Jakarta (20 April 2016) – Wajahnya mengernyit. Nadanya meninggi ketika perempuan itu terdesak pernyataan keliru penulis soal kepemilikan Toba Restaurant Cafe. Senyumnya mengendur dan tatapannya tajam seolah menembus mata saya. “Memangnya kenapa! Kampung, kampung saya,” katanya dengan lantang saat penulis mengunjungi restoran itu 14 Maret lalu.
Desy Hutapea, perempuan Batak Toba, itu sejak Myanmar terbuka untuk dunia luar, berekspansi dengan membuka restoran ala Indonesia.
Restoran ini mengusung nama Toba, sebuah nama yang tidak asing lagi bagi WNI. Restoran yang terdiri dua lantai tersebut hampir seluruhnya bernuansa Toba. Setiap dinding bagian dalam restoran dipenuhi dengan lukisan pemandangan sekitar Danau Toba. Gunung Pusuk Buhit, panorama Danau Toba, Jabu Bolon, rumah khas Batak Toba, rumah ikan adalah beberapa contohnya.
Tetapi, nama restoran ini pada awalnya adalah Restoran Nusantara. Kala itu 2014, kata Desy, nusantara dipilih sebagai nama restoran bersama dengan kolega bisnisnya asal Singapura. “Waktu itu memang kita sejalan, tapi akhirnya saya melanjutkan sendiri. Di situlah nama restoran ini saya ubah,” ujarnya.
Restoran Toba merupakan satu-satunya restoran yang menjajakan makanan dengan cita rasa Indonesia di negeri yang sudah 50 tahun mengisolasi diri itu. Bagi WNI yang berada di Burma, khususnya Yangon, mencari makanan yang cocok dengan lidah Indonesia tidak keliru untuk mengunjungi tempat ini. Masakan khas nusantara, mulai dari pecel, nasi goreng, ikan bakar dll tersedia di sana.
Bersamaan dengan terbukanya Myanmar, pengusaha pun mulai berdatangan. Bagi Desy, keterbukaan ini merupakan peluang bisnis dengan jumlah pasar yang dia perkirakan mencapai 2000 orang WNI. Maka sejak 2014, Desy memindahkan usahanya dari Bali ke negara baru terbuka tersebut.
Pemilik restoran yang beralamat di Nawaday Street, Dagon Township no 15 Yangon—setidaknya sampai penulis berkunjung—adalah seorang perempuan kelahiran Jalan Krakatau Medan. Wanita yang memiliki asal-usul kampung dari Laguboti, Toba Samosir itu menunjukkan kebanggaannya terhadap Danau Toba dengan menulis Toba sebagai nama restorannya. “Saya ingin memperkenalkan nama (Batak) Toba ke masyarakat internasional,” ujar perempuan berambut panjang itu.
Nama Toba dalam restoran ini merujuk pada danau vulkanik di Sumatera Utara. Danau yang meletus untuk terakhir kali pada 74.000 tahun lalu memiliki luas perairan ± 1.130 Km2 dan kedalaman ± 529 m. Dengan demikian, danau tawar ini menjadi yang terbesar di kelasnya se-Asia Tenggara. Namun besarnya danau tercinta bagi Masyarakat Adat Batak ini, tidak berbanding lurus dengan pengenalan penduduk Indonesia dan dunia; selain itu jumlah turis yang mengunjunginya masih minim.
Desy bercerita bahwa selama ini yang dikenal luas dari Indonesia hanya Bali. Sebagai tujuan wisata, Bali memang masih nomor satu sebab pulau dewata tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah selain karena masyarakatnya tetap melestarikan budayanya yang kuat itu. Meskipun demikian, masih banyak daerah di Indonesia yang mumpuni menjadi destinasi wisatawan, umpanya Danau Toba.
Beberapa tahun terakhir, Danau Toba tengah mendapat perhatian dari beberapa pihak. Mereka, Jendela Toba/Earth Society, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), mengusulkan agar Danau Toba menjadi Taman Bumi (Geopark Kaldera Toba) melalui UNESCO. Paling baru, 2016, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Kordinator Kemaritiman Rizal Ramli tengah membentuk Badan Otorita Danau Toba untuk tujuan menjadikan ikon Sumatera Utara itu sebagai destinasi wisata nasional. Bahkan, pemerintah memproyeksikan Danau Toba sebagai Monako-nya Asia (Monaco of Asia).
Padahal, menurut Desy, Danau Toba adalah sebuah keajaiban yang lebih dari patut untuk dijaga dan dilestarikan. Sementara itu, pemerintah Indonesia menaruh rasa hormat yang sangat kecil terhadap Masyarakat Adat Batak di sekitar Danau Toba. “Kebanggaan akan Toba hanya ucapan. Respek pemerintah pada masyarakat sangat kecil,” kata alumnus Universitas Padjadjaran Bandung itu.
***
Penulis menyinggung jumlah pelanggan yang saat itu kami cuma tiga: saya dan dua lainnya yaitu satu berwajah Eropa dan satunya lagi bertampang Tiongkok. Si Boru Hutapea, 39 tahun, menuturkan bahwa restorannya cukup jarang sepi. Pelanggan yang jumlahnya paling banyak terutama pada Sabtu dan Minggu. Selain untuk mencari makan, para WNI di Yangon berkumpul dan memuaskan dahaga berbahasa Indonesia serta bercanda dengan sesama warga se-tanah air. “Kalau malam minggu paling rame,” katanya.
Di akhir pertemuan kami, penulis mengajak pemilik restoran berfoto bersama. Ia terkesan dengan penampilan saya yang sporty, namun mengenakan ulos. “Ito bawa ulos ke mana-mana? Wow, itu keren,” katanya kagum.
Great:-)