“Menelusuri jejak leluhur seperti membuka pintu dan dan jendela kepada dunia yang lebih luas. Menelusuri jejak leluhur menjadi landasan bagi anak muda kembali mengenali dirinya sendiri dengan menggali sejarahnya”, ucap Rukka Sombolinggi.
Ia nampak larut dalam bahagia. Saat bicara, beberapa kali ia nampak mengenang perjuangannya bersama BPAN. Para pemuda-pemudi adat pun tertegun mendengar ia bercerita.
Selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi khusus hadir sebagai penanggap dalam acara Bedah Buku dan Peluncuran 4 Buku Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kegiatan ini dilaksanakan untuk merayakan Hari Kebangkitan Pemuda Adat Nusantara dan Perayaan 9 Tahun BPAN secara daring via aplikasi zoom.
Pukul 13.00 WIB, hari Minggu, 31 januari 2021, Perayaan 9 Tahun BPAN digelar. Di bagian barat dan tengah Indonesia, matahari sudah bergeser dari atas kepala saat kegiatan itu dimulai. Di daerah timur, seperti Maluku dan Papua, kegiatan tersebut berlangsung bersamaan dengan datangnya senja. Perbedaan waktu ini tidak menyurutkan ratusan orang untuk menghadiri iven besar ini. Para pemuda-pemudi adat anggota BPAN dari seluruh nusantara hadir. Para tetua dan komunitas masyarakat adat juga hadir. Tidak hanya Masyarakat Adat, banyak pula masyarakat umum dari berbagai latar belakang turut hadir. Mereka semua menjadi bagian dan saksi momen bersejarah BPAN.
Mars AMAN & Mars BPAN menjadi pembuka acara. Syair dan alunan musiknya menggetarkan semua yang hadir. Mengingatkan kembali semangat dan identitas sebagai bagian dari Masyakarat Adat nusantara yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
“Pada kesempatan kali ini, ini adalah momen yang sangat spesial, sangat penting. Di usia 9 tahun BPAN, khsususnya bagi generasi muda adat di seluruh nusantara, bagaimana kemudian kita bersama-sama di BPAN bisa belajar, bertanya sama-sama, dan juga terus bertumbuh,” ucap Jakob.
Sebagai Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo didaulat memberikan sambutan dan membuka acara secara resmi.
“Usia 9 tahun yang masih pendek, tentu kita tahapnya belum bisa berlari kencang. Tapi justru di saat ini kita menyerap pengalaman-pengalaman, menyerap pengetahuan-pegetahuan. Belajar terus. Bertanya terus. Dan kemudian kita merenungkan mimpi yang akan kita wujudkan di masa depan. Bagaimana mimpi kita nanti di wilayah adat kita. Sebagai contoh, misalnya, kita terbebas dari konsesi-kosnsesi yang terus menghantui kita, atau terbebas dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang selalu menghantui kita. Seperti akhir-akhir ini, banyak sekali bencana,” jelas Jakob.
Ditambahkannya, semoga impian dan mimpi Masyarakat Adat, terlebih khusus BPAN, dapat terwujud ke depannya.
“Impian kita, di wilayah adat kita, kita hidup bahagia, hutan rimbun, sungai mengalir dengan jernih, binatang berkeliaran dengan bebas. Kita bisa membangun rumah dengan sumber daya yang kita miliki dan banyak hal lainnnya yang semuanya sangat bisa membuat kita menjadi Masyarakat Adat yang sejati,” terang Jakob.
Ia berharap generasi muda adat di BPAN menjadikan momentum 9 tahun menjadi tonggak mewujudkan mimpi-mimpi untuk memperkuat kampung.
“Menjadi pemuda-pemudi adat yang terus membuktikan diri sebagai bagian dari bangsa ini, bagian dari negara ini yang tak bisa tercerai beraikan dan kita bangkit terus. Karena itu seperti tema perayaan 9 tahun kali ini, Teruskan Mimpi Perkuat Kampung, kita generasi muda adat terus berusaha, terus bergerak. Maju terus melangkah. Memastikan bahwa kampung kita terjaga. Komunitas kita Masyarakat Adat terawat. Terbebas dari klaim-klaim sepihak pihak ketiga dan kita berdaulat atasnya. Jadi, kerja-kerja yang kita lakukan sekarang adalah menuju impian kita di masa depan,” ungkap Jakob.
Suaranya terdengar tegas. Sorot matanya penuh harap. Nampak di wajahnya keyakinan penuh terhadap sesama generasi muda adat untuk terus berjuang, terus bermimpi dan memperkuat kampung. Jakob menghantar para hadirin masuk ke sesi yang lebih serius: bedah buku. Mendengar kisah-kisah dari pemuda-pemudi adat yang menjadi narasumber sekaligus penulis buku Menelusuri Jejak Leluhur dan Mahakarya Leluhur.
Ali Syamsul, pemuda adat asal Enrekang, mendapat kesempatan bicara pertama. Ia bercerita tentang pengalamannya saat tinggal bersama suku Anak Rimba.
“Rusaknya hutan bagi mereka, itu sama saja kiamat bagi mereka. Karena seluruh aktivitas mereka berada di hutan. Membuatkan rumah hanya menjauhkan mereka dari ruang hidup mereka yang sebenarnya yaitu hutan. Itu adalah wilayah kehidupan mereka,” ujar Ali.
Ia menjadi saksi atas cara hidup suku Anak Rimba yang disebutnya begitu agung karena mampu menjaga hutan sebagai bagian penting kehidupan mereka.
“Saya melihat kehidupan mereka lebih agung dari pada mereka yang mengaku masyarakat modern”.
Di buku Menelusuri Jejak Leluhur, ia bersama Katarina Megawati menulis tentang Anak Rimba Bukit Dua belas.
Cerita yang mirip juga dikisahkan narasumber kedua, Syahadatul Khaira. Ia berasal dari komunitas adat Betetulak, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di buku ini, ia bersama Murshid Toha menulis ‘Cerita tentang Negeri Nua Nea’.
Khaira, menceritakan pengamalannya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur saat live-in di Komunitas Nua Ulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Mereka mengikuti keseharian Masyarakat Adat di komunitas Nua Ulu, Nua Nea, dari sejak pagi hari.
Khaira bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi saat berada di komunitas tempat mereka tinggal. Salah satunya, mereka sempat dicurigai sebagai mata-mata karena saat itu ada banyak kasus perambahan hutan di sana.
“Ada beberapa kejadian di sana ketika kami masuk. Di antaranya ada beberapa kasus perambahan hutan di komunitas adat Nua Ulu. Dan kami dicurigai sebagai mata-mata yang masuk untuk mengintai daerah tersebut”.
Diterangkan Khaira, di sana ada beberapa pos tentara yang berjaga-jaga di gerbang pintu masuk. Kebetulan pintu masuk desa di tempat mereka live in, berjarak sekitar 2 kilometer.
“Kebetulan tempat kami tinggal itu adalah daerah yang datarannya agak tinggi, jadi kami bisa melihat sekitaran gerbang-gerbang tempat jalan masuk ke desa. Ketika ada orang baru yang masuk, itu bisa diiihat”, ucapnya
Sewaktu di sana, ada satu ritual yang sangat menarik perhatian Khaira. Namanya ritual Pataheri.
“Ritual ini diberikan kepada seorang anak yang menuju remaja. Ketika anak itu sudah mengalami beberapa fase yang dianggap masyarakat itu adalah menjadi seorang pemuda, ia akan dibawa ke dalam hutan untuk diajarkan berburu, diajarkan memanah, lalu diajarkan oleh tetua-tetua yang ada di sana, apa saja amanat-amanat yang menjadi seorang pemuda adat, selama 3 hari dua malam,” terang Khaira.
Selain itu ada hal menarik yang ditangkapnya terkait kearifan masyarakat setempat dalam mengelola kebun.
”Kemudian ada juga keseharian masyarakat di kebun yang mereka menggagap kebun itu adalah tata kelola kehidupan untuk perempuan”.
Khaira kemudian penasaran dengan kearifan ini. Istri tetua adat di sana kemudian memberikan pencerahan kepadanya.
“Karena perempuan itu mengelola hasil kebun yang dilanjutkan sebagai kehidupan untuk keuarganya. Dari hasil kelola kebun menjadi lanjutan untuk ruang kehidupan di keluarganya,” ucapnya sambil menirukan ucapan dari istri tetua adat Nua Ulu.
Yosi Narti, seorang pemudi adat lain yang menjadi narasumber, turut menceritakan kisahnya. Ia merekam banyak hal saat berada di komunitas Masyarakat Adat Punan Dulau, tepatnya di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Yosi sendiri berasal dari komunitas adat Rejang Lebong, Bengkulu. Ia menulis “Cerita tentang Dayak Punan Dulau” bersama Angriawan di buku Menelusuri Jejak Leluhur.
Dari apa yang dialaminya, ia kemudian membuat semacam kredo tentang Masyarakat Adat di tempatnya tinggal.
“Masyarakat Adat itu pintar dan jenius. Mereka tinggal di hutan itu kaya. Karena mereka jaga hutan,” tegas Yosi.
Ia kemudian menyampaikan pribahasa dalam bahasa setempat. Pribahasa ini menjadi gambaran kuatnya hubungan Masyarakat Adat dengan hutan. Ini juga menjadi alasan kenapa Masyarakat Adat menjaga hutan dengan nyawanya. Pribahasa itu, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti ‘hutan adalah air susu ibu’.
Buhanudin SJ, pemuda adat asal Komunitas Adat Soppeng Turungan, Sinjai, Sulawesi Selatan menjadi narasumber terakhir. Ia bersama Agung Prabowo, pemuda adat asal Semangus, Sumatera Selatan, menulis tentang ‘Kecapi’. Alat musik tradisional ini berasal dari Komunitas Adat Barambang dan kisahnya diceritakan mereka di buku Mahakarya Leluhur.
“Terkait dengan alat musik tradisional itu, saya fokus ke alat musik kecapi”, ujarnya.
Burhan dan Agung menghabiskan kurang lebih seminggu untuk meneliti, mengamati proses pembuatan kecapi, cara memainkannya, dan mencari tahu filsosi dari kecapi itu.
Dikisahkannya, ia menginap di rumah salah satu pemangku adat, sekaligus seniman pemain alat musik tradisional. Di kesempatan itu, ia mengikuti keseharian seniman kecapi yang rumahnya ia tinggali. Dari seniman itu, Burhan menulis tentang kecapi. Mulai dari menebang pohon, membentuk pohon sampai kecapi itu selesai. Prosesnya selama empat hari.
“Dari beberapa komunitas adat yang ada, alat musik tradisional seperti kecapi yang masih bertahan, ada di komunitas adat Barambang,’” ungkap Burhan.
Menurutnya, alasan kecapi masih bertahan di komunias Barambang adalah karena mereka punya komunitas yang khusus melestarikan musik tradisi.
“Nama komunitas ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namannya Komunitas Seruling Kembar Satu Hati”.
Ditambahkan Burhan, komunitas itu terdiri dari tujuh orang seniman. Sekarang ini mereka, para seniman, harus bekerja keras mempertahankan warisan tradisi leluhurnya. Hal ini, menurutnya, terjadi karena tidak ada kebijakan pemerintah yang memperhatikan Masyarakat Adat Barambang.
Di akhir kesempatan bicaranya, Burhan kemudian mengajak para pemuda adat untuk menjaga warisan leluhur, misal alat musik tradisional, dengan mendokumentasikannya.
Usai semua narasumber bicara, kesempatan diberikan kepada para penanggap.
Kesempatan pertama diambil oleh Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera. Jhon memang sudah duluan berbicara. Usai Ali Syamsul, narasumber pertama. Jhon sudah meminta izin berbicara terlebih dahulu. Hal ini karena, ia juga punya kegiatan yang lain di jam yang sama bersama kelompok kedaultan pangan. Di komunitasnya, ia dipercayakan sebagai Ketua Kelompok Kedaulatan Pangan. Jhon kemudian mengambil start lebih awal untuk memberikan tanggapan.
“Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur ini menjadi kegiatan yang sangat penting di BPAN. Sejak berdiri di tahun 2012 itu, periode 2012-2105 itu kan semacam periode inisiasi. Nah, saat saya mempimpin BPAN, itu kemudian di 2015-2018 itu kita meluncurkan kegaitan ini,” tutur Jhon.
Jhontoni merupakan Ketua Umum BPAN periode 2015-2018. Ia menjadi Ketua Umum BPAN kedua, menggantikan Simon Pabaras. Di masa kepengurusannya program menelusuri jejak leluhur digagas lebih serius. Program ini kemudian menghasilkan dua buku yang diterbitkan tahun 2017 dan dibedah di Perayaan 9 Tahun BPAN.
“Jadi, kita kan generasi muda saat ini ataupun saat itu, sedang mengalami tantangan. Bahwasannya kita seperti tidak menemukan jati diri. Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur adalah untuk menemukan jati diri. Banyak hal yang kita temukan, banyak pengetahuan-pengetahuan yang kita temukan, banyak kearifan-kearifan yang kita temukan”.
Diungkapkannya, buku Mahakarya Leluhur hadir untuk mendokumentasikan berbagai mahakarya leluhur Masyarakat Adat yang ditemukan saat menelusuri jejak leluhur.
“Nah, dari situlah, satu buku lagi, Mahakarya Leluhur itu muncul. Betapa dahsyatnya ternyata para leluhur kita untuk menyelamatkan, untuk menjaga bumi ini, sehingga bisa kita mewarisinya dengan baik”.
Jhon mengungkapkan bahwa para leluhur Masyarakat Adat sungguh luar biasa. Menurutnya, mahakarya mereka itu menjadi satu bukti atas eksistensi generasi muda adat terkini.
“Betapa luar biasanya, betapa dahsyatnya, atau mahakarya itu yang sudah mereka lakukan sehingga tanah masih tetap kita jaga, dari tanah itu kita mendapatkan air, dari tanah itu kita bisa hidup, dan sampai sekarang di kampung-kampung kita bisa temukan itu semua atas warisan leluhur,” ungkap pemuda adat yang akrab disapa Jhon ini.
Ia menjelaskan bahwa gerakan BPAN seperti spiral, untuk melangkah ke depan harus melihat jauh ke belakang. Ini dipahami sebagai upaya untuk memperkuat jati diri sebagai pemuda adat dengan mencari tahu asal muasal sejarahnya.
“Sebagai organisasi di BPAN untuk kita semakin maju melangkah ke depan mustinya kita harus juga melihat semakin jauh ke belakang. Jadi kalau digambarakan itu ibarat spiral. Semakin ke depan, semakin dia tahu, semakin memperkuat jati dirinya, asal muasalnya, sejarahnya. Jadi kita tidak akan pernah kehilangan arah lagi untuk menentukan arah hidup ini, mau ke mana BPAN ini sebagaimana visi yang sudah kita rumuskan bersama”.
Jhon mengakhiri sesi bicaranya dengan menyampaikan bahwa ulang tahung ke-9 BPAN menjadi momentum untuk lebih memperkuat gerakan pemuda adat di Nusantara.
Rukka Sombolingi sebagai penanggap berikutnya, mengisi sesi dengan penuh semangat. Cara bicaranya yang khas seorang orator, begitu dinantikan. Namun, kali ini, di sesinya, ia bicara seperti seorang ibu kepada anaknya dan seperti seseorang bicara kepada sahabat karibnya. Ia memulai dengan mengapresiasi kerja-kerja BPAN selama ini. Ia mengawali dengan meletakkan optimisme.
“Umur BPAN masih 9, tetapi sesungguhnya kalau kita secara jujur merefleksikan apa yang sudah dicapai BPAN saat ini, itu sangat luar biasa. Pencapaian BPAN selama ini membuat saya yakin, Masyarakat Adat di nusantara ini tidak akan pernah punah. Kita masih akan tetap ada. Malah kita akan terus berlipat-lipat.
Kak Rukka, begitu kerap kali banyak orang menyapanya, kemudian bercerita sedikit tentang kisah dua buku yang dibedah. Menurutnya, Jhontoni dan Mina Susana Setra sangat berperan penting atas hadirnya dua buku tersebut. Saat gagasan tentang menelusuri jejak leluhur dihembuskan, saat itu ia (Rukka) masih menjabat sebagai deputi II Sekjen AMAN.
“Sebelum berdikusi, itu Mina langsung bilang, keren skali Ka, gagasan mereka”, ucap Rukka sambil menirukan ucapan dan eskpresi Mina Setra yang kini menjadi Deputi IV Sekjen AMAN.
“Dan ketika mendengarkan apa yang di sampaikan Jhontoni itu, saya tersentak”.
Rukka tersadar dan terkagum-kagum. Menurutnya, ternyata anak muda saat itu merasa hilang, tersesat, dan perlu mengenali diri sendiri. Menelusuri Jejak Leluhur kemudian menjadi caranya.
Ia kemudian, melanjutkan cerita dengan menjelaskan alasan Masyarakat Adat minder dan selalu menjadi korban stigma. Sehingga, kadang Masyarakat Adat terjebak dalam rasa minder, merasa kecil, dan kemudian mengakui sejarah yang ditulis orang lain atas dirinya. Bahkan juga, Masyarakat Adat mengaitkan sejarah dirinya dengan sejarah besar untuk membangkitkan kepercayaan diri.
“Masyarakat Adat selalu diletakkan sebagai orang yang kalah, kita selalu dipaksa percaya bahwa kita adalah orang yang kalah, kitalah orang kecil, kita kemudian merasa minder. Bagaimana mengangkat rasa percaya diri sedikit? Kita mengaitkan diri kita dengan mengaitkan sejarah kita dengan beberapa sejarah besar. Mengaitkan sejarah dengan Islam, mengaitkan sejarah dengan Kristen, mengaitkan sejarah dengan agama-agama lain. Karena itu adalah sejarah-sejarah besar. Nah, ini salah satu yang saya sebutkan tadi, bukan hanya sejarah kita yang diceritakan beda oleh orang lain tapi kita pun percaya dengan sejarah yang tidak persis benar itu”.
Hal ini menurut Rukka perlu diubah. Masyarakat Adat, terutama generasi muda adat harus percaya diri, tidak boleh minder, dan harus melawan stigma serta cerita-cerita yang tidak benar tentang dirinya. Menelusuri jejak leluhur dan menuliskan sejarah serta cerita dari Masyarakat Adat atau pemuda adat tentang dirinya sendiri menjadi salah satu cara ampuh.
Hadirnya buku-buku karya BPAN membuatnya optimis dan menurutnya ini adalah solusi atas masalah-masalah yang ia sampaikan.
“Buku ini membuat saya bahagia”, ucap Rukka sambil memegang buku-buku karya BPAN dan menunjukannya ke kamera.
“Menurut saya, BPAN sudah meletakkan fondasi untuk peta jalan (road map) Masyarakat Adat ke depan. Generasi muda sangat penting untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Kita tidak lagi ditulis oleh orang lain, sesuai dengan pandangan dan sensor-sensor dari mereka”.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menutup sesi bicaranya dengan mengucapkan apresiasi dan selamat ulang tahun bagi BPAN. Di mata dan senyumnya, nampak kebahagiaan dan optimisme baru.
Kendali acara dikembalikan ke moderator. Acara dilanjutkan ke sesi selanjutnya, peluncuran buku. Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo menahkodai sesi ini.
“Baik, sebelum kita luncurukan buku ini secara khusus. Saya kasih waktu untuk Rikson memberikan tanggapannya dulu. Dua buku sudah dibahas secara mendalam di sesi bedah buku. Dua buku lagi akan kita bahas di lain waktu”.
Jakob kemudian memberikan kesempatan kepada Rikson dari Komunitas Mapatik untuk berbicara. Komunitas Mapatik adalah komunitas menulis di Minahasa yang terdiri dari berbagai latar belakang orang. Banyak penggerak di komunitas ini merupakan pemuda-pemudi adat anggota BPAN dan kader AMAN. BPAN dan Mapatik bekerjasama dalam mendukung aksi literasi pemuda-pemudi adat di Minahasa, Sulawesi Utara. Buku Minahasa Milenial menjadi bukti dan hasil dari upaya ini.
“Apresasi untuk buku, karya luar biasa yang dilahirkan oleh BPAN, kawan-kawan pemuda adat”, ucap Rikson selaku Director Komunitas Mapatik.
Di kesempatan bicaranya, ia mengapresiasi kerja-kerja BPAN, terutama para narasumber penulis buku dan materi yang disampaikan para penanggap. Ia juga menuturkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Masyarakat Adat merupakan pengalaman yang juga pernah ia dan kawan-kawan di Minahasa hadapi. Terutama, terkait stigma.
“Stigmatisasi Masyarakat Adat itu membunuh, benar-benar mematikan kepercayaan diri para pemuda adat. Membuat kita minder. Kami Masyarakat Adat Minahasa juga mengalami hal-hal itu. Saya yakin pengalaman ini, juga dialami oleh saudara-saudara saya di komunitas adat lain di nusantara bahkan di seluruh dunia”.
Stigmatisasi ini menurutnya sengaja dilakukan untuk memisahkan Masyarakat Adat dengan tanahnya dan menghilangkan identitasnya sebagai Masyarakat Adat.
“Kita kemudian sadar bahwa tindakan ini sengaja dilakukan. Kita kemudian sadar melalui proses diskusi ringan sesama teman-teman pemuda adat, bahwa ini sengaja dilakukan agar para pemuda, para Masyarakat Adat meninggalkan identitasnya. Agar mereka melupakan semua ingatan tentang tanahnya, tentang leluhurnya,” ungkap Rikson.
Ia lanjut mengisahkan bagaimana mereka di Minahasa menghadapi tantangan tersebut.
“Menulis tentang kita, menurut saya, sekali lagi sangat penting dilakukan hari ini. Ini untuk menegaskan apa yang disampaikan kawan-kawan narasumber dan para penganggap tadi. Kesadaran ini yang membuat saya dan kawan kawan, di 20 tahun lalu untuk kemudian melakukan gerakan perlahan-lahan. Walaupun dicibir. Namanya anak muda kadang disepelekan. Ketika menulis cerita dianggap tidak ilmiahlah. Tapi hari ini kawan-kawan merasakan betul bahwa karya yang dikerjakan sepuluh, lima belas tahun lalu, hari ini menjadi referensi utama. Bahkan banyak penulis menulis tentang tanah ini, oleh para narasumber menceritakan tentang Minahasa. Karya-karya ini memotivasi dan mengispirasi para pemuda-pemudi adat Minahasa hari ini untuk melakukan kerja-kerja literasi yang lebih giat”, jelas Rikson dengan semangat berapi-api.
Dikisahkan Rikson, upayanya dan para generasi muda di Minahasa, mengerucut dan fokus di kerja pendokumentasian dengan membentuk Mapatik.
“Tahun 2015, kawan-kawan kemudian memilih untuk lebih fokus dalam kerja dokumentasi, sehingga mengumpulkan teman-teman pemuda adat itu, dari berbagai komunitas, dalam sebuah komunitas yang dinamakan komunitas penulis MAPATIK”.
Diungkapkan Rikson, Mapatik, dalam bahasa Minahasa, berarti menulis.
“Karya-karya yang diceritakan oleh Ali dan kawa- kawan itu, tidak sekedar informatif, tapi edukatif, dan memotasi serta bisa menginspriasi,” tutup Rikson.
Acara yang dinantikan pun tiba. Peluncuran 4 buku karya BPAN.
Jakob melanjutkan acara.
Ada dua buku baru dari 4 buku yang akan diluncurkan BPAN. Dua buku tersebut yakni buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories dan Minahasa Milenial.
“Buku ini bercerita tetang bagaimana posisi pemudi adat, khususnya pemudi adat di komunitas kita,” terang Jakob sambil memegang buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories.
“Tapi ini lebih bercerita tentang keseharian pemudi adat di mana gelombang-gelombang masalah membuat mereka tersisih di wilayah adatnya”.
Buku kedua, Minahasa Milenial bercerita banyak hal tentang Minahasa di konteks keininian. Cerita tentang pemuda adat sebagai generasi milenial dan cerita Masyarakat Adat Minahasa juga dibahas di dalamnya.
Usai menjelaskan isi buku, Jakob kemudian meluncurkan buku tersebut secara resmi.
“Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para Leluhur Masyarakat Adat, sore ini kita secara resmi meluncurkan ke empat buku ini: Menelusuri Jejak Leluhur, Mahakarya Leluhur, Minahasa Milenial, dan Pemudi Adat Tersisih di Wilayah Adatnya. Terima kasih. Dengan demikian buku ini sudah menjadi referensi publik”.
Nampak terlihat, para hadirin yang hadir bertepuk tangan. Ekspresi-ekspresi gembira nampak di wajah semua yang hadir menyaksikan peluncuran buku secara langsung.
“Dan kiranya melalui launching keempat buku hari ini, kita terus maju bergerak dan kita akan menghasilkan karya-karya berikutny ayang membuktikan Masyarakat Adat akan terus ada dan berlipat ganda dan kita sebagai pemuda-pemudi adat menjadi garda terdepan dalam kerja-kerja kita sebagai Masyarakat Adat”, timpal Jakob.
Jakob menutup bicaranya. Ia mengangkat tangannya sambil dikepal. Ia berucap:
“Salam pemuda adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak, Mengurus Wilayah Adat!”
Sebuah video pendek berdurasi 4 menit, kemudian diputar. Video tersebut berisi mimpi-mimpi anggota BPAN dalam satu kata. Video itu menjadi penegas Tema Perayaan 9 tahun BPAN :”Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung”.
9 Tahun BPAN menjadi refleksi penting bagi gerakan Masyarakat Adat di nusantara. Upaya menelusuri jejak leluhur, membuat tulisan, dan menghasilkan buku, menjadi jalan dekolonisasi yang dipilih untuk menyatakan sikap dan eksistensi sebagai Masyarakat Adat. Semua upaya yang dilakukan oleh BPAN selama ini menjadi upaya dekolonisasi ala pemuda adat.
Penulis: Kalfein Wuisan