Kredo BPAN Daerah Pamona: Pemuda Adat Adalah Masyarakat Adat Itu Sendiri

“Pesan bagi pemuda adat yang hadir adalah agar generasi muda bisa menjadi kader pemula maupun kader penggerak dalam mempertahankan adat leluhur kita”, ucap Rian sambil mengulang kembali pesan tetua adat yang didengarnya.

Menurut Rian, suara para tetua adat saat bicara begitu lantang. Suara mereka mampu mengalahkan suara ombak yang pecah di pinggir pantai Siuri.

5 Februari 2021, angin berhembus lembut di sekitar pantai. Langit pun begitu cerah. Kondisi ini membuat Rian dan sejumlah generasi muda adat Pamona asyik berkegiatan di Pantai Siuri. Mereka sedang melaksanakan Pertemuan Daerah (Perda) sebagai ruang konsolidasi pemuda-pemudi adat Pamona.

Hari itu, menjadi hari bersejarah bagi pemuda-pemudi adat Pamona. Ombak dan angin di pantai Siuri menjadi saksi upaya mereka sebagai penerus Masyarakat Adat.

Pantai Siuri terletak di wilayah adat Komunitas Pu’umboto di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Komunitas Pu’umboto sendiri merupakan bagian dari Suku Pamona. Komunitas ini terkenal dengan kuliner khasnya, Inuyu atau nasi bambu.

Rian Rifandry Mohama, nama panggilannya Rian. Ia dan belasan pemuda-pemudi adat Pamona hadir di kegiatan Perda yang dilaksanakan di pantai Siuri. Turut hadir pula dalam Perda itu para tetua adat dan perwakilan Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Poso.

Dalam Perda itu, dilaksanakan beberapa agenda penting. Pertama, pendidikan kader pemula. Kedua, pembentukan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Pamona.

Dalam musyawarah pembentukan PD BPAN Pamona, terpilih Rian Rifandry Mohama sebagai Ketua. Ia menjadi Ketua pertama BPAN Daerah Pamona. Dalam kepengurusannya, ia didampingi oleh Sam Gulinda sebagai Sekretaris dan Yuyun Ombo sebagai Bendahara.

Rian memang begitu bersemangat untuk bergabung dengan BPAN. Ia terinpirasi dengan perjuangan BPAN dan AMAN. Menurutnya, pemuda adat Pamona harus bergabung dengan BPAN karena pemuda adat adalah Masyarakat Adat itu sendiri.

“Pemuda adat merupakan Masyarakat Adat itu sendiri dan harus menjadi barisan pemuda adat untuk bertanggung jawab mengembangkan serta menyelesaikan setiap permasalahan budaya adat yang ada di wilayahnya,” tuturnya.

Bagi Rian ini menjadi kredo pemuda-pemudi adat Pamona dalam perjuangan Masyarakat Adat.

Rian menjadi salah satu dari sekian banyak generasi muda adat anggota BPAN yang percaya bahwa perjuangan BPAN akan semakin kokoh apabila tiang-tiang organisasi BPAN terus ditancapkan di seluruh penjuru nusantara. Upaya ini, menurutnya, membuat perjuangan BPAN semakin kuat.

“BPAN bisa berdiri kokoh sebagai satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari Masyarakat Adat itu sendiri dan bisa menjadi kader penggerak dalam mempertahankan adat leluhur di daerah masing-masing,” tegasnya.

Pengurus dan anggota BPAN Daerah Pamona mendeklrasikan diri menjadi bagian dari perjuangan BPAN. Mereka kemudian dikukuhkan dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.

Seperti Deru Ombak Pantai Siuri yang mampu menghancurkan karang, seperti itu pula komitmen mereka menjaga wilayah adatnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Terobosan dan Semangat Baru, Dilahirkan BPAN Daerah Banten Kidul

Ada sebuah pondok di antara pepohonan di wilayah adat Kasepuhan Cicarucub. Pondok ini menjadi saksi sejarah yang digoreskan generasi muda adat Banten Kidul. Di sana mereka menggelar konsolidasi dalam bentuk Pertemuan Daerah (Perda) generasi muda adat Banten Kidul. Dalam Perda itu, Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Banten Kidul dideklarasikan.

Cia salah satu dari banyak generasi muda adat Banten Kidul yang hadir di kegiatan itu. Ia kemudian terpilih menjadi Ketua pertama BPAN Daerah Banten Kidul.

Nama lengkapnya Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik. Sapaan akrabnya Cia. Ia pemudi adat asal komunitas Kasepuhan Bayah.

Di hari di mana kegiatan Perda berlangsung, Cia begitu bersemangat. Sejak matahari belum terlalu lama naik, ia sudah mempersiapkan diri. Sekitar jam 9, ia berangkat bersama adiknya, Genta Galih, ke lokasi Perda. Sepeda motor menjadi tunggangan mereka ke sana.

Cuaca hari itu cukup cerah. Perjalanan mereka pun begitu mengasyikkan. Berkendara menggunakan motor, membuat mereka mampu berinteraksi langsung dengan angin dan udara khas pegunungan di wilayah adat yang terjaga. Pemandangan indah menjadi teman mereka sampai ke tempat kegiatan.

Usai berkendara selama satu jam, mereka sampai di lokasi kegiatan di Lebak Damar, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Di sana, rupanya angin bertiup cukup kencang. Udaranya pun dingin. Kondisi ini sangat khas daerah pegunungan.

“Cuaca pada saat itu lumayan cerah. Tapi karena lokasi berada di pegunungan, angin di sana cukup kencang dan udaranya sangat dingin,” ucap Cia.

Ia begitu bahagia bisa tiba dengan selamat dan menikmati langsung keindahan tempat tersebut. Apalagi bertemu dengan banyak pemuda-pemudi adat se-Banten Kidul dan mendeklarasikan BPAN, membuat kebahagiaanya semakin lengkap.

Cia rupanya mulai terlibat secara aktif dalam perjuangan Masyarakat Adat sejak tahun 2017. Ia kemudian mengenal BPAN saat sering mengikuti kegiatan Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN). Dalam aktivitas itulah, ia tahu bahwa AMAN punya organisasi sayap khusus untuk pemuda-pemudi adat. Ia juga mengikuti akun media sosial BPAN. Di situ pula ia tahu banyak informasi mengenai BPAN.

Hal-hal ini, ternyata juga yang mendorong Cia bersemangat bergabung dengan BPAN.

“Pemuda adat harus bergabung bersama BPAN karena bukan hanya ilmu dan pengalaman yang didapat, pemuda adat juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan mengabdi kepada kampung,” ujar Cia.

Ia dan pemuda pemudi adat Banten Kidul kemudian menghabiskan waktu selama 3 hari, sejak tanggal 19-21 Februari, mengikuti Perda BPAN Daerah Banten Kidul dan mendeklarasikan BPAN di sana.

Perda ini diikuti oleh 35 orang pemuda-pemudi adat dari beberapa komunitas adat se-Banten Kidul. Turut hadir pula, para tetua adat dari bebagai komunitas. Iwan Kastiwan sebagai Juru Basa dari Kasepuhan Bayah, Henriana Hatra sebagai Wakil Abah  dari Kasepuhan Cisungsang, Lili Herdiana sebagai Wakil Abah dari Kasepuhan Ciherang, Mulyana sebagai Jaro Pamarentah dari Kasepuhan Cicarucub, dan Rozak Nurhawan sebagai Wakil Abah dari Kasepuhan Urug.

Dalam Perda itu, ada beberapa agenda yang dilaksanakan. Pelatihan Kader Pemula BPAN menjadi agenda awal yang dilangsungkan di hari pertama dan kedua. Sesi ini difasilitasi oleh Rozak Nurhawan selaku DAMANDA Banten Kidul dan Henriana Hatra selaku Sekretaris PD AMAN Banten Kidul.

Di hari ketiga, dilaksanakan agenda selanjutnya yakni musyawarah dan deklarasi PD BPAN Banten Kidul. Hasil musyawarah memutuskan stuktur kepengurusan PD BPAN Banten Kidul yang pertama. Cia atau Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik dimandatkan sebagai Ketua, Gia Khairul Azmi sebagai Sekretaris, dan Irfan Irawan sebagai Bendahara. Mereka kemudian dikukuhkan sebagai pengurus dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.

Cia menerima Bendera BPAN setelah dikukuhkan sebagai Ketua BPAN Daerah Banten Kidul

Para tetua adat yang hadir turut memberikan pesan dan motivasi bagi kepengurusan yang baru terbentuk. Lili Herdiana selaku tetua adat dari Kasepuhan Ciherang, secara khusus mengapresiasi terpilihnya pemudi adat sebagai Ketua BPAN Daerah Banten Kidul. Ini menurutnya menjadi sebuah terobosan dan semangat baru yang dilahirkan BPAN Daerah Banten Kidul.

“Tentu saja ini sebuah terobosan dan semangat baru, seorang kader pemuda perempuan terpilih menjadi Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Banten Kidul. Saya berpesan agar organisasi ini dapat menjadi wadah pemersatu dan silaturahim pemuda-pemudi adat kasepuhan, dan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kerja-kerja organisasi dalam gerakan Masyarakat Adat di Banten Kidul,” pesan Lili Herdiana.

21 Februari 2021 menjadi tanggal yang tak terlupakan bagi Cia dan para pemuda-pemudi adat lain yang berikrar dan mendeklrasikan BPAN Daerah Banten Kidul.

“Menurut saya, BPAN harus membentuk banyak pengurus di daerah karena daerah merupakan basis massa komunitas adat, dan agar komunitas-komunitas adat dapat terorganisir dengan baik. Selain itu, adanya BPAN di daerah dapat menjadi wadah berkumpul para pemuda adat dan dapat merekrut banyak pemuda adat agar bisa bersatu mengurus kampung,” tutup Cia.

Di akhir kegiatan, mereka berfoto bersama. Pohon-pohon tinggi menjulang, menjadi latar yang penuh makna.

Penulis: Kalfein Wuisan

Peparian: Motor Kedaulatan Pangan Talang Mamak

Sepenggal Cerita dari Panen Padi Masyarakat Adat Anak Talang

Para pemudi adat nampak riang. Di wajah mereka terpancar rasa bahagia. Mereka berdiri di antara padi yang sudah menguning. Tangan mereka, sibuk memetik tangkai-tangkai padi yang berisi.

Begitupula para ibu, para perempuan adat yang bersama mereka. Di tangan mereka ada tuai (alat untuk memanen padi). Mereka sibuk menuai padi, sambil mengajarkan pengetahuan itu kepada para anak perempuan yang ikut panen. Tradisi tranfer pengetahuan ini merupakan khas Masyarakat Adat Talang Mamak. Panen, belajar, dan bergembira, itu yang melekat di diri mereka. Hari itu, Minggu (14/02/2021), kebahagiaan mereka begitu terasa.

Mentari terik pun tak mampu membendung sukacita mereka dalam menikmati berkat, hasil mengolah tanah leluhur Talang Mamak. Mereka menuai padi dengan penuh gembira sambil menaikkan syukur kepada Sang Pencipta.

Sudah dua minggu lebih, sejak awal Ferbuari, Masyarakat Adat Anak Talang, Suku Talang Mamak melaksanakan panen Padi. Tradisi ini dalam bahasa Talang Mamak disebut ‘Menuai’. Tradisi menuai merupakan proses panen padi secara tradisional. Para pemuda dan pemudi adat menjadi orang yang paling berperan di dalam tradisi menuai.

Masyarakat Adat Talang Mamak memang sangat berhubungan erat dengan ladang. Dalam bahasa Talang Mamak, talang berarti ladang.

Menurut Supriadi Tongka, menanam padi merupakan bagian dari sejarah Talang Mamak.

 “Talang artinya ladang. Selain itu, padi juga digunakan untuk ritual adat serta memenuhi kebutuhan pangan orang Talang Mamak. Karena itu, Masyarakat Adat Talang Mamak tidak bisa dipisahkan dari berladang menanam padi”, ungkap pemuda adat Talang Mamak ini.

Supriadi Tongka

Di tengah kesibukannya sewaktu menjabat sebagai Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Indragiri Hulu periode 2016-2019, Supriadi juga sibuk berladang. Usai menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua, ia semakin fokus berladang. Ladangnya, ia tanami sekitar 3.000 pohon pisang dari berbagai jenis. Selain itu, ada juga tanaman obat-obatan seperti kunyit, jahe, dan lain sebagainya.

Kini, ia sedang menikmati panen padi di ladang keluarga mereka. Selain anggota keluarga, para pemudi, perempuan adat, dan masyarakat yang berladang di sekitar ladang mereka datang membantu memanen padi. Kerja saling bantu-membantu ini dalam bahasa Talang Mamak disebut Peparian.

“Kata Peparian ini digunakan dalam hal gotong royong, bantu-membantu. Misalnya, hari ini panen di ladang saya. Selesai ladang saya, baru bantu panen di ladang yang lain. Tapi kalo misalnya membuat rumah, hanya satu rumah saja dikerjakan, itu tetap disebut gotong royong bukan peparian,” tutur Supriadi.

Peparian menjadi motor penggerak aktivitas kedaulatan pangan Masyarakat Adat Talang Mamak. Peparian menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat Talang Mamak.

Peparian saat Menuai

Di musim panen ini, ladang milik keluarganya merupakan salah satu dari beberapa ladang yang diusahakan oleh Masyarakat Adat Anak Talang. Luas ladang yang digarap oleh satu kepala keluarga kurang lebih setengah hektar. Sementara itu, ada sekitar 15 keluarga yang berladang atau berbanjar (berkelompok) di dekat ladangnya.

Proses menugal (menanam) sampai pemanenan masih dilakukan dengan cara tradisional dan melalui ritual. Ladang biasanya digarap sendiri-sendiri oleh masing-masing keluarga. Tapi, pada waktu tertentu, misalnya saat Menuai, mereka bekerja bersama, Peparian. Proses menugal sampai menuai membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.

Padi yang mereka tanam umumnya merupakan padi lokal. Padi ini sudah ditanam secara turun-temurun. Dalam bahasa Talang Mamak nama-nama padi tersebut yakni Padi Gading Godang (besar), Padi Sabak, Padi Anak Jalai, dan padi Alus (kecil).

Dijelaskan Supriadi, tujuan menanam padi, selain memenuhi kebutuhan pokok, juga untuk menjaga tradisi dari leluhur. Padi juga digunakan orang Talang Mamak untuk ritual.

“Hasil dari panen untuk kebutuhan pokok serta untuk ritual setelah panen yang disebut orang Anak Talang ‘membuat ubat ikut taun kepalo taun’,” jelasnya.

Panen menjadi proses yang paling ditunggu setelah melewati berbagai tantangan sejak proses menanam. Di Talang Mamak sendiri, cuaca dan gangguan binatang liar dan hama tanaman menjadi tantangan terbesar dalam berladang. Misal, seperti yang dialami Supriadi.

“Tantangan-tantangan yang kami hadapi antara lain seperti serangga, burung, dan yang paling mengancam adalah tidak menentunya musim kemarau dan penghujan yang berdampak pada hasil panen,” imbuhnya.

Bagi Supriadi dan seluruh Masyarakat Adat yang berladang, tantangan-tantangan seperti itu biasa terjadi. Namun, tidak menuyurutkan niat ataupun semangat mereka untuk berladang karena ladang adalah identitas orang Talang Mamak.

DI tengah pandemi Covid-19, berladang padi menjadi bagian dari upaya kedaulatan pangan Masyarakat Adat Talang Mamak. Menurut Supriadi, dengan berladang menanam padi, kebutuhan pangan mereka dapat teratasi. Selain itu, berladang menjadi usaha untuk mempertahankan tradisi leluhur supaya tidak hilang.

“Ini bagian dari kedaulatan pangan karena dengan berladang dapat membantu kita keluar dari krisis pangan. Apalagi situasi Covid-19 yang melanda dunia ini. Dan yang terpenting kita bisa berdalulat atas pangan tanpa diatur oleh pihak luar”, tutupnya.

Berladang menjadi senjata, menjadi metode Masyarakat Adat Talang Mamak menjaga wilayah adatnya, menjaga identitasnya. Berladang adalah identitas mereka. ‘Talang’ berarti ‘ladang’.

Penulis: Kalfein Wuisan

14 Februari di Kampung Limbungan

Matahari sudah tinggi. Angin bertiup perlahan, mengitari rumah-rumah adat di kampung Limbungan.

Di Limbungan, rumah-rumah adat berjejer indah. Atapnya terbuat dari ilalang. Dalam bahasa Sasak, ilalang disebut Re. Sementara, dindingnya terbuat dari Sideng atau tanah liat.

Di salah satu rumah, sudah berkumpul sejumlah generasi muda adat. Mereka semua dari kampung Limbungan. Mereka mengadakan Pertemuan Kampung (Perkam). Deklarasi Pengurus Kampung (PKam) BPAN Limbungan menjadi agenda utama Perkam. Di moment itu, dibentuk dan dilantik pengurus PKam BPAN Limbungan.

Ratnijah, hari itu, bangun pagi dengan semangat baru. Ia adalah pemuda adat kampung Limbungan. Usai menyelesaikan aktivitas di rumahnya, ia segera bergegas ke salah satu rumah adat di Limbungan. Di sana, sudah mulai terkumpul kawan-kawannya, sesama pemuda-pemudi adat Limbungan. Memang, di malam sebelumnya, Ratjinah dan teman-temannya sudah berkonsolidasi. Rumah Ratjinah, memang menjadi tempat nongkrong teman-teman di kampungnya. Sehingga, dengan mudah ia mengkoordiner dan meningatkan lagi kawan-kawannya.

Sekitar pukul 13.30 Wita, Ratjinah dan pemuda-pemudi adat Limbungan sudah terkumpul di salah satu rumah adat. Rumah tersebut merupakan rumah salah satu kawan pemuda adat, Haerun Nisak. Di situlah, Perkam dilaksanakan.

Hadir dalam Perkam itu, 11 orang pemuda-pemudi adat Limbungan. Mereka yaitu Ratnijah, Haerun Nisak, Satriawan, Amirun, Abdul Aziz, Suliadi, Sapardi, Suhaedi, Abdul Majdi, M.Haeruz Zamani, Muhibudin Ahyar dan Ismaedi.

Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Tetua adat Limbungan, Amag Irsasih dan DePAN Region Balinusra, Lalu Kesumayadi. Mereka menjadi saksi para pemuda-pemudi adat Limbungan berupaya menjaga dan membangun kampungnya.

Dalam musyawarah itu, para generasi muda adat Limbungan bersepakat untuk bergabung bersama BPAN. Mereka kemudian mendeklarasikan Pengurus Kampung (PKam) BPAN Limbungan sebagai wadah berkumpul dan berjuang bersama.

Musyawarah juga memutuskan struktur kepengurusan PKam BPAN Limbungan yang pertama. Posisi Ketua dipercayakan kepada Ratnijah, Sekretaris diserahkan kepada Satriawan, dan Bendahara dimandatkan kepada Haerun Nisak.

Lalu Kesumayadi dan Ketua Terpilih PKam BPAN Limbungan, Ratnijah.

Menurut Ratnijah, Ketua terpilih, BPAN tidah hanya menjadi wadah perjuangan tapi juga ruang belajar tentang masyarakat adat. Ini kemudian menjadi alasan dibentuknya PKam BPAN Limbungan.

“Karena BPAN Adalah Organisasi Sayap AMAN yang membela dan memperjuangkan Masyarakat Adat. Supaya kita tau hak-hak masyarakat adat dan bisa tetap terjaga adat istiadatnya” ucap Ratjinah.

Di antara rumah adat Limbungan, pengurus dan anggota BPAN Kampung Limbungan dikukuhkan dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Prosesi ini dipimpin oleh Lalu Kesumayadi.

14 Februari 2021, menjadi hari bersejarah. Pemuda-pemudi komunitas adat Limbungan bertemu, bermusyawarah, dan mendeklrasikan BPAN Kampung Limbungan.

Di tempat lain di belahan bumi ini, 14 Februari dimaknai sebagai hari kasih sayang. Di Limbungan, 14 Februari menjadi hari kebangkitan pemuda-pemudi adat kampung Limbungan.

Penulis: Kalfein Wuisan

Di Maros, Panji BPAN Dikibarkan

“Pemuda adat yang menjadi kader BPAN harus mewakafkan diri untuk mempertahankan wilayah adatnya dan terus mendesak pemerintah membuat perda pengakuan hak-hak masyarakat adat,” ucap Pak Amir.

Seruan itu menghentak puluhan generasi muda adat Maros yang mendengarnya bicara.

Amir merupakan tetua adat sekaligus anggota Dewan AMAN Daerah Maros. Ia hadir dan bicara di depan sekitar 20 orang generasi muda adat Maros yang melangsungkan Pertemuan Daerah (Perda) sebagai momentum konsolidasi.

Kegiatan Perda tersebut dilangsungkan pada 11-12 Februari 2021, di komunitas adat Karaeng Bulu, Desa Bonto Mattinggi, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Dalam kegiatan Perda ini, juga dilaksanakan Pendidikan Kader Pemula AMAN.

Perda I ini menjadi momen bersejarah bagi generasi muda adat Maros. Di dalam Perda ini dilakukan musywarah pembentukan Pengurus Daerah (PD) BPAN Maros.

Pembentukan PD BPAN Maros merupakan hasil musyawarah para pemuda-pemudi adat di kabupaten Maros. Upaya mereka ini pun didukung penuh oleh Pengurus Wilayah (PW) BPAN Sulawesi Selatan (Sulsel) dan PW AMAN Sulsel.

Marjuli, Ketua PW BPAN Sulsel, yang hadir dan membantu dilangsungkannya Perda mengatakan bahwa pembentukan PD BPAN Maros sangat penting.

“Pembentukan PD BPAN Maros sangat  penting karna generasi muda sebagai leader masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adat sehingga perlu adanya organisasi  pemuda adat sebagai wadah perjuangan dan BPAN sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat adat”, ungkapnya.

12 Februari 2021 menjadi memontum bersejarah bagi pergerakan BPAN di Maros.

Hasil musyawarah pemuda-pemudi adat Maros memutuskan untuk mendeklarasikan PD BPAN Maros. Dalam musyawarah itu juga diputuskan kepengurusan pertama PD BPAN Maros. Aminuddin terpilih sebagai Ketua. Ia dibantu oleh Safa sebagai Sekretaris dan Firdayanti sebagai Bendahara. Mereka kemudian dikukuhkan dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Proses pengukuhan ini dipimpin oleh Ketua PW BPAN Sulsel.

Di Maros, panji BPAN kembali dikibarkan. Perjuangan generasi muda adat pun dikobarkan.

Penulis: Kalfein Wuisan

Gerak Baru PD BPAN Lombok Barat

“Kita tidak membentuk, karena sebelumnya BPAN Lombok Barat sudah Perda (Pertemuan Daerah). Hanya saja, belum begitu aktif. Dan ketua terpilih sebelumnya Lalu Budi Hartono mengundurkan diri”.

Begitu disampaikan Lalu Kesumajayadi via Whatsapp.

Lalu Kesumajayadi merupakan anggota Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Region Bali-Nusra. Ia terpilih menjadi DePAN di Jambore Nasional (Jamnas) III Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) di Muara Samu, Kalimantan Timur.

Beberapa waktu lalu, sejumlah anggota BPAN Daerah Lombok Barat berkonsultasi dengannya. Hal penting yang mereka bicarakan terkait mengaktifkan kembali roda organisasi BPAN Daerah Lombok Barat. Termasuk, membicarakan posisi Ketua yang sudah kosong karena ketua terpilih telah mengundurkan diri.

Sebagai DePAN, ia memastikan bahwa roda pergerakan BPAN di wilayahnya tetap berjalan.  Koordinasi dengan sesama Pengurus Nasional (PN) yakni Ketua Umum BPAN, ia lakukan. Mengaktifkan kembali kepengurusan BPAN di beberapa daerah, termasuk PD BPAN Lombok Barat, menjadi program prioritas PN BPAN.

“Karena ini bagian dari mandat organisasi. Kita ingin BPAN ini lebih progresif dalam pengorganisasian dan juga kita menyiapkan kader pemimpin untuk Generasi Muda Adat mulai dari kampung – kampung hingga ke daerah dan kita mulai dari sini, BPAN,” ungkap Lalu Kesumajayadi.

Menurutnya, upaya menggerakan kembali roda organisasi PD BPAN Lombok Barat, diinisiasi oleh anggota BPAN Lombok Barat sendiri. Inisiasi ini diawali dengan rapat pengurus. Sebelumnya pengurus juga telah melakukan rapat internal dan konsultasi dengan DePAN Reg Bali-Nusra dan juga kepada Ketua BPH AMAN Daerah Lombok Barat selaku penasihat. Hasil pertemuan itu, menetapkan jadwal pelaksanaan musyawarah pergantian pengurus BPAN yang masih aktif dengan menunjuk dan mengangkat ketua Penjabat Sementara (Pjs) Ketua.

“Yang pasti, karena ketua sebelumnya mengundurkan diri, sehingga agar kerja-kerja organisasi berjalan dengan baik maka kita harus melakukan pergantian,” ucap Lalu.

Musyawarah pergantian pengurus BPAN Daerah Lombok Barat dilaksanakan di Rumah AMAN Lombok Barat. Dihadiri oleh anggota PD BPAN Lombok Barat, Ketua BPH AMAN Lombok Barat, Perwakilan Pengurus BPAN NTB, dan DePAN Region Bali-Nusra.

Hasil musyawarah memandatkan Raden Wire Satriaji sebagai Pjs Ketua PD BPAN Lombok Barat. Ia kemudian dikukuhkan sebagai Pjs Ketua dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Dalam kepengurusan yang baru ini, ia dibantu oleh M. Septian Wahyudi selaku Sekretaris dan M. Riskiya Ansori sebagai Bendahara.

Menurut Raden Wire Satriaji, generasi muda adat wajib bergabung bersama BPAN.

” Karna organisasi BPAN ini lah yang sangat tepat untuk wadah para pemuda-pemuda yang ingin mewujudkan impian mereka yang berhubungan dengan adat istiadat. Pemuda adat inilah yang akan meneruskan nilai-nilai luhur adat istiadat.,” ucapnya.

Selain kegitan tersebut, dilangsungkan juga Pendidikan Kader untuk pengurus BPAN Daerah Lombok. Pendidikan ini dimaksudkan untuk menanamkan pengetahuan berorganisasi di BPAN dan AMAN.

28 Januari 2021 menjadi momen bersejarah bagi PD BPAN Lombok Barat. Kepengurusannya dibentuk ulang sekaligus mengatur gerak baru dalam arak-arakan perjuangan Masyarakat Adat nusantara.

Penulis: Kalfein Wuisan

RPN IX BPAN: Perkuat Organisasi Menuju Jambore Nasional

9 Februari 2021, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menggelar Rapat Pengurus Nasional (RPN) ke-9 (IX) secara virtual via aplikasi zoom. Salah satu agenda RPN IX, membahas tentang persiapan Jambore Nasional (Jamnas) IV BPAN.

RPN merupakan salah satu ruang pertemuan dan pengambilan keputusan yang diatur dalam statua BPAN. RPN diselenggarakan dua kali dalam setahun yang dihadiri oleh Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) dan Ketua Umum beserta jajarannya. Berdasarkan statuta, RPN diselenggarakan untuk beberapa tujuan. Pertama, melakukan evaluasi berkala atas penyelenggaraan organisasi dan pelaksanaan program program kerja BPAN serta melakukan perbaikanperbaikan yang diperlukan. Kedua, merumuskan dan mengeluarkan rekomendasi- rekomendasi kepada seluruh perangkat organisasi BPAN untuk memperbaiki kinerja masingmasing. Ketiga, merumuskan dan mengeluarkan keputusankeputusan Pengurus Nasional untuk disampaikan kepada dan dilaksanakan oleh seluruh perangkat organisasi dan atau anggota BPAN. Keempat, merumuskan dan mengeluarkan pernyataan sikap BPAN.

RPN IX BPAN dihadiri oleh DePAN, Ketua Umum, Sekretariat Nasional, dan Peninjau. Para DePAN BPAN yakni Lalu Kesuma Jayadi selaku DePAN Region Bali-Nusa Tenggara, Erlina Darakay selaku DePAN Region Kepulauan Maluku, Jhontoni Tarihoran selaku DePAN Region Sumatera, Joko Sumarto selaku DePAN Region Sulawesi, Paulus Ade Sukmayadi selaku DePAN Region Kalimantan, Sem Vani Ulimpa selaku DePAN Region Papua, dan Zebri Bahril Ulum selaku DePAN Region Jawa. Ketua umum BPAN, Jakob Siringoringo, turut hadir bersama para staf di Sekretrariat Nasional BPAN. Sementara, Rukka Sombolinggi selaku Sekjen AMAN, Eustobio Rero Renggi selaku Deputi I Sekjen, Riky Aprizal selaku Direktur OKK PB AMAN, Awaludin dari OKK PB AMAN, dan Batara Tambing selaku volunteer BPAN hadir sebagai peninjau.

“Perkuat Organisasi Menuju Jambore Nasional IV BPAN’ menjadi tema yang diangkat pada RPN IX. Selain Jamnas IV BPAN, beberapa agenda dan topik penting lain juga dilaksanakan serta dibahas mendalam.

Mars Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan mars BPAN dikumandangkan, di awal kegiatan. Acara kemudian dilanjutkan dengan Sambutan Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi.

Dalam sambutannya ia mengapreasiasi segala upaya yang selama ini dilakukan oleh BPAN. Ia juga turut memberikan berbagai motivasi dan penguatan terkait jalannya roda organisasi BPAN.

Usai Sekjend AMAN bicara, sesi dilanjutkan dengan agenda penyampaian perkembangan organisasi setahun terakhir, oleh Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo. Sesi kemudian langsung disambung dengan tanggapan sekaligus penyampaian perkembangan DePAN setiap region.

RPN IX juga membahas program kerja BPAN enam bulan ke depan. Rapar Kerja Nasional (Rakernas) III BPAN dan Jamnas IV BPAN juga dibahas di sesi pembahasan program. Rencananya, Rakernas III BPAN akan dilaksanakan pada bulan April 2021 secara virtual. Sementara itu, Jamnas IV BPAN rencananya akan diselenggarakan pada bulan Juli 2021.

Menurut Ketua Umum BPAN, RPN IX juga menyepakati beberapa Langkah strategis terkait persiapan menuju Jamnas IV BPAN.

“Pengurus Nasional (PN) BPAN lewat Ketua Umum akan menyiapkan komposisi kepanitiaan Jambore Nasional IV BPAN. Kepanitian ini akan diputuskan pada Rakernas III BPAN nanti. Selain itu, PN BPAN akan melakukan konsolidasi regional sebagai langkah awal menuju Jambore Nasional IV BPAN”, ucap Jakob.

Pendidikan Adat, penyelenggaraan organisasi, peran Pemuda Adat Nusantara dalam ruang pengambilan keputusan Masyarakat Adat, dan penguatan kapasitas menjadi menjadi program-program penting lain yang dirumuskan dan disepakati dalam RPN IX.

Hasil RPN IX BPAN juga menyepakati pengangkatan Yuyun Kurniasih sebagai  bidang organisasi di struktur kerja Ketua Umum dan perpanjangan periode Pengurus Nasional kepada Sekjen AMAN.

Panen Buung di Batin Beringin Sakai

“Sudah 1 minggu masyarakat adat Batin Beringin Sakai dan pemuda-pemudi adat Batin Beringin Sakai panen padi Bang,” tutur Ismail Dolek. Ia begitu riang. Kegembiraannya meluap karena padi mereka sudah dipanen.

Ismail adalah ketua kelompok program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia dan pemuda adat Sakai mulai menikmati hasil program kedaulatan pangan yang mereka mulai sejak 1 Agustus 2020.

Ismail Dolek

Menurut Ismail, program kedaulatan pangan ini bertujuan untuk menaikan ekonomi Masyarakat Adat Sakai. Selain itu, di masa pandemi ini, tanaman yang mereka tanam menjadi sumber vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh.

Semangka yang ditanam sebagai bagian dari Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat Sakai

Bulan Desember 2020, ia dan para pemuda-pemudi adat Sakai yang tergabung dalam kelompok kedaulatan pangan, melaksanakan panen terakhir buah semangka.

Kini, 2 bulan sejak panen semangka terakhir, padi yang ditanam pada bulan Oktober 2020, sudah dipanen. Sabtu, 6 Ferbuari 2021, tepat seminggu mereka bergotong royong memanen padi di wilayah adat Batin Beringin Sakai/Suluk Bongkal.

“Kami bergotong royong, bekerja. Di sini bergotong royong, namanya Besolak”, ucap Dolek.

Menurutnya, Besolak menjadi seperti jantung dalam program kedaulatan pangan Sakai. Ia menjadi motor yang menggerakkan kerja bersama Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai.

Setiap hari, sebelum matahari naik tinggi, mereka sudah bekerja. Riang dan gembira menjadi suasana yang mereka rasakan setiap hari. Semua orang turut terlibat. Ketua Adat Batin Beringin Sakai, pemuda-pemuda adat, dan juga Masyarakat Adat Batin Beringin turut hadir.

Proses panen, diawali dengan ritual. Selanjutnya, mereka mulai mengayun sabit, hingga senja menjelang.

Menurut Ismail, padi yang mereka tanam merupakan padi lokal Sakai.

“Padi yang kami panen, dalam bahasa Sakai disebut padi Buung”, tambah Ismail.

Dalam panen padi kali ini, mereka mendapatkan sekitar 1000 kaleng padi dari lahan seluas 10 hektar. Padi yang dipanen, sebagian dikonsumsi oleh komunitas, sebagian dibagikan untuk anggota komunitas, dan sisanya dijual untuk modal tanam berikut.

Selain padi, Ismail dan para pemuda adat Sakai juga menanam jagung, cabe rawit, dan kacang tanah sebagai bagian dari program kedaulatan pangan.

Sekali lagi, Ismail dan pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, menujukan resiliensi Masyarakat Adat menghadapi pandemi covid-19.

Penulis: Kalfein Wuisan

Mengucap Janji Pemuda Adat di Sumbawa

“Pemuda adat harus bergabung dengan BPAN agar pemuda adat ini punya ruang khusus untuk bisa belajar, mengenali identitas diri dan semangat dan BPAN ini kan adalah kumpulan pemuda-pemudi adat yang punya rasa senasib dan sepenanggungan terhadap adat istiadat, budaya, dan wilayah adatnya,” ujar Supardi saat Pertemuan Daerah (Perda) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sumbawa.

Supardi adalah ketua pertama BPAN Daerah Sumbawa. Ia terpilih saat Perda I BPAN Daerah Sumbawa, pada 30-31 Januari 2021 di komunitas adat Bakalewang.

Perda BPAN Daerah Sumbawa diikuti oleh 20 orang pemuda-pemudi adat Sumbawa, para tetua adat, DePAN Region Bali-Nusra, dan PD AMAN Sumbawa. Turut hadir pula 5 orang perwakilan karang taruna dan 12 orang perwakilan sanggar seni.

Pembentukan Pengurus Daerah (PD) BPAN Sumbawa menjadi salah satu agenda penting rangkaian acara Perda. Selain itu, ada juga beberapa materi penting yang menjadi topik sesi diskusi. Materi pertama tentang Pemetaan Wilayah Adat yang disampaikan oleh Bung Aminuddin dari UKP3 PD AMAN Sumbawa. Materi kedua terkait Perkenalan BPAN yang disampaikan oleh Bung Lalu Kesumajayadi selaku DePAN Redion Bali-Nusra. Materi ketiga tentang AMAN yang dituturkan oleh Awaluddin, OKK PB AMAN.

Usai sesi diskusi, Perda dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan Pengurus Daerah BPAN Sumbawa. Di sesi ini juga diputuskan kepengurusan BPAN Daerah Sumbawa yang pertama. Hasil musyawarah para generasi muda adat Sumbawa memutuskan Supardi sebagai Ketua, Ahmadi sebagai Sekretaris, dan Syamsuddin sebagai Bendahara.

“Beberapa pesan yang disampaikan oleh tetua adat yang hadir. Pertama, semoga dengan terbentuknya pengurus PD BPAN Sumbawa ini sebagai generasi adat untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, menguatkan identitas serta menjadi benteng dalam mengelola dan mempertahankan wilayah adat. Kedua, pemuda harus lebih peduli terhadap adat istiadat dan budaya. Ketiga, pemuda adat harus bisa mandiri secara ekonomi,” tutur Supriadi mengeja ulang pesan yang disampaikan para tetua adat.

Ditambahkannya pula bahwa BPAN harus dideklarasikan di semua daerah di nusantara, sehingga para pemuda-pemudi adat punya ruang untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan hak-haknya sebagai generasi penerus Masyarakat Adat.

“Untuk lebih mudah dalam mengorganisir diri sebagai pemuda adat, sehingga dengan banyaknya pengurus di daerah akan lebih mudah dan tangguh bagi kita memperjuangkan apa yang menjadi hak kita sebagai Masyarakat Adat,” tegas Supardi.

Ia dan kepengurusan PD BPAN Sumbawa yang baru, dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Acara pengukuhan dipandu oleh DePAN Region Balinusra, Lalu Kesumajayadi. Atas restu Sang Pencipta dan leluhur Masyarakat Adat, PD BPAN Sumbawa resmi menjadi bagian perjuangan Masyarakat Adat nusantara. BPAN menancap dan mengakar di Sumbawa.

Penulis: Kalfein Wuisan

9 Tahun BPAN: Sebuah Jalan Dekolonisasi

“Menelusuri jejak leluhur seperti membuka  pintu dan dan jendela kepada dunia yang lebih luas. Menelusuri jejak leluhur menjadi landasan bagi anak muda kembali mengenali dirinya sendiri dengan menggali sejarahnya”, ucap Rukka Sombolinggi.

Ia nampak larut dalam bahagia. Saat bicara, beberapa kali ia nampak mengenang perjuangannya bersama BPAN. Para pemuda-pemudi adat pun tertegun mendengar ia bercerita.

Selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi khusus hadir sebagai penanggap dalam acara Bedah Buku dan Peluncuran 4 Buku Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kegiatan ini dilaksanakan untuk merayakan Hari Kebangkitan Pemuda Adat Nusantara dan Perayaan 9 Tahun BPAN secara daring via aplikasi zoom.

Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN

Pukul 13.00 WIB, hari Minggu, 31 januari 2021, Perayaan 9 Tahun BPAN digelar. Di bagian barat dan tengah Indonesia, matahari sudah bergeser dari atas kepala saat kegiatan itu dimulai. Di daerah timur, seperti Maluku dan Papua, kegiatan tersebut berlangsung bersamaan dengan datangnya senja. Perbedaan waktu ini tidak menyurutkan ratusan orang untuk menghadiri iven besar ini. Para pemuda-pemudi adat anggota BPAN dari seluruh nusantara hadir. Para tetua dan komunitas masyarakat adat juga hadir. Tidak hanya Masyarakat Adat, banyak pula masyarakat umum dari berbagai latar belakang turut hadir. Mereka semua menjadi bagian dan saksi momen bersejarah BPAN.

Mars AMAN & Mars BPAN menjadi pembuka acara. Syair dan alunan musiknya menggetarkan semua yang hadir. Mengingatkan kembali semangat dan identitas sebagai bagian dari Masyakarat Adat nusantara yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

“Pada kesempatan kali ini, ini adalah momen yang sangat spesial, sangat penting. Di usia 9 tahun BPAN, khsususnya bagi generasi muda adat di seluruh nusantara, bagaimana kemudian kita bersama-sama di BPAN bisa belajar, bertanya sama-sama, dan juga terus bertumbuh,” ucap Jakob.

Sebagai Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo didaulat memberikan sambutan dan membuka acara secara resmi.

“Usia 9 tahun yang masih pendek, tentu kita tahapnya belum bisa berlari kencang. Tapi justru di saat ini kita menyerap pengalaman-pengalaman, menyerap pengetahuan-pegetahuan. Belajar terus. Bertanya terus. Dan kemudian kita merenungkan mimpi yang akan kita wujudkan di masa depan. Bagaimana mimpi kita nanti di wilayah adat kita. Sebagai contoh, misalnya, kita terbebas dari konsesi-kosnsesi yang terus menghantui kita, atau terbebas dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang selalu menghantui kita. Seperti akhir-akhir ini, banyak sekali bencana,” jelas Jakob.

Jakob Siringoringo

Ditambahkannya, semoga impian dan mimpi Masyarakat Adat, terlebih khusus BPAN, dapat terwujud ke depannya.

“Impian kita, di wilayah adat kita, kita hidup bahagia, hutan rimbun, sungai mengalir dengan jernih, binatang berkeliaran dengan bebas. Kita bisa membangun rumah dengan sumber daya yang kita miliki dan banyak hal lainnnya yang semuanya sangat bisa membuat kita menjadi Masyarakat Adat yang sejati,” terang Jakob.

Ia berharap generasi muda adat di BPAN menjadikan momentum 9 tahun menjadi tonggak mewujudkan mimpi-mimpi untuk memperkuat kampung.

“Menjadi pemuda-pemudi adat yang terus membuktikan diri sebagai bagian dari bangsa ini, bagian dari negara ini yang tak bisa tercerai beraikan dan kita bangkit terus. Karena itu seperti tema perayaan 9 tahun kali ini, Teruskan Mimpi Perkuat Kampung, kita generasi muda adat terus berusaha, terus bergerak. Maju terus melangkah. Memastikan bahwa kampung kita terjaga. Komunitas kita Masyarakat Adat terawat. Terbebas dari klaim-klaim sepihak pihak ketiga dan kita berdaulat atasnya. Jadi, kerja-kerja yang kita lakukan sekarang adalah menuju impian kita di masa depan,” ungkap Jakob.

Suaranya terdengar tegas. Sorot matanya penuh harap. Nampak di wajahnya keyakinan penuh terhadap sesama generasi muda adat untuk terus berjuang, terus bermimpi dan memperkuat kampung. Jakob menghantar para hadirin masuk ke sesi yang lebih serius: bedah buku. Mendengar kisah-kisah dari pemuda-pemudi adat yang menjadi narasumber sekaligus penulis buku Menelusuri Jejak Leluhur dan Mahakarya Leluhur.

Ali Syamsul, pemuda adat asal Enrekang, mendapat kesempatan bicara pertama. Ia bercerita tentang pengalamannya saat tinggal bersama suku Anak Rimba.

“Rusaknya hutan bagi mereka, itu sama saja kiamat bagi mereka. Karena seluruh aktivitas mereka berada di hutan. Membuatkan rumah hanya menjauhkan mereka dari ruang hidup mereka yang sebenarnya yaitu hutan. Itu adalah wilayah kehidupan mereka,” ujar Ali.

Ali Syamsul

Ia menjadi saksi atas cara hidup suku Anak Rimba yang disebutnya begitu agung karena mampu menjaga hutan sebagai bagian penting kehidupan mereka.

“Saya melihat kehidupan mereka lebih agung dari pada mereka yang mengaku masyarakat modern”.

Di buku Menelusuri Jejak Leluhur, ia bersama Katarina Megawati menulis tentang Anak Rimba Bukit Dua belas.

Cerita yang mirip juga dikisahkan narasumber kedua, Syahadatul Khaira. Ia berasal dari komunitas adat Betetulak, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di buku ini, ia bersama Murshid Toha menulis ‘Cerita tentang Negeri Nua Nea’.

Khaira, menceritakan pengamalannya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur saat live-in di Komunitas Nua Ulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Mereka mengikuti keseharian Masyarakat Adat di komunitas Nua Ulu, Nua Nea, dari sejak pagi hari.

Syahadatul Khaira

Khaira bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi saat berada di komunitas tempat mereka tinggal. Salah satunya, mereka sempat dicurigai sebagai mata-mata karena saat itu ada banyak kasus perambahan hutan di sana.

“Ada beberapa kejadian di sana ketika kami masuk. Di antaranya ada beberapa kasus perambahan hutan di komunitas adat Nua Ulu. Dan kami dicurigai sebagai mata-mata yang masuk untuk mengintai daerah tersebut”.

Diterangkan Khaira, di sana ada beberapa pos tentara yang berjaga-jaga di gerbang pintu masuk. Kebetulan pintu masuk desa di tempat mereka live in, berjarak sekitar 2 kilometer.

“Kebetulan tempat kami tinggal itu adalah daerah yang datarannya agak tinggi, jadi kami bisa melihat sekitaran gerbang-gerbang tempat jalan masuk ke desa. Ketika ada orang baru yang masuk, itu bisa diiihat”, ucapnya

Sewaktu di sana, ada satu ritual yang sangat menarik perhatian Khaira. Namanya ritual Pataheri.

“Ritual ini diberikan kepada seorang anak yang menuju remaja. Ketika anak itu sudah mengalami beberapa fase yang dianggap masyarakat itu adalah menjadi seorang pemuda, ia akan dibawa ke dalam hutan untuk diajarkan berburu, diajarkan memanah, lalu diajarkan oleh tetua-tetua yang ada di sana, apa saja amanat-amanat yang menjadi seorang pemuda adat, selama 3 hari dua malam,” terang Khaira.

Selain itu ada hal menarik yang ditangkapnya terkait kearifan masyarakat setempat dalam mengelola kebun.

”Kemudian ada juga keseharian masyarakat di kebun yang mereka menggagap kebun itu adalah tata kelola kehidupan untuk perempuan”.

Khaira kemudian penasaran dengan kearifan ini. Istri tetua adat di sana kemudian memberikan pencerahan kepadanya.

“Karena perempuan itu mengelola hasil kebun yang dilanjutkan sebagai kehidupan untuk keuarganya. Dari hasil kelola kebun menjadi lanjutan untuk ruang kehidupan di keluarganya,” ucapnya sambil menirukan ucapan dari istri tetua adat Nua Ulu.

Yosi Narti, seorang pemudi adat lain yang menjadi narasumber, turut menceritakan kisahnya. Ia merekam banyak hal saat berada di komunitas Masyarakat Adat Punan Dulau, tepatnya di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Yosi sendiri berasal dari komunitas adat Rejang Lebong, Bengkulu. Ia menulis “Cerita tentang Dayak Punan Dulau” bersama Angriawan di buku Menelusuri Jejak Leluhur.

Yosi Narti

Dari apa yang dialaminya, ia kemudian membuat semacam kredo tentang Masyarakat Adat di tempatnya tinggal.

“Masyarakat Adat itu pintar dan jenius. Mereka  tinggal di hutan itu kaya. Karena mereka jaga hutan,” tegas Yosi.

Ia kemudian menyampaikan pribahasa dalam bahasa setempat. Pribahasa ini menjadi gambaran kuatnya hubungan Masyarakat Adat dengan hutan. Ini juga menjadi alasan kenapa Masyarakat Adat menjaga hutan dengan nyawanya. Pribahasa itu, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti ‘hutan adalah air susu ibu’.

Buhanudin SJ, pemuda adat asal Komunitas Adat Soppeng Turungan, Sinjai, Sulawesi Selatan menjadi narasumber terakhir. Ia bersama Agung Prabowo, pemuda adat asal Semangus, Sumatera Selatan, menulis tentang ‘Kecapi’. Alat musik tradisional ini berasal dari Komunitas Adat Barambang dan kisahnya diceritakan mereka di buku Mahakarya Leluhur.

“Terkait dengan alat musik tradisional itu, saya fokus ke alat musik kecapi”, ujarnya.

Burhan dan Agung menghabiskan kurang lebih seminggu untuk meneliti, mengamati proses pembuatan kecapi, cara memainkannya, dan mencari tahu filsosi dari kecapi itu.

Burhanudin SJ

Dikisahkannya, ia menginap di rumah salah satu pemangku adat, sekaligus seniman pemain alat musik tradisional. Di kesempatan itu, ia mengikuti keseharian seniman kecapi yang rumahnya ia tinggali. Dari seniman itu, Burhan menulis tentang kecapi. Mulai dari menebang pohon, membentuk pohon sampai kecapi itu selesai. Prosesnya selama empat hari.

“Dari beberapa komunitas adat yang ada, alat musik tradisional seperti kecapi yang masih bertahan, ada di komunitas adat Barambang,’” ungkap Burhan.

Menurutnya, alasan kecapi masih bertahan di komunias Barambang adalah karena mereka punya komunitas yang khusus melestarikan musik tradisi.

“Nama komunitas ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namannya Komunitas Seruling Kembar Satu Hati”.

Ditambahkan Burhan, komunitas itu terdiri dari tujuh orang seniman. Sekarang ini mereka, para seniman, harus bekerja keras mempertahankan warisan tradisi leluhurnya. Hal ini, menurutnya, terjadi karena tidak ada kebijakan pemerintah yang memperhatikan Masyarakat Adat Barambang.

Di akhir kesempatan bicaranya, Burhan kemudian mengajak para pemuda adat untuk menjaga warisan leluhur, misal alat musik tradisional, dengan mendokumentasikannya.

Usai semua narasumber bicara, kesempatan diberikan kepada para penanggap.

Kesempatan pertama diambil oleh Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera. Jhon memang sudah duluan berbicara. Usai Ali Syamsul, narasumber pertama. Jhon sudah meminta izin berbicara terlebih dahulu. Hal ini karena, ia juga punya kegiatan yang lain di jam yang sama bersama kelompok kedaultan pangan. Di komunitasnya, ia dipercayakan sebagai Ketua Kelompok Kedaulatan Pangan. Jhon kemudian mengambil start lebih awal untuk memberikan tanggapan.

“Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur ini menjadi kegiatan yang sangat penting di BPAN. Sejak berdiri di tahun 2012 itu, periode 2012-2105 itu kan semacam periode inisiasi. Nah, saat saya mempimpin BPAN, itu kemudian di 2015-2018 itu kita meluncurkan kegaitan ini,” tutur Jhon.

Jhontoni merupakan Ketua Umum BPAN periode 2015-2018. Ia menjadi Ketua Umum BPAN kedua, menggantikan Simon Pabaras. Di masa kepengurusannya program menelusuri jejak leluhur digagas lebih serius. Program ini kemudian menghasilkan dua buku yang diterbitkan tahun 2017 dan dibedah di Perayaan 9 Tahun BPAN.

“Jadi, kita kan generasi muda saat ini ataupun saat itu, sedang mengalami tantangan. Bahwasannya kita seperti tidak menemukan jati diri. Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur adalah untuk menemukan jati diri. Banyak hal yang kita temukan, banyak pengetahuan-pengetahuan yang kita temukan, banyak kearifan-kearifan yang kita temukan”.

Diungkapkannya, buku Mahakarya Leluhur hadir untuk mendokumentasikan berbagai mahakarya leluhur Masyarakat Adat yang ditemukan saat menelusuri jejak leluhur.

“Nah, dari situlah, satu buku lagi, Mahakarya Leluhur itu muncul. Betapa dahsyatnya ternyata para leluhur kita untuk menyelamatkan, untuk menjaga bumi ini, sehingga bisa kita mewarisinya dengan baik”.

Jhontoni Tarihoran

Jhon mengungkapkan bahwa para leluhur Masyarakat Adat sungguh luar biasa. Menurutnya, mahakarya mereka itu menjadi satu bukti atas eksistensi generasi muda adat terkini.

“Betapa luar biasanya, betapa dahsyatnya, atau mahakarya itu yang sudah mereka lakukan sehingga tanah masih tetap kita jaga, dari tanah itu kita mendapatkan air, dari tanah itu kita bisa hidup, dan sampai sekarang di kampung-kampung kita bisa temukan itu semua atas warisan leluhur,” ungkap pemuda adat yang akrab disapa Jhon ini.

Ia menjelaskan bahwa gerakan BPAN seperti spiral, untuk melangkah ke depan harus melihat jauh ke belakang. Ini dipahami sebagai upaya untuk memperkuat jati diri sebagai pemuda adat dengan mencari tahu asal muasal sejarahnya.

“Sebagai organisasi di BPAN untuk kita semakin maju melangkah ke depan mustinya kita harus juga melihat semakin jauh ke belakang. Jadi kalau digambarakan itu ibarat spiral. Semakin ke depan, semakin dia tahu, semakin memperkuat jati dirinya, asal muasalnya, sejarahnya. Jadi kita tidak akan pernah kehilangan arah lagi untuk menentukan arah hidup ini, mau ke mana BPAN ini sebagaimana visi yang sudah kita rumuskan bersama”.

Jhon mengakhiri sesi bicaranya dengan menyampaikan bahwa ulang tahung ke-9 BPAN menjadi momentum untuk lebih memperkuat gerakan pemuda adat di Nusantara.

Rukka Sombolingi sebagai penanggap berikutnya, mengisi sesi dengan penuh semangat. Cara bicaranya yang khas seorang orator, begitu dinantikan. Namun, kali ini, di sesinya, ia bicara seperti seorang ibu kepada anaknya dan seperti seseorang bicara kepada sahabat karibnya. Ia memulai dengan mengapresiasi kerja-kerja BPAN selama ini. Ia mengawali dengan meletakkan optimisme.

“Umur BPAN masih 9, tetapi sesungguhnya kalau kita secara jujur merefleksikan apa yang sudah dicapai BPAN saat ini, itu sangat luar biasa. Pencapaian BPAN selama ini membuat saya yakin, Masyarakat Adat di nusantara ini tidak akan pernah punah. Kita masih akan tetap ada. Malah kita akan terus berlipat-lipat.

Kak Rukka, begitu kerap kali banyak orang menyapanya, kemudian bercerita sedikit tentang kisah dua buku yang dibedah. Menurutnya, Jhontoni dan Mina Susana Setra sangat berperan penting atas hadirnya dua buku tersebut. Saat gagasan tentang menelusuri jejak leluhur dihembuskan, saat itu ia (Rukka) masih menjabat sebagai deputi II Sekjen AMAN.

“Sebelum berdikusi, itu Mina langsung bilang, keren skali Ka, gagasan mereka”, ucap Rukka sambil menirukan ucapan dan eskpresi Mina Setra yang kini menjadi Deputi IV Sekjen AMAN.

“Dan ketika mendengarkan apa yang di sampaikan Jhontoni itu, saya tersentak”.

Rukka tersadar dan terkagum-kagum. Menurutnya, ternyata anak muda saat itu merasa hilang, tersesat, dan perlu mengenali diri sendiri. Menelusuri Jejak Leluhur kemudian menjadi caranya.

Ia kemudian, melanjutkan cerita dengan menjelaskan alasan Masyarakat Adat minder dan selalu menjadi korban stigma. Sehingga, kadang Masyarakat Adat terjebak dalam rasa minder, merasa kecil, dan kemudian mengakui sejarah yang ditulis orang lain atas dirinya. Bahkan juga, Masyarakat Adat mengaitkan sejarah dirinya dengan sejarah besar untuk membangkitkan kepercayaan diri.

“Masyarakat Adat selalu diletakkan sebagai orang yang kalah, kita selalu dipaksa percaya bahwa kita adalah orang yang kalah, kitalah orang kecil, kita kemudian merasa minder. Bagaimana mengangkat rasa percaya diri sedikit? Kita mengaitkan diri kita dengan mengaitkan sejarah kita dengan beberapa sejarah besar. Mengaitkan sejarah dengan Islam, mengaitkan sejarah dengan Kristen, mengaitkan sejarah dengan agama-agama lain. Karena itu adalah sejarah-sejarah besar. Nah, ini salah satu yang saya sebutkan tadi, bukan hanya sejarah kita yang diceritakan beda oleh orang lain tapi kita pun percaya dengan sejarah yang tidak persis benar itu”.

Hal ini menurut Rukka perlu diubah. Masyarakat Adat, terutama generasi muda adat harus percaya diri, tidak boleh minder, dan harus melawan stigma serta cerita-cerita yang tidak benar tentang dirinya. Menelusuri jejak leluhur dan menuliskan sejarah serta cerita dari Masyarakat Adat atau pemuda adat tentang dirinya sendiri menjadi salah satu cara ampuh.

Hadirnya buku-buku karya BPAN membuatnya optimis dan menurutnya ini adalah solusi atas masalah-masalah yang ia sampaikan.

“Buku ini membuat saya bahagia”, ucap Rukka sambil memegang buku-buku karya BPAN dan menunjukannya ke kamera.

Sekjend AMAN memegang buku karya BPAN

“Menurut saya, BPAN sudah meletakkan fondasi untuk peta jalan (road map) Masyarakat Adat ke depan. Generasi muda sangat penting untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Kita tidak lagi ditulis oleh orang lain, sesuai dengan pandangan dan sensor-sensor dari mereka”.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menutup sesi bicaranya dengan mengucapkan apresiasi dan selamat ulang tahun bagi BPAN. Di mata dan senyumnya, nampak kebahagiaan dan optimisme baru.

Kendali acara dikembalikan ke moderator. Acara dilanjutkan ke sesi selanjutnya, peluncuran buku. Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo menahkodai sesi ini.

“Baik, sebelum kita luncurukan buku ini secara khusus. Saya kasih waktu untuk Rikson memberikan tanggapannya dulu. Dua buku sudah dibahas secara mendalam di sesi bedah buku. Dua buku lagi akan kita bahas di lain waktu”.

Jakob kemudian memberikan kesempatan kepada Rikson dari Komunitas Mapatik untuk berbicara. Komunitas Mapatik adalah komunitas menulis di Minahasa yang terdiri dari berbagai latar belakang orang. Banyak penggerak di komunitas ini merupakan pemuda-pemudi adat anggota BPAN dan kader AMAN. BPAN dan Mapatik bekerjasama dalam mendukung aksi literasi pemuda-pemudi adat di Minahasa, Sulawesi Utara. Buku Minahasa Milenial menjadi bukti dan hasil dari upaya ini.

“Apresasi untuk buku, karya luar biasa yang dilahirkan oleh BPAN, kawan-kawan pemuda adat”, ucap Rikson selaku Director Komunitas Mapatik.

Di kesempatan bicaranya, ia mengapresiasi kerja-kerja BPAN, terutama para narasumber penulis buku dan materi yang disampaikan para penanggap. Ia juga menuturkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Masyarakat Adat merupakan pengalaman yang juga pernah ia dan kawan-kawan di Minahasa hadapi. Terutama, terkait stigma.

“Stigmatisasi Masyarakat Adat itu membunuh, benar-benar mematikan kepercayaan diri para pemuda adat. Membuat kita minder. Kami Masyarakat Adat Minahasa juga mengalami hal-hal itu. Saya yakin pengalaman ini, juga dialami oleh saudara-saudara saya di komunitas adat lain di nusantara bahkan di seluruh dunia”.

Stigmatisasi ini menurutnya sengaja dilakukan untuk memisahkan Masyarakat Adat dengan tanahnya dan menghilangkan identitasnya sebagai Masyarakat Adat.

“Kita kemudian sadar bahwa tindakan ini sengaja dilakukan. Kita kemudian sadar melalui proses diskusi ringan sesama teman-teman pemuda adat, bahwa ini sengaja dilakukan agar para pemuda, para Masyarakat Adat meninggalkan identitasnya. Agar mereka melupakan semua ingatan tentang tanahnya, tentang leluhurnya,” ungkap Rikson.

Rikson Karudeng

Ia lanjut mengisahkan bagaimana mereka di Minahasa menghadapi tantangan tersebut.

“Menulis tentang kita, menurut saya, sekali lagi sangat penting dilakukan hari ini. Ini untuk menegaskan apa yang disampaikan kawan-kawan narasumber dan para penganggap tadi. Kesadaran ini yang membuat saya dan kawan kawan, di 20 tahun lalu untuk kemudian melakukan gerakan perlahan-lahan. Walaupun dicibir. Namanya anak muda kadang disepelekan. Ketika menulis cerita dianggap tidak ilmiahlah. Tapi hari ini kawan-kawan merasakan betul bahwa karya yang dikerjakan sepuluh, lima belas tahun lalu, hari ini menjadi referensi utama. Bahkan banyak penulis menulis tentang tanah ini, oleh para narasumber menceritakan tentang Minahasa. Karya-karya ini memotivasi dan mengispirasi para pemuda-pemudi adat Minahasa hari ini untuk melakukan kerja-kerja literasi yang lebih giat”, jelas Rikson dengan semangat berapi-api.

Dikisahkan Rikson, upayanya dan para generasi muda di Minahasa, mengerucut dan fokus di kerja pendokumentasian dengan membentuk Mapatik.

“Tahun 2015, kawan-kawan kemudian memilih untuk lebih fokus dalam kerja dokumentasi, sehingga mengumpulkan teman-teman pemuda adat itu, dari berbagai komunitas, dalam sebuah komunitas yang dinamakan komunitas penulis MAPATIK”.

Diungkapkan Rikson, Mapatik, dalam bahasa Minahasa, berarti menulis.

“Karya-karya yang diceritakan oleh Ali dan kawa- kawan itu, tidak sekedar informatif, tapi edukatif, dan memotasi serta bisa menginspriasi,” tutup Rikson.

Acara yang dinantikan pun tiba. Peluncuran 4 buku karya BPAN.

Jakob melanjutkan acara.

Ada dua buku baru dari 4 buku yang akan diluncurkan BPAN. Dua buku tersebut yakni buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories dan Minahasa Milenial.

“Buku ini bercerita tetang bagaimana posisi pemudi adat, khususnya pemudi adat di komunitas kita,” terang Jakob sambil memegang buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories.

“Tapi ini lebih bercerita tentang keseharian pemudi adat di mana gelombang-gelombang masalah membuat mereka tersisih di wilayah adatnya”.

Buku kedua, Minahasa Milenial bercerita banyak hal tentang Minahasa di konteks keininian. Cerita tentang pemuda adat sebagai generasi milenial dan cerita Masyarakat Adat Minahasa juga dibahas di dalamnya.

Usai menjelaskan isi buku, Jakob kemudian meluncurkan buku tersebut secara resmi.

“Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para Leluhur Masyarakat Adat, sore ini kita secara resmi meluncurkan ke empat buku ini: Menelusuri Jejak Leluhur, Mahakarya Leluhur, Minahasa Milenial, dan Pemudi Adat Tersisih di Wilayah Adatnya. Terima kasih. Dengan demikian buku ini sudah menjadi referensi publik”.

Ketua Umum BPAN Meluncurkan 4 Buku Karya BPAN

Nampak terlihat, para hadirin yang hadir bertepuk tangan. Ekspresi-ekspresi gembira nampak di wajah semua yang hadir menyaksikan peluncuran buku secara langsung.

“Dan kiranya melalui launching keempat buku hari ini, kita terus maju bergerak dan kita akan menghasilkan karya-karya berikutny ayang membuktikan Masyarakat Adat akan terus ada dan berlipat ganda dan kita sebagai pemuda-pemudi adat menjadi garda terdepan dalam kerja-kerja kita sebagai Masyarakat Adat”, timpal Jakob.

Jakob menutup bicaranya. Ia mengangkat tangannya sambil dikepal. Ia berucap:

“Salam pemuda adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak, Mengurus Wilayah Adat!”

Sebuah video pendek berdurasi 4 menit, kemudian diputar. Video tersebut berisi mimpi-mimpi anggota BPAN dalam satu kata. Video itu menjadi penegas Tema Perayaan 9 tahun BPAN :”Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung”.

9 Tahun BPAN menjadi refleksi penting bagi gerakan Masyarakat Adat di nusantara. Upaya menelusuri jejak leluhur, membuat tulisan, dan menghasilkan buku, menjadi jalan dekolonisasi yang dipilih untuk menyatakan sikap dan eksistensi sebagai Masyarakat Adat. Semua upaya yang dilakukan oleh BPAN selama ini menjadi upaya dekolonisasi ala pemuda adat.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish