29 Maret menjadi tanggal yang penting bagi Tonaas Rinto Taroreh. Tanggal tersebut menjadi penanda waktu baginya ketika memulai kerja pengabdian tanpa pamrih bagi eksistensi kebudayaan Minahasa.
Sebelas tahun silam, di tanggal tersebut, ia pertama kali melakukan penyelamatan situs yang rusak akibat vandalisme. Bersama beberapa orang yang masih keluarga dekat, sahabat, dan rekan komunitas, ia memulai kerja untuk memperbaiki waruga yang rusak akibat penjarahan. Di Wanua Ure Lotta, semua itu dimulai.
“Kalau merawat situs peninggalan leluhur sudah lebih dari 20 tahun. Kalau penyelamatan situs, memperbaiki situs, itu sudah 11 tahun. Tepat hari ini 11 tahun. 29 Maret 2021,” tutur Tonaas Rinto.
Masawang-sawangan, Ru’kup, dan Panggilan Hati
Nama lengkapnya, Christian Rinto Taroreh. Ia biasa disapa Tonaas Rinto. Kini, aktivitasnya sehari-hari ia abdikan untuk kerja-kerja kebudayaan Minahasa. Misal, memperbaiki situs, mengobati orang lewat pengobatan tradisional Minahasa, melatih Kawasaran, dan lain sebagainya terkait dengan peran sebagai Tonaas.
Hampir semua hari, di sebelas tahun terakhir ini, ia habiskan untuk menjaga, merawat, dan memperbaiki situs peninggalan leluhur yang merupakan aset kultural Minahasa. Semua kerja itu dilakukannya sebagai penghormatan kepada leluhur. Menurutnya, leluhur adalah orang tua dan ia adalah anak. Sebagai anak adalah tanggung jawabnya untuk menjaga milik dan peninggalan orang tua. Salah satunya situs budaya. Kesadaran inilah yang memotivasinya dan memulai menyelamatkan situs. Waruga, makam leluhur Minahasa, di Lota menjadi situs pertama yang diselamatkannya bersama komunitas.
“Sebenarnya yang memotivasi saya karena situs ini adalah milik leluhur kita. Kalau ini leluhur kita, berarti dia adalah orang tua kita. Kalau mereka adalah orang tua kita, berarti tanggungjawabnya ada pada kita. Jadi, tidak perlu menunggu siapa-siapa. Kalau sudah melihat hal yang seperti ini, langsung bertindak. Ini soal kepekaan. Tapi kepekaan tidak cukup. Harus ada wujud nyata. Tindakan langsung. Jadi, yang memotivasi saya, yang paling pokok, karena ini orang tua kita. Kalau ini orang tua kita, kepada siapa lagi tanggung jawab ini harus diberikan? Tentu kepada kita. Dimulai dari kita,” jelas Rinto.
Tonaas Rinto menjelaskan bahwa motivasinya menyelamatkan situs adalah wujud bakti seorang anak kepada orang tua. Selain itu, upayanya ini merupakan sebuah tanggung jawab untuk generasi selanjutnya.
“Karena menurut saya yang paling utama adalah keterhubungan kita dengan situs leluhur. Ini soal tanggung jawab kepada leluhur kita, kepada orang tua kita. Dan tanggung jawab untuk anak cucu kita”
Selama ini, ia bekerja memperbaiki situs, melakukan aksi penyelamatan situs budaya karena panggilan hati. Ia dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa melakukan kerja tersebut berdasar atas nilai-nilai ke-Minahasaan.
“Menurut saya, ini terkait dengan salah satu dari nilai Keminahasaan. Ada beberapa nilai Keminahasaan. Pertama, Masawang-sawangan. Jadi ini kerja bersama. Kami bersama-sama, kerja di tempat leluhur. Dengan kami bekerja di tempat leluhur, ini wujud nyata dari kami untuk menghormati mereka. Dan kedua, ini menjadi pembelajaran untuk generasi berikutnya. Menjadi landasan untuk mereka nanti. Bagaimana ber-Minahasa. Dengan salah satu sisi, mesti ada kerja-kerja nyata, turun langsung ke lapangan. Melakukan aksi penyelamatan situs”
Menurut Tonaas Rinto, upaya penyelamatan situs dilakukan karena situs tersebut bukan hanya sekedar benda, tetapi ia memiliki nilai-nilai kearifan Minahasa.
“Penyelamatan situs ini, karena situs ini bukan sekedar benda, tetapi di situ terkadung nilai-nilai kearifan Minahasa. Kerja yang kami lakukan Masawang-sawangan itu, bagian dari nilai-nilai ke-Minahasaan yang para leluhur wariskan,” ungkapnya.
Masawang-sawangan dalam bahasa Minahasa berarti ‘saling bantu-membantu atau saling menopang’. Ini hanya bisa terjadi kalau dilakukan secara bersama-sama. Satu orang dengan yang lain. Panggilan hati dan tanggung jawab kepada leluhur serta nilai Masawang-sawangan menjadi dasar upaya penyelamatan situs yang mereka lakukan. Dasar ini kemudian menjadi bukti bahwa mereka mampu melakukan ini tanpa bantuan dana pemerintah. Ini juga yang menjadi salah satu cara mereka menujukan kepada banyak orang bahwa upaya mereka murni karena panggilan hati sebagai seorang anak Minahasa. Upaya mereka memperbaiki situs selama ini, dilakukan dalam spirit Masawang-sawangan, tanpa mengharap bantuan atau dapat bantuan dana dari pemerintah. Kearifan Minahasa, Ru’kup, menjadi dasar untuk memenuhi segala keperluan yang dibutukan untuk merawat dan memperbaiki situs yang rusak.
“Uang didapatkan dari Ru’kup. Dikumpulkan dari teman-teman semua. Bahan material, ada yang dibeli. Ada juga yang diambil dari rumah saya. Jadi kami semua patungan. Selain ada yang memberi uang, ada yang memberikan tenaganya. Selain tenaga, ada juga yang memberi bahan, contoh semen. Kemudian ada yang memberi makanan, pisang goreng, nasi, makanan yang kami makan di lokasi”, terangnya.
Ru’kup adalah salah satu kearifan Minahasa. Ia banyak digunakan orang Minahasa saat melakukan sesuatu, kegiatan, atau acara. Masing-masing orang memberikan apa yang ia punyai secara tulus dan ikhlas.
Berjuang Bersama Masyarakat Adat Nusantara
Selain melakukan banyak kerja dan karya dalam bidang kebudayaan Minahasa, Tonaas Rinto juga aktif dalam gerakan masyarakat adat nusantara bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tahun 2017, ia menjadi salah satu kader AMAN dari Sulawesi Utara mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara.
Ia juga aktif terlibat bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Utara. BPAN merupakan organisasi sayap AMAN yang menjadi wadah pemuda-pemudi adat se-Nusantara untuk berjuang bersama. Di Sulawesi Utara, BPAN memiliki kepengurusan. Dalam kepengurusan tersebut, Tonaas Rinto dimandatkan oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN Wilayah Sulut untuk menjadi penasehat. Posisi ini diberikan kepada Tonaas Rinto karena ketokohan, wawasan tentang adat tradisi Minahasa, dan pemberian dirinya bagi eksistensi kebudayaan Minahasa yang luar biasa. Allan Sumeleh, S.Teol selaku Ketua BPAN Wilayah Sulut, menyampaikan bahwa Tonaas Rinto menjadi teladan bagi pemuda-pemudi adat Minahasa. Karya dan kerja-kerjanya yang tulus bagi Tanah Toar Lumimuut menjadi inspirasi bagi mereka.
“Tonaas Rinto mengajarkan keteladanan. Tidak hanya cara hidupnya yang mengabdikan dirinya secara tulus bagi eksistensi kebudayaan Minahasa, tapi ia juga membagikan pengetahuan tersebut kepada generasi muda Minahasa. Ia tanpa pamrih, aktif terlibat bersama pemuda-pemudi adat. Ia juga hadir menjadi Kelung um Banua bagi Minahasa di konteks kekinian,” ungkap Allan.
Bagi Alan, Tonaas Rinto begitu bijaksana dalam hal apapun. Perannya bagi pemuda adat sangat berpengaruh. Tonaas sering berbagi tentang apa yang baik dan yang harus diikuti oleh mereka.
“Tonaas Rinto juga sebagai penasehat BPAN Sulut juga sangat berkontribusi dalam berbagai hal. Antara lain, sering memberikan latihan tarian Kawasaran dan memberikan atribut Kawasaran untuk kami pakai,” tambahnya.
Tonaas Rinto sendiri sudah bergabung dalam perjuangan masyarakat adat ketika terlibat dalam Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Komunitas Adat dan Tradisi Tahun 2012 di Surabaya. Ia waktu itu hadir lewat undangan dari AMAN. Sejak saat itu ia semakin intens bergerak dalam perjuangan bersama AMAN dan masyarakat adat nusantara. Terutama, dalam perjuangan bersama masyarakat adat di Minahasa melakukan advokasi, menggiatkan tradisi leluhur, aksi menyelamatkan situs, serta pelestarian seni tradisi dan warisan pengetahuan Minahasa.
Pencapaian yang Tak Pernah Diduga
Kiprah Tonaas Rinto yang tulus dan penuh dedikasi bagi Minahasa, juga terlihat dari kiprahnya melestarikan Kawasaran sebagai ritual dan Kawasaran sebagai seni pertunjukan.
Sudah satu dekade lebih, ia menggelorakan kembali Kawasaran di seluruh pelosok Minahasa. Sekarang ini, di Minahasa terjadi sebuah kebangkitan kultural. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak kelompok Kawasaran. Mulai dari kelompok Kawasaran di kampung-kampung, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, komunitas, serta sanggar-sanggar. Banyak di antaranya, dilatih dan digerakkan oleh Tonaas Rinto. Upayanya ini dilakukan sebagai panggilan hati untuk menjaga warisan pengetahuan leluhur. Tanpa ia duga, kerja dan karyanya ini, membuatnya mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) Tahun 2020 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Pelestari Kawasaran.
Di hari ia menerima penghargaan ini, ucapan selamat datang dari banyak pihak. Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, turut memberikan ucapan selamat. Begitu juga BPAN, lewat Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo ikut mengucapkan selamat. Penghargaan kepada Tonaas Rinto menjadi salah satu bukti eksistensi masyarakat adat yang konsisten menjaga warisan leluhurnya.
Waruga Opo Lawit Potot: Jejak Awal Aksi Penyelamatan Situs
Di daerah lain di Nusantara, masyarakat adat berhadapan dengan banyak tantangan. Mulai dari perampasan tanah sampai kriminalisasi masyarakat adat. Sementara di Minahasa, vandalisme atau pembongkaran dan pengrusakan aset kultural, seperti situs, menjadi masalah utama.
Vandalisme terhadap situs budaya telah lama terjadi di Minahasa. Bahkan sampai sekarang masih terjadi. Kasus terakhir, di daerah Minahasa Selatan. Memang, pengrusakan terhadap aset kultural Minahasa menjadi salah satu masalah besar yang dihadapai masyarakat adat Minahasa.
Vandalisme terhadap aset kulutral di Minahasa, membuat orang-orang seperti Tonaas Rinto Taroreh dan pegiat budaya lain langsung bergerak, memenuhi panggilan hati. Kasus pengrusakan dan penjarahan situs, langsung direspon dengan bukti nyata. Turun langsung dan bekerja secara tulus tanpa pamrih.
“Sudah banyak situs budaya yang diperbaiki. Ada Waruga, ada Lisung, ada Batu Tumani, Batu Tumotowa, Batu Sumanti. Kalu Waruga sudah ratusan, Watu Tumani, puluhan. Sama dengan Lisung-lisung Tua. Ratusan Waruga, Lisung dan beberapa situs lainnya diperbaiki secara swadaya dengan komunitas,” pungkasnya.
Tonaas Rinto mencatat ada beberapa kali terjadi pengrusakan dan pembongkaran terhadap situs terakhir yang baru saja ia dan reka-rekannya selesai perbaiki. Aset kultural Minahasa tersebut berupa Waruga yang sudah beberapa kali dirusak, sejak tahun 1980.
“Yang menyebabkan situs itu rusak, kalau faktor alam kecil sekali. Hal utama yang membuatnya rusak karena adanya penjarahan, perampokan isi waruga. Itu terjadi dua kali. Jadi pertama kali dibongkar itu, tahun 1980. Baru kemudian, tahun 1987. Ada orang yang bilang pertama 1990, tapi dia ubah lagi jadi 1987,” paparnya.
Situs terakhir yang diselamatkan dan perbaiki oleh Tonaas Rinto terletak di Wanua Ure (Kampung Tua) Lotta. Situs tersebut berupa Waruga dari leluhur Minahasa, Opo Lawit Potot.
“Situs terakhir ini, baru selesai beberapa hari yang lalu, hari sabtu. Situs dari Opo Lawit Potot. OPo Lawit Potot ini, dia seorang Tonaas Perang, Teterusan, Mamuis dari Wanua Ure Lotta”
Waruga Opo Lawit Potot menjadi situs yang pertama kali ia selamatkan, sekaligus menjadi situs terakhir yang diperbaiki baru-baru ini. Pekerjaan perbaikan situs ini, menjadi penanda waktu bagi Tonaas Rinto mulai terjun dalam aksi penyelamatan situs yakni sebelas tahun, sejak 29 Maret 2010.
“Merawat dan memperbaiki situs, seperti waruga yang dirusak adalah wujud bakti kepada leluhur sebagai orang tua kita,” tutup Tonaas Rinto.
Epilog
Hari Senin, 29 Maret 2021, Tonaas Rinto Taroreh mengupload sekitar 36 foto di sebuah album di akun Facebook miliknya. Album foto tersebut ia beri nama Wanua Ure Lotta’ (Kalih Tua). Album itu berisi foto-fotonya bersama para pegiat budaya Minahasa yang sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot. Ia kemudian menambahkan keterangan pada album tersebut dengan tulisan yang agak panjang. Ia menulis itu sebagai sebuah ingatan. Berikut tulisannya:
“Penyelamatan situs sejarah dan benda cagar budaya adalah tanggung jawab kita bersama.
Penyelamatan dan pemugaran situs secara mandiri adalah salah satu bukti bahwa nilai-nilai ke-Minahasaan (Masawa-sawangan, Matombo-tombolan, dsb) masih kuat dan terus tumbuh.
Ini adalah panggilan hati, kepekaan yang mewujud menjadi kerja nyata.
Hari ini genap 11 tahun kami memulai kegiatan penyelamatan situs-situs sejarah budaya dihampir seluruh tanah minahasa, secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Hancurnya situs budaya khususnya Waruga itu akibat penjarahan disekitar tahun 1970-1990an.
Kali ini kami melakukan penyelamatan situs bersejarah di Wanua Ure Lotta’, di Waruga dari Opo Lawit.
Teman-teman yang terlibat dari lintas komunitas adat dan pribadi. Ada dari Wanua Kembes, Bitung, Tomohon, Manado dan beberapa wanua seputaran situs.
Pekerjaan ini kami lakukan hampir 2 minggu dan selesai beberapa hari yg lalu.
Terima kasih banyak buat semua yang terlibat dalam kegiatan ini; Tua Isan, Om Mik, Papa, Firsa, Fano, Ayen, Ando, Jeki, Rio, Eber, Figo, Steven, Paschal, Hip, Charles, Ichan, Maikel, Andre, Doni, Onal.
Mari teman-teman semua, bersama kita selamatkan situs-situs sejarah dan budaya warisan peradaban Para Leluhur Minahasa.
Semoga semesta dan Para Leluhur menyertai kita semua.
Arii.. pe-to’✊
Minahasa, 29 maret 2021.
#Minahasa
Penulis: Kalfein M. Wuisan