Kado Miris Awal 2018: Konflik Tanah Adat Kampong Riwang dan Lomu
Tadinya aku pengin bilang, aku butuh rumah
Tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah
Ingat: setiap orang!
– Wiji Thukul pada “Tentang Sebuah Gerakan”
Begitulah kata Wiji Thukul. Seolah-olah memberikan gambaran nyata soal potret perampasan tanah yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Kado manis perampasan awal tahun 2018 kali ini diterima Masyarakat Adat Kampong Riwang dan Lomu, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Perlawanan masyarakat terjadi akibat PT Pradiksi Gunatama dan PT. Senabangun Aneka Pertiwi memaksa masuk untuk menggusur tanah-tanah Kampong Riwang dan Lomu. Kedua PT tersebut masuk dan dikawal ketat oleh satuan Brimob dari Polres Paser.
Menurut keterangan warga, konflik muncul kembali pada Kamis, 4 Januari 2018. Sehari sebelumnya, beberapa perwakilan perusahaan datang ke kampong dan menyampaikan keinginan mereka. Kepala desa Kampong Riwang beserta 13 kepala desa lainnya, dengan ramah, bekerjasama menolak pemberian Hak Guna Usaha PT Pradiksi Gunatama dan PT Senabangun Aneka Pertiwi dan mendatangkan alat berat ke wilayah adat mereka.
Lima hari kemudian, Selasa 9 Januari 2018, PT Pradiksi masuk membawa 3 unit buldozer mereka dengan dikawal satuan Brimob dari Polres Paser tanpa mengkonfirmasi pemberitahuan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat. Secara terorganisir, masyarakat bergerak melakukan penahanan terhadap kedatangan PT Pradiksi.
Perlawanan terjadi, meski perusahaan tetap memaksa masuk.
Konflik ini menjadi pembuka perampasan awal tahun 2018. Bandingkan, sepanjang tahun 2017 menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) terjadi sekitar 208 konflik perkebunan, 199 konflik properti, 94 konflik infrastruktur, 78 konflik pertanian, dan 30 konflik kehutanan. Dan dari sekian konflik itu, melulu mengatasnamakan pembangunan.
***
Tanah adalah relasi-relasi sosial dan produksi. Tanah kemudian diposisikan sebagai alat pengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mendukung eksistensi kapitalis. Dengan demikian, tujuan akhir penggunaan tanah adalah promethean – penguasaan tanpa batas atas kekuatan materiil dari alam semesta untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia (Laksmi,2013).
Pemaksaan oleh PT Pradiksi yang terjadi di Kampong Riwang adalah cerminan watak kapitalisme modern yang telah mengkristal terjadi setiap tahunnya. Bahkan, HAM menjadi biasa untuk dilanggar demi melancarkan agenda eksploitasi. Tak pelak, negara pun sering menjadi promotor di balik agenda okupasi ini.
Sebagaimana dalam bukunya Ideology and Ideological State Apparatuses (1971), Althusser menyatakan bahwa negara dalam tindakannya demi akumulasi kapital terjaga, menggunakan salah satunya ia sebut dengan Repressive State Apparatuses (RSA). Negara menggunakan RSA melalui aparaturnya, seperti militer, polisi ataupun organisasi masyarakat. Ini dilakukan demi melancarkan proyek kapitalisasi di dalam segala bidang. Analisis Althusser dari kasus yang terjadi di Kampong Riwang menjadi sahih dengan adanya negara yang menggunakan militer untuk melancarkan proyek kapitalisasi dan perampasan tanah.
Umumnya negara berdalih demi pembangunan, namun pembangunan yang negara maksud adalah pembangunan yang menindas, bukan mensejahterakan. Mari kita dalami, sejak kapan pembangunan digunakan sebagai bungkus penghisapan tanah rakyat.
Pembangunan atau penghisapan?
‘Mazhab pembangunanisme’ berkembang masif sejak Orde Baru. Pembangunan yang direproduksi Soeharto diukur dengan ada atau tidaknya gedung bertingkat, jalan lebar beraspal, hotel mewah, padatnya jumlah mobil dan gemerlapnya lampu pertokoan. Proyek ekonomi politik masa Soeharto ini terlalu bergantung pada sektor ekstraktif. Alhasil, kebutuhan lahan untuk eksploitasi makin meningkat pula. Sekarang, pemerintah gencar melakukan pembebasan lahan.
Rezim ini pun semakin menguatkan posisi kapitalisme. Ini ditandai dengan empat hal secara teoritis yakni pertama, Promethean. Kedua, productiviste, bukan hanya karena sistem ini memproduksi barang dan jasa untuk kepentingan manusia, akan tetapi juga meletakkan proses teknologi tanpa batas. Masyarakat seolah-olah dihukum untuk selalu memproduksi dan mengonsumsinya; kenaikan jumlah produksi dan konsumsi pun tiada habisnya. Ketiga, expantionisme, yang secara mutlak menuntut keuntungan pada sumber daya, memobilisasi tanpa batas keuntungan faktor-faktor produksi. Keempat, marchan, sistem ekonomi dunia berjalan dengan dua cara – perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat ciri tersebut sepadan dengan proses akumulasi kapital mondial, yaitu dasar utama dari eksploitasi model lama dan mutakhir.
Sejak Orde Baru sampai sekarang empat faktor kapitalisme ini dibungkus dalam gaya pembangunan. Itulah sebabnya pembangunan selalu diidentikan dengan penghisapan, karena orientasi yang terbangun bukan untuk mensejahterakan, melainkan orientasi eksploitasi dan okupasi demi keuntungan-keuntungan materiil.
Apa yang terjadi di Kampong Riwang adalah gambaran dari bekerjanya faktor-faktor kapitalisme yang telah tersampaikan: ia rakus dan memaksa untuk mengeksploitasi. Bahkan, ia lakukan segala hal demi melancarkan agenda investasi. Ini kita sebut dengan penghisapan, bukan pembangunan.
***
Kado Manis Awal Tahun: Tanah Tetap sebagai Komoditas
Kembali pada puisi Wiji Thukul: Setiap orang butuh tanah. Bahkan jika saya boleh menambahkan bahwa setiap orang pun juga lapar tanah. Transformasi pada relasi tanah membuat semakin ke sini tanah semakin menjadi komoditas investasi. Maka dari itu ia diperebutkan. Dalam sekian banyak narasi konflik, hanya sedikit kemenangan yang berpihak pada rakyat; kemenangan yang lain jelas berpihak pada pemilik modal.
Negara seharusnya melindungi hak-hak Masyarakat Adat Kampong Riwang atas tanahnya.
Sayangnya, negara lebih berpihak pada pemodal. Ini ditunjukkan dengan kehadiran serdadu Brimob yang mengamankan investasi di atas tanah adat. Ketika negara telah tunduk pada pemodal, ia seakan menjadi “Tuhan” baru. Bahkan, pemerintah berani memangkas segala hal yang dapat menghalangi bekerjanya mekanisme pasar.
Menjual tanah sama saja dengan mengubah relasi-relasi sosial dan kebudayaan. Sama saja pula dengan membumihanguskan identitas-identitas Masyarakat Adat yang melekat pada tanah. Ini adalah tindakan genosida.
Persoalan yang terjadi di Kampong Riwang, sebenarnya bukan hanya siapa melawan siapa. Akan tetapi, kita harus perhatikan pula terdapat sistem besar yang bekerja mengatur jalannya praktik eksploitasi seperti yang telah tersampaikan. Pada titik ini, adalah penting dan mendesak untuk meletakkan seluruh konflik pertanahan yang terjadi selama ini dalam bingkai investasi di Indonesia.
Sistem itu adalah kapitalisme.
Sungguh kado awal tahun yang sangat miris!
[Yayan Hidayat]