Maka’aruyen, Floit Dobol, dan Ber-Minahasa dari Rumah

Ia datang memakai Susu’unan dan berseragam SMP.

Waktu itu, ia sempat menjadi pusat perhatian saat tiba di kampus. Gayanya yang khas dan tidak biasa ini, membuat ia menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya.

Orang memakai Susu’unan atau ikat kepala khas Minahasa, sekarang ini, memang agak biasa terlihat di kampus. Apalagi di kampus yang memiliki Sanggar Seni Budaya. Mahasiswa, anggota sanggar, memakai ini saat ada kegiatan iven budaya di kampus. Namun apabila ada anak berseragam Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan memakai Susu’unan di kampus, itu menjadi hal menarik.

Anak SMP ini, namanya Joy Manuwu.

Saat tiba di kampus Fakultas Teknik (Fatek) Universitas Negeri Manado (UNIMA), Joy bersama kakaknya, Manuwu Rival. Mereka menyempatkan bertamu ke Sekretariat Sanggar Seni Budaya Manguni Fatek Unima, usai mengikuti lomba di Tondano. Pada 31 Oktober 2019, Joy mewakili sekolahnya mengikuti lomba bintang vokalia tingkat SMP se-Kabupaten Minahasa. Ia seorang siswa kelas 2 SMP Advent Tanawangko. Usianya masih 13 tahun.Hari itu Joy menjadi satu-satunya peserta lomba yang tampil beda. Selain cara berbusana yang khas, ia menjadi peserta penyanyi solo yang menampilkan musik tradisi Minahasa, Maka’aruyen. Ia bernyanyi sambil diiringi petikan khas Maka’aruyen. Lagu Opo Wananatase, dibawakannya sambil diiringi petikan Maka’aruyen oleh kakaknya. Sebenarnya, ia akan bernyanyi sekaligus bermain Maka’aruyen. Namun karena demam panggung, ia meminta Rival mengiringinya.

“Qt kw’ ja kase latih pa dia”, ucap kakaknya, Rival.

Rupanya, Rival menjadi sosok penting yang membuat Joy mencintai Maka’aruyen. Ia menjadi guru bagi adiknya. Mengenalkan sejak dini seni tradisi Minahasa, baik praktik maupun nilainya. Rival aktif belajar dan melanjutkan seni tradisi Maka’aruyen. Ia juga sering menampilkan Maka’aruyen dalam peribadatan gereja, bersama keluarganya. Selain aktif menggiatkan seni tradisi Maka’aruyen, Rival aktif menjadi pegiat budaya Minahasa. Ia juga seorang pemain Kawarasan.

Selain bernyanyi, Joy dalam lomba tersebut, sesekali melakukan hal yang juga kini menjadi ciri khas Maka’aruyen yaitu bersiul ganda (Floit Dobol). Floit Dobol adalah nada siulan beruntun yang terdengar harmoni. Bunyinya seperti kicauan burung yang sedang bernyanyi. Orang yang melakukan ini, menggunakan teknik tersendiri. Biasanya ia harus latihan selama beberapa waktu untuk menguasai teknik bersiul ini. Seorang, etnomusikolog asal Amerika, Palmer Keen, saat berkunjung dan meneliti tentang Kalelon Maka’aruyen di Minahasa, juga terpukau dengan teknik Floit Dobol. Setelah berkeliling dan melakukan penelitian tentang musik tradisi dan musik etnik di Nusantara, menurutnya, ia baru menjumpai hal seperti ini di Minahasa. Itu yang membuatnya makin tertarik dengan Maka’aruyen. Saat di Minahasa, ia begitu tertarik mendokumentasikan seniman Maka’aruyen yang bisa Floit Dobol.

Teknik floit dobol, dipelajari Joy dari kakaknya. Menurut Joy, tidak susah untuk melakukannya. Namun, menurutnya memang membutuhkan konsentrasi dan penghayatan yang tinggi saat bernyanyi, bermain Maka’aruyen, dan Bafloit Dobol di saat bersamaan.

Di sisi lain, ‌Rival Manuwu, kakaknya, punya pengalaman sendiri belajar teknik Floit Dobol. Menurutnya, teknik floit dobol Maka’aruyen merupakan gabungan dari teknik bersiul dengan posisi lidah ke bawah dan ke atas. Ternyata, Rival belum lama mempelajari teknik ini. Baru sekitar dua bulan, sejak Agustus 2019. Rival, mempelajari teknik ini dari orang Tincep, Sonder Minahasa.

Rival ternyata memang sangat cocok menjadi seorang guru. Buktinya, saat berdialog dengan anak-anak Sanggar Manguni Fatek, ia juga sempat berbagi beberapa teknik bermain Maka’aruyen dan Floit Dobol.

Semangat dan usahanya ini perlu ditiru banyak generasi muda Minahasa.

Memang, Maka’aruyen sendiri, perkembangannya dinamis. Awalnya ia adalah syair-syair doa. Syair tersebut juga ditampilkan dengan alat musik tradisional Minahasa yang disebut Swasa. Ia awalnya berada di dalam ruang yang terbatas, privat, dan sakral. Namun di kemudian hari ia bertransformasi dan menemukan titik temu dengan alat musik modern, gitar. Kalelon Maka’aruyen, menjadi penanda zaman dan penanda ingatan perjumpaan orang Minahasa dengan orang barat. Di kemudian hari ia juga dipadukan dengan alat musik lain, misal siulan, kolintang besi, dan lain sebagainya. Di era kekinian, Kalelon Maka’aruyen oleh para seniman dan budayawan Minahasa juga sering ditampilkan dan dipadukan dengan genre musik modern. Ia ditampilkan dan dikolaborasikan dengan musik Rap, Blues, Hip Rock, Reggae, dan lain sebagainya. Artinya, Kalelon Maka’aruyen terus bertransformasi dan berdialog dengan zaman dimana ia dihadirkan.

Di Minahasa sendiri, telah dan sedang terjadi kebangkitan kesadaran kultural yang banyak dipelopori oleh orang ‘muda’. Di kampung-kampung dan kampus-kampus, banyak bermunculan komunitas pegiat adat, seni budaya Minahasa. Salah satu contohnya yaitu semangat Mawale atau semangat kembali ke rumah, ke kampung. Ini termanifestasi dalam jaringan gerakan kebudayaan Mawale Movement.

Gerakan untuk menelusuri, mendokumentasikan, dan mengkaji seni tradisi Kalelon Maka’aruyen juga menjadi bagian dari gerakan ini. Maka di tahun 2011, muncul komunitas yang bernama Kalelon Maka’aruyen (Kama). Gerakan ini kemudian mengajak dan mempengaruhi banyak orang muda untuk menggali nilai-nilai tradisi Kalelon Maka’aruyen yang relevan dan bisa dikontekstualisasikan di hidup hari ini. Proses berpengetahuan dari pintu musik tradisi Maka’aruyen menjadi satu contoh. Masih banyak pintu dan cara lain untuk ber-Minahasa.

Pemuda adat, Joy dan Rival adalah salah satu contoh. Mereka menjadikan rumah sebagai ruang berpengetahuan. Menjadikan anggota keluarga sebagai guru dan teman belajar. Mereka menjadi bukti bahwa cara berpengetahuan ala Masyarakat Adat Minahasa masih efektif sampai hari ini. Pengetahuan keluarga atau berpengetahuan dari – di keluarga. Keluarga menjadi sekolah. Keluarga menjadi tempat belajar pertama seorang anak Minahasa. Sebelum, mungkin, ia mengecap pendidikan formal karena tuntutan. Nenek, Kakek, Ayah, Ibu, Kakak, Adik, dan orang di dalam rumah menjadi guru. Masyarakat, Kampung, dan alam semesta menjadi guru dan tempat belajar yang lebih luas. Cara berpengetahuan seperti ini memang mesti dilirik kembali. Ber-Minahasa dari rumah, dengan keluarga. Metode ini sangat cocok diterapkan, apalagi di masa pandemi seperti ini. Berpengetahuan dari rumah, dengan keluarga.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish