Form Pendaftaran Anggota





Mimpi di Wilayah Adat

Dalam pekan-pekan terakhir kita menyaksikan besar sekali suhu politik yang bergulir di negeri ini. Ada beberapa isu besar yang menyita perhatian, sebut saja demo yang telah terjadi pada 4/11 atau isu yang berkaitan dengan goncangan politik pilkada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bom di pelataran Gereja, hingga mengenai kekerasan di konflik pertanahan.

Namun, isu politis yang disebutkan di depan bukan menjadi muatan tulisan kali ini. Poin terakhir, yakni menyangkut pertanahanlah yang sedang penulis bangun. Poin itulah yang paling substansial di antara beberapa isu penting lainnya itu. Sebab konflik di wilayah pertanahan memang tidak bisa jauh dari pikiran penulis sebagai bagian dari pemuda adat atau masyarakat adat secara lebih luas.

Andre Barahamin dalam tulisannya di Indoprogress (22/2) telah menguraikan dengan sangat baik mengenai konflik yang timbul di lahan pertanahan. Ia membuat judul tulisannya dengan Perang Tanah. Sesuatu yang sangat umum sebenarnya di Indonesia, namun sangat menentukan bagi kehidupan.

Perlawanan yang dilakukan para petani seperti di Sekarmulya, Majalengka-Jawa Barat, Mekar Jaya, Langkat-Sumatera Utara, Papua, Kendeng, Tanah Batak dan seterusnya merupakan bukti betapa tanah itu sangat menentukan bagi kehidupan.

Itu sebabnya melakukan demo atau perlawanan terhadap hak-hak atas tanah tidak bisa terhindarkan. Demo atau aksi mempertahankan hak seperti tanah baik di lahan maupun mendatangi kantor-kantor lembaga resmi negara wajib hukumnya di negara demokrasi. Bukan malah mendapat logika sebaliknya yang biasa dibangun misalnya: demo itu memang bagian dari demokrasi, namun jangan sampai anarkis. Dengan demikian, orang menilai bahwa aksi yang terjadi sampai rusuh adalah bagian buruk dari masyarakat yang sebenarnya adalah melakukan perlawanan atas perampas yang tiba entah dari mana untuk mengokupasi tanah hak milik si petani atau masyarakat adat dan lainnya.

Persoalan tanah tidak bisa tidak sangat mendasar bagi manusia di muka bumi. Di mana pun. Penulis baru-baru ini mengikuti konferensi tingkat tinggi perubahan iklim di Maroko, pada dasarnya, juga membicarakan negara-negara dengan kepemilikan lahan atau tanah sebagai penyelamat bumi dari ancaman pemanasan global. Meskipun tentu saja pemanasan global kita tahu tidak pernah datang dari petani atau masyarakat pemilik hutan atau singkatnya pemilik tanah yang mengelola tanahnya untuk keperluan produksi bahan kebutuhan pokok. Bukan seperti perusahaan atau segelintir orang yang menginginkan tanah seluas egonya untuk keperluan memperkaya diri dan gengnya.

Teramat banyak masih perencanaan dari pihak ketiga di atas tanah milik petani atau masyarakat yang bertekun dengan bertani atau nelayan atau mengelola hasil hutan untuk merampas tanah yang sudah tinggal segepok. Lihat saja pembangunan yang dilancarkan di era ini yang mengarusutamakan infrastruktur dengan tidak memperhatikan keberadaan pemilik tanah. Lebih mendalam silakan baca dan ikuti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikreasikan rezim SBY sebelumnya.

Kini tanah bukan saja untuk keperluan bagi penyelamatan perubahan iklim sebagaimana telah dihelat konferensi demi konferensi untuk membicarakannya. Tanah kini menjadi komoditas andalan yang diharap akan menjadi penyelamat investasi besar-besaran dan berkelanjutan, meskipun pengendalinya berada jauh di Amerika Serikat atau Eropa, Tiongkok dan lain-lain. Kekhawatiran akan masa depan perubahan iklim tidak diatasi dengan melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap tanah yang telah dimiliki pemiliknya sejak turun-temurun, namun akan dipindahtangankan. Sehingga pemilik tanah yang bersikap untuk mempertahankan haknya dipaksa harus berhadapan dengan kekerasan yang tak terhindarkan. Lalu menjadi berita lezat bagi media yang mencari keuntungan dari rating pemberitaannya.

Masyarakat adat

Meskipun yang dibicarakan sebelumnya adalah konflik pertanahan para petani, namun masyarakat adat juga pada dasarnya menghadapi hal yang sama. Artinya beberapa contoh di atas hanyalah gambaran yang terbaru untuk memudahkan kita mengingat bahwa konflik pertanahan merupakan pertarungan yang paling mendasar di republik ini. Jika mau mendekatkan kita pada keadaan sebenarnya, misalnya tanah adat yang ada di sebagian daratan Pulau Sumatera dan Kalimantan juga telah dirampas perusahaan dan diubah menjadi lahan perkebunan sawit. Ratusan konflik telah muncul selama puluhan tahun di dalamnya.

Penulis mau menyatakan bahwa konflik pertanahan juga dialami masyarakat adat secara massif. Keberadaan tanah adat belum diakui secara sah oleh hukum negara. Itu sebabnya pengajuan Undang-Undang Masyarakat Adat ke DPR dan Pemerintah RI sangat mendesak dilakukan oleh masyarakat adat, khususnya melalui AMAN.

Bagaimana masa depan kita sebagai masyarakat adat jika tanah terus dirampas? Omong kosong bicara perubahan iklim, peduli lingkungan, gerakan bersih-bersih lingkungan dan sejuta gerakan peduli-peduli lainnya jika tanah terus dirampas. Ribuan tahun masyarakat adat memelihara hutan, namun sekejap saja diratakan oleh pemilik modal dengan persetujuan dari negara. Hasilnya, bukan perbaikan suhu bumi apalagi kesejahteraan. Yang muncul adalah konflik baik vertikal maupun horizontal dan akibatnya adalah kemiskinan.

Sudah pernah dengar cerita bahwa masyarakat adat menjadi orang aneh di tanahnya sendiri? Sedikit lebih vulgar, masyarakat adat jadi budak di atas tanahnya sendiri. Sudah pernah dengar? Atau masih menganggap itu hanya ilusi atau imajinasi yang penulis tambah-tambah? Bagi kalian yang tidak tinggal di kampung alias besar dan menikmati kerumitan hidup di kekotaan yang sama sekali menjauh dari tanah memang akan sulit menerima kenyataan ini. Memang untuk itulah sebagian besar dari kita di sekolahkan di negeri ini. Ya, pergi meninggalkan kampung untuk melupakan segala hal yang paling mendasar dari kampung itu, kecuali sesekali dalam hari besar tahunan pulang bersilaturahmi.

Tulisan sangat singkat ini sebenarnya hanya sebuah status atau ciutan melihat situasi terbaru di negara kita. Ancaman terhadap keberadaan wilayah adat atau tanah kita sebenarnya telah semakin mendekat dan mendekat. Bahkan perlawanan yang telah terus dinyalakan belum cukup untuk menghentikan kedatangan para pihak asing—untuk memperhalus kapitalis komprador—ke wilayah adat kita. Artinya tanah adat kita telah diradar dari jauh dan tinggal menunggu tanggal eksekusinya. Maka selama kita tidak melakukan perlawanan atau sikap atau bertindak menjaga wilayah adat kita, jelas tingkat kerawanan tanah kita beralih ke pihak asing, misalnya perusahaan akan semakin tinggi. Dengan demikian harapan untuk mempertahankannya pun akan semakin menipis.

Mimpi

Pemuda adat sebagai generasi penerus masyarakat adat sebenarnya telah bersikap untuk mengantisipasi ancaman dahsyat ini. Pun demikian, sikap yang diakukan belum tergolong massif dan mengarah pada pertunjukan kekuatan. Beberapa masih mengalami kendala dalam hal informasi dan terutama tekait pengetahuan mengenai wilayah adat. Seperti diketahui bahwa generasi muda juga menjadi mangsa paling empuk bagi gaya hidup yang dinafasi modernisasi. Sangat rentan untuk menolak ajakan untuk pulang kampung apalagi mengurus dan mempertahankannya. Sebab dalam pikirannya sejak pendidikan terendah (TK/SD) telah diisi muatan untuk berhasil dengan jalan yang paling memungkinkan: berangkat ke kota. Menemui kegemerlapan kota, melupakan gulita di kampung. Sebab telah didesain dengan mapan, terencana dan berkelanjutan bahwa tingkat perguruan tinggi misalnya berada jauh dari kampung halaman. Ingat, kampus dijadikan juga sebagai simbol perkotaan. Dengan demikian jelas selisih perkembangan situasi terkini dipautkan jauh antara kampung dengan kota.

Kembali lagi ke masalah masa depan wilayah adat. Melihat kejadian yang tak tanggung-tanggung belakangan, maka pemuda adat di wilayah adatnya sudah tidak boleh berhenti untuk membicarakan dan bertindak untuk melakukan hal apa pun dalam mengurus kampung demi mempertahankannya. Kerja-kerja besar ini memang tidak mudah. Namun tidak ada cara lain, selain untuk segera mengurusinya, menjaga dan mempertahankannya.

Salah satu yang menarik yang bisa dijadikan acuan untuk mengurusi wilayah adat adalah dengan membangun mimpi masa depan. Mimpi masa depan di wilayah adat. Metode ini sebenarnya didapat oleh pemuda adat dari masyarakat adat Misak, Kolumbia, Amerika Latin. Mereka menyebutnya dengan Plan de Vida (life plan) atau rencana kehidupan. Bagaimana rencana kehidupan itu mereka praktikkan, bisa diuraikan dipembahasan berikutnya.

Membangun rencana kehidupan di wilayah adat adalah gambaran yang paling masuk akal. Bandingkan dengan rencana pembangunan yang selalu menjadi isu global di negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Tak heran misalnya di darah kita sudah mengalir bahasa pembangunan sehingga sangat akrab dengan istilah satu ini. Itu terjadi dari masa lalu, yakni di masa pemerintahan Orde Baru – Soeharto. Sangat membekas sekali istilah itu, sehingga ketika muncul istilah rencana kehidupan, maka masih sangat janggal dalam benak. Wajar.

Mimpi di wilayah adat tentu saja akan membuat masa depan kita menuju pintu kesejahteraan. Tidak perlu kita digerakkan oleh isu lingkungan dan yang berkaitan dengannya, baru bergerak mengurus kampung dan wilayah adat. Ini tentang mimpi masa depan. Kita tidak perlu memusingkan masa depan perubahan iklim, sebab itu bukan isu kita, bukan kepentingan kita. Mimpi di masa depan di wilayah adat itulah visi yang paling utama. Karena dengan mimpi ini kita akan bisa menahan laju derasnya perampasan tanah yang jelas-jelas menyebabkan kesengsaraan. Bukan hanya kehilangan identitas, tapi juga kehilangan kehidupan.

Kita tentu sudah pernah dengar apa itu arti tanah atau wilayah adat bagi dan dari para orangtua kita. Sangat mendarah daging. Tidak bisa dilepaskan begitu saja sebagai satu hal yang sekunder dari kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya tanah adalah kehidupan, bukan yang lain. Sebenarnya jika dikaitkan kembali akan peristiwa yang belakangan semakin mengkhawatirkan, hal itu seyogianya mengingatkan agar segera menjaga dan mempertahankan tanah adat. Tidak ada lain pesannya. Konflik telah sengaja diruncingkan. Perusahaan terus membidik kita siang maupun malam. Tidak peduli kita keluarga yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun menghuni wilayah adat.

Karena itu perampasan tanah ini bukan sesuatu yang main-main. Tidak cukup bekerja di kota dengan jadi guru, karyawan mall, pabrik, karyawan bank dan sebagainya bagi masyarakat adat yang memiliki tanah atau rumah (home) untuk menggantikan segala sesuatu yang dimiliki sebelumnya di wilayah adat. Jadi arti tanah adat itu bukan hanya soal identitas, pertanda kita berasal dari sana, melainkan juga menjadi pertarungan hidup itu sendiri. Semuanya menuju masa depan.

Untuk itulah kita pemuda adat punya cara sendiri untuk menempuh masa depan yang kita sebut dengan rencana kehidupan. Bukan pembangunan dengan menjadi buruh atau karyawan di pabrik yang kira-kira akan dibangun nantinya. Tanah adat adalah kehidupan, maka yang kita perlu rencanakan di dalamnya adalah rencana kehidupan. Untuk saat ini, sebagai bahan perbandingan, penulis tidak cukup punya waktu yang fokus untuk menyuguhkan sejumlah data mengenai perampasan tanah.

Percayalah pertarungan saat ini tidak lain adalah mengenai tanah. Bagi pengetahuan umum yang fokus di bidang ini, sebenarnya ini bukan isu yang baru muncul. Sudah sangat kuno sekali. Hanya saja kita sengaja tidak dicekcoki dengan isu tersebut sehingga kita menganggap itu bukan sesuatu yang penting. Sampai menganggap bahwa tidak ada apa-apa di wilayah adat yang bisa menjamin masa depan. Selain, tentu saja, isu keterbelakangan jika masih menganut ilmu lama dan tinggal di kampung.

Kalian boleh membaca tulisan Barahamin dan siapa saja mengenai perampasan tanah atau bahkan menegasinya dengan tentu saja membuka catatan-catatan mengenai pertanahan di sejumlah perpustakaan. Namun yang pasti, mustahil untuk mengerem niat jahat yang pura-pura baik dari pihak ketiga yang datang ke wilayah adat dengan sejumlah sembah sujudnya. Perampas tanah jelas tidak pernah datang kotor apalagi kasar. Mereka selalu mengedepankan kesantunan bahkan sedikit pencerahan yang tentu saja itu tetap menjadi tipu muslihat.

Beberapa kasus saat ini di wilayah adat yang hangat misalnya bisa diperhatikan seperti PT Seko di Sulawesi Selatan (Baca: http://www.aman.or.id/2016/10/26/tolak-plta-11-warga-seko-ditangkap/). Kemudian ada pula di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur mengenai rencana pemerintah kabupaten Nagekeo membangun waduk raksasa, tentu dengan syarat menenggelamkan satu wilayah adat (Lihat: http://www.aman.or.id/2016/10/24/pemkab-nagekeo-dianggap-melecehkan-ritual-adat-rendu/). Lalu hal serupa juga sedang terjadi di Kalimantan Utara. Dan tentu saja di mana-mana masih berlangsung peta konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan yang intinya tadi hendak merampas tanah.

Sementara itu, DPR dan Pemerintah RI masih enggan mau mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Jika diamati, adalah setali tiga uang alias sama saja pemerintah dan perusahaan yang datang ke wilayah adat itu, yakni hendak merampas tanah. Intervensi pemerintah dalam membela masyarakat adat pada dasarnya sudah kita ketahui bersama adalah sangat kecil. Sebaliknya porsi terbesarnya dicurahkan ke perusahaan.

Rencana kehidupan yang hendak kita bangun di wilayah adat tadi adalah salah satu cara yang paling masuk akal dilakukan. Potensi perlawanan ini meski perlahan akan jauh lebih besar, sebab ia akan mengalir bagaikan air namun terus memenuhi sudut wilayah adat. Sehingga perlahan-lahan pengelolaan dengan mengedepankan rencana kehidupan itu sendiri akan menunjukkan perlawanan dalam arti pertahanan atas wilayah adat dari rencana kejahatan yang melanda dan mengerikan belakangan ini.

Ada cara untuk membangun mimpi di wilayah adat dan hal itu bisa dipelajari bersama. Mimpi generasi penerus masyarakat adat ini selayaknya menjadi rujukan bagi kita khususnya pemuda adat untuk merapatkan barisan dalam mengurus wilayah adat. Sudah saatnya, kita tidak lagi berpangku tangan atau enggan mengurus wilayah adat. Ingat, tanah kita kini tengah dalam bidikan perampas tanah. Tidak ada yang akan luput, jika bidikan sudah ditembakkan. Kita akan bertarung berdarah-darah jika “peluru penghancur” telah ditembakkan. Jangan sampai hal ini terulang lagi. Masyarakat adat telah lama bertarung melawan negara dalam persoalan ini. Itu sebabnya rencana kehidupan yang akan pemuda adat bangun menjadi satu senjata rahasia untuk mempertahankan wilayah adat.

Dengan demikian, mimpi di masa depan tidak bisa dibiarkan lagi menunggu waktu. Saatnya sekarang untuk mengeksekusinya. Siapa lagi kalau bukan kita. Slogan Infis ini sangat tepat. Maka dari itu pemikiran lain untuk dapat menyempurnakan dan kemudian dipraktikkan di wilayah adat akan sangat bermanfaat. Apa pun yang bisa kita sumbangkan asal semuanya untuk membangun mimpi di wilayah adat, mari kita kumpulkan dan satupadukan.

[Jakob Siringoringo]

BPAN Suarakan Perjuangan Masyarakat Adat di COP22

Marakesh (15/11) – Masalah yang dialami oleh Masyarakat Adat di seluruh dunia pada dasarnya sama. Sejak dulu berjuang, Masyarakat Adat tidak hanya mementingkan hak-haknya, melainkan juga demi masa depan planet ini. Artinya untuk masa depan bumi–yang secara spesifik biasa disebut oleh masyarakat adat “untuk masa depan generasi penerus.” Karena itu semua orang sejatinya setuju kalau diajak melawan perusahaan/lembaga negara yang telah merampas tanah/hutan masyarakat adat.

Demikian pernyataan pembuka dari Barisan Pemuda Adat Nusantara oleh Jakob Siringoringo saat menjadi salah satu panelis dalam panel bertajuk “Launching of the Global Campaign for Land Rights of Indigenous Peoples” di Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang perubahan iklim (COP22) di Marakesh, Maroko, 9 November lalu.

Selain itu terdapat lima isu penting yang disampaikan dalam panel ini sebagai pernyataan resmi AMAN. Kelima isu tersebut adalah sebagai berikut ini.

  1. Kontribusi dan solusi Masyarakat Adat bagi perubahan iklim adalah nyata.
  2. Menegaskan kembali bahwa perubahan iklim merupakan isu Hak Asasi Manusia. Karena itu, setiap solusi untuk perubahan iklim harus menghargai dan melindungi HAM dan hak-hak Masyarakat Adat.
  3. Masyarakat Adat dapat berkontribusi dalam penyusunan aturan mengenai Nationally Determined Contribution (NDC) atau tanggung jawab pemerintah. Masyarakat Adat bisa terlibat melalui pengetahuan tradisional maupun aksi-aksi kecil/lokal. Masyarakat Adat harus dan akan terlibat dalam monitoring dan pelaporan implementasi NDC. Pemerintah, juga, sejatinya mengidentifikasi dan mendokumentasikan kontribusi Masyarakat Adat di tingkat lokal.
  4. Hentikan kriminalisasi, kekerasan dan pembunuhan terhadap pimpinan Masyarakat Adat yang melindungi tanah dan hutan. Segala usaha untuk melawan perubahan iklim tidak harus dengan mengedepankan kekerasan atas hak-hak Masyarakat Adat.
  5. Pendana bagi Masyarakat Adat. Pendana yang diperlukan adalah yang mampu memberikan kontribusi secara efektif terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan mendukung upaya-upaya Masyarakat Adat. Lebih spesifik lagi jendela pendanaan yang ditujukan kepada Masyarakat Adat akan membantu memberikan kontribusi dan pengembangan aksi-aksi lokal yang lebih banyak lagi.

Panel ini menjadi saat pembukaan simbol panggilan terhadap masyarakat dunia melalui tambor/drum sebagai bentuk dukungan bagi Masyarakat Adat dalam melawan perubahan iklim. Panggilan Drum Global ini menjadi wadah untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang di dunia untuk mendesak negara-negara di dunia khususnya yang masih menomorduakan Masyarakat Adat, padahal punya andil sangat besar dalam penyelematan lingkungan.

Panelis yang juga hadir dalam panel ini adalah Masyarakat Adat dan lokal dari Amerika Latin, khususnya yang tergabung dalam Alianza Mesoamericana de Pueblos y Bosques (AMPB).

Di akhir panel, the Global Drums Call Action pun ditabuh sebagai penanda dilaunchingnya bentuk dukungan terhadap Masyarakat Adat. Drum yang menjadi simbol tersebut kemudian ditandatangani oleh para pemimpin Masyarakat Adat seluruh dunia.

 

launching-the-global-drums-call-action
Launching the Global Drums Call Action

 

aksi
Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan turut dalam aksi the Global Drums Call Action

 

tanda-tangan-drum
Menandatangani drum

 

[Media BPAN]

Tradisi Nasi Bambu Sempat Tertunda

Jakarta (02/11/2016) – Masyarakat Adat di Indonesia belum sepenuhnya dihormati dan diakui sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban. Sebagai contoh apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Bakalewang ketika hendak mengadakan acara tradisi nasi bambu di wilayah adatnya di Jati Timung, Dusun Kayu Madu, Desa Labuhan Badas, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa Besar, 6 Agustus silam.

negosiasi-dengan-tni
TNI mendengarkan pernyataan Masyarakat Adat Bakalewang

Ketika itu aparat TNI melarang semua warga untuk melanjutkan tradisi nasi bambu. Juru bicara aparat gabungan dan Kodim 1607 Sumbawa berpesan kepada warga agar upacara membakar bambu tersebut segera dihentikan. ”Acara ini tidak boleh dilanjutkan, karena nanti hutan  bisa terbakar. Sebaiknya semua bahan-bahan ini dimasak di rumah masing-masing atau di kampungnya saja,” kata salah seorang aparat TNI.

Kemudian aparat gabungan itu mengangkut semua bahan dan peralatan upacara nasi bambu dengan  mobil patroli, lalu dibawa pulang ke kampung Masyarakat Adat Bakalewang. Kemudian aparat TNI meminta tanda tangan warga yang mengikuti acara tersebut.

Selain TNI, hadir pula secara bersamaan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Habibi dari KPH mempertanyakan hutan adat milik Masyarakat Adat Bakalewang. ”Ini hutan negara dan bukan milik Masyarakat Adat. Mana buktinya kalau hutan ini milik masyarakat adat,” tanya Habibi dengan angkuh.

Ketua Adat Bakalewang Usaman menegaskan bahwa hutan tersebut merupakan hutan milik Masyarakat Adat Bakalewang. Hutan yang mereka warisi turun-temurun dari nenek moyang.Bapak gak lihat kalau di atas itu bekas ladang warga dan itu ladang mereka, ladang peninggalan orang tuanya semua. Apakah bapak sudah melihatnya sampai ke atas sana?”  tanyanya tegas menunjuk petugas KPH.

Aparat Kodim 1607 dan KPH tidak bisa menjawab bantahan Ketua Adat Bakalewang. Selanjutnya aparat TNI dan KPH mengembalikan semua perlengkapan acara Tradisi Nasi Bambu ke lokasi acara yang ditentukan semula.  Masyarakat Adat Bakalewang pun meneruskan acara tradisi warisan leluhur Bakalewang tersebut.

Tradisi nasi bambu ialah sebuah tradisi turun-temurun Masyarakat Adat Bakalewang. Tradisi yang diadakan sekali setahun ini merupakan sebentuk ucapan syukur kepada TYME atas hasil panen yang mereka peroleh. Dalam tradisi yang dirayakan bersama ini, Masyarakat Adat Bakalewang melalui tokoh-tokoh adatnya mengadakan ritual untuk meminta restu dari Tuhan dan leluhur.

Awaluddin

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish