oleh Angriawan dan Yosi Narti
Struktur kelembagaan adat dari Masyarakat Adat Dayak Punan, terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, serta empat orang anggota. Dayak Punan juga memiliki lembaga adat yang mengurus urusan adat di mana ketua adat memiliki tugas dan fungsi terkait dengan sengketa adat dan ritual adat. Mereka menerapkan prinsip musyawarah mufakat dalam proses-proses pengambilan keputusan. Pratek-praktek ritual masih berjalan sesuai aturan adat, terutama mengenai penetapan waktu penyelenggaraannya. Contoh lain dari aturan yang masih mengacu pada aturan adat, adalah penerapan denda adat berupa tempayan atau guci.
Kepala Adat Punan Dulau hanya ada satu dan hanya akan digantikan jika kepala adat yang tengah menjabat meninggal. Biasanya posisi itu akan digantikan oleh keturunan kepala adat itu sendiri. Tetapi setelah mereka dipindahkan ke Desa Punan Dulau yang ditempati sekarang, kepala adat memiliki tingkatan, yaitu kepala adat provinsi, kepala adat kabupaten, kepala adat kecamatan, dan kepala adat desa.
Masyarakat Adat Punan Dulau sampai sekarang menjaga tradisi dan budaya sebagai warisan leluhur. Selain masih menerapkan musyawarah adat dan sanksi adat, ada pula serangkaian upacara adat yang masih tetap dilakukan, antara lain upacara perkawinan, upacara kematian, upacara kelahiran, upacara bercocok tanam, upacara terkait hutan, upacara terkait laut (perikanan), upacara terkait pengelolaan sumber daya alam, upacara pembangunan, dan upacara penyelesaian konflik. Setiap upacara memiliki penamaan dan proses yang unik.
Salah satu bentuk upacara adat yang menarik untuk diulas, adalah tentang upacara adat perkawinan. Proses awal yang dilakukan oleh masyarakat di Punan Dulau dalam melakukan proses perkawinan, yaitu pertama-tama pihak laki bersama keluarga datang kerumah pihak keluarga perempuan dengan membawa tempayan atau guci (belanai) sebanyak 30 buah. Acara ini di disebut dusu‘ bumbung. Pihak perempuan menerima pihak laki-laki dan melakukan namu mekan atau menjamu tamu. Setelah itu, mereka meminta kotos (kepala mahar) dan belanai keluvang (tempayan berluobang). Jika sudah terpenuhi, barulah mereka melakukan pegurungan (ijab-kabul) dengan mengunakan pakaian adat sambil duduk di atas agung (gong). Kedua kaki mempelai menginjak mandau (semacam parang-nya Orang Dayak) sambil mendengar keluarga memberi arahan dan menyuapi pengantin laki-laki dan perempuan. Kemudian pengantin pria dan perempuan meminum pengasih. Pengasih adalah minuman lokal yang merupakan hasil fermentasi ragi, ubi rebus, dan kulit padi yang dicampur rata dan disimpan 20 hari di dalam tempayan. Usai meminum pengasih, lalu mereka menari Tari Tuntung Tubu.
Setelah acara selesai, pengantin laki-laki akan membawa pakaian pribadinya ke kamar perempuan. Sedangkan pengantin perempuan akan membawa bintang (tempat sirih) ke keluarga laki-laki. Barulah pengasih diberikan ke mertua sebagai tanda penghormatan dan membuat kesepakatan kapan pengantin perempuan diantar ke rumah pihak laki-laki. Sebelum perempuan diantar ke rumah besan, laki-laki harus melakukan lak kayu nyuku yang nantinya pihak perempuan akan disambut oleh keluarga laki-laki dengan melakukan pegurungan serta Tari Tuntung Tubu dan minum pengasih. Pengantin perempuan lantas akan mengambil air dengan bumbu piring (bumbu beras) sebagai tanda pertama kalinya datang di rumah mertua yang disebut dengan malak nyaku.
Selain upacara perkawinan, upacara kematian pun memiliki keunikannya sendiri yang sarat akan makna. Pada saat ada yang meninggal, maka acara adat akan dilakukan. Jika yang meninggal telah beragama Islam, umumnya ritual akan diutamakan secara Islam terlebih dulu, barulah ritual adat yang mengacu pada tradisi dan kepercayaan Punan Dulau kemudian dilakukan.
Ketika terdapat berita kematian, warga secara gotong royong – termasuk mereka dari dusun/desa tetangga – akan memberikan sumbangan, seperti beras, ubi, pengasih, dan lainnya yang dipersiapkan untuk keluarga yang berduka serta sesama warga. Yang Pertama akan dilakukan, adalah keman ting toh (kita makan bersama). Makanan yang dimakan saat ada kematin, berbeda dari yang biasa. Mereka makan arut, yaitu nasi yang dibungkus daun opow dengan lauk berupa daging, ikan, sayur dan lainnya. Setelah keman ting toh, prosesi dilanjutkan dengan tarian adat. Nama tarian yang dimainkan oleh keluarga yang meninggal tanpa pakaian adat, bernama Tari Tarik Gerak Sama. Seperti halnya pada upacara perkawinan, begitu pun pada upacara kematian, para warga ikut minum pengasih secara bersama. Ada ritual khusus yang dilakukan, yakni pebalu atau menjandakan pasangan yang ditinggalkan, lalu ada pula temudung atau pemberitahuan kepala warga yang datang bahwa besok akan dilakukan tari bersama oleh Desa Tetangga. Pemberitahuan tersebut juga dikabarkan kepada Utok (tengkorak kepala) kerena dipercaya akan mengantar roh yang meninggal ke surga untuk langsung dilakukan pemakaman keesokan harinya. Sehingga, Desa tetangga akan melakukan mekey narik (naik tari) di levu‘ aru (rumah panjang) mengunakan pakaian adat lengkap. Sebelum penguburan dilangsungkan, terlebih dulu diawali dengan kum betakan/pencuaian (makanan perpisahan) untuk para penari dari keluarga maupun desa tetangga. Setelah seluruh tahapan dilalui, barulah diakhiri dengan gudok (menari lagi sebagai tanda acara sudah selesai) dan mepah lun (membersikan rumah).