Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #1

Mendokumentasikan Pusaka Masyarakat Adat Payang

Setelah pelatihan pendokumentasian yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) pada 07 s/d 09 April 2016 yang lalu, salah satu tindak lanjutnya adalah mencoba menelusuri “Jejak Leluhur” di komunitas-komunitas yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalimantan Tengah.

Maka terpilihlah komunitas Payang sebagai tujuan untuk menelusuri jejak leluhur tersebut. Kami memilih Payang karena komunitas adat tersebut tengah melaukan pemetaan partisipatif. Dengan adanya kegiatan tersebut, kami bisa turut membantu mereka untuk mempercepat pemetaan yang tengah bersemangat itu. Di sisi lain, kami juga ingin menemani masyarakat Payang mendokumentasikan identitasnya, mulai dari sejarah, adat-istiadat, budaya ke dalam bentuk tertulis.

Tim yang terdiri dari Kesyadi, Eko, Murniasih, Kusuma, Kimrot, Sesi, Jengki, Wisman, dan Harmi berangkat dari Palangka Raya menuju Muara Teweh pada 17 April 2016. Namun terlebih dulu mengunjungi komunitas Nihan dan Karamuan. Tiga hari kemudian tim berangkat dari Muara Teweh menuju komunitas Payang.

Payang adalah salah satu nama komunitas anggota AMAN Daerah Barito Utara. Payang terletak di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah. Secara geografis Payang berada di dekat perbatasan antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Waktu tempuh dari Palangka Raya ± 12 jam atau kalau dari Samarinda sekitar 8 jam.

Sesampainya di sana, tim langsung mengobrol dengan salah satu warga komunitas: Talius, 45 tahun. Kami mengobrol tentang jejak-jejak leluhur Payang yang masih ada dan lestari sampai sekarang.

Pertama-tama beliau menjelaskan bahwa di komunitas Payang masih ada tersimpan benda-benda pusaka milik leluhur zaman dulu yang masih dijaga oleh ahli warisnya seperti gong, mandau, kangkanong, tu’ung, potan, dan getang.

Mendengar cerita dari staf pemerintahan desa itu, tim langsung berinisiatif untuk mencoba menggali lebih jauh lagi fungsi dan kegunaan masing-masing dari benda tersebut. Berikut penjelasan singkatnya tentang benda pusaka Payang.

  1. Gendring (Gong)

Gendring berfungsi untuk memberitahukan kepada orang lain ketika salah satu anggota masyarakat meninggal. Gong dikeluarkan kemudian dipukul sebagai bentuk pengumuman. Disamping itu Gendring juga berfungsi sebagai alas duduk pasangan pengantin yang sedang melaksanakan prosesi pernikahan (menurut kepercayaan Kaharingan).

gendering

Gendering/Gong

  1. Mandau (Senjata berbentuk parang)

Seperti kebanyakan suku yang ada di Kalimantan Tengah bahwa Mandau merupakan sebuah senjata yang dipergunakan untuk berperang pada zaman dahulu (kayau mangayau). Alat ini kebanyakan digunakan oleh para pahlawan-pahlawan suku Dayak pada saat itu. Makanya sekarang Mandau dijadikan sebagai benda pusaka, karena Mandau terbuat dari besi khusus dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja.

mandau

Mandau

  1. Kangkanong

Kangkanong merupakan alat musik tradisonal yang ada di komunitas Payang. Alat musik pukul ini digunakan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari giring-giring. Alat musik ini terbuat dari bahan kuningan, namun karena bahan kuningan sangat susah didapatkan sekarang maka bahan untuk membuat Kangkanong bisa juga dibuat dari bahan dasar kayu.

kangkanong

Kangkanong

  1. Tu’ung (Gendang)

Tu’ung merupakan salah satu alat musik tradisional lainnya di masyarakat  Payang. Alat ini terbuat dari kayu setengah keras seperti Meranti. Lubang alat ini ditutupi dengan kulit Kijang. Cara memainkan alat musik ini hanya dengan dipukul lubang yang sudah ditutupi dengan kulit Kijang tersebut.

Tu'ung

Tu’ung

  1. Potan (Sumpit)

Sama seperti Mandau, Potan juga merupakan alat perang yang digunakan untuk membunuh musuh pada saat terjadi perang (kayau mangayau). Namun Potan ini juga bisa digunakan untuk berburu karena jarak tikamnya cukup jauh. Potan ini terbuat dari kayu Ulin yang dilubangi di kedua ujungnya.

Potan

Potan/tombak

  1. Getang (Gelang)

Getang adalah salah satu benda yang dipakai di tangan, kemudian pemakainya melakukan tari-tarian pada saat ada ritual adat seperti Balian (prosesi penyembuhan orang sakit).

getang

Getang

Penjelasan yang disampaikan ternyata cukup menarik karena komunitas Payang juga masih menyimpan benda-benda yang masih tersimpan dengan rapi yang dimiliki oleh leluhur zaman dulu. Hal itu pun ternyata sangat berguna bagi generasi sekarang, sehingga bisa menghormati keberadaan leluhurnya dan tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat di tengah ketidakharmonisan budaya yang ada.

***

Tidak puas hanya mendapat penjelasan, kami pun bergerak ke rumah Pak Wardiman atas petunjuk Talius. Sambil menyanyikan mars Barisan Pemuda Adat Nusantara, kami pun menempuh perjalanan satu jam berjalan kaki dari kampung Payang menuju rumah Pak Wardiman yang berada di tengah hutan. Sangat bersemangat.

Satu hal yang ingin kami lakukan yaitu menggali kembali bahwa di komunitas adat Payang ternyata ada benda-benda pusaka peninggalan leluhur jaman dulu. Kami ingin melihat langsung warisan leluhur yang masih terjaga itu.

Betapa kami terkejut menyaksikan pemandangan itu. Rumah keluarga Wardiman berdiri sendirian di tengah hutan, namun menyimpan benda pusaka komunitas adat Payang. Wajar saja jika rumah Pak Wardiman disebut sebagai rumah “pusaka” oleh masyarakat adat Payang.

Setelah satu jam perjalanan dari rumah Pak Talius sejak pukul sembilan pagi, kami tiba di rumah Wardiman. Kami menempuh perjalanan dengan membawa keceriaan yang tak sirna oleh teriknya matahari dan penat kaki menyerang karena perjalanan yang lumayan panjang. Kami disambut dengan senyum ramah Wardiman dan ibunya, Anyun, walaupun sebelumnya tidak ada janji untuk bertemu.

Pertama-tama kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami. Kemudian saya meminta Eko (kameramen) untuk mengambil beberapa foto benda-benda antik yang rupanya sudah sangat lama disimpan bahkan hampir puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan oleh pemiliknya.

“Selama ini kami hanya menyimpan saja barang-barang ini. Kami menyimpannya karena ingin mengingat tentang leluhur kami,” ujar Wardiman.

Kira-kira satu jam kami menyempatkan waktu untuk mengobrol-ngobrol dengan Pak Wardiman dan Ibu Anyun.

Tidak hanya mengenai benda-benda tersebut, tapi kami juga berbicara tentang kehidupan sehari-hari, kenapa lebih suka tinggal di hutan ketimbang di kampung. Ibu Anyun mengatakan bahwa di dalam hutan mereka menemukan ketenangan batin.

Menurutnya, semakin sedikit bergaul dengan manusia maka akan semakin mengurangi kita untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Pastinya kita harus menjaga hutan agar tetap lestari di samping memanfaatkannya, karena ini menyangkut keberlangsungan kehidupan anak cucu kelak.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 wib, kami mohon pamit karena akan mengunjungi ladang salah satu warga komunitas lagi. Sebelum kami beranjak pergi, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan Pak Wardiman sebagai kenang-kenangan. Satu hal yang menjadi catatan saya dan kawan-kawan bahwa kehidupan ini akan selaras dengan kita jika tetap memperhatikan nilai-nilai sosial yang sudah ada di masyarakat sejak dulu.

Kesyadi Antang

Tarian Adat Ngocin

Jakarta (23 /4/2016) – Dalam rangka ulang tahun ke-41 Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, salah satu perwakilan dari Kalimantan Tengah yakni Kabupaten Murung Raya turut mengisi perayaan itu dengan menggelar kegiatan Explore Exotica of  Borneo: Promosi Unggulan Daerah Melalui Pentas Tari dan Musik Tradisional Kabupaten Murung Raya Tahun 2016.

“Kegiatan ini untuk mengisi promosi unggulan daerah. Kabupaten Murung Raya memiliki potensi seni-budaya serta potensi wisata yang sangat layak kita promosikan,” kata Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Murung Raya, Regita.  

Dalam kegiatan tersebut sebagai salah satu kesempatan untuk mengenalkan produk unggulan, mereka menampilkan tarian adat: Ngocin. Nama tarian ini diambil dari bahasa Siang.

 

Tarian Adat Ngocin adalah tarian adat yang menceritakan tentang kearifan lokal dalam menangkap ikan secara tradisional. Alat penangkapan ikan yang digunakan yakni  Sauk /Tangguk, Buwu/Tokalak (perangkap ikan) terbuat dari bambu; Sepakang (tombak) penangkap ikan, Jala dan Rengge (jaring ikan). Semua alat ini ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistim dan pencemaran air.

Secara nilai tradisi adat-istiadat menurut kepercayaan masyarakat Dayak Uut Danum Kabupaten Murung Raya mengandung makna bahwa segala sesuatu dikerjakan harus dilandaskan pada keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta alam. Karena itu mereka selalu menjaga kelestarian lingkungan, mahluk hidup dan alam semesta, dengan tidak menggunakan bahan dan perlatan yang dapat merusak ekosistem lingkungan hidup di sekitar mereka.

Kegiatan Explore Exotica merupakan promosi dalam mempertahankan kearifan lokal seperti halnya tari Ngocin.

Hantingan, anggota BPAN Kalimantan Tengah, mengatakan dengan adanya pentas tarian adat Ngocin itu sebagai promosi, maka semua orang bisa tahu bahwa kehidupan masyarakat adat masih menggunakan alat penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan Sauk dan Buwu. Sehingga kearifan lokal selalu dijaga dengan baik. Hal ini bertujuan mengantisipasi perkembangan dari luar yang mengancurkan dan merusak kearifan lokal dan budaya.

Hadir dalam acara ini antara lain istri Bupati Murung Raya Lynda Kristiane, Kepala Anjungan Kalteng TMII Singkap, Ketua Dewan Adat Dayak Jabodetabek Putin Manirawan.

Ferddy Siwele

Bahasa Sasak/Sasak Language

Bahasa adalah item vital dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa segala sesuatu yang menjadi pengetahuan akan terkunci. Kita tidak akan pernah tahu. Bahasa menjadi penghubung antarmanusia di planet ini.

Bahasa laksana kunci. Seperti di paragraf sebelumnya, bahasa membuka jalan untuk menempuh segala pengetahun. Tak heran, semakin banyak kita memegang kunci/bahasa, semakin kita mengetahui banyak hal.

Beraneka ragamnya manusia menurut lingkungannya turut juga mengangkat bahasa sebagai alat komunikasinya masing-masing. Berbeda komunitas, berbeda bahasanya. Di satu negara saja, bahasa tercipta berjumlah ratusan bahkan lebih.

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=fqPPtum_D7U[/embedyt]

Namun di tengah masa yang digenggam oleh minoritas masyarakat dunia ini, bahasa adat/daerah semakin tergerus dari lingkungannya sendiri. Adanya bahasa-bahasa pemersatu seperti Inggris untuk internasional, Indonesia untuk negara Indonesia dan bahasa-bahasa nasional lainnya telah memengaruhi nasib bahasa adat.

Bahasa adat dewasa ini semakin tergerus. Inilah satu tantangan yang harus dihadapi sebab ia terkait akan soal keberadaan masyarakat adat/komunitas adat di seluruh dunia.

Masyarakat Adat nusantara/Indonesia memiliki ratusan bahasa adat yang juga mulai terancam punah. Bahasa Sasak terdapat di Ambon, Nusa Tenggara Barat misalnya. Video di atas sebagai dokumentasi dan bukti keberadaan bahasa adat Sasak.

 

Myanmar Rasa Toba

Jakarta (20 April 2016) – Wajahnya mengernyit. Nadanya meninggi ketika perempuan itu terdesak pernyataan keliru penulis soal kepemilikan Toba Restaurant Cafe. Senyumnya mengendur dan tatapannya tajam seolah menembus mata saya. “Memangnya kenapa! Kampung, kampung saya,” katanya dengan lantang saat penulis mengunjungi restoran itu 14 Maret lalu.

Desy Hutapea, perempuan Batak Toba, itu sejak Myanmar terbuka untuk dunia luar, berekspansi dengan membuka restoran ala Indonesia.

SK usaha resmi dari kedutaan RI di Myanmar

SK Restoran Toba, resmi dari KBRI di Myanmar

Restoran ini mengusung nama Toba, sebuah nama yang tidak asing lagi bagi WNI. Restoran yang terdiri dua lantai tersebut hampir seluruhnya bernuansa Toba. Setiap dinding bagian dalam restoran dipenuhi dengan lukisan pemandangan sekitar Danau Toba. Gunung Pusuk Buhit, panorama Danau Toba, Jabu Bolon, rumah khas Batak Toba, rumah ikan adalah beberapa contohnya.

Lukisan Jabu Bolon

Lukisan Jabu Bolon/Rumah Batak

Tetapi, nama restoran ini pada awalnya adalah Restoran Nusantara. Kala itu 2014, kata Desy, nusantara dipilih sebagai nama restoran bersama dengan kolega bisnisnya asal Singapura. “Waktu itu memang kita sejalan, tapi akhirnya saya melanjutkan sendiri. Di situlah nama restoran ini saya ubah,” ujarnya.

Restoran Toba merupakan satu-satunya restoran yang menjajakan makanan dengan cita rasa Indonesia di negeri yang sudah 50 tahun mengisolasi diri itu. Bagi WNI yang berada di Burma, khususnya Yangon, mencari makanan yang cocok dengan lidah Indonesia tidak keliru untuk mengunjungi tempat ini. Masakan khas nusantara, mulai dari pecel, nasi goreng, ikan bakar dll tersedia di sana.

Pecel

Pecel

Bersamaan dengan terbukanya Myanmar, pengusaha pun mulai berdatangan. Bagi Desy, keterbukaan ini merupakan peluang bisnis dengan jumlah pasar yang dia perkirakan mencapai 2000 orang WNI. Maka sejak 2014, Desy memindahkan usahanya dari Bali ke negara baru terbuka tersebut.

Pemilik restoran yang beralamat di Nawaday Street, Dagon Township no 15 Yangon—setidaknya sampai penulis berkunjung—adalah seorang perempuan kelahiran Jalan Krakatau Medan. Wanita yang memiliki asal-usul kampung dari Laguboti, Toba Samosir itu menunjukkan kebanggaannya terhadap Danau Toba dengan menulis Toba sebagai nama restorannya. “Saya ingin memperkenalkan nama (Batak) Toba ke masyarakat internasional,” ujar perempuan berambut panjang itu.

Penulis dan Dessy

Penulis dan Desy

Nama Toba dalam restoran ini merujuk pada danau vulkanik di Sumatera Utara. Danau yang meletus untuk terakhir kali pada 74.000 tahun lalu memiliki luas perairan ± 1.130 Km2 dan kedalaman ± 529 m. Dengan demikian, danau tawar ini menjadi yang terbesar di kelasnya se-Asia Tenggara. Namun besarnya danau tercinta bagi Masyarakat Adat Batak ini, tidak berbanding lurus dengan pengenalan penduduk Indonesia dan dunia; selain itu jumlah turis yang mengunjunginya masih minim.

Gunung Pusuk Buhit

Gunung Pusuk Buhit

Desy bercerita bahwa selama ini yang dikenal luas dari Indonesia hanya Bali. Sebagai tujuan wisata, Bali memang masih nomor satu sebab pulau dewata tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah selain karena masyarakatnya tetap melestarikan budayanya yang kuat itu. Meskipun demikian, masih banyak daerah di Indonesia yang mumpuni menjadi destinasi wisatawan, umpanya Danau Toba.

Beberapa tahun terakhir, Danau Toba tengah mendapat perhatian dari beberapa pihak. Mereka, Jendela Toba/Earth Society, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), mengusulkan agar Danau Toba menjadi Taman Bumi (Geopark Kaldera Toba) melalui UNESCO. Paling baru, 2016, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Kordinator Kemaritiman Rizal Ramli tengah membentuk Badan Otorita Danau Toba untuk tujuan menjadikan ikon Sumatera Utara itu sebagai destinasi wisata nasional. Bahkan, pemerintah memproyeksikan Danau Toba sebagai Monako-nya Asia (Monaco of Asia).

Padahal, menurut Desy, Danau Toba adalah sebuah keajaiban yang lebih dari patut untuk dijaga dan dilestarikan. Sementara itu, pemerintah Indonesia menaruh rasa hormat yang sangat kecil terhadap Masyarakat Adat Batak di sekitar Danau Toba. “Kebanggaan akan Toba hanya ucapan. Respek pemerintah pada masyarakat sangat kecil,” kata alumnus Universitas Padjadjaran Bandung itu.

***

Penulis menyinggung jumlah pelanggan yang saat itu kami cuma tiga: saya dan dua lainnya yaitu satu berwajah Eropa dan satunya lagi bertampang Tiongkok. Si Boru Hutapea, 39 tahun, menuturkan bahwa restorannya cukup jarang sepi. Pelanggan yang jumlahnya paling banyak terutama pada Sabtu dan Minggu. Selain untuk mencari makan, para WNI di Yangon berkumpul dan memuaskan dahaga berbahasa Indonesia serta bercanda dengan sesama warga se-tanah air. “Kalau malam minggu paling rame,” katanya.

Di akhir pertemuan kami, penulis mengajak pemilik restoran berfoto bersama. Ia terkesan dengan penampilan saya yang sporty, namun mengenakan ulos. “Ito bawa ulos ke mana-mana? Wow, itu keren,” katanya kagum.

Jakob Siringoringo

Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran

Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara yang berasal dari Minahasa kini sedang mempelajari Tari Kawasaran sebagai salah satu upaya menelusuri jejak leluhur. Seperti kata pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; sambil menari kita bisa belajar sejarah juga bahasa Minahasa.

Menelusuri jejak leluhur, bagi BPAN, adalah satu gagasan untuk kembali kepada identitas budaya. Gagasan yang sudah berjalan ini dalam capaian sementara menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memiliki identitas atau jati diri: asal-usul lengkap dengan pranata sosial, kearifan lokal bahkan pengetahuan tradisional serta wilayah adat.

Fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir, perilaku masyarakat khususnya kaum muda cenderung tidak mengenal adat/budaya leluhurnya. Kemajuan masa yang pesat telah menjadi jiwa zamannya mereka di mana tradisi gadget, internet, hip hop dan

pemuda_adatSeorang penari Kawasaran mengangkat pedang perang.

seperangkat kecanggihan teknologi benar-benar bukan tradisi leluhur. Dampaknya adalah hilangnya identitas dan tidak ada pemaknaan terhadap tanah/wilayah adat. Sebuah kerugian luar biasa untuk kini dan nanti.

Kesadaran pentingnya identitas tersebut menjadi pengertian paling berharga bagi pemuda adat Minahasa. Selangkah demi selangkah, kami kembali mencari identitas kebanggaan kami yaitu menelusuri jejak leluhur. Saat ini kami mulai dengan belajar tari Kawasaran.

Arti Harafiah

Tari Kawasaran adalah tarian perang suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kawasaran berasal dari kata Kawak (lindung) dan Asaran (ikuti orang tua). Jadi, Kawasaran bermakna mengikuti ajaran leluhur, lalu melestarikan dan terutama untuk melindungi warisan turun-temurun tersebut. “Anggap torang pe ade ada orang mo serang kong torang mo lindungi (anggap adik kita akan diserang dan kita yang melindungi),” kata Tonaas Rinto Taroreh, pelaku ritual, pelatih tari Kawasaran.

prajurit_adatPemuda adat dari Tanah Batak dan Lombok berfose dengan penari Kawasaran.

Konon Masyarakat Adat Minahasa akan menggelar tarian ini ketika akan ataupun sesudah berperang. Tarian ini juga dipersembahkan pada upacara-upacara adat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang meninggal di medan perang. Kawasaran, di sisi lain, menggambarkan betapa semangat perjuangan itu harus tetap ada, terawat dan terpelihara.

Tata cara

Sebelum memulai tarian selalu ada tata cara yang wajib diperagakan. Para penari memberi hormat (sumigi) kepada lawan perang sebagai tanda penghormatan sekaligus nama baik. Jumlah penari selalu ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9. Biasanya penari terdiri dari sembilan orang seturut dengan makna sembilan sebagai angka keramat bagi orang Minahasa.

Selanjutnya terbagi tiga babak permainan dalam tarian ini pertama, Sumakalele (berlaga) di mana para penari akan beraksi saling menyerang laiknya dalam peperangan sungguhan; kedua, Kumoyak (bermain jiwa) menceritakan bagaimana menghibur jiwa dan menenangkan jiwa setelah ikut berperang; ketiga, Lalaya’an (kemenangan) dengan muka tersenyum sambil menari menandakan peperangan usai dan menang.

Perangkat  

Tambor, alat musik pukul dari kulit kambing/rusa,  adalah alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini disertai dengan aba-aba dari pemimpin tarian.

Mahkota_NedineNedine, penari perempuan.

Kostum yang digunakan terdiri dari kain tenun Minahasa untuk ikat pinggang, paruh burung Taong (simbol kebesaran), bulu ayam jantan, tengkorak monyet (simbol kehebatan prajurit perang yang berhasil membunuh musuh) dan baju kulit kayu. Warna kostum, merah, adalah simbol keberanian. Perlengkapan lainnya adalah pedang (santi), perisai (kelung), tombak (wengkow). 

Saat ini tarian Kawasaran digunakan dalam berbagai acara untuk mengusir dan membunuh roh jahat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kampung halaman agar tetap lestari, damai atau jauh dari niat jahat seperti halnya hantu bisnis.

Menjaga tanah Minahasa adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan yang tercermin dalam Kawasaran. Prinsip kesetaraan ini tampak pada praktiknya: penari terdiri dari perempuan dan laki-laki atau salah sebagian saja. Sembilan perempuan atau sembilan laki-laki. Ini pun menjadi alat perjuangan.

Pemuda_prajuritPenari laki-laki.

Bagi tou (orang) Minahasa, berperang adalah sesuatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani dan punya semangat perjuangan. Prajurit perang Minahasa disebut Waraney. Kini tou Minahasa tidak lagi berperang melalui kaki dan tangan manusia, tetapi dengan ‘otak’ (cara pandang).

Karena itu dalam melestarikan budaya, pemuda adat jangan jadi penonton tapi “aktor”. Zaman boleh berubah tapi pemuda adat kukuh mempertahankan identitasnya. Dengan adanya proses menelusuri jejak leluhur seperti ini, pemuda adat harus selalu berdiri kuat, memiliki semangat juang dan berani melawan penggusuran, pemetaan sepihak oleh negara, menolak hadirnya perusahaan tanpa persetujuan Masyarakat Adat. Singkatnya, mempertahankan wilayah adat warisan secara turun-temurun. “Sapa ley kal bukang torang?” (Siapa lagi kalau bukan kita?)

I YAYAT U SANTI (Angkatlah pedangmu!)

 

Nedine Helena Sulu

Rekomendasi

Rekomendasi dan Resolusi Rapat Kerja Nasional II Barisan Pemuda Adat Nusantara  (Rakernas II BPAN)

15-17 Maret 2016, Cibubur Jakarta Timur   

Kami, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dideklarasikan pada 29 Januari 2012 bersepakat untuk mengorganisir diri dalam satu barisan. Kami berikrar sebagai generasi muda adat yang akan bergerak mengurus wilayah adat kami. Karena wilayah adat adalah ruang hidup, tempat kami memulai kehidupan. Di sanalah kami belajar tentang kepemimpinan, pengetahuan, kepercayaan dan kehidupan itu sendiri. Dalam perjalanan tersebut, kami terus menata organisasi sesuai Statuta yang telah kami rumuskan dan tetapkan secara bersama-sama.

Saat ini kami ada di 17 Pengurus Wilayah (PW) setingkat provinsi, 34 Pengurus Daerah (PD) setingkat kabupaten tersebar di seluruh penjuru nusantara mulai dari Sumatera sampai Papua. Kami terus membangun solidaritas di antara pemuda-pemudi adat untuk membangkitkan semangat dan keterpanggilan untuk bangkit bersatu menjaga dan mengurus wilayah adat.

Meskipun demikian kami masih terus berbenah, berdiskusi, berdebat untuk memperkuat barisan di tengah-tengah besarnya persoalan yang dihadapi negeri ini, khususnya yang dihadapi Masyarakat Adat. Konsistensi, keteguhan, keyakinan dan kemandirian adalah semangat kami dalam perjuangan mengurus wilayah adat; dan dalam kebersamaan menanggung penderitaan, musyawarah mufakat serta bersepakat untuk satu tujuan: memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat, kami bangkit bersatu, bergerak mengurus wilayah adat. Sejak 15-17 Maret 2016 kami berkumpul kembali dalam agenda Rapat Kerja Nasional II Barisan Pemuda Adat Nusantara (Rakernas II BPAN). Sebanyak 52 orang utusan dari berbagai wilayah dan daerah datang dengan satu tujuan untuk merumuskan rencana kerja BPAN. Dalam Rakernas II BPAN ini, kami menegaskan beberapa rekomendasi dan resolusi dalam menuju perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di nusantara/Indonesia: More…

M. Nur Jaf’ar Bebas

BPAN – Kamis 14 April 2016, M. Nur Ja’far keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas I Palembang tepat pukul 10.30 Wib. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sumatera Selatan setengah berlari dan mengulurkan tangan kala menyambut terbebasnya tokoh adat ini.

Para pemuda adat telah tiba jauh sebelum jam ketentuan bebasnya M. Nur. Animo mereka menyambut tetua adat itu begitu tinggi. Antusiasme dan semangat bertemu kembali dengan pemimpin adat tersebut tercermin dari cara mereka berpakaian. Kaos hitam yang mereka kenakan memang terlihat biasa. Yang tak biasa adalah pesan yang melekat pada kaos. Terlihat foto Nur Ja’far dan di bagian bawah foto tertulis “Penghianat itu tidak bisa diterima kemanusiaannya”. Tulisan dalam kaos tersebut adalah ungkapan kekesalan M. Nur. Ja’far terhadap keadilan di negeri ini yang menghianati Masyarakat Adat.

Malam sebelumnya, Yusri Arafat anggota BPAN Sumsel menerima kabar pembebasan orangtuanya. “Memang banyak yang bertanya, cuma baru tadi malam tau kepastian informasi bahwa memang  (Kamis-red) pagi keluar,” ujar Yusri saat dihubungi via telepon (14/4).

Anggie Setiawan Ketua BPAN Sumsel membenarkan informasi terkait bebasnya pejuang adat itu. “Tadi kita sambut di lembaga permasyarakatan jam 10.30 dan langsung ke Musi Banyuasin karena sudah ditunggu oleh keluarga. Kita menyambutnya sebagai pejuang Masyarakat Adat yang patut diteladani khususnya oleh pemuda,” katanya.

Saat dihubungi melalui telepon dalam perjalanan dari Rutan Palembang menuju Banyuasin kediamannya, Nur Ja’far mengatakan bahwa kebebasannya adalah bebas bersyarat. “Baru disuruh keluar untuk cek udara, sudah lama udara ini ditinggalkan, ini baru mau ke rumah sudah hampir dua tahun tidak lihat. Saya jam 09.00 Wib tadi keluar, keluar bersyarat, bebas bersyarat walau sebenarnya mesti empat bulan lagi,” jawabnya.

Baca juga: Abdon Nababan: Presiden Harus Bebaskan dan Lakukan Pemulihan Nama Baik Masyarakat Adat

Sejak ditangkap pada 11 Juni 2014 dan dijatuhi hukuman akibat dituduh merambah dan menduduki kawasan hutan Suaka Margasatwa Dangku Kabupaten Musi Banyuasin, semangat Nur Ja’far masih terus membara dan perjuangannya tidak pernah surut.

M. Nur Ja'far_JhontoniSaat Jhontoni Tarihoran Ketua Umum BPAN menemuinya di Rutan Klas I Palembang medio Februari lalu, Pak Nur bercerita tentang kesehariannya di penjara.

Ia bercerita bahwa penjara juga memberikan banyak pengalaman hidup. Penjara, menurutnya, merupakan salah satu representasi dari ketidakadilan yang masih terus terjadi di negara hukum bernama Indonesia. Semua orang pasti akan bela bahwa Indonesia negara hukum, meskipun hukumnya masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

“Di penjara ini banyak pengalaman sebagai bumbu-bumbu kehidupan yang sebelumnya tidak pernah kita alami. Sadari siapa kita dan kondisi kita seperti apa, hukum yang tidak adil bertentangan dengan konstitusi itulah hutang mereka (negara-red) ke kita. Pemuda pun harus terus bersemangat karena tujuan kita baik yaitu kepentingan orang tertindas. Janji itu sampai mati harus kita tuntut, sama dengan penghianat”.

Selain sebagai penghuni penjara yang lebih tua, Pak Nur juga menjadi tamping sehingga tahanan lain pun sangat menghormati dan memanggilnya Abah. Sebagai tamping beliau bertugas membantu pekerjaan petugas di dalam penjara khususnya untuk pengajian. Hal tersebut membuatnya semakin dihormati apalagi dia ditahan bukan karena suatu kejahatan kepada siapa pun, melainkan dituduh melanggar hukum karena menduduki tanah adatnya sendiri.

Lelaki berusia 76 tahun itu menegaskan, sekali lagi,  bahwa “Penghianat itu tidak bisa diterima kemanusiannya”.

 

~BPA Archipelago~

Wadah Gerakan Pemuda Adat Kalimantan Barat Terbentuk

Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) sebagai salah satu sayapnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar kegiatan konsolidasi, pemilihan dan pembentukan pengurus wilayah Kalimantan Barat. Kegiatan tersebut berlangsung dari Jumat sampai Sabtu (14-15/9/2012) yang dikoordinir oleh Barisan Pemuda Adat (BARA) AMAN Kalbar bertempat di rumah Betang Lingga, Sei Ambawang, Kubu Raya.

Hari itu, Jumat (14/9/2012), suasana di sekitar rumah Betang Lingga yang persis berada di lintas jalan trans Kalimantan tampak lain dari biasanya. Para kaum muda dan tua tampak kompak. Kehadiran mereka ditempat itu bukan untuk melaksanakan kegiatan gawai Dayak ataupun kegiatan lainnya. Namun hari itu rupanya ada pembukaan hajatan besar yang bertajuk pertemuan wilayah I Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Kalimantan Barat.

Pertemuan tersebut merupakan kali pertama dalam sejarah barisan pemuda adat di Kalbar. Adapun tema dalam kegiatan itu “Peran Pemuda Adat Dalam Rencana Strategis Melestarikan Adat dan Budaya di Kalimantan Barat”. Tepat pukul, 09.00 Wib acara pembukaan pun dimulai. Sedianya acara tersebut dibuka langsung oleh Wakil Bupati Kubu Raya, Andreas Muhrotein. Namun, karena kesibukan menjalan tugas-tugas yang tidak bisa ditinggalkan, acara pembukaan pun digantikan oleh Abdi Akbar selaku Kepala Departemen Penguatan Organisasi Anggota dan Jaringan Strategis pengurus pusat BPAN.

Prosesi pembukaan pun diawali dengan penyambutan tamu undangan ketika akan memasuki kompleks rumah Betang Lingga. Tampak seorang kepala adat membacakan doa-doa seraya membaca mantra dan menaburkan beras kuning. Sambil mengoleskan kunyit ke dahi para tamu, sementara itu para penari dari Dayak Sanggar Muara Talino, dengan sigap beratraksi sambil berlenggak-lenggok. Jauh di rumah Betang sudah bergema musik dengan hentakannya yang merdu. Abdi Akbar pun didaulat untuk memotong sebatang tebu yang sudah dilintangkan di tengah jalan dengan sebilah Mandau. Dengan sekali tebasan “bless” putuslah sebatang tebu muda itu. Kemudian para rombongan pun diajak bersama-sama untuk memasuki rumah betang. Sementara di depannya para penari terus berlenggak lenggok dengan lemah gemulai.

Upacara tersebut dinamakan Bapipis, yakni upacara ritual penyambutan tamu khas dayak Kanayatn Ambawang. Setelah sampai di Betang dilanjutkan dengan upacara Nyangahatn oleh Timangkong sebagai pertanda supaya kegiatan tersebut berjalan dengan lancar tanpa gangguan dan kendala-kendala. Sebelum acara adat Nyangahatn dimulai dilakukan seremonial pembukaan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh para siswa/siswi SMA Katolik Talino, Sei Ambawang dengan diikuti oleh para hadirin. Yulidas selaku ketua panitia pelaksana mengatakan, sebelum kegiatan itu berlangsung pihaknya merasa pesimis bisa terlaksana dengan baik.

Namun berkat semangat dan kerja keras semua pihak akhirnya bisa berjalan dengan dengan lancar. “Awalnya saya pesimis acara ini akan terlaksana seperti ini,”kata Yulidas dalam sambutan pembukaannya.

Pada kesempatan itu juga semua pihak yang hadir diajak untuk mengheningkan cipta untuk mengenang tokoh AMAN dan juga pejuang masyarakat adat, Surjani Alloy. Menurut Gloria Sanen, kegiatan pertemuan pemuda adat wilayah Kalbar ini memang merupakan ide dan keinginan yang sudah lama dari almarhum Surjani Alloy selaku ketua BPH AMAN Kalbar.

”Pak Surjani Alloy sudah lama menyampaikan gagasan ini. Dan beliau ingin agar para pemuda adat semakin menguatkan solidaritas. Meskipun pada hari ini beliau sudah tidak lagi bersama-sama dengan kita, namun gagasan dan cita-cita beliau akhirnya bisa diwujudkan. Kita patut menghargai dan meneruskan perjuangan beliau,”ujar Gloria Sanen dalam sambutannya.

Sedangkan yang mewakili Ketua Umum BPAN, Abdi Akbar, menyambut baik dilaksanakannya kegiatan tersebut. Menurutnya sangat penting sekali menguatkan organisasi para pemuda adat di seluruh Nusantara. “Saya merasa bangga pada hari ini bisa datang di tengah-tengah para pemuda adat di wilayah Kalbar. Saya baru sekali ini datang ke tanah Borneo. Organisasi pemuda adat yang merupakan sayap AMAN merupakan bagian penting, guna mendukung dan memperjuangkan nasib masyarakat adat. Khususnya para pemuda adat,”ujarnya.

Ia pun mengapresiasi kerja keras para panitia dan AMAN Kalbar yang bisa menyelenggarakan acara pertemuan wilayah BPAN dengan lancar dan sempurna. Setelah selesai semua kata sambutan, kemudian dilakukan pemukulan Gong sebanyak tujuh kali oleh Abdi Akbar sebagai pertanda dimulainya kegiatan pertemuan wilayah I BPAN Kalbar. Setelah selesai acara pembukaan. Pada siangnya diadakan seminar setengah hari yang menghadirkan para narasumber, yakni Pelaksana Tugas (PLT) Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Kalbar Aga Pitus, Timangokng Binua Sunge Samak Sa’ena dan Timangokng Sunge Manur / Koala Mandor Adrianus Adam Tekot. Para peserta pertemuan BARA Kalbar berfose bersama rumah di Betang, Lingga-Kubu Raya.

Kegiatan seminar tersebut diiikuti oleh perwakilan dari komunitas pemuda adat seluruh daerah yang ada di Kalbar. Seperti Ngabang , Ambawang, Singkawang, Sekadau dan sejumlah perwakilan organisasi mahasiswa di Pontianak. Semua peserta yang hadir pun tampak antusias mengikuti acara tersebut. Sedangkan pada malam harinya, diadakan pertunjukkan seni tari dari sanggar Muara Talino dan paduan suara dari para siswa SMA Katolik Talino, Sei Ambawang. Tak ketinggalan pula disuguhkan dengan pemutaran film dokumenter tentang lingkungan. Warga sekitar pun berbondong-bondong untuk menyaksikan acara tersebut.

Di sekitar rumah Betang pun mendadak ramai baik tua maupun muda ingin bersama-sama ikut ambil bagian di dalamnya. Esoknya, Sabtu (15/9/2012) kegiatan acara inti berupa konsolidasi pertemuan wilayah I BPAN Kalbar pun dimulai. Tahapan pembahasan terhadap berbagai hal tentang keorganisasian pemuda adat pun dimulai, seperti pembahasan AD/ART, tata tertib sidang. Semua peserta yang hadir pun memberikan masukan dan saran terhadap segala peraturan yang menyangkut BPAN Kalbar ke depannya. Suasana pun menjadi alot dengan perdebatan-perdebatan. Setelah melalui proses pembahasan dan perdebatan yang sangat alot seharian, akhirnya pada sore harinya, tibalah kepada prosesi pemilihan siapa yang akan memimpin BPAN Kalbar mendatang? Sejumlah nama pun sempat diusulkan.

Akhirnya semua peserta secara aklamasi sepakat untuk memilih Yulidas dan Adrianus Suwandi. Masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua BPAN AMAN Kalbar. Salah satu program kerja Yulidas ke depannya, yakni akan merangkul seluruh elemen masyarakat adat untuk semakin mencintai terhadap adat dan tradisi budaya dan akan berprinsip dan berpegang teguh kepada UUD 1945 dan Pancasila dalam menjalankan tugas. “Ke depan kita coba rangkul pemuda adat dan masyarakat adat guna menumbuhkembangkan kecintaan, kepedulian dan mampu mengimplementasikan adat istiadat dan budaya di tengah-tengah modernisasi. Dan tetap memegang teguh UUD 1945 dan Pancasila karena jelas kita adalah warga Negara Indonesia,” kata Yulidas. Kini di pundak merekalah segala perjuangan dan cita-cita mulia para pemuda adat di Kalbar digantungkan harapan. Semoga tetap semangat dan terus berjuang. Proviciat dan selamat!

 

Yogi Pusa

Pemuda Adat Tano Batak Bangkit Bersatu

Dingin disertai gerimis, pagi itu Jumat, 15 Pebruari 2013, tidak membuat surut semangat pemuda adat yang sedang berada di tengah tombak (hutan) adat Ompu Ronggur Simanjuntak. Tidak ada yang berpangku tangan, masing-masing mengambil kesibukannya sendiri. Tangan-tangan dengan lincah mengupas ubi, yang akan segera dimasak sebagai hidangan sambil minum kopi pada saat pertemuan siangnya. Nenas, salah satu produksi pertanian khas Sipahutar, juga telah tersedia, yang sengaja dibawa dari kampung untuk disajikan saat makan siang.

 

Kaki-kaki yang kuat dengan bahu yang kekar  mengangkat jerigen air yang diambil dari sumber air bersih, untuk air minum tamu-tamu yang sedang dalam perjalanan menuju lokasi pertemuan. Persiapan pertemuan ini sudah dilakukan secara bersama sejak seminggu sebelumnya. Wajar karena tempat pelaksanan kegiatan sangat jauh dari kampung yaitu sekitar 2,5 jam kalau ditempuh dengan jalan kaki. Tetapi jika ditempuh dengan kereta (istilah orang Tapanuli untuk menyebut sepeda motor) cukup dengan waktu setengah jam saja.

Pemuda adat komunitas keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak mendirikan rumah pemuda di atas tanah adatnya. Di mana tanah adat tersebut juga diklaim oleh perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk yang masuk dalam konsesi mereka.

Pembangunan rumah pemuda adat ini juga dilakukan dalam rangka menyambut dan mensukseskan pertemuan pemuda adat Tano Batak. Beratap seng, berlantai papan tanpa dinding,  dan dibangun atas swadaya pemuda adat sendiri.

Di pojok lain,  di areal yang sangat luas ini terlihat juga pemuda lain sedang menancapkan bendera-bendera Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Bendera berkibar gagah menjadi penunjuk arah jalan ke tempat pelaksanaan pertemuan tersebut. Karena kegiatan dilaksanakan pada tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, maka semua urusan persiapan termasuk urusan komsumsi dan memasak harus dikerjakan pemuda adat tersebut. Dalam hal ini, prinsip senasib sepenanggungan sedang diuji dalam semua proses persiapan. Semua hal itu melahirkan kebersamaan di antara pemuda, sebelum dimulainya pertemuan secara resmi oleh Ketua BPH AMAN Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak.

 

Peserta pertemuan dari berbagai kabupaten/kota dengan berjalan kaki mulai tiba di tempat sekitar pukul 08:30 wib. Bersama rombongan undangan, perempuan adat juga tiba di lokasi kegiatan. Mereka tiba dengan semangat, sekalipun harus berbasah-basah karena hujan. Tetamu yang datang langsung disambut oleh pemuda adat yang sudah sejak tiga hari sebelumnya berada di tombak tersebut. Diawali dengan diskusi tentang peran penting pemuda adat dalam perjuangan masyarakat adat, lalu dilanjutkan dengan pembacaan janji Barisan Pemuda Adat Nusantara yang dipimpin oleh Ketua BPH AMAN Wilayah Tano Batak, pertemuan pun segera dimulai.

Pimpinan sidang sementara adalah pengurus wilayah AMAN Tano Batak. Sedangkan untuk melanjutkan persidangan, peserta memilih dan menetapkan tiga orang pimpinan sidang yang akan mengarahkan persidangan sampai berakhirnya pertemuan. Penetapan pimpinan sidang juga dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dan laki-laki yakni: Rosalia Silitonga, Pancur Simanjuntak dan Jhontoni Tarihoran.

 

Pada situasi hujan dan dinginnya cuaca, persidangan tetap berjalan dengan hangat, dan terkadang dengan lantang terdengar yel-yel: “Pemuda Adat!, Bangkit Bersatu!, TPL…Tutup!”

Berbagai keputusan pun ditetapkan, mulai dari pembukaan persidangan, jadwal kegiatan, tata tertib, sidang komisi, proses pencalonan ketua, dan penetapan ketua sampai penutupan pertemuan. Semuanya berjalan dengan lancar dan sesekali keputusan harus ditinjau ulang karena adanya usulan atau saran dari peserta yang hadir. Sidang komisi juga berhasil merumuskan tentang: Kriteria, Tata Cara Pencalonan dan Proses Pemilihan Ketua Barisan Pemuda Adat Wilayah Tano Batak 2013-2016.

Pada proses pemilihan Ketua, peserta pertemuan memilih dan menetapkan Saudara Pancur Simanjuntak menjadi ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Tano Batak periode 2013-2016, yang pemilihannya secara aklamasi. Dengan terpilihnya ketua BPA wilayah Tano Batak para undangan mengucapkan selamat dan menyampaikan harapan-harapan kepada organisasi yang baru dideklarasikan tersebut.

Peserta yang turut hadir di antaranya Delima Silalahi, Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM, lembaga yang mendampingi berbagai kelompok masyarakat adat di Tapanuli; Trisna Harahap staf KSPPM; Hotasi Simamora, Ketua Aliansi Peduli Tano Batak serta  Dewan Adat AMAN Wilayah Tano Batak Maradona Simanjuntak dan komunitas adat keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak.

Sebelum pertemuan ini ditutup secara resmi, Roganda Simanjuntak menyerahkan bendera AMAN kepada ketua BPAN terpilih. Hal ini sebagai simbol bahwa gerakan masyarakat adat di Tano Batak, menjadi bagian perjuangan Pemuda Adat Tano Batak: untuk mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat sesuai dengan janji Barisan Pemuda Adat Nusantara. Pemuda adat, Bangkit bersatu! ***

 

Jhontoni Tarihoran

 

Kesyadi Antang Dikukuhkan menjadi Ketua BPAN Wilayah Kalteng 2016-2019

Minggu 10 April 2016, bertempat di Anjungan Kotawaringin Timur tepatnya di Jalan Temenggung Tilung 16, Kota Palangkaraya Jambore Wilayah II Barisan Pemuda Adat Nusantara (Jamwil II BPAN) Kalimantan Tengah berlangsung dengan lancar. Kegiatan ini dihadiri oleh utusan pemuda adat dari beberapa daerah di Kalimantan Tengah; Kapuas I, Kapuas II, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas, Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kota Waringin Timur, dan Palangkaraya.

Jamwil dibuka secara resmi oleh Penasehat BPAN Kalteng sekaligus Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalimantan Tengah, Simpun Sampurna. Pembukaan kegiatan Jamwil  diawali dengan Tari Pembukaan oleh anggota BPAN Wilayah Kalteng bersama salah seorang Pengurus Nasional BPAN Modesta Wisa yang berasal dari komunitas Binua Manyalitn, Kalimantan Barat. Kemudian dilanjutkan dengan doa dan sambutan-sambutan dari Panitia, Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran, Penasehat BPAN Kalteng Simpun Sampurna sekaligus membuka Jamwil II BPAN Kalteng.

Pemuda_Menari

Jambore ini menjadi ruang refleksi bagi BPAN Kalteng atas perjalanan organisasi sejak dideklarasikan pada 18 Februari 2013. Secara aktif seluruh peserta memberikan masukan atau pandangan atas laporan penyelenggaraan organisasi yang disampaikan Ketua BPAN Kalteng masa bakti 2013-2015. Masukan dan pandangan serta usulan dari peserta menjadi poin penting dalam merumuskan program kerja BPAN Kalteng masa bakti 2016-2019.

Pembahasan dan penetapan keputusan-keputusan dalam Jambore II BPAN Kalteng ini dilakukan secara partisipatif dengan menggunakan metode partisipatoris seperti metode ‘warung kopi dunia’ khususnya dalam pembahasan program kerja dan pemilihan ketua. Calon ketua yang diusulkan oleh peserta adalah Titan, Dano, Abdul, Kimrot, Sesi, Yuni, Hendri, Kesyadi Antang, Rinto, Wismansio dan pemilihan Ketua. Pemilihan Ketua BPAN Wilayah Kalteng masa bakti 2016-2019 dilakukan secara mufakat. Dari 10 orang nama yang telah diusulkan menjadi calon Ketua, dengan mufakat Kesyadi Antang ditetapkan kembali menjadi Ketua BPAN Kalteng masa bakti 2016-2019.

Pelantikan atau pengukuhan terhadap Ketua terpilih Kesyadi Antang dilakukan oleh Ketum BPAN Jhontoni Tarihoran yang disaksikan oleh Dewan Pemuda Adat Nusantara region Kalimantan Modesta Wisa serta Ketua BPH Wilayah AMAN Kalteng Bapak Simpun Sampurna. Setelah pembacaan Janji Pemuda dan pengukuhan dilakukan secara resmi kegiatan ditutup oleh Ketua Wilayah AMAN Kalteng.

 

BPA Archipelago

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish