegaskan bahwa selama ini negara tidak menghormati Masyarakat Adat.
“Tapi kalau kita mau bicara soal perlindungan, negara itu, tidak bisa kita katakan, negara itu melindungi hidup Masyarakat Adat. No, no, no, no. Apakah pernah terbukti dia menjalankan kewajiban dan tugasnya melindungi Masyarakat Adat dalam ancaman perampasan tanah dan lain sebagainya? Tidak pernah terjadi. Karena yang merampas itu mereka. Bagaimana dia mau melindungi?”
Masyarakat Adat yang menghadapi banyak ancaman dalam hidupnya, bagi Dolorosa, negara seharusnya hadir dan melindungi.
“Ancaman sudah begitu banyak terjadi pada kehidupan Masyarakat Adat, di situlah sebetulnya negara harus datang memperlihatkan secara konkrit dia melindungi rakyatnya, melindungi kelangsungan hidup Masyarakat Adat”.
Di bagian akhir sesi bicaranya, Dolorosa Sinaga mengatakan bahwa hak asasi manusia tidak memerlukan perlindungan, tapi memerlukan penghormatan dan jaminan.
“Menghormati kemanusiaan dan menjamin kehidupan masyarakat, kehidupan warganya, kehidupan setiap individu maupuan kolektif bisa dilakukan di negara ini”.
Pernyataannya itu langsung disambut oleh Rukka Sombolinggi dan Abdon Nababan. Terjadilah percakapan yang menarik di antara mereka.
“Berharap negara melindungi, itu tidak benar. Yang melindungi adalah Masyarakat Adat,” sambung Rukka.
“Yes,” balas Dolorosa.
“Sebenarnya, konstruksi konstitusi kita juga udah benar begitu. Karena negara, sebenarnya disebut, negara mengakui dan menghormati,” timpal Abdon.
“Tetapi tidak terjadi. Penghormatan itu tidak ada,” tutur Dolorosa memotong ucapan Abdon.
“Kalau ada, gak ada AMAN. Kalau penghormatan itu ada, AMAN gak perlu ada”, sambung Dolorosa.
Mereka pun kemudian tertawa, sambil mengiyakan pernyataan Dolorosa.
“Mudahan-mudahan AMAN segera bisa menjadi sejarah,” balas Rukka sambil tertawa.
“Iya itu dia. Karena negaranya sudah mengakui dan menghormati,” pungkas Abdon.
Sesi pemaparan narasumber kemudian dilanjutkan dengan dialog bersama peserta. Ada beberapa peserta dari Masyarakat Adat yang bicara. Di momen ini, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat juga diberikan kesempatan menanggapi.
Sjamsul Hadi, SH, MM, selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, menjelaskan apa yang telah dilakukan mereka terkait pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.
Sjamsul Hadi
“Dalam hal ini direktorat KMA sangat mendukung untuk mengubah pola pandang. Walaupun kami dari sisi pemerintah, kami sudah memulai bergerak yaitu, Masyarakat Adat ini hendaknya kita pandang dan hormati yaitu sebagai subjek, bukan sebagai objek. Oleh karena itu, tiap-tiap upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan, salah satunya sepuluh objek pemajuan kebudayaan ini, bisa kembali, kita kembalikan. Dan Masyarakat Adatlah yang berhak untuk mengembangkannya”.
Ia juga menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa langkah terkait percepatan Undang Undang Masyarakat Adat.
Usai ditutup oleh moderator, sarasehan pun berakhir. Acara lantas berlanjut ke Panggung Budaya.
TUTUP TPL
Sebelum Panggung Budaya Masyarakat Adat dimulai, HIMAS 2021 kedatangan tamu spesial dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL). Togu Simorangkir, namanya.
Pada 14 Juni 2021, Togu Simorangkir dan beberapa orang yang menamakan diri TIM 11 AJAK Tutup TPL memulai aksi jalan kaki dari makam Sisingamangaraja XII di Toba, Sumatera Utara ke Istana Negara RI di Jakarta. TIM 11 merupakan singkatan dari “Tulus, Ikhlas, Militan”. Tim ini beranggotakan Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Christian Gultom, Irwandi Sirait, Ferry Sihombing, Ewin Hutabarat, Agustina Pandiangan, Yman Munthe, Lambok Siregar, Jevri Manik, dan anak Togu yang berumur 8 tahun, Bumi Simorangkir. Aksi mereka ini sempat menghebohkan dan menarik perhatian masyarakat luas, sehingga aksi Tutup TPL meluas dan mendapat banyak dukungan.
Rikson yang memandu acara, menjelaskan sedikit tentang perjuangan Togu Simorangkir dan kawan-kawannya dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL. Bincang santai pun tak terelakkan di antara keduanya.
“Mungkin bisa diceritakan sedikit, kenapa abang dan kawan-kawan melakukan itu?,” tanya Rikson.
“Jadi aksi jalan kaki atau AJAK TUTUP TPL dari Toba ke Jakarta itu, hasil dari reaksi terhadap kejadian tanggal 18 Mei 2021 yang bentrok antara Toba Pulp Lestari dengan Masyarakat Adat Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba”.
Togu lanjut bercerita.
“Jadi sebenarnya itu bentuk kemuakan dan kegeraman terhadap perusahaan yang sudah 34 tahun ada di Tano Batak, yang sudah memperkosa Tano Batak, yang sudah merusak lingkungannya, yang sudah merampas tanah adatnya. Ya, pada prinsipnya saat itu, selama ini sudah sering terjadi bentrokan-bentrokan, kriminalisasi Masyarakat Adat tapi berita itu tidak sampai. Paling tiga hari sudah hilang gitu. Tiga hari sudah hilang beritanya gitu. Waktu itu misinya hanya satu yaitu mau mencari perhatian publik dan memelihara berita tentang tutup TPL. Jadi, kita perkirakan kemarin 45 hari, kita perkirakan, ya, selama 45 hari gaung tutup TPL itu akan terus terjaga”.
Togu Simorangkir
Togu mengakui, usaha mereka mendapatkan banyak dukungan masyarakat luas. Terlebih khusus dukungan Masyarakat Adat agar TPL ditutup.
“Kita ingin memberitahukan ke dunia, tidak hanya orang-orang Batak, tapi ke dunia dan itu kita mendapat dukungan yang luar biasa lho dari Masyarakat Adat. Ini sampai banyak sekali, testimoni-testimoni yang mengatakan dan mendukung Tutup TPL.”
Setelah melewati banyak tantangan dan rintangan, usaha Togu dan kawan-kawan pun berhasil. Jumat, 6 Agustus 2021, Togu bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
“Aktivis lingkungan Togu Simorangkir berjalan kaki dari Danau Toba, Sumatera Utara ke Jakarta sebagai bentuk aksi protes soal lingkungan di daerahnya. Sore tadi, saya menerimanya di istana. Saya juga sempat berbicara lewat video call dengan rekan dan keluarga Togu Simorangkir di Sumatera Utara. Kami sepakat bahwa kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab semua pihak, demi keberlanjutan kehidupan di masa mendatang,”. Begitu kata Presiden Joko Widodo, seperti ditulis di akun Facebook Presiden Joko Widodo yang bercentang biru. Sebuah video berjudul ‘Aspirasi dari Toba’ juga ada di dinding facebook itu.
Saat ini mereka terus menunggu hasil pertemuan dengan Presiden dan menurut Togu, ia dan aliansinya akan terus membuat strategi agar tanah adat dan hutan negara dikembalikan dan diperbaiki secara bersama-sama.
“Semoga aksi jalan kaki ini bisa menjadi inspirasi buat siapa pun yang ingin menyuarakan tanah-tanah adatnya. Yang pasti saya berharap dari aksi ini, banyak orang-orang yang tersesat di jalan yang benar. Mau memperjuangkan tanahnya, mau memperjuangkan tanah leluhurnya, tanpa embel-embel yang lain. Hanya ini tanah saya. Saya harus fight. Saya harus berjuang untuk bisa mempertahankan tanah sampai titik darah penghabisan. Siapkah kita?”
Togu mengakhiri sesi bicaranya dengan sebuah pertanyaan reflektif namun sangat penting dan menantang.
Cerita Togu langsung dilengkapi dengan pemutaran video dari grup musik Horja Bius, Jakarta. Gambar-gambar lingkungan yang rusak oleh TPL dan desakan masyarakat agar TPL ditutup menjadi isi video yang diputar. ‘Tutup TPL’ menjadi gagasan utama dan diucapkan lantang oleh si vokalis dalam lagu tersebut.
Horja Bius
“Toba Lestari Tanpa TPL” menjadi lirik lagu yang diulang-ulang di video yang diputar selanjutnya. Di awal video, ditulis ‘AMAN Tano Batak’, sebagai pembuat video ini. Lirik lagunya sederhana dan sangat jelas dan konkrit pesannya.
Lagu lain tentang perjuangan untuk mendesak agar TPL ditutup, masih diputar. Di layar bagian atas layar tertulis, ‘Save Tao Toba (Lagu Tutup TPL) By Dompax Redflag’. Lirik ‘Tutup TPL jika ingin Tobaku berseri kembali. Tutup TPL agar berarti untuk anak cucumu nanti. Tutup TPL. Jangan mau diadu domba lagi agar harga diri kita kembali lagi’ tertulis sebagai pesan utama lagu ini.
‘Tutup Toba Pulp Lestari Sekarang Juga’ menjadi lirik penutup lagu Dompax Redflag.
Arif Girsang, seniman sekaligus pejuang Masyarakat Adat Tano Batak ikut menghadirkan karyanya. Bak kesatria bergitar, Arif dalam video di lagunya, menyanyikan lirik-lirik sederhana namun menggigit.
Arif Girsang
Analogi dan perbandingan dalam liriknya, begitu jelas pesannya. Nuansa otokritik begitu terasa. Seperti pada lirik:
Wah, Batak itu harum
Tapi kampungnya bau karena TPL
dan,
Anak orang Batak banyak berpangkat jenderal Tak satu pun menghalangi.
Pesan Tutup TPL sangat jelas dalam lagunya. Ia menyampaikan dalam liriknya, setelah TPL pergi akan ada banyak peluang dan orang tidak akan jadi pengganguran.
TPL Pergi, semakin banyak peluang
Ladang semakin luas, pencaharian bertambah.
Disampaikan Arif dalam lagunya, TPL Tutup berarti kedamaian bagi suku bangsa Batak.
Tutup TPL, mari pulihkan Tanah Batak
Tutup TPL, kedamaian bagi suku bangsa Batak.
Syair tersebut menjadi penutup lagu Arif Girsang.
Panggung Kebudayaan (Virtual) Masyarakat Adat, Sukses
Acara Panggung Budaya HIMAS 2021 begitu meriah. Video-video diputar. Tarian, musik, ritual, syair, tari, silat, dan video lain tentang kekayaan kebudayaan Masyarakat Adat diputar.
Peserta Panggung Budaya
Kolom chat aplikasi Zoom begitu ramai. Orang-orang saling memberi salam dan mengucapkan selamat HIMAS. Kekaguman dan apresiasi atas video yang sedang diputar juga dituliskan mereka di chat.
Selain berbagai penampilan video dari Masyarakat Adat, HIMAS 2021 diramaikan dengan pembagian door prize bagi 80 puluh orang yang beruntung.
Peringatan HIMAS 2021 selesai. Saresehan dan Panggung Budaya sukses. Bukti bahwa pandemi tidak membatasi Masyarakat Adat berkarya, bergembira, dan merayakan kehidupan.
Dari Ketum BPAN, Kembali ke Kampung, Menggerakkan Kedaulatan Pangan, dan Jadi Pengurus BPD
Jhontoni Tarihoran dikenal orang sebagai tokoh pemuda adat yang intens berjuang untuk Masyarakat Adat. Ia adalah pemuda adat asal Tano Batak, dari Kampung Janji.
Tahun 2015-2018, ia menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Di BPAN, ia sekarang masih menjabat sebagai Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) utusan Region Sumatera. Saat menjadi Ketum BPAN, Jhon mencetuskan sebuah gerakan pemuda adat yang kini menjadi salah satu landasan para generasi muda adat menjaga wilayah adatnya yaitu Kembali Ke Kampung atau Gerakan Pulang Kampung (Homecoming Movement).
Jhontoni Tarihoran saat berfoto bersama pemudi-pemudi adat senusantara di Jambore Nasioan III BPAN
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketum BPAN, ia memutuskan Kembali ke Kampung, menghidupi program yang dicetuskannya. Ia ingin membuktikan sendiri bahwa tinggal di kampung menjadi hal yang luar biasa. Kembali ke kampung, menurutnya, bukan sekedar Kembali tinggal di kampung dan tidak berbuat apa-apa, namun Kembali ke kampung harus diikuti dengan upaya-upaya nyata untuk menjaga, membangun, dan mengurus kampung. Hal itu ia maknai dengan berbagai kegiatan.
Jhontoni Tarihoran
Di kampungnya, ia menjadi seorang petani dan aktif mengorganisir petani. Para petani di Janji meminta agar dirinya bersedia menjadi Ketua Kelompok Tani mereka. Jhon tidak menolak. Dia bekerja agar petani dapat mengakses dukungan pemerintah terkait tentang pertanian. Karena sebagai petani, sebelumnya Jhon dan warga lainnya kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Kini mereka tidak saja hanya mendapat pupuk subsidi, tetapi juga bibit dan alat-alat pertanian. Baru saja juga kelompok tani yang dia pimpin mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengerjakan pembangunan Prasarana Pertanian di desa dengan biaya ratusan juta rupiah. Jhon juga menggerakkan kedaulatan pangan di kampungnya. Jhon punya cerita menarik soal ini. Di akun media sosial miliknya, ia mengunggah foto-foto kegiatannya berkebun. ‘Tebang Sawit, Tanam Sawi’ menjadi unggahannya yang banyak menarik perhatian. Pohon sawit di kebun, ditebangnya dan ia tanami sayur sawi.
Sawit yang ditanami Sawi
Ia juga menanam banyak tanaman dan memelihara beberapa jenis hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah panen, hasilnya tidak ia nikmati sendiri, banyak pula yang ia bagikan untuk warga di kampungnya.
Sejak pandemi menerpa dunia awal tahun 2020 lalu, Jhon menjadikan ini sebagai jalan untuk menyatakan kedaulatan pangan Masyarakat Adat. Ia menunjukkan bahwa tinggal di kampung dan mengolah tanah adalah solusi di tengah pandemi. Jhon kemudian menghimpun Masyarakat Adat di kampungnya untuk menggerakkan kedaulatan pangan sebagai gerakan utama secara bersama. Mereka membentuk kelompok Kedaulatan Pangan dan Jhon lagi-lagi ditunjuk sebagai Ketua.
Jhontoni saat bekerja bersama Kelompok Kedaultan Pangan di Komunitasnya
Kembali dan mengurus kampung dipahami Jhon dengan berbagai cara. Itu yang sering ia katakan dalam berbagai kesempatan kepada sesama pemuda adat lain di forum-forum seperti seminar ataupun diskusi. Ia memang tidak hanya berteori tetapi langsung mempraktikkannya.
Di kampung, Jhon juga membantu mengadvokasi para Masyarakat Adat. Mulai dari hal kecil tapi penting. Misal, membantu mengurus adminsitrasi kependudukan, menyampaikan aspirasi Masyarakat Adat ke pemerintah di desa, dan lain sebagainya.
Selain kedaultan pangan dan advokasi Masyarakat Adat, masuk dalam ruang pengambilan keputusan dan merebut posisi dalam kepemerintahan, baik di tingkat desa sampai tingkat nasional, menjadi hal penting yang harus dilakukan sebagai bagian dari mengurus kampung. Hal itu pun dipraktikkannya.
Tahun 2018, ia maju dan menjadi Calon Anggota DPRD Toba Samosir periode 2019-2024. Tahun 2019, ia maju sebagai Calon Kepala Desa Lumban Rau Utara. Walapun belum terwujud menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten dan kepala Desa di Lumban Rau Utara, tidak membuatnya patah arang. Ia terus berusaha masuk ke semua lini pengambilan keputusan sebagai utusan politik dari pemuda adat dan Masyarakat Adat.
Terakhir, ia masuk dalam ruang pengambilan keputusan di desa. Ia maju dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lumban Rau Utara, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Upayanya ini berbuah manis. Ia berhasil masuk dalam struktur dengan menjadi Wakil Ketua BPD.
Menurut Jhon, ia merebut posisi pemerintahan di desa, khususnya BPD, dengan penuh pertarungan, karena ada upaya untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa. Baginya, ini harus dilawan.
“Karena menurut saya hal-hal aneh yang dipakai untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa sudah saatnya dilawan. Justru pemuda harus dilibatkan secara aktif. Kalau tidak maka pemuda itu sendiri yang harus memaksakan diri untuk terlibat. Sampai saat ini seringkali pemuda tidak dilihat sebagai kekuatan apalagi untuk menyumbangkan pemikiran demi kebaikan desa,” tutur Jhon.
Ditambahkannya, BPD memiliki tugas penting dalam pengawasan penyelenggaran dan pembangunan desa, sehingga menjadi bagian dari BPD adalah kesempatan untuk terlibat mengurus kampung.
“Menjadi BPD adalah satu kesempatan untuk boleh melibatkan diri lebih lagi untuk mengurus kampung ataupun desa. BPD memiliki tugas penting untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Maka pemuda harus merebut tugas tersebut demi kebaikan kampung dan keberpihakan pemerintah untuk kepentingan pemuda adat dan Masyarakat Adat itu sendiri. Pemuda harus merebut tanggung jawab dan kesempatan, mengurus kampung”.
Dalam tulisan ini, Jhon akan bercerita secara langsung, bagaimana proses dari awal sampai ia sukses menjadi bagian dari BPD. Ada banyak kisah sedih di dalamnya. Misalnya, diskriminasi dan upaya untuk membatasi pemuda untuk terlibat karena alasan lajang dan belum menikah. Namun, dari kisahnya ini juga, ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pelajaran tentang semangat, pantang menyerah, dan berjuang melawan diskriminasi menjadi BPD.
Berikut Jhon mengisahkannya:
——
“Awalnya saya tidak tertarik menjadi seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa. Karena sepanjang pengamatan saya di desa, tugas atau peran BPD itu sendiri hampir tidak terlihat. Walaupun saya tahu, bahwa tugasnya sangat penting dalam pengawasan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa. Saya juga melihat bahwa selama ini pada umumnya yang menjadi anggota BPD itu seringkali orang-orang tua ‘yang ditokohkan’, dan tentu saja hal seperti itu bukan bagian saya. Saya hanya seorang anak muda di desa yang selalu berupaya untuk terlibat dalam rapat-rapat di desa.
Pada 15 Februari 2021 saat penjaringan anggota BPD berlangsung, saya melihat panitia mensosialisasikan syarat-syarat untuk menjadi seorang anggota BPD. Pada saat yang bersamaan, salah seorang panitia mengatakan bahwa saya tidak bisa jadi anggota BPD, karena disebut anak muda yang belum menikah. Hal itu tentu berbeda dengan persyaratan yang termuat pada kertas yang ditempelkan panitia pada dinding warung kopi tempat kami ngobrol. Salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi menyebutkan: berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah dengan melampirkan foto copy KTP dan KK. Dari persyaratan tersebut berarti saya tentu bisa mencalonkan. Namun, pemerintah desa sebagaimana ditekankan panitia tersebut kesannya ‘dipaksakan’ membatasi atau meniadakan kesempatan untuk para pemuda/i di desa, seperti saya, untuk menjadi anggota BPD. Memang saya belum menikah, tapi umur saya sudah melampaui usia 20 tahun. Sebab peraturan itu mencantumkan kata ‘atau’ yang berarti adalah pilihan salah satunya.
Pada 20 Februari 2021, seperti biasa saya menghadiri undangan pemerintah desa tertanggal 15 Februari 2021 yang ditempelkan di dinding warung kopi tentang Musyawarah Dusun. Musyawarah kali ini dalam rangka pengisian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Saya hadir sebagai peserta yang pertama di tempat yang telah ditentukan mendahului pemerintah desa yang mengundang.
Sebelum musyawarah dimulai, Kepala Desa lebih awal bertanya tentang siapa saja yang bersedia untuk menjadi calon anggota BPD. Sementara yang hadir masih saya dan dua orang lainnya. Menjawab pertanyaan Kepala Desa tersebut, saya mengatakan bahwa yang menjadi calon adalah kami bertiga saja dulu. Kepala desa langsung menjawab kembali, yang menegaskan bahwa saya tidak bisa ikut untuk calon anggota BPD. Lagi-lagi karena persoalan status anak muda yang belum menikah. Saya kemudian mempersoalkan hal itu. Saya mempertanyakan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan oleh kepala desa dan sebelumnya oleh Panitia Penjaringan Anggota BPD. Langsung saja saya lihat Kepala Desa bertelepon dengan seseorang meminta penjelasan terkait dengan syarat tentang umur dan status pernikahan. Dari perbincangan yang saya dengar dia bertelepon dengan Sekretaris Camat.
Setelah melewati waktu yang ditentukan dan warga kemudian berdatangan untuk mengikuti musyawarah, diawali oleh Ketua Panitia Penjaringan Calon anggota BPD, musyawarah pun dimulai dengan menjelaskan maksud dan tujuan. Kemudian menjelaskan tentang kriteria calon anggota BPD. Dari yang saya tangkap tak banyak menjelaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD. Oleh karena itu setelah diberikan kesempatan kepada peserta yang hadir, saya menegaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD sebagaimana yang saya ketahui. Selain itu sedikit menyampaikan tentang pengamatan keberadaan BPD sebelumnya di desa, anggota BPD dan Kepala Desa tidak saling membawahi dalam tugas. BPD justru harus mengawasi kinerja kepala desa, dan harus mampu menetapkan peraturan desa secara bersama-sama dengan Kepala Desa. Tak seorang pun yang keberatan dengan hal-hal yang saya sampaikan.
Kemudian dalam musyawarah, beberapa orang langsung mengusulkan nama saya untuk menjadi utusan mereka di BPD. Peserta yang hadir saat itu pun menyetujui secara bersama-sama tanpa seorang pun yang menyampaikan keberatan ataupun pendapat lain. Salah seorang dari warga yang juga merupakan anggota BPD aktif menegaskan kembali tentang status pernikahan tidak menjadi masalah. Kali ini Kepala Desa menjawabnya bahwa hal tersebut tidak masalah dan bisa mencalonkan diri sebagai anggota BPD.
Setelah proses pemilihan di masing-masing dusun selesai dilakukan, Pemerintah Desa kemudian mengundang anggota BPD terpilih untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Pada saat pertemuan, panitia menjelaskan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan batas waktu yang ditentukan. Pertemuan yang dilakukan di Kantor Desa dihadiri Panitia Penjaringan Anggota BPD, Anggota BPD aktif dan Sekretaris Desa. Sementara Kepala Desa mengikuti pertemuan di tempat berbeda dengan Pemerintah Kabupaten.
Sekretaris desa menyampaikan ada pesan dari Kepala Desa agar berkordinasi dengan saya terkait dengan status pernikahan yang selama ini dipersoalkan. Melaui pesan WhatsApp yang dibacakan dan ditunjukkan, bahwa Kepala desa sedang bersama dengan Dinas PMD dan membicarakan hal tersebut, lagi-lagi mengatakan bahwa saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPD karena belum menikah. Tetap saja saya membantah dan menyarankan agar Kepala Desa dan Panitia membaca persyaratan dengan baik agar tidak salah menerjemahkan. Tetapi Kepala Desa dan Panitia tetap bersikukuh bahwa saya tidak memenuhi syarat karena belum menikah. Hal itu ditegaskan lagi oleh Kepala Desa. Saya dipanggil untuk membicarakan hal itu secara khusus. Saya disarankan agar memilih pengganti saya sendiri yang berasal dari keluarga untuk jadi anggota BPD. Saya tetap saja menolak. Saya membantah. Proses musyawah dusun sudah selesai, harusnya itu ditindaklanjuti untuk melengkapi berkas. Selain itu musyawarah dusun sebagai pengambil keputusan harusnya juga dihormati sebagaimana telah membuat hasil terpilihnya saya secara musyawarah mufakat. Sesungguhnya saya ‘ngotot’ mempertahankan pandangan, karena menurut saya, jelas saja kepala desa dan panitia tidak menginginkan generasi muda atau lajang menjadi bagian dari BPD. Hal ini menurut saya justru melecehkan anak-anak muda yang ingin memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara ini khususnya di desa.
Salah seorang panitia yang juga merupakan Perangkat Desa kembali menelepon saya mengatakan hal yang sama, bahwa seorang lajang tidak boleh menjadi anggota BPD. Bosan dengan hal itu, saya meminta agar dikirimkan saja semacam sms, pesan whatsapp atau surat agar saya tindak lanjuti kepada siapa yang mengatakan hal itu. Kemudian saya menerima pesan whatsaapp yang intinya bahwa ada seseorang dari DPMD-PA yang mengatakan bahwa “calon BPD tidak bisa lajang sesuai Perbup 3 Romawi 4”. Saya pun mempertanyakan hal itu kepada yang bersangkutan. Akan tetapi tidak mendapat jawaban yang jelas. Sehingga melalui seorang teman wartawan, saya dibantu untuk mempertanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PMD. Yang pada intinya Kepala Dinas mengatakan bahwa walaupun lajang kalau sudah melampui umur 20 tahun berhak menjadi anggota BPD”.
——
Walaupun telah terpilih sebagai anggota BPD, dalam proses Pemilihan Ketua BPD, Jhon tetap dijegal dengan alasan yang sama, masih muda. Jhon menuturkan bahwa Kepala Desa dan Panitia sulit menerima penjelasan darinya. Selain itu, melawan cara berpikir kolot seperti seorang yang masih lajang dan masih muda tidak layak menjadi pengurus desa, menjadi tantangan terbesar baginya.
“Tantangan terbesar adalah sulitnya kepala desa dan panitia menerima penjelasan dari saya sebagai pemuda terkait dengan persyaratan menjadi seorang anggota BPD. Kemudian melawan suatu cara berpikir yang kolot, yang membangun cara berpikir bahwa seorang lajang tidak layak menjadi pemimpin atau pengurus di desa seperti jadi seorang BPD. Sama halnya juga saat pemilihan ketua, alasan anggota BPD yang lain tidak memilih saya menjadi ketua adalah karena masih muda,” ungkap Jhon.
Kritik terhadap upaya dan pemahaman yang seperti ini menjadi masalah yang perlu dipecahkan dan dibongkar. Dalam visinya sebagai Calon Ketua BPD, Jhon mengusung gagasan bahwa pemuda mengurus kampung. Pemuda tidak boleh dipinggirkan dalam urusan desa dan urusan pemerintahan.
“Visi pemuda mengurus kampung untuk memastikan pembangunan desa transparan dan partisipatif. Tua dan muda, laki dan perempuan bersama-sama mengurus desa. Pemuda tidak boleh dibelakangkan dalam urusan desa, urusan pemerintahan. Pemuda harus mengawasi penggunaan uang miliaran rupiah yang dikucurkan setiap tahunnya ke desa”.
Belajar dari pengalamannya, Jhon mengajak semua pemuda-pemudi adat untuk terlibat dan merebut ruang pengambilan keputusan mulai dari tingkat desa. Ia juga meilhat bahwa suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan desa dan bahkan sering dipandang sebelah mata.
“Harus terlibat karena suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan di desa. Seringkali pemuda masih dilihat sebelah mata, sementara pada zaman saat ini pemuda lebih cepat beradaptasi dengan berbagai situasi, khususnya dalam penggunaan berbagai alat-alat yang dapat mengakses berbagai hal yang jauh dari desa. Pemuda tidak boleh dipandang rendah dalam urusan bernegara demikian juga dalam pengambilan keputusan pemuda harus dilibatkan karena masa yang akan datang adalah milik para generasi muda,” ucap Jhon.
Jhontoni saat berfoto bersama Wakil Bupati Toba Samosir di acara pelantikan BPD.
Setelah melalui proses perjuangan panjang, Jhontoni Tarihoran kemudian dilantik sebagai Wakil Ketua BPD pada hari Rabu, 23 Juni 2021 yang lalu berdasarkan Keputusan Bupati Toba yang dikeluarkan pada tanggal 31 Mei 2021.
Usai dilantik, ucapan selamat pun banyak berdatangan. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Jakob Siriongoringo, turut memberikan ucapan yang dimuat di media sosial BPAN seperti Halaman Facebook (fanpage), Instagram dan Twitter.
“Selamat atas dilantiknya Jhontoni Tarihoran (DePAN Sumatera), sebagai Wakil Ketua BPD Lumban Rau Utara, Kec. Nassau, Kab. Toba, Sumut. Pemuda Adat bangkit bersatu bergerak mengurus kampung, mengurus wilayah adat. Rebut, jaga, urus dan awasi. Pemuda Adat harus terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap Masyarakat Adat dalam semua tingkatan. Semoga amanah, Tuhan menyertai dan leluhur merestui. Horas, Horas, Horas!”
Kini Jhontoni sedang sibuk berjuang bersama Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Sumatera Utara dalam gerakan #TutupTPL. Ia aktif terlibat dan terus mengajak banyak orang untuk bersama-sama agar PT. Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup selama-lamanya.
Pada tanggal 17 – 19 November 2020 secara virtual telah dilaksanakan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Keenam (RAKERNAS AMAN VI) yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari Sumatera hingga Papua mulai dari Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Besar AMAN beserta Organisasi Sayap, Badan Otonom dan peninjau dari berbagai institusi pemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Lebih dari delapan bulan kita dilanda krisis Pandemi Covid-19. Banyak aspek dari kehidupan kita berubah secara drastis, mulai dari menjaga jarak fisik, perubahan budaya dan kebiasaan hingga fenomena peralihan aktivitas sosial ke dunia digital. Pandemi memang sekaligus menjadi penanda perubahan sosial secara cepat.
Dalam hal lain, wabah virus Covid 19 juga menjadi ujian bagi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Kita dapat melihat bagaimana pemerintah Indonesia terjebak dalam kebingungan antara mendahulukan aspek kesehatan atau ekonomi yang hari ini digempur dengan resesi di berbagai sektor. Investasi dan korporasi besar yang selama ini mengeksploitasi sebagian kekayaan sumber daya alam ternyata gagal menjadi tameng dan penyelamat masyarakat dari ancaman krisis sosial dan ekonomi.
Bagi Masyarakat Adat, Covid-19 justru menegaskan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan Masyarakat Adat adalah benar dan baik. Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, kehidupan baru dimana kita harus hidup terus menjaga Ibu Bumi dan adil dengan sesama manusia. Masyarakat Adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan, telah terbukti mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adatnya, bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan. Masyarakat Adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lainnya, bahkan ke kota-kota.
Kami sungguh menghargai isyarat-isyarat penghormatan terhadap Masyarakat Adat yang ditunjukan tokoh-tokoh politik termasuk Presiden Republik Indonesia yang dalam perayaan-perayaan hari kemerdekaan selalu mengenakan pakaian adat bahkan fasih menyampaikan salam-salam adat. Tetapi kami harus menyampaikan bahwa penghormatan tersebut masih sebatas simbol. Penghormtan sejati kepada Masyarakat Adat baru akan tercapai apabila tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat benar-benar dihentikan. Penghormatan sejati terhadap Masyarakat Adat baru akan terjadi apabila negara melalui hukum dan kebijakannya berhenti memfasilitasi usaha-usaha yang merampas dan merusak kehidupan Masyarakat Adat, merusak masa depan, dan merusak bumi.
Oleh sebab itu, kami sebagai Masyarakat Adat menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa cita-cita Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat masih belum menapak bumi, bagai panggang jauh dari api. Bahkan, perjuangan Masyarakat Adat untuk menggapai cita-cita itu semakin menemukan tantangan maha berat. Pengingkaran dan kekerasan demi kekerasan terhadap Masyarakat Adat, kriminalisasi peladang hingga pengabaian masih terlalu sering dipertontonkan oleh ragam kebijakan baik di tingkat daerah hingga pusat. Kehadiran negara justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan Masyarakat Adat.
Tantangan demi tantangan tersebut tidak membuat semangat kami surut. Di tingkat kampung/desa kami saksikan agenda perubahan secara perlahan mulai tampak. Meskipun di tingkat nasional, ada beragam tantangan baru yang muncul mulai dari pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (CILAKA) hingga mangkraknya pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI. Situasi ini penting kita sikapi dengan gerakan politik yang massif dan terkonsolidasi.
Sudah saatnya negara bersama seluruh warga negara dan warga dunia untuk bersama-sama berpikir dan bersama sama mengambil tindakan nyata untuk mengubah politik ekonomi nasional dan global yang sudah tidak mampu lagi membawa kita pada kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Terhadap berbagai situasi tersebut di atas RAKERNAS AMAN VI menyampaikan resolusi sebagai berikut:
Kami mendesak Presiden dan DPR RI mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM yang menjadi panduan bagi negara-negara berdaulat. Lebih dari itu, secara prosedur UU tersebut disusun tanpa partisipasi yang penuh dan efektif dari seluruh elemen rakyat termasuk Masyarakat Adat. UU tersebut akan menjadi basis legal dalam tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Bahkan UU ini akan meninggalkan jejak kelam bagi lingkungan hidup dan keberlangsungan generasi yang akan datang.
Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat, yang menyediakan suatu prosedur sederhana, murah, dan punya legitimasi dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas wilayah adatnya beserta hak asal-usul atau hak-hak tradisional lainnya.
Kami mendesak Pemerintah untuk mempercepat perlindungan hak kekayaan intelektual Masyarakat Adat, mengakui hak masyarakat Adat atas agama leluhur serta memastikan negara mempercepat pelayanan administrasi dan kependudukan bagi para penganut agama leluhur.
Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk segera membentuk kebijakan daerah pengakuan Masyarakat Adat beserta hak asal-usulnya termasuk hak atas wilayah adatnya. Bagi daerah, provinsi/kabupaten/kota, yang sudah mempunyai produk hukum Masyarakat Adat (Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan-Peraturan Bupati/Wali Kota maupun Peraturan Gubernur) kami mendesak untuk segera diimplementasikan.
Kami mendesak pemerintah, terutama KLHK beserta jajarannya untuk MENGHENTIKAN Penetapan Kawasan Hutan “Negaraisasi Wilayah Adat” dan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial yang mencakup skema HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan dan mencabut semua perizinan perhutanan sosial yang terbit di atas Wilayah Adat. Sebaliknya Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan pengakuan wilayah adat.
Kami mendesak POLRI dan TNI untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, para pembela Masyarakat Adat yang berjuang mempertahankan haknya. Sebaliknya POLRI dan TNI harus mengutamakan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, secara khusus perempuan dan anak. Selanjutnya kami mendesak agar Institusi POLRI dan TNI menindak tegas anggotanya yang melakukan tindakan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat.
Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap perempuan dengan menetapkan kembali RUU Penghentian Kekerasan Seksual (PKS) dalam Prolegnas dan memastikan pengesahannya pada tahun 2021.
Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melindungi praktek-praktek pertanian tradisional Masyarakat Adat, demi menjamin kedaulatan pangan baik di komunitas adat yang juga merupakan dasar dari tercapainya kedaulatan pangan nasional, terutama ditengah pandemi Covid 19. Selanjutnya Pemerintah harus mengambil langkah-langkah progressif untuk mengakui dan mempromosikan praktek dan pengembangan model ekonomi Masyarakat Adat yang bersifat lokal dan berkelanjutan, yang selama ini telah terbukti memastikan kemandirian komunitas-komunitas adat.
Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mencabut semua izin investasi pertambangan, energi, perkebunan, hutan tanaman industri, hak pengelolaan hutan, pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan ijin usaha lainnya yang merampas hak-hak Masyarakat Adat dan merusak lingkungan hidup.
Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan implementasi perlindungan terhadap hak penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia.
Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk memasukkan Peta Wilayah Adat ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang dan mencabut atau mengubah seluruh peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang yang tidak mengakomodir wilayah-wilayah adat baik di daratan maupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terkait dengan akan berakhirnya Otonomi Khusus Papua, kami mendesak Pemerintah Pusat untuk tetap menjamin, melindungi dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat di Papua.
Pemerintah Daerah harus menghormati dan melindungi keberadaan sekolah-sekolah adat di Komunitas Masyarakat Adat.
Kami mendesak pemerintah untuk memastikan hak-hak Masyarakat Adat dan pelibatan penuh Masyarakat Adat dalam proses-proses persiapan hingga implementasi dan evaluasi proyek strategis nasional antara lain pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, proyek food estate dan proyek strategis nasional lainnya.
Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh proyek-proyek pembangunan termasuk proyek-proyek strategis nasional yang mengancam ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, serta keberlangsungan lingkungan hidup dan masa depan.
Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memasukkan pengetahuan dan pengalaman Masyarakat Adat dalam mitigasi, tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi kebencanaan.
Kami menyadari bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Perubahan hanya akan datang melalui rencana dan kerja nyata yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan bersifat menyeluruh. Oleh karena itu kami seluruh Pengurus AMAN dan Organisasi Sayap AMAN di berbagai tingkatan menyatakan:
Akan senantiasa memperhatikan situasi politik dan kebijakan sehingga dapat menyusun langkah-langkah yang tepat dalam mengamankan wilayah adat dari berbagai ancaman perampasan sebagai akibat ketidakberpihakan negara kepada Masyarakat Adat.
Akan senantiasa memperkuat kemampuan dalam pengelolaan organisasi dan para staf di setiap pengurus sebagai prasyarat penting dalam melaksanakan dan mempercepat pencapaian agenda-agenda perlindungan, pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat.
Membangun kerja sama yang lebih massif dengan pemerintahan desa, lembaga adat, organisasi masyarakat sipil lainnya, kalangan akademik, dan media dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
Melaksanakan ritual adat untuk memohon restu leluhur dan aksi-aksi yang terorganisir untuk mendesak percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.
Secara tegas MENOLAK Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CILAKA) yang akan merampas ruang hidup dan mengkriminalisasi kami sebagai Masyarakat Adat dan pejuang-pejuang Masyarakat Adat.
Akan tetap konsisten menjaga kedaulatan wilayah adat dengan tidak melakukan penjualan tanah-tanah adat demi kepentingan generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
Hutan kami adalah hutan adat. Oleh sebab itu, kami menolak dengan tegas program HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan atau Perhutanan Sosial di wilayah-wilayah adat kami. Di sisi lain, kami akan memperkuat dan memperluas penguasaan wilayah-wilayah adat serta mempercepat usulan pengakuan wilayah adat dan hutan adat.
Menegaskan bahwa kami TIDAK SAMA atau berbeda dengan kerajaan-kerajaan nusantara. Oleh sebab itu, kami senantiasa akan menjaga identitas kami yang sejati, yang berbeda, dan di sisi lain kami akan menolak setiap upaya yang menyamakan kami dengan kerajaan-kerajaan nusantara.
Senantiasa berupaya menggalang dana mandiri dan membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) untuk memperkuat kemandirian dan ekonomi Masyarakat Adat.
Memastikan keterlibatan kami dalam setiap proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan di semua tingkatan, khususnya di tingkat desa, termasuk dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
Mendorong kader-kader terbaik kami sebagai utusan politik Masyarakat Adat untuk merebut posisi-posisi strategis di berbagai tingkatan, terutama di tingkat desa sehingga kepentingan-kepentingan kami sebagai Masyarakat Adat dapat disuarakan dalam setiap pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kami dan kepada generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
Memobilisasi seluruh sumber daya organisasi untuk melawan para Calon Kepala Daerah yang memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM.
Mengerahkan segenap upaya tetap mengawal dan mengevaluasi berbagai kebijakan yang mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.
Senantiasa memperbaharui dan memperkuat hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat adat terutama kelompok perempuan; pemuda; anak-anak; orang lanjut usia; orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, usia, struktur masyarakat, jenis kelamin, dan karena kemampuan; dan penyandang disabilitas.
Senantiasa memperkuat rasa senasib-sepenanggungan dengan sesama Masyarakat Adat dimana pun.
Demikian Resolusi ini kami sepakati sebagai bentuk dari kesadaran kami terhadap berbagai situasi memperihatinkan yang dihadapi Masyarakat Adat di seluruh nusantara. Resolusi ini juga merupakan bentuk desakan perubahan terhadap negara agar segera melakukan langkah-langkah perubahan untuk melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Selanjutnya, melalui resolusi ini kami telah memperkuat komitmen kami sebagai Masyarakat Adat untuk senantiasa berjuang bersama-sama dalam mempertahankan identitas dan hak yang kami warisi dari leluhur kami.