UU Masyarakat Adat Selangkah Lagi, Sah!
Pemuda Adat, Jakarta (28/7)—Memasuki fase akhir pengajuan RUU Masyarakat Adat (RUU MA) sebagai salah satu bagian dari Prolegnas 2017, Fraksi Nasdem sebagai pengusul di DPR menggelar Uji Konsep (focus group discussion) terhadap RUU MA. Uji Konsep ini bertujuan untuk memfinalisasi masukan terhadap penyusunan RUU MA sebelum diserahkan ke Badan Legislasi untuk dibawa ke sidang paripurna.
Anggota DPR RI Fraksi Nasdem Luthfi Andi Mutty menyampaikan bahwa uji konsep ini untuk mematangkan substansi supaya sidang paripurna tidak “mem-pimpong” RUU MA. Dia juga menekankan agar perjuangan memenangkan “pertarungan” di DPR, kiranya intervensi pemerintah cepat dan tepat.
“Kami meminta AMAN untuk melobi Presiden (Joko Widodo—red) atau KSP agar mengutus perwakilannya dari pemerintah untuk mengawal RUU ini, lalu bertanggung jawab untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM),” ujar pria yang biasa juga disapa Opu Luthfi itu.
Secara spesifik ia meminta utusan pemerintah dari kementerian yang tepat. Penekanan ini menurutnya karena berkaca dari proses-proses selama ini di mana pemerintah mengirim Kementerian Kehutanan. Kementerian ini, lanjutnya, pada dasarnya sangat bersifat teknis.
“Kementerian Hukum dan HAM yang tepat mengawal ini dari pemerintah, bukan KLHK,” katanya.
Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM dalam paparannya menegaskan bahwa pada dasarnya Komnas HAM sangat mendukung RUU MA disahkan. Namun ia menggarisbawahi dukungan tersebut benar-benar powerful apabila isi RUU MA tetap sesuai mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, menjunjung tinggi HAM dan berdasarkan masyarakat adat itu sendiri.
“RUU ini (jika disahkan) hanya akan menambah masalah jika isinya tidak sesuai dengan masyarakat adat. Kami harus kritis di sini sebab itu sudah tugas,” katanya.
Poin penting yang ditekankan Sandra juga adalah menyangkut ketegasan RUU MA mengatur masyarakat adat sebagai subjek hukum. Masyarakat Adat yang diatur dalam RUU ini tidak termasuk wilayah eks Swapraja dan lembaga eks Kesultanan dan/atau Kerajaan.
Terkait hal itu, pasal penjelasan masyarakat adat dan syaratnya dituntaskan dalam Uji Konsep ini.
Dalam draft yang disusun Perancang Undang-Undang DPR RI menyebutkan bahwa untuk diakui sebagai Masyarakat Adat harus memenuhi 7 persyaratan yaitu: 1) memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu bentuk paguyuban, memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan/atau territorial; 2) mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun; 3) mempunyai identitas budaya yang sama; 4) memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Adat; 5) mempunyai Lembaga Adat yang diakui dan berfungsi; 6) memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisional; dan/atau; 7) memiliki harta kekayaan/benda adat.
Menurut Malik, peneliti hukum dari Epistema Institute, persyaratan yang diatur dalam draft tersebut seharusnya tidak mengatur mengenai syarat tetapi kriteria sebagai Masyarakat Adat sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi, dan ktiteria tersebut cukup meliputi 3 hal saja yaitu: sejarah asal usul, wilayah adat, dan kelembagaan adat.
Sebagai narasumber dalam Uji Konsep ini, Sandra juga menyampaikan agar di dalamnya isu tentang perempuan masyarakat adat turut dibunyikan.
Dari sisi perincian pasal per pasal, narasumber berikutnya Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi menambahkan bahwa RUU ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik secara holistik di masyarakat adat.
“Konflik di masyarakat adat adalah produk dari masa lalu yang secara sadar ingin mengeliminir hak-hak masyarakat adat. Itulah politik hukum di masa lalu. Dan RUU ini hanya perlu mengatur mekanisme-mekanisme pokok,” ujarnya.
Hadir dalam pertemuan ini Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Wakil Ketua DAMANAS yang baru kemarin meraih Ramon Magsaysay Award 2017 Abdon Nababan, utusan Walhi serta perwakilan lain yang konsen terhadap Masyarakat Adat.
Jakob Siringoringo