Mendokumentasikan Pusaka Masyarakat Adat Payang
Setelah pelatihan pendokumentasian yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) pada 07 s/d 09 April 2016 yang lalu, salah satu tindak lanjutnya adalah mencoba menelusuri “Jejak Leluhur” di komunitas-komunitas yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalimantan Tengah.
Maka terpilihlah komunitas Payang sebagai tujuan untuk menelusuri jejak leluhur tersebut. Kami memilih Payang karena komunitas adat tersebut tengah melaukan pemetaan partisipatif. Dengan adanya kegiatan tersebut, kami bisa turut membantu mereka untuk mempercepat pemetaan yang tengah bersemangat itu. Di sisi lain, kami juga ingin menemani masyarakat Payang mendokumentasikan identitasnya, mulai dari sejarah, adat-istiadat, budaya ke dalam bentuk tertulis.
Tim yang terdiri dari Kesyadi, Eko, Murniasih, Kusuma, Kimrot, Sesi, Jengki, Wisman, dan Harmi berangkat dari Palangka Raya menuju Muara Teweh pada 17 April 2016. Namun terlebih dulu mengunjungi komunitas Nihan dan Karamuan. Tiga hari kemudian tim berangkat dari Muara Teweh menuju komunitas Payang.
Payang adalah salah satu nama komunitas anggota AMAN Daerah Barito Utara. Payang terletak di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah. Secara geografis Payang berada di dekat perbatasan antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Waktu tempuh dari Palangka Raya ± 12 jam atau kalau dari Samarinda sekitar 8 jam.
Sesampainya di sana, tim langsung mengobrol dengan salah satu warga komunitas: Talius, 45 tahun. Kami mengobrol tentang jejak-jejak leluhur Payang yang masih ada dan lestari sampai sekarang.
Pertama-tama beliau menjelaskan bahwa di komunitas Payang masih ada tersimpan benda-benda pusaka milik leluhur zaman dulu yang masih dijaga oleh ahli warisnya seperti gong, mandau, kangkanong, tu’ung, potan, dan getang.
Mendengar cerita dari staf pemerintahan desa itu, tim langsung berinisiatif untuk mencoba menggali lebih jauh lagi fungsi dan kegunaan masing-masing dari benda tersebut. Berikut penjelasan singkatnya tentang benda pusaka Payang.
- Gendring (Gong)
Gendring berfungsi untuk memberitahukan kepada orang lain ketika salah satu anggota masyarakat meninggal. Gong dikeluarkan kemudian dipukul sebagai bentuk pengumuman. Disamping itu Gendring juga berfungsi sebagai alas duduk pasangan pengantin yang sedang melaksanakan prosesi pernikahan (menurut kepercayaan Kaharingan).
- Mandau (Senjata berbentuk parang)
Seperti kebanyakan suku yang ada di Kalimantan Tengah bahwa Mandau merupakan sebuah senjata yang dipergunakan untuk berperang pada zaman dahulu (kayau mangayau). Alat ini kebanyakan digunakan oleh para pahlawan-pahlawan suku Dayak pada saat itu. Makanya sekarang Mandau dijadikan sebagai benda pusaka, karena Mandau terbuat dari besi khusus dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja.
- Kangkanong
Kangkanong merupakan alat musik tradisonal yang ada di komunitas Payang. Alat musik pukul ini digunakan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari giring-giring. Alat musik ini terbuat dari bahan kuningan, namun karena bahan kuningan sangat susah didapatkan sekarang maka bahan untuk membuat Kangkanong bisa juga dibuat dari bahan dasar kayu.
- Tu’ung (Gendang)
Tu’ung merupakan salah satu alat musik tradisional lainnya di masyarakat Payang. Alat ini terbuat dari kayu setengah keras seperti Meranti. Lubang alat ini ditutupi dengan kulit Kijang. Cara memainkan alat musik ini hanya dengan dipukul lubang yang sudah ditutupi dengan kulit Kijang tersebut.
- Potan (Sumpit)
Sama seperti Mandau, Potan juga merupakan alat perang yang digunakan untuk membunuh musuh pada saat terjadi perang (kayau mangayau). Namun Potan ini juga bisa digunakan untuk berburu karena jarak tikamnya cukup jauh. Potan ini terbuat dari kayu Ulin yang dilubangi di kedua ujungnya.
- Getang (Gelang)
Getang adalah salah satu benda yang dipakai di tangan, kemudian pemakainya melakukan tari-tarian pada saat ada ritual adat seperti Balian (prosesi penyembuhan orang sakit).
Penjelasan yang disampaikan ternyata cukup menarik karena komunitas Payang juga masih menyimpan benda-benda yang masih tersimpan dengan rapi yang dimiliki oleh leluhur zaman dulu. Hal itu pun ternyata sangat berguna bagi generasi sekarang, sehingga bisa menghormati keberadaan leluhurnya dan tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat di tengah ketidakharmonisan budaya yang ada.
***
Tidak puas hanya mendapat penjelasan, kami pun bergerak ke rumah Pak Wardiman atas petunjuk Talius. Sambil menyanyikan mars Barisan Pemuda Adat Nusantara, kami pun menempuh perjalanan satu jam berjalan kaki dari kampung Payang menuju rumah Pak Wardiman yang berada di tengah hutan. Sangat bersemangat.
Satu hal yang ingin kami lakukan yaitu menggali kembali bahwa di komunitas adat Payang ternyata ada benda-benda pusaka peninggalan leluhur jaman dulu. Kami ingin melihat langsung warisan leluhur yang masih terjaga itu.
Betapa kami terkejut menyaksikan pemandangan itu. Rumah keluarga Wardiman berdiri sendirian di tengah hutan, namun menyimpan benda pusaka komunitas adat Payang. Wajar saja jika rumah Pak Wardiman disebut sebagai rumah “pusaka” oleh masyarakat adat Payang.
Setelah satu jam perjalanan dari rumah Pak Talius sejak pukul sembilan pagi, kami tiba di rumah Wardiman. Kami menempuh perjalanan dengan membawa keceriaan yang tak sirna oleh teriknya matahari dan penat kaki menyerang karena perjalanan yang lumayan panjang. Kami disambut dengan senyum ramah Wardiman dan ibunya, Anyun, walaupun sebelumnya tidak ada janji untuk bertemu.
Pertama-tama kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Kemudian saya meminta Eko (kameramen) untuk mengambil beberapa foto benda-benda antik yang rupanya sudah sangat lama disimpan bahkan hampir puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan oleh pemiliknya.
“Selama ini kami hanya menyimpan saja barang-barang ini. Kami menyimpannya karena ingin mengingat tentang leluhur kami,” ujar Wardiman.
Kira-kira satu jam kami menyempatkan waktu untuk mengobrol-ngobrol dengan Pak Wardiman dan Ibu Anyun.
Tidak hanya mengenai benda-benda tersebut, tapi kami juga berbicara tentang kehidupan sehari-hari, kenapa lebih suka tinggal di hutan ketimbang di kampung. Ibu Anyun mengatakan bahwa di dalam hutan mereka menemukan ketenangan batin.
Menurutnya, semakin sedikit bergaul dengan manusia maka akan semakin mengurangi kita untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Pastinya kita harus menjaga hutan agar tetap lestari di samping memanfaatkannya, karena ini menyangkut keberlangsungan kehidupan anak cucu kelak.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 wib, kami mohon pamit karena akan mengunjungi ladang salah satu warga komunitas lagi. Sebelum kami beranjak pergi, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan Pak Wardiman sebagai kenang-kenangan. Satu hal yang menjadi catatan saya dan kawan-kawan bahwa kehidupan ini akan selaras dengan kita jika tetap memperhatikan nilai-nilai sosial yang sudah ada di masyarakat sejak dulu.