Bakobong, Kedaulatan Pangan, dan HTN
“Qta pe papa petani. Qta lei petani. Bangga noh”.
Ucap seorang kawan pemuda adat, Aldi Egeten.
Ia lantas melanjutkan aktivitasnya. Mengayun parang. Menebas rerumputan. Membuka lahan untuk diolah bersama-sama. Menujukkan bahwa kedaulatan pangan ada di tangan pemuda adat.
Aktivitas seperti menyiangi kebun, menanam, dan semua aktivitas bertani sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini pun bukan hal baru bagi sebagian kawan yang bekerja bersamanya.
Aktivitas”bakobong” atau berkebun, baginya dan teman-temannya tidak seperti sebagian tokoh publik ataupun oknum politisi yang menjadikannya sebagai bagian dari pencitraan politik. Oknum-oknum ini mempolitisasi ‘berkebun dan bertani’ hanya demi meraup suara, apalagi di musim pilkada seperti ini.
Tinggal di kampung menjadi sebuah kebanggaan. Menjaga kampung, mengolah tanah, menjadi anak petani, dan menjadi petani. Ini yang sebagian pemuda Ro’ong Wuwuk pahami. Mereka sudah sejak lama berkerja bersama. Mapalus dan Sumembong menjadi kearifan Minahasa yang menggerakkan mereka.
Terlahir dari keluarga petani dan besar sebagai petani, membuat mereka mampu mengerjakan banyak hal. Semua pengetahuan itu di dapatkan di kampung.
Beberapa dari mereka telah menamatkan pendidikan Strata Satu, lainnya menyelesaikan SMA. Status pendidikan, tidak membuat mereka kehilangan pijakan dengan tanah. Malah ini membuat ikatan dengan kampung menjadi kuat. Tesis mengenai “bersekolah memutuskan hubungan dengan kampung, dengan tanah” tidak berlaku di sini. Mungkin di tempat lain. Orang-orang ini sangat terbuka dengan modernitas, termasuk pendidikan modern dan update teknologi terbaru. Mereka bersekolah dan juga berkebun. Di sela-sela istirahat di kebun, mereka bermain game, bermedia sosial, dan berselancar di internet untuk membaca informasi serta pengetahuan tentang banyak hal. Semangat ini ada dalam spirit Mawale.
Mawale atau Kesadaran Kembali ke Kampung atau membangun rumah menjadi kesadaran dan ideologi kultural yang dihidupi. Bersekolah dan bekerja di luar kampung, membuat mereka mesti terus terhubung dengan kampung untuk mengisi dan melengkapi ‘sesuatu’ yang tidak lengkap di kehidupan mereka. Kesadaran ini juga makin dipertegas usai mereka berbagi bersama di Sekolah Mawale yang diadakan di Wuwuk tahun 2011.
Selama ini mereka hidup mengolah tanah dengan bertani secara individu maupun kolektif. Secara kolektif mereka bersama saling membantu. Baik bekerja bersama orang tua di kebun, maupun bekerja bersama dengan kawan mengolah tanah. Kekuatan kerja kolektif ini di Minahasa disebut Mapalus. Selain itu, kearifan lain yang digunakan yaitu Sumembong atau baku tulung, saling membantu tanpa pamrih.
Kesadaran kultural inilah yang dipahami dan dihidupi oleh Farino Regar, Valentino Rompas, Clief Rumengan Clief,, Harly Wuisan Iroth, Petra Rondonuwu, Lisah Rumengan, dan Aldi Egeten serta sebagian besar kawan orang muda di Ro’ong (kampung) Wuwuk. Mereka juga adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Pengurus Daerah (PD) Minahasa Selatan (Minsel). Bukti konkrit kesadaran kultural mereka yaitu mereka membuka Lahan Kebun yang baru untuk dikelola bersama.
Kamis, 24 September 2020 yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN), mereka jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menunjukkan kesadaran kulturalnya tentang bakobong. Upaya mereka ini, juga menjadi bagian dari perayaan HTN 2020 bersama seluruh petani, aktivis, LSM dan NGO di seluruh nusantara. Mereka memilih membuka lahan, memasak dan makan bersama kuliner Minahasa menjadi bentuk acara perayaan HTN.
Inong, begitu sapaan akrab Farino Regar. Rabu malam, 23 September 2020, ia dan beberapa kawan sudah berkumpul di rumah Allen Rompas. Malam itu seperti malam yang lain. Usai bekerja seharian di kebun dan kerja bangunan, mereka berkumpul. Berbincang, bercanda, melepas lelah sambil main game atau berselancar di internet menjadi aktivitas rutin tiap malam. Namun, di malam itu mereka berkumpul mendiskusikan agenda bersama pada keesokan harinya di momen HTN.
“Jadi bagaimana ?”, tanya Inong.
“Besok torang somo mulai babuka Kobong neh. Pas Kote Lei besok Hari Tani Nasional. Torang somo buka Allen pe Kobong, Kong Torang momasak kuliner Minahasa Kong makang bersama”, tutur Aldi Egeten, Ketua BPAN PD MINSEL.
Mereka sedang membicarakan upaya untuk mengolah kebun secara bersama sebagai bagian dari gerakan kedaulatan pangan masyarakat adat. HTN menjadi momentum yang tepat. Cocok dengan rencana mereka yang sudah lama. Walaupun, mereka juga selama ini sedang mengurus kebun masing-masing.
“Ok. Besok mulai pagi Jo”, sambung Allen.
Mereka mulai membagi tugas. Membahas secara mendalam apa yang akan dilaksanakan.
“Besok pagi, nanti qta Deng Kale yang pigi pasar. Mobabelanja voor mo masak. Tamang2 laeng basiap jo pigi kobong kamuka”, ucap Lisah. Ia perempuan muda Wuwuk yang sangat bersemangat dengan hal-hal seperti ini.
Malam semakin larut, menutup diksusi mereka. Besok hari ada aktivitas besar di momen penting yang harus mereka jalani.
Sebelum matahari naik tinggi, keesokan harinya, mereka sudah siap.
Usai berkumpul di rumah Allen mereka menuju kebun bersama. Hari itu, mereka meninggalkan pekerjaan pribadi dan memberikan waktu penuh untuk kerja bersama.
Kebun milik Allen adalah kebun pertama yang akan mereka olah bersama. Letaknya di ujung kampung. Sekitar 500 meter, di sebelah kiri jalan raya. Kebun tersebut di dalam bahasa Minahasa jenisnya ‘Katanaan(g)’. Di sana akan ditanam Jagung dan rempah-rempah.
Di hari tersebut, mereka membuka lahan secara bersama. Stelah itu, mereka memasak dan makan kuliner Minahasa bersama. Sambil merayakan HTN 2020.
Kebun kedua yang mereka garap merupakan kebun sawah. Di sana mereka akan memelihara ikan Pongkor atau ikan mas. Telaga yang mereka olah kembali sebelumnya sudah tidak diolah. Selain ikang Pongkor, mereka juga berencana menguatkan kedaulatan pangan dengan memelihara babi dan ayam.
Berkebun sudah menjadi aktivitas sehari-hari mereka. Itu telah dihidupi berpuluh tahun, sejak mereka kecil. Keluarga, orang tua, dan teman menjadi guru. Alam menjadi sumber belajar dan sumber kehidupan.
‘Membaca buku alam” menjadi salah satu landasan pengetahuan kultural mereka tentang bakobong dan tentang hidup di kekinian.