Retret Metodologi Pendidikan Adat [6]
Deklarasi
Hari kelima (23/3) menjadi hari terakhir pelaksanaan kegiatan Retret Metodologi Pendidikan Adat. Seluruh peserta, fasilitator maupun panitia bergerak ke arah hutan. Melewati persawahan dan rumah adat serta jejeran lumbung padi (leuit), keseluruhan orang menuju satu lokasi eksotis.
Dekat hutan, di atas sawah terasering, berdampingan dengan kolam ikan, kami duduk melingkar di atas tikar biru. Langit biru menjadi atap, alam terbuka sebagai hiasan tiada tara. Duduk melingkar seperti dalam setiap sesi kami lakukan menguatkan ikatan antarindividu dan dengan wilayah adat serta alam semesta.
Saat bersila melingkar itulah para penggerak utama pendidikan adat berdiskusi merumuskan deklarasi hasil retret. Silang pendapat memanaskan situasi ketika sistem pendidikan nasional menjadi permulaan bahasan. Hampir tanpa jeda saat membicarakannya, apakah selama ini sisdiknas berdampak positif terhadap Masyarakat Adat atau pelaksanaannya yang belum riil di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi.
Sebelumnya peserta lingkaran menyepakati membahas pradeklarasi yang dirumuskan drafter sebelumnya lewat metode kalimat per kalimat. Meskipun draft pradeklarasi hanya terdiri dari tiga paragraf, pembahasan per kalimatnya memakan waktu 45 menit.
“Jadi, telah sepakat bahwa kita membahas kalimat demi kalimat, bukan paragraf per paragraf,” tegas Simon Pabaras menyimpulkan kesepakatan mufakat peserta lingkaran.
Rapat lingkaran dalam waktu menuju satu jam akhirnya menyusun redaksi untuk kalimat pertama di paragraf awal. Kemudian dilanjutkan membahas kalimat kedua, ketiga. Walaupun begitu rapat lingkaran tetap berjalan sangat alot.
Beno, mengingatkan peserta pada sejarah awal kemerdekaan Republik Indonesia. Menurutnya, beginilah situasi rapat membahas dan menyusun teks Proklamasi.
“Kita harus menegaskan kalimat per kalimat, namun dengan frasa-frasa pendek. Esensi kontennya bisa merangkum penjelasan panjang, sebagaimana dulu Soekarno dan pendiri Republik (Indonesia—red) ini menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan,” seru Akang Beno asal Sekolah Pasawahan Pasundan.
Belum selesai paragraf pertama, hujan turun. Rapat lingkaran dilanjutkan di Balai Pertemuan Kasepuhan, tempat para sesepuh Ciptagelar mengadakan rapat saat acara Serentaun tiba.
Perbedaan pandangan masih terbawa hingga ke Balai Pertemuan, meskipun peserta lingkaran sependapat akan menegasi sistem pendidikan nasional. Sebagaimana akhirnya tertuang dalam paragraf pertama, bahwa sistem pendidikan nasional mencerabut anak-anak Masyarakat Adat dari orangtua dan secara keseluruhan dampak negatif pendidikan nasional mengancam keberlanjutan hak-hak Masyarakat Adat.
Atas permasalahan mendasar tersebut, rapat lingkaran menyepakati muatan dalam paragraf kedua dan ketiga. Adapun pandangan umum yang merupakan komitmen seluruh peserta Retret Metodologi Pendidikan Adat tertuang menjadi tiga bagian:
- Menciptakan generasi yang menjaga wilayah adat, tradisi, budaya, adat istiadat dan lingkungannya.
- Memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
- Mempertahankan serta mengembangkan nilai-nilai pengetahuan dari leluhur Masyarakat Adat atas dasar asas keberagaman.
Isi deklarasi ditutup dengan pernyataan kesadaran, pergerakan riil, serta visi untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang Mandiri, Berdaulat, dan Bermartabat.
Pada puncak perumusan deklarasi, seluruh peserta lingkaran bangkit berdiri untuk menyaksikan pembacaan isi Deklarasi Pendidikan Adat. Nanang Sujana merekam langsung secara audio-visual. Deklarasi ini menjadi tonggak awal gerakan pendidikan adat di nusantara sebagai antitesis pendidikan nasional yang selama ini menjauhkan Masyarakat Adat dari wilayah adat dan hak-haknya.
“Bersama deklarasi ini, mari kita sama-sama memekikkan: Pemuda Adat Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat. Hotu, hotu, hotu,” teriak Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran sekaligus menutup acara Retret Metodologi Pendidikan Adat, Kasepuhan Ciptagelar 19-23 Maret 2016.