Bahasa Batak Toba/Batak Toba Language

Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat adat Batak Toba masih terus memakainya. Baik mereka yang merantau apalagi yang di kampung. Bahasa ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bahasa yang kuat di antara bahasa daerah lainnya yang berada di kesatuan bahasa nasional: Indonesia.

Kekuatan ini, paling sedikit, terlihat dari logat orang Batak setiap di mana pun mereka berada. Ciri khas tersebut merupakan suatu kebanggaan yang dengan sendirinya mengangkat panggung bahasa Batak Toba. Sebagai masyarakat adat, orang Batak sangat bangga dengan bahasanya.

Namun demikian tidak sedikit juga orang Batak yang memiliki rasa percaya diri rendah terhadap bahasa ini. Hal itu semakin kentara dewasa ini, khususnya pada generasi muda yang lebih suka gagah-gagahan dengan memakai bahasa Indonesia sebagai pandangan urban.

Video kali ini dengan bangga mempersembahkan bahasa Batak Toba. Masyarakat adat Batak Toba tidak ingin bahasanya terseret dalam ancaman kepunahan. Sebab bahasa Batak Toba itu merupakan identitas mereka.

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=Jq3eO9_jpSw[/embedyt]

Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #3

 

Potensi Ekonomi Kerajinan Tangan Berbasis Hasil Hutan

Mandiri secara ekonomi akan tercapai jika sumber daya alam yang ada di wilayah adat komunitas terhindar dari pengrusakan wilayah adat seperti hutan dan bisa dimanfaatkan menjadi sumber potensi ekonomi tanpa melukai alam yang lestari. Salah satu komunitas yang cukup memiliki sumber daya alam hutan adalah komunitas Payang di Kalimantan Tengah. Dengan luasan ± 40.000 ha, komunitas Payang sangat tergantung dengan sumber daya alamnya dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Salah satu komoditi yang sangat menunjang kehidupan masyarakat adat Payang adalah rotan. Komoditi ini paling banyak ditemukan di dalam hutan yang ada di Payang. Masyarakat adat Payang yang sehari-harinya sebagai petani banyak menghabiskan waktunya untuk mencari rotan di hutan.

Setelah rotan dicari dan dikumpulkan, rotan tersebut langsung di-kenoye (membuang kulit ari rotan), kemudian dijemur minimal tiga hari sampai menjadi kering, lalu ruas rotannya dibersihkan menggunakan parang. Setelah itu rotan tersebut dibelah dan langsung dianyam. Anyaman-anyaman yang bisa dihasilkan dari rotan ini berbagai macam seperti:

(A) Gawang (Anjat)

Gawang/Anjat merupakan anyam-anyaman yang terbuat dari rotan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang.

 

Jenis-jenis Gawang/Anjat

(a) Gawang Lemuten (anjat rapat)

Anjat jenis ini digunakan untuk menyimpat alat perabotan jika seseorang mau melakukan perjalanan jauh

(b) Gawang Rahau (Anjat Jarang)

Anjat jenis ini dipakai untuk menyimpan bekal/hasil pada saat melakukan perburuan atau memancing ikan. Anjat jenis ini pada zaman dulu dipakai untuk menyimpan barang-barang pada saat laki-laki meminang perempuan.

(c) Gawang Bura (Anjat Polos)

Anjat jenis ini mempunyai fungsi yang fleksibel, karena anjat ini bentuknya sama dengan anjat rapat hanya saja anjat jenis ini tidak diwarnai seperti anjat rapat.

 

Gawang (Anjat) ini mempunyai motif bermacam-macam seperti :

(1) Wakai Joyak/Akar Runtuh

(2) Daun Kayas

(3) Alan Ayan Soe/Jalan Semut

(4) Sempulang Anyang. Sempulang adalah anting, Anyang adalah nama manusia

(5) Kansip Leka (Alat untuk membelah pinang)

(6) Lematek Tuet (Lintah Duduk)

(7) Maten Punei (Mata Burung Punei)

(8) Kana adalah motif yang berbentuk seperti orang yang memegang pinggang

(9) Tyong Tempu adalah motif yang berbentuk burung terbang

 

(B) Apai (Tikar)

Tikar adalah alas yang bisa digunakan sebagai alas tidur, jemuran padi, taplak meja, alas ritual adat, alas duduk pada saat acara perkawinan menurut kepercayaan Kaharingan

(C) Keba

Keba adalah sebuah alat yang digunakan oleh masyarakat adat Payang untuk membawa kayu bakar, membawa hasil buruan, dan untuk membawa padi.

(D) Bisan (Lanjung)

Bisan/lanjung adalah alat yang digunakan untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan.

(E) Topi

Topi adalah alat untuk menutup kepala agar terhindar dari sengatnya matahari.

(F) Dompet

Dompet adalah alat yang digunakan untuk menyimpan uang.

(G) Tas

Tas adalah alat yang bisa digunakan untuk menyimpan alat tulis, dan lain-lain.

(H) Balawit (Tali Parang)

Bawit/tali parang adalah alat yang dugunakan untuk mengikat parang agar bisa digantung.

(I) Kepinggang (Ikat Pinggang)

Kempinggang/ikat pinggang adalah alat yang digunakan sebagai penahan celana.

(J) Kursi

Kursi adalah alat yang digunakan sebagai tempat duduk jika ada tamu.

(K) Siur (Tangguk)

Siur/tangguk adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional.

 

Uniknya semua anyam-anyaman di atas terbuat dari rotan dan itu bisa menjadi pengembangan ekonomi kreatif masyarakat adat yang ada di komunitas adat Payang.

Kesyadi Antang

 

Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #2

 

Sistem Pengelolaan Wilayah Adat

 

Membuka hutan untuk berladang

Menanam padi merupakan suatu rutinitas yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat yang ada di komunitas adat Payang Kecamatan Gunung Purei. Artinya, ketika menanam padi, masyarakat adat harus membuka hutan dengan menggunakan kearifan lokal yang mereka yakini sejak turun-temurun. Seperti misalnya membuka hutan dengan menggunakan metode tradisional.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan ketika membuka hutan untuk dijadikan ladang bagi masyarakat adat Payang yaitu:

(a) Ngerang La’ang (mencari tanah untuk tempat berladang)

Dalam proses mencari tanah sebagai tempat berladang ini masyarakat adat membersihkan tanah selama empat hari, setelah proses pembersihan selesai baru masyarakat mengenali tanda dari bunyi burung Mentit. Kalau bunyi burung Mentitnya hanya sekali, maka tanah tersebut tidak baik untuk dijadikan ladang, tapi kalau bunyinya lebih dari tiga kali maka tanah tersebut bagus untuk tempat berladang. Setelah proses Ngerang La’ang selesai maka masyarakat adat setempat melakukan ritual “makan baya” yaitu ritual adat untuk meminta keselamatan dari leluhur.

(b) Nokap (menebas ladang)

Menebas ladang atau membersihkan ladang ini dilakukan oleh masyarakat setempat secara gotong royong.

(c) Noweng (menebang pohon-pohon besar)

Dalam proses ini, masyarakat menebang pohon yang besar supaya lebih bersih setelah menebas.

(d) Oing Joa (mengeringkan lahan yang sudah ditebas dan ditebang)

Oing Joa ini adalah proses di mana hutan yang sudah ditebas dan ditebang, harus didiamkan lagi supaya kering. Proses ini memakan waktu 30-40 hari.

(e) Nyuru (membakar ladang)

Dalam proses membakar ladang ini ada beberapa ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat Payang, yaitu masyarakat mengambil cabai kemudian dijemurkan di atas tanah, bersamaan dengan itu masyarakat mengukir gambar burung elang di atas tampi kemudian digantung dengan menggunakan pohon bambu. Tujuannya untuk mengukur seberapa panasnya matahari dan seberapa kencangnya hembusan angin supaya proses pembakaran ladang tersebut bisa benar-benar terbakar sesuai dengan harapan masyarakat. Setelah ritual ini dilakukan, maka masyarakat sudah bisa membakar ladang mereka.

(f) Menuk (membersihkan bekas pembakaran ladang)

Setelah ladang dibakar, maka ladang tersebut dibersihkan dari sisa-sisa kayu yang tidak terbakar ataupun yang sudah terbakar namun berserakan, supaya masyarakat bisa menanam padi dengan mudah.

(g) Ngasek (manugal/menanam padi)

Menanam padi merupakan proses di mana tanah yang dilobangi menggunakan kayu (tugal), kemudian padi ditabur di dalam lobang tersebut. Proses ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong. Memang sudah menjadi tradisi masyarakat bahwa pekerjaan seberat apa pun kalau dilakukan secara bersama-sama, maka akan terasa ringan.

(h) Ngerikut (merumput)

Setelah porses menanam padi selesai, maka ladang akan dibiarkan selama satu bulan, kemudian ladang tersebut dibersihkan dari rumput-rumput yang mengelilingi tanaman padi. Biasanya merumput ini dilakukan selama tiga bulan sambil menunggu padinya masak.

(i) Ngoteu (panen padi)

Setelah padi masak, maka masyarakat siap untuk memanen padi tersebut. Namun sebelum panen, masyarakat biasanya melakukan ritual adat yang dinamakan Sensotik. Sensotik adalah sebuah ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat melewati tetua adat di mana dalam prosesnya ini masyarakat berkumpul untuk mengucap syukur dengan hasil panen yang akan dihadapi. Setelah ritual ini selesai, setelahnya masyarakat bisa memanen padi.

 

Mengambil Hasil Hutan

Rotan merupakan komoditi unggulan yang dimiliki oleh komunitas Payang setelah karet, dari rotan masyarakat adat khususnya ibu-ibu bisa membuat anyam-anyaman tradisional kemudian dijual demi membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga.

Dalam mengelola wilayah adatnya, komunitas yang ada di Kecamatan Gunung Purei Kabupaten Barito Utara masih menggunakan kearifan lokal mereka ketika membuka hutan untuk dijadikan sebagai ladang. Walaupun dengan cara membakar, namun mereka punya teknik tersendiri agar proses pembakaran ladang tidak merembet ke tempat lain.

“Kami dari dulu memang sudah membakar ketika membuka hutan, dan kami punya cara untuk membakar ladang kami. Misalnya kami membuat sekat bakar seperti membersihkan sekeliling ladang, dan kami melakukannya dengan gotong royong. Jadi kalau apinya sudah mulai masuk ke tempat lain, kami bersama-sama untuk memadamkannya,” kata Talius.

Kesyadi Antang

Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #1

Mendokumentasikan Pusaka Masyarakat Adat Payang

Setelah pelatihan pendokumentasian yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) pada 07 s/d 09 April 2016 yang lalu, salah satu tindak lanjutnya adalah mencoba menelusuri “Jejak Leluhur” di komunitas-komunitas yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalimantan Tengah.

Maka terpilihlah komunitas Payang sebagai tujuan untuk menelusuri jejak leluhur tersebut. Kami memilih Payang karena komunitas adat tersebut tengah melaukan pemetaan partisipatif. Dengan adanya kegiatan tersebut, kami bisa turut membantu mereka untuk mempercepat pemetaan yang tengah bersemangat itu. Di sisi lain, kami juga ingin menemani masyarakat Payang mendokumentasikan identitasnya, mulai dari sejarah, adat-istiadat, budaya ke dalam bentuk tertulis.

Tim yang terdiri dari Kesyadi, Eko, Murniasih, Kusuma, Kimrot, Sesi, Jengki, Wisman, dan Harmi berangkat dari Palangka Raya menuju Muara Teweh pada 17 April 2016. Namun terlebih dulu mengunjungi komunitas Nihan dan Karamuan. Tiga hari kemudian tim berangkat dari Muara Teweh menuju komunitas Payang.

Payang adalah salah satu nama komunitas anggota AMAN Daerah Barito Utara. Payang terletak di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah. Secara geografis Payang berada di dekat perbatasan antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Waktu tempuh dari Palangka Raya ± 12 jam atau kalau dari Samarinda sekitar 8 jam.

Sesampainya di sana, tim langsung mengobrol dengan salah satu warga komunitas: Talius, 45 tahun. Kami mengobrol tentang jejak-jejak leluhur Payang yang masih ada dan lestari sampai sekarang.

Pertama-tama beliau menjelaskan bahwa di komunitas Payang masih ada tersimpan benda-benda pusaka milik leluhur zaman dulu yang masih dijaga oleh ahli warisnya seperti gong, mandau, kangkanong, tu’ung, potan, dan getang.

Mendengar cerita dari staf pemerintahan desa itu, tim langsung berinisiatif untuk mencoba menggali lebih jauh lagi fungsi dan kegunaan masing-masing dari benda tersebut. Berikut penjelasan singkatnya tentang benda pusaka Payang.

  1. Gendring (Gong)

Gendring berfungsi untuk memberitahukan kepada orang lain ketika salah satu anggota masyarakat meninggal. Gong dikeluarkan kemudian dipukul sebagai bentuk pengumuman. Disamping itu Gendring juga berfungsi sebagai alas duduk pasangan pengantin yang sedang melaksanakan prosesi pernikahan (menurut kepercayaan Kaharingan).

gendering

Gendering/Gong

  1. Mandau (Senjata berbentuk parang)

Seperti kebanyakan suku yang ada di Kalimantan Tengah bahwa Mandau merupakan sebuah senjata yang dipergunakan untuk berperang pada zaman dahulu (kayau mangayau). Alat ini kebanyakan digunakan oleh para pahlawan-pahlawan suku Dayak pada saat itu. Makanya sekarang Mandau dijadikan sebagai benda pusaka, karena Mandau terbuat dari besi khusus dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja.

mandau

Mandau

  1. Kangkanong

Kangkanong merupakan alat musik tradisonal yang ada di komunitas Payang. Alat musik pukul ini digunakan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari giring-giring. Alat musik ini terbuat dari bahan kuningan, namun karena bahan kuningan sangat susah didapatkan sekarang maka bahan untuk membuat Kangkanong bisa juga dibuat dari bahan dasar kayu.

kangkanong

Kangkanong

  1. Tu’ung (Gendang)

Tu’ung merupakan salah satu alat musik tradisional lainnya di masyarakat  Payang. Alat ini terbuat dari kayu setengah keras seperti Meranti. Lubang alat ini ditutupi dengan kulit Kijang. Cara memainkan alat musik ini hanya dengan dipukul lubang yang sudah ditutupi dengan kulit Kijang tersebut.

Tu'ung

Tu’ung

  1. Potan (Sumpit)

Sama seperti Mandau, Potan juga merupakan alat perang yang digunakan untuk membunuh musuh pada saat terjadi perang (kayau mangayau). Namun Potan ini juga bisa digunakan untuk berburu karena jarak tikamnya cukup jauh. Potan ini terbuat dari kayu Ulin yang dilubangi di kedua ujungnya.

Potan

Potan/tombak

  1. Getang (Gelang)

Getang adalah salah satu benda yang dipakai di tangan, kemudian pemakainya melakukan tari-tarian pada saat ada ritual adat seperti Balian (prosesi penyembuhan orang sakit).

getang

Getang

Penjelasan yang disampaikan ternyata cukup menarik karena komunitas Payang juga masih menyimpan benda-benda yang masih tersimpan dengan rapi yang dimiliki oleh leluhur zaman dulu. Hal itu pun ternyata sangat berguna bagi generasi sekarang, sehingga bisa menghormati keberadaan leluhurnya dan tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat di tengah ketidakharmonisan budaya yang ada.

***

Tidak puas hanya mendapat penjelasan, kami pun bergerak ke rumah Pak Wardiman atas petunjuk Talius. Sambil menyanyikan mars Barisan Pemuda Adat Nusantara, kami pun menempuh perjalanan satu jam berjalan kaki dari kampung Payang menuju rumah Pak Wardiman yang berada di tengah hutan. Sangat bersemangat.

Satu hal yang ingin kami lakukan yaitu menggali kembali bahwa di komunitas adat Payang ternyata ada benda-benda pusaka peninggalan leluhur jaman dulu. Kami ingin melihat langsung warisan leluhur yang masih terjaga itu.

Betapa kami terkejut menyaksikan pemandangan itu. Rumah keluarga Wardiman berdiri sendirian di tengah hutan, namun menyimpan benda pusaka komunitas adat Payang. Wajar saja jika rumah Pak Wardiman disebut sebagai rumah “pusaka” oleh masyarakat adat Payang.

Setelah satu jam perjalanan dari rumah Pak Talius sejak pukul sembilan pagi, kami tiba di rumah Wardiman. Kami menempuh perjalanan dengan membawa keceriaan yang tak sirna oleh teriknya matahari dan penat kaki menyerang karena perjalanan yang lumayan panjang. Kami disambut dengan senyum ramah Wardiman dan ibunya, Anyun, walaupun sebelumnya tidak ada janji untuk bertemu.

Pertama-tama kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Kemudian saya meminta Eko (kameramen) untuk mengambil beberapa foto benda-benda antik yang rupanya sudah sangat lama disimpan bahkan hampir puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan oleh pemiliknya.

“Selama ini kami hanya menyimpan saja barang-barang ini. Kami menyimpannya karena ingin mengingat tentang leluhur kami,” ujar Wardiman.

Kira-kira satu jam kami menyempatkan waktu untuk mengobrol-ngobrol dengan Pak Wardiman dan Ibu Anyun.

Tidak hanya mengenai benda-benda tersebut, tapi kami juga berbicara tentang kehidupan sehari-hari, kenapa lebih suka tinggal di hutan ketimbang di kampung. Ibu Anyun mengatakan bahwa di dalam hutan mereka menemukan ketenangan batin.

Menurutnya, semakin sedikit bergaul dengan manusia maka akan semakin mengurangi kita untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Pastinya kita harus menjaga hutan agar tetap lestari di samping memanfaatkannya, karena ini menyangkut keberlangsungan kehidupan anak cucu kelak.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 wib, kami mohon pamit karena akan mengunjungi ladang salah satu warga komunitas lagi. Sebelum kami beranjak pergi, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan Pak Wardiman sebagai kenang-kenangan. Satu hal yang menjadi catatan saya dan kawan-kawan bahwa kehidupan ini akan selaras dengan kita jika tetap memperhatikan nilai-nilai sosial yang sudah ada di masyarakat sejak dulu.

Kesyadi Antang

Tarian Adat Ngocin

Jakarta (23 /4/2016) – Dalam rangka ulang tahun ke-41 Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, salah satu perwakilan dari Kalimantan Tengah yakni Kabupaten Murung Raya turut mengisi perayaan itu dengan menggelar kegiatan Explore Exotica of  Borneo: Promosi Unggulan Daerah Melalui Pentas Tari dan Musik Tradisional Kabupaten Murung Raya Tahun 2016.

“Kegiatan ini untuk mengisi promosi unggulan daerah. Kabupaten Murung Raya memiliki potensi seni-budaya serta potensi wisata yang sangat layak kita promosikan,” kata Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Murung Raya, Regita.  

Dalam kegiatan tersebut sebagai salah satu kesempatan untuk mengenalkan produk unggulan, mereka menampilkan tarian adat: Ngocin. Nama tarian ini diambil dari bahasa Siang.

 

Tarian Adat Ngocin adalah tarian adat yang menceritakan tentang kearifan lokal dalam menangkap ikan secara tradisional. Alat penangkapan ikan yang digunakan yakni  Sauk /Tangguk, Buwu/Tokalak (perangkap ikan) terbuat dari bambu; Sepakang (tombak) penangkap ikan, Jala dan Rengge (jaring ikan). Semua alat ini ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistim dan pencemaran air.

Secara nilai tradisi adat-istiadat menurut kepercayaan masyarakat Dayak Uut Danum Kabupaten Murung Raya mengandung makna bahwa segala sesuatu dikerjakan harus dilandaskan pada keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta alam. Karena itu mereka selalu menjaga kelestarian lingkungan, mahluk hidup dan alam semesta, dengan tidak menggunakan bahan dan perlatan yang dapat merusak ekosistem lingkungan hidup di sekitar mereka.

Kegiatan Explore Exotica merupakan promosi dalam mempertahankan kearifan lokal seperti halnya tari Ngocin.

Hantingan, anggota BPAN Kalimantan Tengah, mengatakan dengan adanya pentas tarian adat Ngocin itu sebagai promosi, maka semua orang bisa tahu bahwa kehidupan masyarakat adat masih menggunakan alat penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan Sauk dan Buwu. Sehingga kearifan lokal selalu dijaga dengan baik. Hal ini bertujuan mengantisipasi perkembangan dari luar yang mengancurkan dan merusak kearifan lokal dan budaya.

Hadir dalam acara ini antara lain istri Bupati Murung Raya Lynda Kristiane, Kepala Anjungan Kalteng TMII Singkap, Ketua Dewan Adat Dayak Jabodetabek Putin Manirawan.

Ferddy Siwele

May Day 2016: Momentum Politik Gerakan Sosial

Seperti yang kita ketahui setiap urusan hidup di Republik (Indonesia) ini selalu berhubungan dengan kegiatan politik karena tidak akan bisa lepas dari sirkulasi politik. Coba kita perhatikan kembali dari setiap kebijakan yang mencakup hidup orang banyak termasuk buruh, petani, mahasiswa, masyarakat adat, kaum miskin kota semua itu tidak akan lepas dari keputusan politik.

 

Dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah seperti menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan harga sembako dan kebutuhan lain melambung tinggi itu sangat dipengaruhi keputusan politik. Biaya sekolah yang sangat mahal, itu juga tidak luput dari keputusan politik. Jaminan sosial kesehatan seperti BPJS yang berbentuk asuransi untuk masyarakat Indonesia yang sulit dijangkau oleh rakyat kecil merupakan bagian dari keputusan politik.

 

Masih banyaknya upah yang di bawah Upah Minimum Kota (UMK) untuk kaum pekerja yang diberikan borjuasi (kapitalis) juga ditentukan oleh keputusan politik. Begitu pun dengan kontrak outsourcing. Bahkan pihak dinas ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi pekerja malah lebih berpihak terhadap pemilik modal.

 

Perampasan tanah dan pembangunan di komunitas adat yang sering terjadi tanpa melibatkan masyarakat lokal (pribumi) yang menyebabkan konflik juga bagian dari keputusan politik.

 

Padahal selama ini urusan sudah diurus oleh mereka yang berada di Senayan yaitu lembaga legislatif kepanjangan dari partai politik. Akan tetapi sampai dengan sekarang belum mampu mewujudkan itu semua.

 

Kaum buruh, petani, mahasiswa, masyarakat adat dengan jumlah yang besar apalagi ditopang kualitas serta pengalaman sejarah masa lalu akan membuat persatuan kesadaran politik semakin membaik. Seperti kata Bung Karno: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita harus belajar pada sejarah bangsa ini sehingga kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu tidak terulang kembali.

 

Ketika kita selalu menitipkan nasib pada orang lain, maka kemungkinan besar hanya sebagai alat kepentingan sekelompok orang yang ingin berkuasa saja dan urusan kita pasti tidak akan terwujud. Dari sisi agama pun kitab suci Al-quran menjelaskan bahwa Tuhan itu tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya. Artinya kita harus mampu merubah nasib sendiri tanpa dititipkan pada orang lain.

 

Pembagunan reklamasi di wilayah nelayan tanpa analisa matang akan berdampak pada kerusakan lingkungan ekosistem di laut. Hal ini tentu sangat berdampak untuk warga pesisir dan nelayan karena ikan yang biasa di pinggir laut beralih ke tengah sehingga biaya untuk melaut juga semakin besar.

 

Berdasarkan persoalan di atas, apa yang harus kita lakukan? Gerakan sosial, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, masyarakat adat sudah saatnya merajut isu bersama dan menyusun sendiri alatnya untuk mewujudkan kebutuhannya dengan seadil-adilnya melalui alat politiknya sendiri.

 

Salah satu alat politik yang dimaksud adalah membentuk partai politik. Gerakan sosial dengan massa yang kuat semestinya bisa mewujudkan partai alternatifnya sendiri apalagi dengan adanya materi massa di setiap daerah. Artinya, sudah pasti ide itu akan terwujud asalkan tidak mementingkan kelompok.

 

Menurut hemat saya ini merupakan pencapaian politik yang sangat baik. Maka sudah layaklah kelompok ini bersatu dengan mendeklarasikan partainya sendiri. Deklarasi itu mungkin bisa dimulai dengan mendeklarasikan Ormas Multi Sektor yang murni berasal dari gagasan atau pengalaman ditindas di negeri sendiri seperti terjadi selama ini. Jadi seluruh elemen gerakan sosial sudah saatnya bangun dan bangkit untuk membangun partai politiknya sendiri.

 

Dalam momentum May Day mendatang seharusnya bisa menjadi saat terbaik untuk berefleksi bagi semua gerakan sosial. Sebab momen tersebut merupakan hari bersejarah bagi kaum pekerja. Karena disaat buruh mampu mengubah tatanan dunia dengan perubahan jam kerja yang pendek, bagitu juga dengan gerakan petani yang bisa mengambil kembali lahan garapannya. Contohnya seperti yang diperjuangkan Serikat Petani Pasundan/SPP baru-baru ini atau gerakan masyarakat adat yang berhasil menekan pemerintah daerah untuk membuat Perda Adat.

Moh Jumri

Bahasa Sasak/Sasak Language

Bahasa adalah item vital dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa segala sesuatu yang menjadi pengetahuan akan terkunci. Kita tidak akan pernah tahu. Bahasa menjadi penghubung antarmanusia di planet ini.

Bahasa laksana kunci. Seperti di paragraf sebelumnya, bahasa membuka jalan untuk menempuh segala pengetahun. Tak heran, semakin banyak kita memegang kunci/bahasa, semakin kita mengetahui banyak hal.

Beraneka ragamnya manusia menurut lingkungannya turut juga mengangkat bahasa sebagai alat komunikasinya masing-masing. Berbeda komunitas, berbeda bahasanya. Di satu negara saja, bahasa tercipta berjumlah ratusan bahkan lebih.

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=fqPPtum_D7U[/embedyt]

Namun di tengah masa yang digenggam oleh minoritas masyarakat dunia ini, bahasa adat/daerah semakin tergerus dari lingkungannya sendiri. Adanya bahasa-bahasa pemersatu seperti Inggris untuk internasional, Indonesia untuk negara Indonesia dan bahasa-bahasa nasional lainnya telah memengaruhi nasib bahasa adat.

Bahasa adat dewasa ini semakin tergerus. Inilah satu tantangan yang harus dihadapi sebab ia terkait akan soal keberadaan masyarakat adat/komunitas adat di seluruh dunia.

Masyarakat Adat nusantara/Indonesia memiliki ratusan bahasa adat yang juga mulai terancam punah. Bahasa Sasak terdapat di Ambon, Nusa Tenggara Barat misalnya. Video di atas sebagai dokumentasi dan bukti keberadaan bahasa adat Sasak.

 

Myanmar Rasa Toba

Jakarta (20 April 2016) – Wajahnya mengernyit. Nadanya meninggi ketika perempuan itu terdesak pernyataan keliru penulis soal kepemilikan Toba Restaurant Cafe. Senyumnya mengendur dan tatapannya tajam seolah menembus mata saya. “Memangnya kenapa! Kampung, kampung saya,” katanya dengan lantang saat penulis mengunjungi restoran itu 14 Maret lalu.

Desy Hutapea, perempuan Batak Toba, itu sejak Myanmar terbuka untuk dunia luar, berekspansi dengan membuka restoran ala Indonesia.

SK usaha resmi dari kedutaan RI di Myanmar

SK Restoran Toba, resmi dari KBRI di Myanmar

Restoran ini mengusung nama Toba, sebuah nama yang tidak asing lagi bagi WNI. Restoran yang terdiri dua lantai tersebut hampir seluruhnya bernuansa Toba. Setiap dinding bagian dalam restoran dipenuhi dengan lukisan pemandangan sekitar Danau Toba. Gunung Pusuk Buhit, panorama Danau Toba, Jabu Bolon, rumah khas Batak Toba, rumah ikan adalah beberapa contohnya.

Lukisan Jabu Bolon

Lukisan Jabu Bolon/Rumah Batak

Tetapi, nama restoran ini pada awalnya adalah Restoran Nusantara. Kala itu 2014, kata Desy, nusantara dipilih sebagai nama restoran bersama dengan kolega bisnisnya asal Singapura. “Waktu itu memang kita sejalan, tapi akhirnya saya melanjutkan sendiri. Di situlah nama restoran ini saya ubah,” ujarnya.

Restoran Toba merupakan satu-satunya restoran yang menjajakan makanan dengan cita rasa Indonesia di negeri yang sudah 50 tahun mengisolasi diri itu. Bagi WNI yang berada di Burma, khususnya Yangon, mencari makanan yang cocok dengan lidah Indonesia tidak keliru untuk mengunjungi tempat ini. Masakan khas nusantara, mulai dari pecel, nasi goreng, ikan bakar dll tersedia di sana.

Pecel

Pecel

Bersamaan dengan terbukanya Myanmar, pengusaha pun mulai berdatangan. Bagi Desy, keterbukaan ini merupakan peluang bisnis dengan jumlah pasar yang dia perkirakan mencapai 2000 orang WNI. Maka sejak 2014, Desy memindahkan usahanya dari Bali ke negara baru terbuka tersebut.

Pemilik restoran yang beralamat di Nawaday Street, Dagon Township no 15 Yangon—setidaknya sampai penulis berkunjung—adalah seorang perempuan kelahiran Jalan Krakatau Medan. Wanita yang memiliki asal-usul kampung dari Laguboti, Toba Samosir itu menunjukkan kebanggaannya terhadap Danau Toba dengan menulis Toba sebagai nama restorannya. “Saya ingin memperkenalkan nama (Batak) Toba ke masyarakat internasional,” ujar perempuan berambut panjang itu.

Penulis dan Dessy

Penulis dan Desy

Nama Toba dalam restoran ini merujuk pada danau vulkanik di Sumatera Utara. Danau yang meletus untuk terakhir kali pada 74.000 tahun lalu memiliki luas perairan ± 1.130 Km2 dan kedalaman ± 529 m. Dengan demikian, danau tawar ini menjadi yang terbesar di kelasnya se-Asia Tenggara. Namun besarnya danau tercinta bagi Masyarakat Adat Batak ini, tidak berbanding lurus dengan pengenalan penduduk Indonesia dan dunia; selain itu jumlah turis yang mengunjunginya masih minim.

Gunung Pusuk Buhit

Gunung Pusuk Buhit

Desy bercerita bahwa selama ini yang dikenal luas dari Indonesia hanya Bali. Sebagai tujuan wisata, Bali memang masih nomor satu sebab pulau dewata tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah selain karena masyarakatnya tetap melestarikan budayanya yang kuat itu. Meskipun demikian, masih banyak daerah di Indonesia yang mumpuni menjadi destinasi wisatawan, umpanya Danau Toba.

Beberapa tahun terakhir, Danau Toba tengah mendapat perhatian dari beberapa pihak. Mereka, Jendela Toba/Earth Society, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), mengusulkan agar Danau Toba menjadi Taman Bumi (Geopark Kaldera Toba) melalui UNESCO. Paling baru, 2016, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Kordinator Kemaritiman Rizal Ramli tengah membentuk Badan Otorita Danau Toba untuk tujuan menjadikan ikon Sumatera Utara itu sebagai destinasi wisata nasional. Bahkan, pemerintah memproyeksikan Danau Toba sebagai Monako-nya Asia (Monaco of Asia).

Padahal, menurut Desy, Danau Toba adalah sebuah keajaiban yang lebih dari patut untuk dijaga dan dilestarikan. Sementara itu, pemerintah Indonesia menaruh rasa hormat yang sangat kecil terhadap Masyarakat Adat Batak di sekitar Danau Toba. “Kebanggaan akan Toba hanya ucapan. Respek pemerintah pada masyarakat sangat kecil,” kata alumnus Universitas Padjadjaran Bandung itu.

***

Penulis menyinggung jumlah pelanggan yang saat itu kami cuma tiga: saya dan dua lainnya yaitu satu berwajah Eropa dan satunya lagi bertampang Tiongkok. Si Boru Hutapea, 39 tahun, menuturkan bahwa restorannya cukup jarang sepi. Pelanggan yang jumlahnya paling banyak terutama pada Sabtu dan Minggu. Selain untuk mencari makan, para WNI di Yangon berkumpul dan memuaskan dahaga berbahasa Indonesia serta bercanda dengan sesama warga se-tanah air. “Kalau malam minggu paling rame,” katanya.

Di akhir pertemuan kami, penulis mengajak pemilik restoran berfoto bersama. Ia terkesan dengan penampilan saya yang sporty, namun mengenakan ulos. “Ito bawa ulos ke mana-mana? Wow, itu keren,” katanya kagum.

Jakob Siringoringo

Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran

Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara yang berasal dari Minahasa kini sedang mempelajari Tari Kawasaran sebagai salah satu upaya menelusuri jejak leluhur. Seperti kata pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; sambil menari kita bisa belajar sejarah juga bahasa Minahasa.

Menelusuri jejak leluhur, bagi BPAN, adalah satu gagasan untuk kembali kepada identitas budaya. Gagasan yang sudah berjalan ini dalam capaian sementara menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memiliki identitas atau jati diri: asal-usul lengkap dengan pranata sosial, kearifan lokal bahkan pengetahuan tradisional serta wilayah adat.

Fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir, perilaku masyarakat khususnya kaum muda cenderung tidak mengenal adat/budaya leluhurnya. Kemajuan masa yang pesat telah menjadi jiwa zamannya mereka di mana tradisi gadget, internet, hip hop dan

pemuda_adatSeorang penari Kawasaran mengangkat pedang perang.

seperangkat kecanggihan teknologi benar-benar bukan tradisi leluhur. Dampaknya adalah hilangnya identitas dan tidak ada pemaknaan terhadap tanah/wilayah adat. Sebuah kerugian luar biasa untuk kini dan nanti.

Kesadaran pentingnya identitas tersebut menjadi pengertian paling berharga bagi pemuda adat Minahasa. Selangkah demi selangkah, kami kembali mencari identitas kebanggaan kami yaitu menelusuri jejak leluhur. Saat ini kami mulai dengan belajar tari Kawasaran.

Arti Harafiah

Tari Kawasaran adalah tarian perang suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kawasaran berasal dari kata Kawak (lindung) dan Asaran (ikuti orang tua). Jadi, Kawasaran bermakna mengikuti ajaran leluhur, lalu melestarikan dan terutama untuk melindungi warisan turun-temurun tersebut. “Anggap torang pe ade ada orang mo serang kong torang mo lindungi (anggap adik kita akan diserang dan kita yang melindungi),” kata Tonaas Rinto Taroreh, pelaku ritual, pelatih tari Kawasaran.

prajurit_adatPemuda adat dari Tanah Batak dan Lombok berfose dengan penari Kawasaran.

Konon Masyarakat Adat Minahasa akan menggelar tarian ini ketika akan ataupun sesudah berperang. Tarian ini juga dipersembahkan pada upacara-upacara adat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang meninggal di medan perang. Kawasaran, di sisi lain, menggambarkan betapa semangat perjuangan itu harus tetap ada, terawat dan terpelihara.

Tata cara

Sebelum memulai tarian selalu ada tata cara yang wajib diperagakan. Para penari memberi hormat (sumigi) kepada lawan perang sebagai tanda penghormatan sekaligus nama baik. Jumlah penari selalu ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9. Biasanya penari terdiri dari sembilan orang seturut dengan makna sembilan sebagai angka keramat bagi orang Minahasa.

Selanjutnya terbagi tiga babak permainan dalam tarian ini pertama, Sumakalele (berlaga) di mana para penari akan beraksi saling menyerang laiknya dalam peperangan sungguhan; kedua, Kumoyak (bermain jiwa) menceritakan bagaimana menghibur jiwa dan menenangkan jiwa setelah ikut berperang; ketiga, Lalaya’an (kemenangan) dengan muka tersenyum sambil menari menandakan peperangan usai dan menang.

Perangkat  

Tambor, alat musik pukul dari kulit kambing/rusa,  adalah alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini disertai dengan aba-aba dari pemimpin tarian.

Mahkota_NedineNedine, penari perempuan.

Kostum yang digunakan terdiri dari kain tenun Minahasa untuk ikat pinggang, paruh burung Taong (simbol kebesaran), bulu ayam jantan, tengkorak monyet (simbol kehebatan prajurit perang yang berhasil membunuh musuh) dan baju kulit kayu. Warna kostum, merah, adalah simbol keberanian. Perlengkapan lainnya adalah pedang (santi), perisai (kelung), tombak (wengkow). 

Saat ini tarian Kawasaran digunakan dalam berbagai acara untuk mengusir dan membunuh roh jahat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kampung halaman agar tetap lestari, damai atau jauh dari niat jahat seperti halnya hantu bisnis.

Menjaga tanah Minahasa adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan yang tercermin dalam Kawasaran. Prinsip kesetaraan ini tampak pada praktiknya: penari terdiri dari perempuan dan laki-laki atau salah sebagian saja. Sembilan perempuan atau sembilan laki-laki. Ini pun menjadi alat perjuangan.

Pemuda_prajuritPenari laki-laki.

Bagi tou (orang) Minahasa, berperang adalah sesuatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani dan punya semangat perjuangan. Prajurit perang Minahasa disebut Waraney. Kini tou Minahasa tidak lagi berperang melalui kaki dan tangan manusia, tetapi dengan ‘otak’ (cara pandang).

Karena itu dalam melestarikan budaya, pemuda adat jangan jadi penonton tapi “aktor”. Zaman boleh berubah tapi pemuda adat kukuh mempertahankan identitasnya. Dengan adanya proses menelusuri jejak leluhur seperti ini, pemuda adat harus selalu berdiri kuat, memiliki semangat juang dan berani melawan penggusuran, pemetaan sepihak oleh negara, menolak hadirnya perusahaan tanpa persetujuan Masyarakat Adat. Singkatnya, mempertahankan wilayah adat warisan secara turun-temurun. “Sapa ley kal bukang torang?” (Siapa lagi kalau bukan kita?)

I YAYAT U SANTI (Angkatlah pedangmu!)

 

Nedine Helena Sulu

Rekomendasi

Rekomendasi dan Resolusi Rapat Kerja Nasional II Barisan Pemuda Adat Nusantara  (Rakernas II BPAN)

15-17 Maret 2016, Cibubur Jakarta Timur   

Kami, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dideklarasikan pada 29 Januari 2012 bersepakat untuk mengorganisir diri dalam satu barisan. Kami berikrar sebagai generasi muda adat yang akan bergerak mengurus wilayah adat kami. Karena wilayah adat adalah ruang hidup, tempat kami memulai kehidupan. Di sanalah kami belajar tentang kepemimpinan, pengetahuan, kepercayaan dan kehidupan itu sendiri. Dalam perjalanan tersebut, kami terus menata organisasi sesuai Statuta yang telah kami rumuskan dan tetapkan secara bersama-sama.

Saat ini kami ada di 17 Pengurus Wilayah (PW) setingkat provinsi, 34 Pengurus Daerah (PD) setingkat kabupaten tersebar di seluruh penjuru nusantara mulai dari Sumatera sampai Papua. Kami terus membangun solidaritas di antara pemuda-pemudi adat untuk membangkitkan semangat dan keterpanggilan untuk bangkit bersatu menjaga dan mengurus wilayah adat.

Meskipun demikian kami masih terus berbenah, berdiskusi, berdebat untuk memperkuat barisan di tengah-tengah besarnya persoalan yang dihadapi negeri ini, khususnya yang dihadapi Masyarakat Adat. Konsistensi, keteguhan, keyakinan dan kemandirian adalah semangat kami dalam perjuangan mengurus wilayah adat; dan dalam kebersamaan menanggung penderitaan, musyawarah mufakat serta bersepakat untuk satu tujuan: memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat, kami bangkit bersatu, bergerak mengurus wilayah adat. Sejak 15-17 Maret 2016 kami berkumpul kembali dalam agenda Rapat Kerja Nasional II Barisan Pemuda Adat Nusantara (Rakernas II BPAN). Sebanyak 52 orang utusan dari berbagai wilayah dan daerah datang dengan satu tujuan untuk merumuskan rencana kerja BPAN. Dalam Rakernas II BPAN ini, kami menegaskan beberapa rekomendasi dan resolusi dalam menuju perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di nusantara/Indonesia: More…

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish