Aksi #TutupTPL Meluas, Pemuda-pemudi Adat Senusantara Desak TPL Ditutup

Aksi juang #TutupTPL yang digelorakan mulai dari Masyarakat Adat sampai masyarakat sipil lainnya di Sumatera Utara terus meluas. Semangat perjuangan mereka menjaga wilayah adat telah menyentuh dan menggerakkan empati banyak orang untuk berjuang bersama. Upaya mereka agar PT. Toba Pulp Lestari, Tbk ditutup selama-lamanya, terus mendapat dukungan. Salah satunya datang dari para pemuda-pemudi adat nusantara yang secara tegas menyatakan dukungan mereka agar PT. TPL ditutup.

Aksi dukungan dan solidaritas perjuagan dari generasi muda adat nusantara mewujud dalam berbagai bentuk. Ada yang mengganti foto profil dengan menggunakan bingkai foto ‘Relawan Aliansi Gerakan Aksi (GERAK) Tutup TPL’, membuat aksi-aksi di daerah masing-masing, dan banyak bentuk aksi lainnya.

Para pemuda-pemudi adat dari Tano Batak pun terus melakukan perjuangan. Sosial media menjadi medan tempurnya. Mereka memberikan banyak informasi penting terkait aktivitas TPL, Danau Toba, dan perjuangan Masyarakat Adat melawan TPL selama ini. Lasron Sinurat, salah satunya. Ia mengisi beranda Facebooknya dengan berbagai berita terkait pejuang-pejuang Masyarakat Adat yang melawan TPL (dulu Indorayon).

Menurut Lasron, TPL telah merampas sumber penghidupan dan tanah adat Masyarakat Adat di Tano Batak.

“TPL telah merampas sumber penghidupan Masyarakat Adat di Tano Batak. Tanah adat selain identitas juga sebagai alat produksi Masyarakat Adat di Tano Batak, yaitu sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah adat ini kerap diklaim sebagai lahan konsesi perusahaan, bahkan banyak tanah adat dikuasai perusahaan tanpa persetujuan ataupun tanpa sepengetahuan komunitas Masyarakat Adat, sehingga kerap memicu konflik tanah adat, seperti konflik Masyarakat Adat di Natumingka, Kabupaten Toba”.

Dikatakan Lasron, TPL tidak hanya merampas tanah adat namun juga melakukan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba.

“Selain itu, perusahaan ini telah mengakibatkan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba. Salah satu contoh yang terjadi terakhir ini adalah pemerintah dan salah satu perusahaan swasta bekerja sama melakukan rekayasa cuaca untuk mendatangkan hujan. Kondisi ini menjadi bukti bahwa perusahaan ini layak untuk ditutup demi perbaikan kehidupan masyarakat,” tutur Lasron.

Awal bulan Juni, jagad sosial media diramaikan oleh banyak pemuda-pemudi adat senusantara mengganti foto profil mereka dan membuat postingan di platform sosial media mereka dengan menggunakan hashtag #TutupTPL. Upaya ini dilakukan oleh para pemuda-pemudi adat, bukan hanya sekadar ikut-ikutan, tapi merupakan upaya konkrit untuk berjuang bersama Masyarakat Adat melawan TPL. Para pemuda adat dari Tano Batak dan Sumatera Utara terus memberikan informasi penting di sosial media dan informasi tersebut disebarluaskan oleh banyak pemuda adat senusantara.

Erlina Darakay, pemudi adat asal Maluku, turut menyatakan dukungan atas aksi #TutupTPL. Ia adalah Dewan Pemuda Adat Nusantara dari region Kepulauan Maluku. Menurutnya, apabila TPL dibiarkan beroperasi maka berakibat pada rusaknya eksosistem dan merugikan Masyarakat Adat setempat.

“Solidaritas aksi tutup TPL merupakan bentuk komitmen bersama AMAN dalam melindungi kelestarian alam. Alam merupakan tempat bagi Masyarakat Adat hidup.  Jika TPL dibiarkan beroperasi maka akan terjadi kerusakan ekosistem dan akhirnya merugikan manusia, terutama Masyarakat Adat setempat. Kalau alam yang adalah rumah bagi Masyarakat Adat dihancurkan atau dirusak maka hancur pula kehidupan Masyarakat Adat”.

Ia mengajak para pemuda adat di Maluku dan seluruh Indonesia Timur untuk masuk dalam barisan perjuangan Masyarakat Adat mendesak TPL segera ditutup.

“Pemuda adat adalah generasi penerus Masyarakat Adat dan tongkat perjuangan Masyarakat Adat terletak pada anak muda, makanya  anak muda harus menjadi garda terdepan untuk mempertahankan wilayah adat jangan sampai kita kehilangan jati diri sebagai Masyarakat Adat. Kesadaran yang dimiliki anak muda untuk menjaga wilayah adat/lingkungan adalah agar tetap lestari, dan biarkan Masyarakat Adat mengelola wilayah adat mereka sendiri. Masyarakat Adat akan merasa terancam jika TPL beroperasi. Maka itu harus ditutup,” tutur Darakay.

Senada dengan Erlina, Murniasih D. Rangka turut memberikan tanggapannya dan dukungannya terhadap aksi Tutup TPL.

“Salah satu cara dukungan kita yaitu post di media seperti Facebook, Instagram dengan tagar Tutup TPL. Saya sudah lakukan itu kemarin”.

Menurutnya, aksi Tutup TPL harus dilakukan karena TPL telah merusak dan menghancurkan hajat hidup orang banyak dan mencemari Danau Toba.

“Aksi tutup TPL memang harus dilakukan, baik itu oleh masyarakat sekitar Tano Batak maupun masyarakat luarnya. Karena TPL merupakan perusahaan yang sangat merusak dan menghancurkan hajat hidup masyarakat sekitar seperti tercemarnya Danau Toba. Seharusnya pemerintah juga merespon terkait hal ini jangan tutup mata. Sebagai pemuda adat, kita mendukung aksi tutup TPL ini sebagai bentuk solidaritas kita dari pemuda adat Kalimantan Tengah,” jelas Mumuy selaku Ketua Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Tengah.

Juan Ratu, pemuda adat dari Minahasa ikut memberikan dukungan dan desakan. Usai mengganti foto profil facebook sebagai rasa simpati dan solidaritas perjuangan bersama agar TPL ditutup, ia turut menyampaikan dukungan penuh supaya TPL ditutup. Baginya, aksi Tutup TPL adalah perjuangan bersama.

“Solidaritas untuk aksi tutup PT. TPL adalah bentuk perjuangan bersama, yang berdasarkan nilai luhuriah dari setiap Masyarakat Adat. Dalam beragam budayanya tetap bertumpu pada solidaritas dan gotong royong. Seperti di Minahasa, aksi solidaritas sering disebut Mapalus atau saling baku bantu.”

Selain sebagai pemuda adat yang aktif dalam ranah perjuangan Masyarakat Adat, Juan kini sedang menyelesaikan kuliah Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Ia juga saat ini sedang aktif membantu mengadvokasi perjuangan Masyarakat Adat di Minahasa. Dalam perspektif hukum, menurutnya, TPL harus ditutup karena tidak sesuai dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.

“PT. TPL harus ditutup karena tidak sesuai konstitusi negara Indonesia. TPL menjadi ancaman bagi kelestarian hutan, adat dan budaya Masyarakat Adat Batak. Eksploitasi wilayah adat adalah eksploitasi terhadap jati diri bangsa, karena Pancasila digali dari nilai yang dihidupi oleh Masyarakat Adat,” tegas Juan yang juga adalah Ketua DPD GMNI Sulawesi Utara.

Sucia L. Y. Taufik, pemudi adat dari Kasepuhan Bayah, Banten Kidul, selain memberikan dukungan agar TPl ditutup, ia turut mengapresiasi upaya para pemuda yang bergerak bersama berjuang mendesak TPL ditutup.

“Sebagai pemuda adat, saya turut bangga dan salut atas solidaritas dalam aksi Tutup TPL. Keterlibatan pemuda adat membuktikan bahwa kekuatan dan solidaritas Masyarakat Adat begitu erat, dan hal tersebut juga merupakan bukti kecintaan Masyrakat Adat terutama pemuda adat terhadap tanah kelahirannya,” tutup Lucia selaku Ketua Pengurus Daerah BPAN Banten Kidul.

Apabila TPL sudah ditutup, hal itu akan membuat Masyakarat Adat hidup lebih baik. Hal ini sudah dibuktikan dan ditegaskan berulang-ulang oleh Masyarakat Adat, termasuk Maruli, pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Sumut. Dituturkannya, Masyarakat Adat di komunitas adatnya baru saja panen dan akan panen lagi dalam waktu dekat. Lahan yang diolah mereka, dahulu diklaim sepihak dan ditanami eukaliptus oleh TPL. Namun, sejak 2016 lahan tersebut berhasil direbut kembali dan ditanami banyak tanaman pangan oleh Masyarakat Adat komuntasnya.

Walaupun sudah menikmati hasil yang melimpah dari lahan di wilayah adat mereka, menurut Maruli, Masyarakat Adat masih mendapatkan intimidasi dan ancaman dari TPL. Hal ini, menurutnya, menjadi alasan TPL harus segera ditutup.

“Menikmati hasil pertanian melimpah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dialami masyarakat Desa Tapian Nauli III. Ini adalah buah setelah tekad dari masyarakat atas wilayah adatnya melawan korporasi. Walaupun begitu, sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” kuncinya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Simanjutak: TPL Tutup, Ekonomi Masyarakat Adat Makin Berkembang

“Jadi tidak adalah ceritanya Masyarakat Adat akan susah jika TPL ditutup, justru perekonomian masyarakat akan semakin berkembang jika TPL ditutup,” ungkap Maruli Simanjutak.

Ia adalah pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut). Selain giat dalam perjuangan bersama pemuda dan Masyarakat Adat dalam aksi #TutupTPL, Maruli aktif dalam wilayah adatnya dengan memastikan kedaulatan pangan di komunitasnya. Ia juga membantu Masyarakat Adat dalam memasarkan hasil-hasil pertanian mereka. Salah satunya, hasil pertanian Eben Simanjutak.

Kamis, 17 Juni 2021, Eben Simanjutak salah satu warga Desa Tapian Nauli III begitu bahagia. Ia merupakan keturunan Ompu Niharbangan Pardede dari pihak boru. Usahanya mengelola tanah di wilayah adat Ompu Niharbangan Pardede berbuah manis. Di hari tersebut ia panen cabai dan kentang sekitar 1.200 kilogram yang kemudian dikirim dan dijual ke Siborongborong.

Lahan pertanian yang dikelola Eben Simanjutak di wilayah adatnya dahulu ditanami eukaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, sejak tahun 2000 Masyarakat Adat berjuang untuk merebut tanah adat tersebut.

“Lahan ini sebelumnya diklaim sepihak oleh Kehutanan dan memberikan izin konsesi ke PT. Toba Pulp Lestari, Tbk untuk ditanami eukaliptus. Mulai sekitar tahun 2000, masyarakat sudah berjuang untuk tanah ini. Namun perusahaan selalu menakut-nakuti masyarakat dengan menghadapkan aparat kepada kami. Banyak masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi oleh perusahaan. Namun masyarakat tidak pernah takut dan semangat perjuangan tidak pernah luntur. Karena memang tanah ini adalah tanah adat,” tutur Maruli.

Menurutnya, perjuangan panjang Masyarakat Adat di tempatnya tidak pernah padam sehingga upaya mereka pelan-pelan berujung keberhasilan. Tahun 2016 Masyarakat Adat berhasil melawan dan menjadikan wilayah adat tersebut sebagai lahan untuk bercocok tanam.

“Masyarakat Adat terus menerus berjuang dengan semangat yang tidak pernah luntur sehingga pada tahun 2016 Masyarakat Adat Turunan Ompu Niharbangan Pardede berhasil melawan koorporasi dan menjadikan lahan ini sebagai  lahan untuk bercocok tanam,” ucapnya.

Ditambahkan Maruli, Masyarakat Adat  yang ada di komunitasnya telah menikmati hasil pertanian yang melimpah sejak tahun 2016.

“Menikmati hasil pertanian melimpah seperti ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dilakukan masyarakat Desa Tapian Nauli III setelah masyarakat bertekad atas wilayah adatnya melawan korporasi. Namun sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” tambahnya.

Maruli mengatakan, walau di tengah perjuangan melawan intimidasi perusahaan, Masyarakat Adat di Desa Tapian Nauli III tetap semangat mengelola wilayah adatnya. Setelah panen cabai dan kentang, mereka sementara bersiap panen padi.

“Saat ini Desa Tapian Nauli III sedang menunggu masa panen padi gogo dengan benih sekitar 300 kaleng. Semoga alam semesta memberikan hasil yang baik,” tutupnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Tidak Ingin Bergantung dengan Pasar, Pemuda Adat Sumsel Budidayakan Ikan

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, tak lama setelah pandemi melanda dunia, menyerukan kepada seluruh Masyarakat Adat Nusantara agar melakukan karantina bermartabat disusul dengan program kedaulatan pangan sebagai respons terhadap situasi umum termasuk ancaman krisis pangan di mana negara berjarak teramat jauh dari komunitas adat dari segala aspek.

Kedaulatan pangan digerakkan oleh komunitas-komunitas termasuk perempuan dan pemuda adat. Ada yang berkebun palawija, ada yang berkebun jahe, sayur-sayuran, beternak dan sebagainya.

Wawan Dipkarso, pemuda adat asal komunitas Marga Rambang Kapak Tengah Suku III, Dusun I, Desa Pagar Agung, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan salah satunya. Ia bersama sekitar 30 orang dalam kelompoknya membudidayakan ikan seperti lele dan nila, di samping menyemai sayuran bahkan singkong.

Situasi masyarakat yang sudah mulai konsumtif dan semuanya serba instan, menurut Wawan, adalah alasan yang melatarbelakangi ia dan kelompoknya menggerakkan kedaulatan pangan di komunitasnya. Di samping itu, pandemi covid-19 yang melanda dunia menuntutnya sebagai generasi penerus untuk berpikir dan bertindak membantu komunitas adatnya agar tidak terancam krisis pangan.

Ia memaknai kedaulatan pangan yang sangat terikat kuat dengan tanah di mana segala kebutuhan bagi keberlagsungan hidup secara ekonomi, sosial, budaya dan politik itu berdiri kuat yang membuat Masyarakat Adat berdaulat. “Karena dengan mengolah tanah kita bisa menanam apa pun untuk dihasilkan dikonsumsi bahkan dijual,” katanya.

Sejak memulai program kedaulatan pangan, Wawan menuturkan, mereka sudah memanen ikan lele satu kali. Wawan dan kelompoknya menyiapkan 10 kolam ikan, dan panen perdana lele itu berasal dari tiga kolam. Setelah panen akan dilanjutkan kembali menebar bibit lele untuk proses keberlanjutan.

Panen lele / doc: Wawan Dipkarso

“Kurang lebih ada 40 kg lele yang kita panen. Hasilnya kita bagi ke sekitar 60-an orang meliputi: warga sekitar, angggota kelompok, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Daerah dan mahasiswa. Tiap orang mendapatkan empat ekor yang beratnya kira-kira 600 gram”, lanjutnya.

Sebagai pemuda adat, Wawan menggarsbawahi bahwa aksi kedaulatan pangan yang dia dan kelompoknya lakukan adalah aksi meneruskan praktik-praktik orang tua dan leluhurnya. 

“Melalui kedaulatan pangan, kami ingin mengulang kembali kejayaan nenek moyang dulu, yaitu tidak tergantung dengan pasar. Kami ingin semuanya serba ada di wilayah adat kami sendiri. Kedaulatan pangan ini juga menjadi upaya edukasi dan ajakan supaya masyarakat sadar arti pentingnya tanah, apalagi tanah ulayat”, tutup Wawan.

Penulis: Jakob Siringoringo

Ketika Pemuda Adat Memilih Pulang Kampung

Menjadi salah satu sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) atau organisasi para pemuda adat merupakan harapan bagi perkembangan dan pelestarian adat di komunitas Masyarakat Adat. 

Generasi muda adat menjadi tonggak harapan Masyarakat Adat untuk mengembangkan wilayah adat termasuk melestarikan budaya.

Aku menjadi salah satu pemuda di komunitas adat Sidole yang pada tahun 2019 kemarin mendaftarkan diri menjadi anggota BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan BPAN maupun AMAN, merasa sangat terbantu untuk kembali mengenali adat istiadat di komunitasku, Kaili Lauje di Sidole. 

Aku pun kemudian dikenalkan dengan pentingnya gerakan pulang kampung, tentang peranku yang akan sangat bermanfaat bagi kampungku jika aku kembali dibandingkan berada di rantau yang hanya menguntungkan diri sendiri. Ditambah lagi bertemu dan berbagi cerita dengan teman-teman dari berbagai penjuru nusantara dengan pengalaman dan pemahaman mereka terkait adat di komunitasnya membuatku malu pada diri sendiri yang sangat minim ilmu tentang wilayah tempatku dan leluhurku terlahir. 

BPAN dengan gerakan pulang kampungnya berupaya menjaga pemuda juga Masyarakat Adat pada umumnya untuk tetap mencintai dan merasa bangga dengan budaya dan kearifan lokalnya sehingga ilmu yang diperolehnya dari sekolah ataupun perguruan tinggi dimanfaatkannya untuk pengembangan potensi di komunitasnya untuk kebermanfaatan Masyarakat Adat di wilayahnya.

Ibarat pohon, pemuda adat adalah batang pohon yang akan menyebarkan sari pati tanah yang telah diserap oleh akar (leluhur) pada ranting-ranting sehingga menumbuhkan dedaunan untuk foto sintesis yang kemudian akan memberikan keberlangsungan hidup pohon (kehidupan Masyarakat Adat) hingga menghasilkan buah. Pemuda adat haruslah mengupayakan segala cara dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya untuk mengembangkan potensi wilayahnya, menjaga, mendata dan mendokumentasikannya dengan memulainya dengan diskusi antarpemuda di kampungnya, berbagi ide dan gagasan untuk tujuan mengembangkan dan melestarikan  nilai atau tatanan hidup Masyarakat Adat di komunitasnya.

Kehadiran pemuda adat diharapkan dapat menjadi penghubung masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Menjadi generasi yang bisa menggali potensi wilayah adat, mendata kearifan lokal termasuk sejarah, seni budaya juga ritual adat sehingga generasi mendatang masih bisa mengetahui dan mengenali kearifan lokalnya sehingga dengan bangga menampakkan keadatannya. 

Adat menjadi hal yang sangat sakral bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang lebih dikenal dengan Masyarakat Adat. Keberadaan adat istiadat di era modern saat ini rentan karena telah banyak pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merecoki tatanan kehidupan dalam Masyarakat Adat. Sehingga tak jarang pemuda di suatu komunitas adat tidak lagi bangga dengan keadatannya dan lebih memilih mengikuti tren masa kini yang jauh dari adat dan bahkan ada yang sudah menyimpang dari adat kebiasaan Masyarakat Adat di wilayah adat tertentu. 

Pemuda adat menjadi tali penghubung tatanan kehidupan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan yang berkeadatan.

Adat menjadi hal penting dan sangat dihormati oleh masyarakat di kampungku, namun belum banyak yang kuketahui terkait adat di komunitasku, itu pun hanya sebatas seremonial saja. Aku juga termasuk pemuda yang telah mengenyam pendidikan tinggi di kota dengan ilmu dan kehidupan kota yang cukup modern sehingga pandanganku tentang adat sedikitnya mulai teralihkan. Tapi terkait adab dan tata laku kesopanan tetaplah adat menjadi tumpuanku setelah agama. Aku sedikitnya telah mengabaikan adat di komunitasku.

Hingga sampai pada keikutsertaanku dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh BPAN dan AMAN aku dibuat sadar bahwa adat sangatlah penting dan menjadi hal pertama yang mengatur tatanan hidup masyarakat jauh sebelum agama hadir di tengah kehidupan masyarakat. Mendengar penjelasan dan pemaparan terkait hal itu aku seakan disegarkan kembali, hatiku terpanggil untuk mengenal kembali adat yang menjadi bagian dari diriku jauh sebelum aku sendiri mengenal diriku.

Dari semua itu muncullah tekad untuk pulang kampung dengan misi kembali mengenali dan mendokumentasikan segala hal yang menjadi identitasku, tentang wilayah adat, nomenklatur, tata pemerintahan, tata laku dan hukum adat yang sejak dulu telah dianut oleh masyarakat di kampungku jauh sebelum adanya agama dan hukum positif yang menurut pemaparan orang-orang tua menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dibanding hukum positif saat ini yang hanya membingungkan dan mudah diperjualbelikan oleh pemilik kuasa dan pemodal. 

Sebaliknya, Masyarakat Adat selalu menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, mencintai alam semesta dan manfaatkannya dengan sangat baik. Berbeda dengan manusia modern yang hanya ingin menguntungkan diri dan kelompok dengan merusak alam (eksploitasi).

Banyak hal yang mesti dipikirkan oleh pemuda khususnya pemuda adat bagaimana menjaga eksistensi diri sebagai Masyarakat Adat yang beradab, mandiri dan bermartabat. Menjaga wilayah dan generasinya dari merusak ataupun dirusak oleh modernisasi yang sejatinya menghilangkan kesejatian diri sebagai manusia. Banyak perilaku masyarakat modern yang katanya maju, tapi lebih banyak merusak masyarakat juga alam. Modernisasi dalam hal positif tentulah tetap dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengenalkan kekayaan alam dan potensi wilayah adat untuk pengembangan Masyarakat Adat itu sendiri.

Menjadi pemuda adat adalah takdir, menjadi pemuda adat yang mau pulang kampung adalah pilihan. Aku memilih menjalani kehidupan sesuai takdirku dengan tetap menggunakan daya pikir dalam hal-hal yang masih bisa kupilih termasuk pulang kampung dan mengupayakan mengembangkan komunitasku, kembali mengenali jati diriku dan mengenalkannya kepada dunia tentang peradaban yang telah dibangun oleh tatanan adat, tentang pengelolaan wilayah yang mengutamakan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan sekitar dengan kearifan lokal yang ada, menjaga bahasa dan sejarah asal usul untuk nantinya diceritakan pada generasi mendatang sebagai penghubung generasi saat ini dan generasi mendatang.

Aku pun akan terus belajar dengan tetap mengingat untuk pulang kampung berbagi untuk bangkit dan bersatu mengurus wilayah adat untuk Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. 

Penulis: Indah Salimun Mantjabo

Di Antara Musim yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali. 

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur. 

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang. 

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas. Hujan tak menentu. Angin melanda seluruh pelosok Nusantara. Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit. 

Aku tahu bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah menggerogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menghancurkan lahan-lahan sayur. 

Nasib-nasib mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghidupan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang juga menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang. 

Apalagi setelah ini? Apalagi setelah ini? 

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik.  Saya mencoba bertahan di antara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup. 

Tidak adil, sangat tidak adil. 

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak dan akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Dengan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, bencana-bencana itu menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya. 

Aku mengingat seorang Ketua Adat, dia berkata “Di mana pun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung? Apakah sulit sekali menahan diri dari kerakusan yang tak pernah berujung? 

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar. 

Mulai Perjalanan

Sore aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap dipanen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ‘ku ambil. Segar terlihat di mataku. 

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang panjang, cabe rawit, kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama di mataku. Cokelat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit. 

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu aku masih bisa mandi di sungai, kini sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang. 

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida. 

Aku tak pernah membayangkan ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya. 

Penulis: Yuyun Kurniasih

Deklarasikan Diri, PD BPAN Tomohon Komit Berjuang Bersama Masyarakat Adat

BPAN – Komit memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, pemuda-pemudi adat dari komunitas adat di Tomohon mendeklarasikan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kota Tomohon.

Sebagai bukti komitmen menjaga tanah adat Tomohon, generasi muda adat Tomohon menggelar Pertemuan Daerah, di Aula Radio Kabar Baik, kelurahan Kakaskasen Dua, Kecamatan Tomohon Utara, Sabtu (5/6/2021).

Dalam Perda tersebut, para pemuda-pemudi adat se-Tomohon bermusyawarah untuk memilih kepengurusan PD BPAN Tomohon. Belarmino Lapong dipercayakan sebagai Ketua PD BPAN Tomohon, Anugrah Pandey sebagai Sekretaris, dan Kurnia Surentu sebagai Bendahara.

(Dari kiri ke kanan) Belarmino Lapong, Kurnia Surentu, dan Anugrah Pandey

Usai diberi mandat untuk menahkodai BPAN Tomohon, Belarmino Lapong mengatakan, akan berkomitmen untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat adat dan berjuang bersama menjadi kelung umbanua (pelindung negeri).

“Harapannya bersama BPAN Tomohon, dapat mengadvokasi kepentingan masyarakat adat di wilayah Tomohon, yang saat ini terkesan tersembunyi dan atau bisa jadi sengaja disembunyikan,” ujar Belarmino.

“Terkait hal itu, saya akan bergerak bersama-sama teman-teman yang sevisi di Tomohon. Menjadi kelung umbanua tou muung, mengawal, menyuarakan, serta mengeksekusi aspirasi masyarakat adat di wilayah kota Tomohon pada khususnya,” jelas Belar, sapaan akarabnya usai kagiatan tersebut.

Lapong menegaskan, ada satu pesan leluhur Minahasa yang menjadi landasannya sejauh ini untuk tetap berkomitmen menjaga jatidiri sebagai tou (orang) Minahasa.

“Ada satu nasehat para leluhur yang menjadi pegangan kami, yakni ‘Kita Tumete witu tete, tinetean ni matete’. Artinya, kita mengikuti jalan yang dilalui oleh para leluhur. Penyertaan Yang Maha Kuasa dan restu leluhur akan selalu ada dalam setiap jalan pergerakan BPAN Tomohon,” kunci Belar

Sedangkan Kalfein Wuisan yang mewaliki Ketua Umum BPAN, saat di wawancarai usai kegiatan, mengapresiasi semangat dari para pemuda adat Kota Tomohon.

“Pemuda- pemudi adat dari beberapa komunitas adat di Tomohon telah melakukan sebuah tonggak sejarah baru. Keputusan mereka untuk berkumpul, berkonsolidasi, bermusyarah, dan mendeklarasikan diri menjadi bagian dari perjuangan BPAN merupakan suatu hal luar biasa dalam konteks Tomohon sebagai daerah urban,” ucap Wuisan.

Kalfein Wuisan membuka kegiatan mewakili Ketua Umum BPAN

Menurutnya, gerakan pulang kampung merupakan langkah terbaik yang dipilih pemuda adat Tomohon. Sebab gerakan tersebut, sudah menjadi konsep BPAN di beberapa tahun terkhir.

“Gerakan Pulang Kampung menjadi salah satu hal penting yang dilakukan BPAN beberapa tahun terakhir. Gerakan ini mengajak para generasi muda adat untuk kembali ke kampung, menjaga dan membangun kampungnya,” kata Wuisan

“Gerakan pulang kampung yang digagas oleh BPAN, dilakukan para pemuda-pemudi adat di seleuruh Nusantara dalam banyak cara. Misalnya, membentuk Sekolah adat, memastikan kedaulatan pangan, mendokumentasikan kampung dan kebudayaannya, dan banyak hal lain,” jelas Wuisan, yang juga sebagai Skretariat Nasional, Koordinator Propaganda Media Pengurus Nasional BPAN.

Ia harap, berdirinya PD BPAN Tomohon dapat menjadi penggerak inspiratif, bagi pemuda Kota Tomohon untuk bersama menjaga dan membangun daerah tempat berlangsungnya lehidupan

“Semoga PD BPAN Tomohon menjadi penggerak dan inspirasi bagi banyak orang muda Tomohon untuk menjaga dan membangun Tanah ini,” tutup Wuisan.

Para pemateri Seminar

Sebelum kegiatan musyarawah, dilaksanakan seminar bertema ‘”Pemuda, Sekolah Adat & Upaya Menemukan Jalan Pulang”. Hadir sebagai pemateri. Dr. Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, M.Teol, Nadine Sulu, Kharisma Kurama. Turut hadir pula para Tetua Adat, Tonaas Rinto Taroreh selaku Penasehat PW BPAN Sulut, Ketua PW BPAN Sulut Allan Sumeleh, bung Jones Mait, S.H, Ketua KNPI Tomohon Kharlheinz Senduk, S.H, dan para pemuda-pemudi adat dari Minahasa.

Penulis: Josua Wajong

Di Antara Musim Yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas,

Hujan tak menentu,

Angin melanda seluruh pelosok Nusantara.

Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.

Aku tau bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah mengrogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menhancurkan lahan-lahan sayur.

Nasib-nasib, mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghiudpan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin, aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.

Apalagi setelah ini, apalagi setelah ini?

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik atau memburuk.  Bertahan diantara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.

Tidak adil, sangat tidak adil.

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak, akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Menggunakan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.

Aku mengingat kata Ketua Adat, dia berkata “Dimanapun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung. Apakah sulit sekali menahan diri untuk kerakusan yang tak pernah berujung?

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.

Mulai Perjalanan

Sore, aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap di panen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ku ambil. Segar terlihat dimataku.

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang Panjang, cabe rawit, Kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama dimataku. Coklat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan, mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu, aku masih bisa mandi di sungai. Kini, sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku. Tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing, hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.

Aku tak pernah membayangkan, ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.

Penulis: Yuyun Kurniasih

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish