Ziarah Kultura

oleh Nedine Helena Sulu

Torang ini sapa….? 
Torang ini darimana….?
Kong mo kamana…?

Itu bahasa Manado melayu loh teman-teman… artinya : Kita ini siapa…? Kita ini darimana…? Dan mau kemana…?
Pertanyaan diatas adalah sebuah pertanyaan yang gampang dan mudah bahasanya sehingga cepat saja kita mengerti. Hanya untuk menemukan jawabannya menurutku tidak secepat otakku mengerti maksudnya, tidak seperti yang kubayangkan ! Ya, benar… perlu waktu, butuh perjalanan, harus sabar untuk menemukan jawabannya. Karena ini pertanyaan bukan tentang namaku, alamatku, dan mau jalan-jalan kemana. Tapi ini soal jatidiri, soal identitas sebagai manusia ciptaan-Nya.

Menjelang 13 Januari 2017 

Dua hari yang lalu saya memposting pamflet di fb dan instagram. Isinya begini : Menelusuri jejak leluhur. Tampa : Koha. Jam : 1 siang. Kegiatan : ziarah kultura & permainan tradisional. Pelaksana : BPAN Sulut & Sekolah adat Koha. Pake gambar orang lagi duduk diatas batu dibawah pohon. Pamflet yang singkat padat dan jelas. Dan… Oh ya, pamflet ini dibuat oleh Kalfein Wuisan. Pegiat budaya dari Wuwuk, komunitas yang jauhnya sekitar 40km dari komunitasku (Koha). 
Dia punya talenta, alat, dan niat. Makase banya Kals ! 

Sesaat diposting (saya tak tau kata lain posting) respon cepat skali datang. ketum BPAN : Mantap, semangat dst. Itu pujian dan doa menurutku. Mauliate ketua Jhon, selalu mendukung dan bersama kami. Top !
Selanjutnya disebar-sebarkan oleh kawan-kawan. Terus-terus menyebar dan semakin banyak orang yang tahu kegiatan ini. Ini yang kusuka dari medsos atau sosmed lebih khusus fb. Cukup kuota 1000 kb untuk menyampaikan kebanyak orang kebanyak tempat. Murah toh ? Bukannya pelit tapi kreatif haha…!
Era gadget ini memang mendekatkan yang jauh.

Ziarah kultura 
Jam satu siang teman-teman sudah berkumpul. Kami mulai diskusi kira-kira dimana lagi ada situs, selain situs yang akan kami kunjungi. 
Sambil makan kue natal, minum, duduk di lantai cerita terus mengalir. Satu-satu teman berdatangan. Tanpa menunggu lama kami langsung bergegas menuju Waruga. Waruga adalah kubur orang Minahasa dulu. (Foto, terlampir). Jasad diletakkan dalam posisi duduk. Namun sekitar abad 18 muncul penyakit kolera dan virusnya diduga berasal dari Waruga. Belanda waktu itu kemudian tidak lagi memperbolehkan kubur sistem Waruga. Ditambah lagi Kristen masuk dan penguburan langsung dengan tanah.

 
Waruga yang kami kunjungi kali ini adalah Waruga dari Dotu Dotu (leluhur) kampung kami, Koha. Dotu Rambing (lelaki) dan Doty Manarinsing (perempuan). Mereka katanya pendiri kampung. Dalam otakku : mendirikan rumah aja susah apalagi kampung. Sungguh hebat mereka ini!

Lalu kami mengunjungi Watu Pasela. Batu penanda pendirian kampung. Dimana ada batu itu disitulah kampung itu berdiri. Ada pula Watu Patar (baca: rata) dibatu itu terdapat tanda kaki kiri Siow Kurur. Leluhur Minahasa yang terkenal tinggi dan besar. Siow (9) kurur (lutut).

Selanjutnya kami mengambil foto bersama, saya pun tak mau ketinggalan ambil foto sebagai dokumentasi pribadi.
Saya tertarik dengan kata-kata seorang keluargaku. “Kalau saja zaman dulu sudah ada hardisk dan kamera pasti nenek moyang kita akan mendokumentasikan semua aktivitas mereka.” Hahaha… keren dia!

Untuk itulah kami melakukan ziarah kultura, mengunjungi situs-situs sejarah yang menjadi bukti peradaban Minahasa dulu. Menggali kembali cerita masa lalu (sejarah) yang hampir hilang. Sekolah-sekolah formal yang sekarang menjadi tempat menemukan ilmu dan pengetahuan tidak menyajikan cerita masa lalu. Khususnya cerita masa lalu kampung-kampung kami. Saya orang Minahasa justru akan lebih fasih menceritakan legenda Danau Toba, Tangkuban Perahu dan Candi Borobudur ketimbang Waruga. Anehkan? Ah, kami tidak mau keanehan itu menjadi panjang. Makanya kami berbuat sesuatu: ziarah kultura. Berkunjung, belajar dan berencana.

Kami juga datang sebagai tanda syukur dan penghormatan atas apa yang sudah leluhur-leluhur lakukan. Tapi kegelisahan seketika muncul. Waruga ini berada diarea galian C. Bagaimana nasib mereka nanti ya…?!

Permainan tradisional

Matahari mulai meninggalkan kami. Langit biru berangsur menjadi hitam. Tapi semangat masih menyala diantara kami. Bagaimana tidak? Pisang goreng plus dabu-dabu (sambal) tersaji untuk kami. Nikmat sekali hidup ini kawan!

(…tumbu-tumbu blanga// blanga minya rom// rom cakalele tom tom tom// buka satu dibawah…) ini lirik yang dinyanyikan saat bermain ‘tumbu-tumbu blanga’. Sebuah permainan tradisional yang kami punya, (Foto, terlampir). Mungkin saja ditempatmu ada hanya penyebutannya yang beda. Tapi, saya belum akan membahas dan mengurai apa saja permainan tradisional yang ada. Akan ada waktu lain untuk itu. 

Yang penting dibahas adalah dampak!

Permainan tradisional atau permainan rakyat membawa banyak pelajaran. Termasuk akan dihajar orang tua karena selesai bermain pasti baju penuh noda dan flek yang paling buruk itu sobek. Hahaha… tenang ya ma, anakmu bukan nakal tapi kreatif. Pelajaran lainnya adalah kebersamaan. Kita akan lebih sering terhubung dengan orang lain. Selalu ada interaksi. Sehingga hubungan kita dengan sesama terpupuk lewat permainan. Namun modernisasi memangkas itu. Berbagai macam rupa permainan modern masuk. Apalagi dipermudah dengan menjangkau lewat HP. Permainan modern membatasi kita terhubung dengan orang lain. Kita jadi memiliki dunia sendiri (aku & gadgetku ). Orang-orang jadi sulit berinteraksi dengan yang lainnya. Orangtua tidak marah-marah lagi soal baju kotor tapi marah karena malas belajar, mata akan rusak dan duit belanja beralih slot ke duit pulsa. 
Individualisme! Apakah itu maksud dan tujuan permainan modern? Tapi permainan modern saat ini sangat menarik hati banyak orang. Permainan tradisional hanya sebatas bernostalgia saja.

Tidak pernah ada kemenangan dalam individualisme. Tidak ada kekuatan yang kuat dalam sendiri. Tapi dalam bersama, kekuatan itu kuat. kita akan menang dua kali. Menang atas diri sendiri dan menang atas musuh.

Jeffar, kau….
“Kalo menulis usahakan jangan mengulang kata penghubung yang sama ya…” sambil menengok kami peserta pelatihan pendokumentasian Nov’ 2015 lalu. Sejak itulah saya mengenalnya: Jeffar Lumban Gaol. Rambut gondrong ubanan diikat, kacamata stenga tiang, blue jeans, kaos putih dan laptop. Begitu kira-kira sosoknya.

Ini nostalgia dan kenangan teman-teman. Karena dia sudah pergi menghadap Tuhannya. Dia sudah mengakhiri pertandingannya dengan baik didunia fana ini. Padahal saya belum melunaskan hutang sama beliau. Bukan hutang duit. Tapi tulisan singkatku yang sempat menjadi perdebatan waktu itu ‘Petani cap tikus’. Setiap ditagih saya menjawab : iya bang… saya akan buat tapi butuh waktu karena itu harus dibuat ‘benar’. Saya tidak mau menulis hanya untuk prestasi dan prestise. Kita sedang memutuskan rantai panjang teks pembodohan sejarah toh hehehe… “yaa.. ditunggu ya” sahutnya, sambil melinting.

Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.
Bang Jeffar kau sudah menjadi guruku… ini tulisanku yang lugu kupersembahkan untukmu. Semoga ini bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya mampu menginspirasi. Oh ya bang aku suka status facebookmu tahun 2015 itu : “Ya Tuhan.. semoga saya tidak bertemu kendaraan yang nyalakan lampu sein kanan lalu belok kiri.” ^_^

Selamat jalan bang Jeffar…!
Penyair Minahasa bilang begini : “Inilah kehidupan. Yang dikejar akan ditinggalkan dan yang diraih akan dilepaskan.” (Altje W)

Guru sudah pergi. Ilmu telah ditinggalkan. Mari berjalan bersama kawan. Ayo kita telusur siapa dan darimana kita, dan akan kemana. 
Jika ini jalan, ini adalah jalan sunyi, maka perlu keberanian untuk tetap berjalan. Jika ini arus, kita sedang melawan arus yang deras, butuh komitmen kuat agar tidak hanyut oleh arus. Jika ini peperangan, kita tidak lagi berperang melawan senjata laras panjang tapi kita sedang melawan cara berpikir. Salam!

IMG_4773

IMG_4772

IMG_4771

 

IMG_4768

BPAN Persatukan Pemuda Adat Moi Maya

Dewan pemuda adat region papua gelar kegiatan konsolidasi pembentukan kordinator pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara, Salawati 26 Desember tahun lalu. Dalam pembentukan tersebut banyak pemangku adat ikut terlibat dalam diskusi bersama para generasi muda adat Moi Maya.

Semangat konsolidasi pembentukan ini dilandasi dengan melihat situasi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dan pemuda adat. Bertalian erat dengan itu, konsolidasi ini juga beralaskan visi BPAN yakni Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Dewan pemuda adat nusantara region Papua—penulis sendiri—mengatakan bahwa Barisan Pemuda Adat Nusatara (BPAN) adalah organisasi yang mewadahi perjuangan bagi gerakan pemuda adat se-nusantara. Saat ini BPAN tersebar di tujuh region: Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera; serta telah berkibar di 17 wilayah: Tano Batak, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Baralosa NTB, Tana Luwu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara untuk  kembali ke kampung mengurus wilayah adat, dalam rangka mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat adat  pada masa mendatang.

Tujuan lain: meningkatkan pemahaman pemuda-pemudi adat Moi Maya tentang situasi dan gerakan masyarakat adat, membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya, membangun kepengurusan organisasi pemuda adat di tingkat kampung, daerah, dan wilayah;  membangkitkan rasa senasib sepenanggungan atau solidaritas di antara pemuda-pemudi adat di daerah kepulauwan Salawati kecil (Moi Maya).

Laurens Dumur, ketua adat kampung Samate, sangat responsif pada kegiatan pembentukan kordinator muda distrik Salawati utara. “Kami selaku orang tua mengharapkan kepada kalian sebagai generasi penerus perjuangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusatara agar lambat atau cepat harus membuat kepengurusan di tangkat distrik dan kampung suku besar  Moi Maya Kepulauan Raja Ampat,” katanya di hadapan para pemuda adat.

Dengan penuh keyakinan Laurens Dumur mengungkapkan bahwa dirinya berterima kasih  karena kepada anak-anak muda yang sudah menceritatakan dengan jelas bahwa AMAN adalah organisasi kultur yang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat adat nusantara secara umum dan lebih khusus bagi suku besar Moi Maya Kepulauan Raja Ampat.

Beliau pun menceritakan kembali sejarah perjalanan mereka: ada beberapa marga-marga yang dulu sudah ada di kepulauan Salawati ini, tapi sekarang satu marga sudah punah, yaitu marga Buklis. Sedangkan yang masih ada adalah marga Mobalen Malayabuk, Moicu, Demur, Klagilik, Parajau Klasin Moi Filik dan marga  Klapai. Marga-marga ini di bagi juga berdasarkan suku besar Parajau.

Dalam kenyataannya perkembangan di pulau Salawati ini sudah banyak perubahan yang terjadi. Perubahan datang dari ‘luar’ masuk lewat jalur pemeritah, misalnya pembangunan secara fisik. Tampak saat ini seperti transmigarasi dan ilegal logging oleh PT. Hanurata. “Proyek-proyek ini turun kemudian menghacurkan ruang-ruang hidup kami  suku Maya yang tinggal di Kepulauan Salawati,” kenang Laurens.

Beliau menuturkan bahwa perusahaan dan pemerintah datang membodohi pemilik hak ulayat mereka hanya memperkaya dirinya. Sementara masyarakat adat hidup dalam tangisan. Harapan kami selaku orang tua, katanya lebih lanjut, kepada anak-anak  muda Moi agar terlibat dalam kepengurusan AMAN. Selain itu pemuda adat tolong juga membantu orang tua untuk sama-sama memperjuangkan dan terus melindungi pulau Salawati dari rencana tata ruang pemerintah yang turun dan menghancurkan ruang hidup kita, lanjutnya.

img_20161223_223458

img_20161223_223439

img_20161223_184744

** Melianus “Achel” Ulimpa

 

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish