Ekspresi Musik Tradisional

 Pesta Budaya Rondang Bittang

Pesta Rondang Bittang adalah suatu kegiatan yang bersifat massal serta tradisional pada suku Simalungun. Pesta Rondang Bittang merupakan penyampaian rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala keberhasilan hidup dalam satu tahun penuh. Pesta ini dilakukan pada saat bulan purnama di mana bintang-bintang turut menambah keindahan terang bulan. Perayaan ini merupakan sarana mempererat rasa kekeluargaan, melestarikan seni budaya bangsa sebagai peninggalan leluhur, kesempatan bersukaria di antara seluruh warga masyarakat dan pewarisan serta kesempatan mempelajari seni budaya bagi generasi muda dan remaja.

pretty tujuh

Menari massal [Dok. Pretty Manurung]

Di dalam acara ini banyak bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilkan, seperti Tortor Sombah yang disebut-sebut sebagai tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan untuk menyambut orang-orang yang dihormati. Jumlah penari dalam Tor Tor Sombah/sembah ini enam orang. Selain itu, terdapat Huda-huda atau Toping-toping yaitu tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh burung Enggang. Jenis tarian ini diiringi Gual Huda-huda, jumlah penarinya ada tiga orang. Ada lagi Taur-taur yakni duet tradisional Simalungun yang menggambarkan cinta yang berkomunikasi melalui lagu.

pretty lima

Tortor Sombah [Dok. Pretty Manurung]

Tidak hanya itu, ada berbagai macam lagi acara yang ditampilkan mulai dari menari Tortor (manortor), menyanyi (taur-taur), berbalas pantun (marumpasa) dengan diiringi musik tradisional seperti Gual, Sulim, Sordam, Tulila sampai olahraga ketangkasan tradisional.

***

Masyarakat suku Simalungun memiliki musik tradisional yang secara turun-temurun digunakan dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya. Musik tradisional Simalungun diwariskan turun-temurun secara lisan kepada generasi berikutnya.

Penggunaan Sarunei dalam ensambel gonrang sebagai musik pengiring tari-tarian yang ditampilkan dalam Pesta Rondang Bittang, misalnya,  dapat memberikan reaksi jasmani pada setiap penonton. Bunyi-bunyian Sarunei tersebut akan menjadi sumber komunikasi bagi masyarakat, baik yang muda maupun tua. Sehingga para penonton yang biasanya mayoritas muda-mudi berdatangan ke tempat tersebut untuk menonton, melihat, menari dan menggunakan kesempatan tersebut untuk saling berkomunikasi, berinteraksi bahkan mencari jodoh.

***

Berdasarkan pengklasifikasian/penggolongannya, maka alat-alat musik tradisional Simalungun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Klasifakasi/Golongan Idiofon

  1. Mongmongan, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai “pencu” (bossed gong). Ada dua jenis mongmongan: sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Fungsi mongmongan dipergunakan untuk memanggil massa di suatu kampung.
  2. Ogung, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai pencu (bossed gong). Ogung juga memiliki dua macam yaitu sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.
  3. Gerantung, adalah alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai kotak resonator (trough resonator). Kotak resonator ada yang terbuat dari kayu, ada yang langsung ditempatkan di atas lobang tanah sebagai resonatornya. Gerantung terdiri dari tujuh bilah dan mempunyai nada yang berbeda. Gerantung biasanya dimainkan sebagai hiburan ketika istirahat di ladang sebagai pelepas lelah dan sebagai bahan pelajaran untuk menabuh gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Aerofon

  1. Sarunei bolon, suatu alat musik yang mempunyai dua lidah (double reed) sebagai lobang hembusan yang dipergunakan sebagai pembawa melodi dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Badannya terbuat dari silastom, nalih-nya terbuat dari timah, tumpak bibir terbuat dari tempurung, lidah terbuat dari daun kelapa dan sigumbang terbuat dari bambu. Sarunei bolon mempunyai enam lobang di bagian atas dan satu lobang di bawah.
  2. Sarunei buluh, adalah suatu alat musik yang mempunyai lobang hembusan yang terdiri dari satu lidah (single reed) yang memukul badannya sendiri. Sarunei buluh yang terbuat dari bambu ini mempunyai tujuh lobang suara. Enam lobang berada di bagian atas dan sisanya di bagian bawah.

Klasifikasi/Golongan Membranofon

  1. Gonrang Sidua-dua, adalah gendang yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua. Badannya terbuat dari kayu Ampiwaras dan kulitnya terbuat dari kulit Kancil atau kulit Kambing. Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, oleh karena itu diberi nama gonrang sidua-dua.
  2. Gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon, adalah gendang yang terbuat dari kulit pada bagian atas sedangkan sebelah bawah ditutup dengan kayu. Gendang terdiri dari tujuh buah yang badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kerbau atau kambing. Gendang ini dipergunakan dalam seperangkat gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Kordofon

  1. Arbab, adalah alat musik yang tabung resonatornya terbuat dari labu atau tempurung; lehernya terbuat dari kayu atau bambu; lempeng atas terbuat dari kulit kancil atau kulit biawak; senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat dari ijuk enau yang masih muda.
  2. Husapi, adalah alat musik sejenis lute yang mempunyai leher, terbuat dari kayu dan mempunyai dua senar. Bagian badan dan lehernya dihiasi gambar ukiran wajah manusia.

***

Masyarakat Batak Simalungun merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur. Ucapan syukur mereka senantiasa dipanjatkan lewat upacara adat. Budaya para leluhur yang menjadi kebanggaan suku Simalungun salah satunya adalah pemakaian Ulos. Ulos yang disebut Hiou sarat ornamen. Secara legenda bagi masyarakat Simalungun, Ulos dianggap salah satu dari tiga sumber kehangatan manusia selain api dan matahari.

Sampai sekarang ini Pesta Rondang Bittang masih dilestarikan dan menjadi pesta tahunan bagi masyarakat Simalungun, Sumatera Utara.

pretty

Pemuda budaya [Dok. Pretty Manurung]

[Pretty  Manurung]

 

Masyarakat Adat: Gerakan Kolektiva Terperlu Penopang Indonesia

Jakarta – Pemilik pertama nusantara ini adalah lembaga-lembaga adat. Adapun lembaga-lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat adat yang sudah ada di nusantara, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Demikian penjelasan Prof. Thamrin Amal Tomagola dalam orasi ilmiahnya pada acara Simposium Masyarakat Adat dalam memperingati tiga tahun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 di Aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Senin (16/5/2016).

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu menyebutkan terdapat lima lembaga dominan yang ada di negara Indonesia. Pertama, lembaga-lembaga adat yakni yang sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia sekaligus yang merupakan pemilik nusantara. Kedua, lembaga-lembaga agama. Lembaga-lembaga agama tersebut merujuk pada agama alam atau agama leluhur dan agama impor.

“Sedihnya, negara Indonesia justru hanya mengakui agama-agama impor. Agama leluhur, untuk sekadar dicantumkan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun bukan main susahnya,” ujarnya.

Ketiga, lembaga negara. Keempat lembaga-lembaga bisnis dan kelima, lembaga-lembaga civil society. Menurutnya, lembaga-lembaga pertama dan kedua sudah sulit dipisahkan. Keduanya sudah saling berkelindan, saling terikat. Hal ini misalnya yang paling kentara bisa dilihat di Sumatera Barat dan Aceh. Jadi sudah saling menyatu.

Sementara itu, lembaga yang berada di urutan ketiga dan keempat juga sudah bersekutu. Lembaga bisnis dan negara sudah “tidur seranjang”. Seperti umum terjadi bahwa negara menyediakan ruang selapang-lapangnya kepada korporasi untuk berinvestasi. Misalnya sebuah perusahaan A hendak membangun suatu usaha di sekitar hutan, maka negara menyediakan regulasi yang diperuntukkan mengamankan jalannya investasi, tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat di sekitar hutan. Ini yang disebut kong kali kong. Setubuh untuk merampas tanah, seringnya tanah adat, untuk dijadikan lokasi perkebunan atau industri dan sebagainya.

“Saat ini kedaulatan berada di tangan modal dan pemodal,” tambahnya.

Selanjutnya, dalam orasi ilmiahnya, ia menutup, “Jika Negara Tidak Mengakui Masyarakat Adat, Masyarakat Adat Tidak Mengakui Negara”.

[Jakob Siringoringo]

BPAN Nusa Bunga Dideklarasikan, Kanisius Laka Dikukuhkan menjadi Ketua Periode 2016-2019

IMG_0681

Ketua BPAN Nusa Bunga terpilih Kanisius Laka memberikan sambutan atas pengukuhannya memimpin BPAN Wilayah Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Sabtu, 07 Mei 2016 – Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa serta penyertaan leluhur masyarakat adat, akhirnya Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Nusa Bunga dideklarasikan, Sabtu pekan lalu. Pada kegiatan ini juga dilakukan pengukuhan Kanisius Laka menjadi Ketua BPAN Wilayah Nusa Bunga Periode 2016-2019 oleh Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara Jhontoni Tarihoran.

Pada acara pengukuhan ini turut hadir Ketua BPH AMAN Nusa Bunga yang juga anggota DPRD Kabupaten Ende Philipus Kami. Selain itu, ada juga beberapa utusan organisasi kemahasiswaan dan pemuda Gereja seperti LMND, GMNI, PMKRI, HMMT dan OMK.

Dalam sambutannya Ketum BPAN Jhontoni Tarihoran mengatakan bahwa pemuda adat harus bangga dengan budayanya, bangga dengan atribut adatnya dan menjadi pelaku dari nilai-nilai yang telah diwarisi dari leluhur masyarakat adat.

“Pemuda adat harus menolak penyebutan masyarakat adat sebagai masyarakat terbelakang. Kita punya semangat untuk menang, menentang yang salah. Pemuda adat bangga berbudaya, bangga mengenakan atribut atau pakaian adat dan melakukan nilai-nilai dan pola hidup yang diajarkan oleh tetua-tetua adat. Bagi kita tetua adat menjadi guru agar kita menemukan kembali pintu pulang ke jati diri kita yang sesungguhnya,” ujarnya.

Sementara itu Ketua BPH AMAN Nusa Bunga sekaligus penasehat BPAN Nusa Bunga Philipus Kami mengatakan bahwa pemuda adat harus cinta kepada wilayah adatnya. Cinta itu jugalah yang akan menggerakkan pemuda adat untuk berjuang dengan cerdas dan semangat.

“Karena cinta tanahnya, cinta hutannya, cinta lingkungannya, kita sebagai pemuda adat harus berani untuk itu. Harus berani dalam memperjuangkan cinta kita tadi. Untuk itulah BPAN menyatukan satu visi pemuda adat di seluruh nusantara untuk kembali bangkit mencintai tanahnya dan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Barisan Pemuda Adat Nusantara Nusa Bunga hari ini telah lahir. Ini harus dirawat dengan baik, dipupuk sehingga menjadi cerdas, kuat dan berkualitas. Hari ini juga kita telah bersepakat untuk pulang kampung,” tegas Philipus.

Sebelumnya di gedung PSE Kota Ende, Nusa Tenggara Timur pemuda adat yang berasal dari tiga wilayah di Flores: Barat, Tengah dan Timur melakukan pertemuan. Pada pertemuan ini dilakukan Sarasehan tentang peran pemuda adat untuk mendorong terwujudnya Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Sebelum kegiatan Sarasehan utusan pemuda adat dari beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur ini melakukan parade dari Monumen Pancasila Kota Ende menuju tempat kegiatan. Parade dilakukan untuk menyatakan kepada masyarakat Ende bahwa pemuda adat di Nusa Bunga telah bersepakat untuk bangkit, bersatu dan bergerak menjadi  bagian dari perjuangan masyarakat adat. Dengan mengenakan pakaian adat pemuda-pemudi berjalan kaki dan berorasi menyuarakan tuntutan kepada pemerintah. Adapun tuntutan tersebut seperti berikut ini:

  1. Segera sahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU!
  2. Presiden Jokowi segera tandatangani Satgas Masyarakat Adat!
  3. Segera sahkan Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Ende!
  4. Mendeseak pemerintah se-NTT untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi dan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat.

жжж

 

[BPAN]

Sarasehan: Pemuda Adat Harus Pulang Kampung

Ende, 07 Mei 2016 – Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menyelenggarakan Sarasehan untuk mendorong kekritisan pemuda-pemuda adat dalam merespon dan menjaga warisan leluhur yang saat ini perlahan pudar. Tema yang diangkat dalam sarasehan ini adalah “Menata kekuatan kaum muda untuk mendorong terwujudnya pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat” dengan narasumber Pater Steph Tupeng Witin, SVD Pimpinan Redaksi Flores Pos dan Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran.

 

Para_pemateri

Para pemateri Sarasehan. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Sarasehan sehari ini diselenggarakan di Jalan Durian Ende pada Sabtu kemaren. Sarasehan ini menjadi media dalam membangun cara berpikir kaum muda dalam mengembangkan organisasi pemuda adat untuk mempertahankan wilayah adatnya.

Dalam Sarasehan tersebut  kedua narasumber lebih menyoroti terhadap peran kaum muda dalam mempertahankan hak masyarakat adat dan juga nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Di sisi lain narasumber juga menyoroti terkait dengan korelasi antara perjuangan nilai serta  Rancangan UU dan Perda Masyarakat Adat.

“Saat ini masyarakat adat memperjuangkan dan mendesak para pemangku kebijakan untuk menetapkan aturan negara terkait masyarakat adat. Sebab di dalam aturan itu telah termuat sejumlah nilai yang sejak dahulu masyarakat adat pertahankan. Nilai yang terkandung di dalam masyarakat adat adalah nilai yang membuat kita tidak akan lupa identitas kita. Kita akan mengetahui dari mana kita berasal. Jika saat ini penyusunan produk hukum tersebut tersendat oleh orang-orang yang lupa pada identitas dirinya maka masyarakat adat harus siap dalam menghadapi situasi itu,” kata Pater Steph.

IMG_0613

Peserta Sarasehan (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Pemuda hari ini mesti lebih mengenal kampungnya dan harus kembali ke asal usulnya. Sebab di sanalah kita akan menemukan identitas dengan nilai-nilai yang baik yang diajarkan sejak leluhur.

Menurut Pater, masyarakat adat dan pemuda adat harus terus memperjuangkan nilai itu karena itu adalah  kebenaran. Kebenaran itu hanya ada di masyarakat adat. Semua pengetahuan apa pun ada di masyarakat adat. Pemuda saat ini harus lebih mempertahankan keutamaan.

Kenyataannya saat ini pemuda adat semakin jauh dari kampung. Realita ini terlihat ketika pendidikan seseorang semakin tinggi maka ia akan semakin jauh dari kampungnya. Ia lupa pulang. Ini disebabkan oleh kita yang memakai pendidikan warisan penjajah. Karena itu, pendidikan kita mesti diterapkan sesuai dengan wilayah adat dan budaya yang telah diajarkan oleh leluhur kepada  kita.

“Pendidikan harus lebih menyawab kebutuhan hidup di kampung atau komunitas kita,” kata Jhontoni.

Perlu diketahui, masyarakat adat mempunyai sistem pendidikan yang lebih mengenal sesama manusia, alam dan seluruh unsur yang ada di dalam komunitas tersebut. Ketika hari ini kaum muda khususnya pemuda adat jauh dari kampungnya sendiri maka semua yang ada di komunitas perlahan-lahan akan hilang sebab kita tidak mendokumentasikannya.

“Pasca mendeklarasikan pemuda adat ini, maka kita harus melakukan pendokumentasikan seluruh warisan leluhur. Kita harus kembali turun ke kampung-kampung mendiskusikan bersama tetua-tetua kita agar nilai yang diwariskan terus eksis sampai ribuan tahun yang akan datang,” tambah Jhontoni yang akrab disapa Jhon.

Salah seorang peserta diskusi menannyakan, “Bagaimana Pemuda adat Nusa Bunga dalam menghadapi penjajahan gaya baru atau yang disebut dengan sistem kapitalisme?”

IMG_0601

Salah seorang peserta Sarasehan bertanya. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Menanggapi pertanyaan tersebut Jhon menerangkan bahwa Pemuda harus mulai dengan menelusuri jejak leluhur dan mendokumentasikan seluruh warisan leluhur. Dengan melakukan cara itu kita akan memastikan di mana identitas yang harus dipertahankan. Pastikan wilayah-wilayah adat dan seluruh hukum yang ada di masyarakat adat. Itulah salah satu cara untuk melawan sistem itu dan mulailah kita kembali ke kampung.

Sarasehan tersebut diakiri dengan seremonial Deklarasi Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga.

 

 

Jhuan S Mari

Parade Pemuda Adat Nusa Bunga

Ende, 07 Mei 2016 –  Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menggelar parade dengan melakukan long march menuju Ruang Pertemuan. Pemuda adat yang tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara ini terdiri dari pemuda yang berasal dari kampung sedaratan Flores Lembat.

“Pemuda Adat Bangkit, Bersatu dan Bergerak” itulah yel-yel dalam Parade Nusa Bunga saat long march dengan titik kumpul di Bundaran Lampu Lima Monumen Pancasila Ende, Sabtu kemaren.

parade_BPAN

Pemuda adat membentangkan spanduk saat parade di Ende. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Isu utama yang diangkat  oleh pemuda adat di wilayah Nusa Bunga adalah Mendesak DPR RI segera Membahas dan Mengesahakan RUU PPHMA Menjadi UU, Mendesak DPRD Kabupaten Ende segera Membahas dan Menetapkan Ranperda PPHMA menjadi Perda, Mendesak Presiden Jokowi untuk segera menandatangani Satgas masyarakat Adat dan Menyerukan Pemerintah Daerah se-NTT untuk tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi terhadap Masyarakat adat.

“Hari ini kami telah ada dan bangkit bergerak untuk menjaga wilayah adat kami yang telah di wariskan secara turun-temurun. Kami tidak mengijinkan siapa pun yang ingin merusak alam kami dan merampas tanah kami. Dan kepada kaum muda di Nusa Bunga mulailah kita pulang kampung dan membangun kampung ,” ujar Yulius Mari dalam orasi di Bundaran Lampu lima Ende.

gelar_parade

Peserta parade BPAN Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Menurutnya saat ini masyarakat adat telah mengalami penjajahan yang tersistematis dengan gaya baru. Budaya masyarakat adat secara perlahan mulai dihilangkan oleh sistem pembangunan negara yang program pembangunannya  tidak mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat adat. Saat ini pendidikan nasional dengan sisitem pendidikannya, mengajarkan anak-anak adat keluar dan pergi menjauh serta lupa untuk pulang dan membangun kampung.

“Kampung adalah ibu yang melahirkan dan menghidupkan kita. Jangan sekali-kali kita melupakan kampung. Jika kita lupa kampung sama halnya kita lupa terhadap ibu kita sendiri. Jika kita membiarkan kampung kita diobrak-abrik maka kita sedang membiarkan ibu kita disiksa dan ditindas. Mulailah sakarang kita pulang kampung dan membangun kampung karena di sanalah kita akan mengenal masyarakat adat dan identitas kita,” tuturnya.

Angkutan_megapon

Kendaraan komando parade. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Di sepanjang jalan, Barisan Pemuda Adat Nusa Bunga terus berteriak dan menyatakan mereka bangkit dan bergerak.

“Saat ini masyarakat adat telah kehilangan budaya aslinya. Masyarakat adat selalu dipinggirkan oleh negara. Padahal untuk mendirikan negara ini tidak terlepas dari masyarakat adat. Di komunitas adat itu sendiri banyak mangandung nilai yang akan menyatukan seluruh manusia dalam menjaga tanahnya. Oleh karena itu, Pemuda adat harus kembali memperjuangkan nilai-nilai di komunitas yang sudah mulai hilang,” pekik Refan koordinator lapangan (korlap) parade.

Dikatakannya, “Sudah saatnya kita kembali menelusuri  identias budaya kita. Sudah saatnya kita menelusuri kembali pengetahuan-pengetahuan leluhur kita yang sekarang ini sudah mulai pudar.”

IMG_0459

Dok: AMAN Nusa Bunga

Dalam Parade ini juga hadir Ketua Umun  Barisan Pemuda Adat Nusantara ( Ketum BPAN ) Jhontoni Tarihoran dan dalam orasinya ia mengatakan, “Kita saat ini ada di Nusa Bunga dan akan terus ada dan terus berlipat ganda. BPAN adalah organisasi yang menghimpun seluruh pemuda adat dari berbagai pelosok nusantara dengan permasalahan yang sama. BPAN juga bagian dari masyarakat adat dan kita merupakan anak-anak dari masyarakat adat yang siap mempertahankan wilayah adat.”

“Selain itu BPAN di wilayah Nusa Bunga akan terus berjuang mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. Kita Pemuda adat harus kembali menelusuri asal muasal leluhur  kita dari berbagai komunitas adat dan siap melanjutkan cita-cita leluhur dalam menjaga bumi ini. Tentu dengan cara kita sebagai kaum muda. Dan saat ini pemuda adat tidak harus malu mengatakan kampung kita adalah kolot, udik, terpencil, dan peramba. Pemuda adat harus berani mengatakan bahwa kita memiliki kedaulatan atas tanah dan seluruh kekayaan alam kita,” pungkas Ketua Umum BPAN.

Ketum_BPAN

Ketum BPAN Jhontoni Tarihoran saat berorasi dalam parade BPAN Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Parade BPAN Nusa Bunga berakhir di Gedung PSE Ende. Di tempat ini pemuda adat Nusa Bunga bersama-sama dengan para undangan mendiskusikan peran kaum muda dalam mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

 

Jhuan S Mari

Deklarasi Peta Wilayah Adat yang Menghadirkan Negara Itu….

Masyarakat adat telah lama menunggu sikap pemerintah untuk mendukung kehidupan komunitas adat yang berkelanjutan. Hari itu, si lelaki: asisten tiga Pemerintah Kabupaten Lamandau, secara terang-terangan mendukung sepenuhnya keberadaan masyarakat adat. Ia bercerita bahwa bicara mengenai masyarakat adat bukan hanya soal hutan.

Asisten III Bupati Lamandau, Albert Zakat menjadi saksi pendeklarasian peta wilayah adat Kinipan, Sabtu terakhir April lalu.

Masyarakat adat Kinipan menggelar Lokakarya dan Deklarasi Peta Wilayah Adat yang bertujuan untuk men-sosialisasi-kan peta adat kepada masyarakat adat Kinipan. Juga kepada pemerintah dan DPRD, serta pada komunitas-komunitas bersambitan (tetangga batas) yang sekaligus turut mempersaksikan peta adat Kinipan.

Acara yang digelar  di Gedung Pertemuan Umum, Komunitas Kinipan Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, ini selain Albert Zakat dan Simpun Sampurna turut hadir FX Wiradato anggota DPRD Kabupaten Lamandau, Dewan Wilayah AMAN Kalimantan Tengah Isang dan perwakilan-perwakilan bersambitan (tetangga batas wilayah).

Sebelumnya, masyarakat adat Kinipan telah memetakan wilayah adat mereka yang luasnya mencakup ± 16. 169, 942 hektar. Kinipan yang berada di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, itu melakukan pemetaan yang difasilitasi oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Daerah Lamandau.

“Deklarasi ini adalah untuk memberitahukan kepada setiap orang, agar apabila ingin memasuki wilayah adat Kinipan harus terlebih dahulu meminta izin kepada komunitas,” ujar Ketua AMAN Kalimantan Tengah Simpun Sampurna.

Dadut, begitu Simpun Sampurna biasa disapa, menuturkan bahwa komunitas Kinipan ada dan memiliki aturan adat, hukum adat, pengaturan secara adat, memiliki batas wilayah adat, memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghidupi komunitas. Sehingga Kinipan bukanlah komunitas yang tidak memiliki identitas atau dianggap terbelakang karena lokasi komunitas ini yang cukup sulit dijangkau dengan infrastruktur yang belum memadai untuk ukuran manusia berwatak “pembangunan”.

Komunitas adat Kinipan merupakan salah satu komunitas adat di Kalimantan Tengah yang masih cukup terjaga kelestariannya. Hadirnya AMAN, dan langsung menyikapi perkembangan situasi yaitu dengan mendorong masyarakat adat setempat melakukan pemetaan wilayah adat mereka, telah mengamankan Kinipan dari ancaman penghancuran oleh pihak ketiga, sekalipun baru satu langkah. Satu langkah kecil yang harus terus diperkuat.

Kesyadi Antang, Ketua Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Tengah membenarkan hal itu. Menurutnya, pemetaan wilayah adat adalah satu tahapan urgen bagi masyarakat adat untuk mencegah kemungkinan datangnya klaim kehutanan dan dilanjutkan oleh korporasi perusak lingkungan.

Pria Dayak Ngaju ini bercerita bahwa Kinipan juga sedang menghadapi ancaman. Serupa dengan wilayah adat lainnya, Kinipan juga telah disorot oleh pihak ketiga sekalipun belum ada “aktivitas” di sana. “Sementara itu Kinipan sudah dikapling-kapling oleh perusahaan,” ujarnya.

Acara yang berlangsung selama satu hari penuh diakhiri dengan penandatanganan berita acara Lokakarya dan Deklarasi Peta Wilayah Adat Komunitas Adat Kinipan. Berita acara ini ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari komunitas bersambitan dengan diketahui oleh kepala desa Kinipan.

Hari itu menjadi sebuah catatan bersejarah bagi masyarakat adat Kinipan. Mereka memantapkan langkah untuk menjaga tanah leluhurnya. Bersamaan dengan itu, mereka diharapkan bisa menjadi teladan bagi komunitas adat lain di sekitarnya.

“Ke depan komunitas lain pun bisa segera melakukan pemetaan wilayah adatnya dan disosialisasikan melalui acara seperti ini. Pemerintah Kabupaten sangat mendukung. Setidaknya dalam mulut,” kata Kesyadi.

Masyarakat adat Kinipan pun cukup bergembira sore itu. Hal yang sama juga dialami oleh Zakat sang asisten. Ia bahkan menambahkan, “Penting sekali menjaga hutan untuk anak cucu kita yang akan datang”.

Meskipun demikian, langkah sang asisten terasa gontai. Masyarakat adat Kinipan meminta segera diterbitkannya, paling tidak, Surat Keterangan (SK) Bupati tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Kabupaten Lamandau. Ia pun kembali dengan membawa setumpuk “Pekerjaan Rumah (PR)” yang wajib segera dia sampaikan ke bosnya: bupati.

[BPAN]

 

Pemuda Adat Mentawai Bergerak Mengurus Kampung

BPAN (4/5/2016) – Puluhan Pemuda adat dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah kepulauan Mentawai bergotong royong untuk memperbaiki jalan di Komunitas Rokot, Selasa kemaren.

Menurut Eltinus Tatubeket, koordinator kampung BPAN Mentawai, kegiatan ini terlaksana dalam rangka memperbaiki jalan berlobang yang menghambat aktifitas masyarakat adat di sekitar ketika hendak bepergian keluar Rokot maupun ke ladang sehari-hari.

Pemuda_adat_gotong_royong

Pemuda adat Mentawai gotong royong memperbaiki jalan berlobang. (Dok: AMAN Daerah Kepulauan Mentawai)

“Kita prihatin dengan terhambatnya kegiatan para ibu maupun bapak-bapak ke ladang,” terangnya.

Jalan Rokot adalah jalan yang menghubungkan pusat kabupaten dengan kecamatan serta desa-desa lainnya di Sipora. Pemerintah Kepulauan Mentawai telah membangun akses jalan, namun hasilnya belum memadai. Hal ini dinilai karena ketersediaan anggaran masih minim, sehingga pembangunan jalan di Pulau Sipora harus dilakukan secara bertahap.

Menurut Eltinus, kegiatan sejenis akan dilakukan oleh kader-kader pemuda adat dalam menyikapi masalah di tingkat komunitas. “Walau kecil, kita harus berbuat,” katanya.

Sementara itu Novaldi Saogo, Ketua BPAN Daerah Kepulauan Mentawai mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh kadernya di Rokot adalah kegiatan yang mestinya diikuti oleh kader lain di komunitas yang berbeda. “Pemuda adat mesti tanggap,” ujarnya.

Pemuda-Adat

Dalam memperbaiki jalan rusak, pemuda adat istirahat sejenak. (Dok: AMAN Daerah Kepulauan Mentawai)

Sedikit menyinggung soal program BPAN Daerah Kepulauan Mentawai, Novaldi menuturkan bahwa pihaknya sedang merencanakan program bidang adat dan budaya Mentawai.

“Kita tengah merencanakan program bidang penggalian nilai-nilai adat dan budaya Mentawai. Pemuda adat adalah pertahanan dini bagi adat dan budaya,” tutupnya.

Rapot P S

Bahasa Batak Toba/Batak Toba Language

Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat adat Batak Toba masih terus memakainya. Baik mereka yang merantau apalagi yang di kampung. Bahasa ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bahasa yang kuat di antara bahasa daerah lainnya yang berada di kesatuan bahasa nasional: Indonesia.

Kekuatan ini, paling sedikit, terlihat dari logat orang Batak setiap di mana pun mereka berada. Ciri khas tersebut merupakan suatu kebanggaan yang dengan sendirinya mengangkat panggung bahasa Batak Toba. Sebagai masyarakat adat, orang Batak sangat bangga dengan bahasanya.

Namun demikian tidak sedikit juga orang Batak yang memiliki rasa percaya diri rendah terhadap bahasa ini. Hal itu semakin kentara dewasa ini, khususnya pada generasi muda yang lebih suka gagah-gagahan dengan memakai bahasa Indonesia sebagai pandangan urban.

Video kali ini dengan bangga mempersembahkan bahasa Batak Toba. Masyarakat adat Batak Toba tidak ingin bahasanya terseret dalam ancaman kepunahan. Sebab bahasa Batak Toba itu merupakan identitas mereka.

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=Jq3eO9_jpSw[/embedyt]

Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #3

 

Potensi Ekonomi Kerajinan Tangan Berbasis Hasil Hutan

Mandiri secara ekonomi akan tercapai jika sumber daya alam yang ada di wilayah adat komunitas terhindar dari pengrusakan wilayah adat seperti hutan dan bisa dimanfaatkan menjadi sumber potensi ekonomi tanpa melukai alam yang lestari. Salah satu komunitas yang cukup memiliki sumber daya alam hutan adalah komunitas Payang di Kalimantan Tengah. Dengan luasan ± 40.000 ha, komunitas Payang sangat tergantung dengan sumber daya alamnya dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Salah satu komoditi yang sangat menunjang kehidupan masyarakat adat Payang adalah rotan. Komoditi ini paling banyak ditemukan di dalam hutan yang ada di Payang. Masyarakat adat Payang yang sehari-harinya sebagai petani banyak menghabiskan waktunya untuk mencari rotan di hutan.

Setelah rotan dicari dan dikumpulkan, rotan tersebut langsung di-kenoye (membuang kulit ari rotan), kemudian dijemur minimal tiga hari sampai menjadi kering, lalu ruas rotannya dibersihkan menggunakan parang. Setelah itu rotan tersebut dibelah dan langsung dianyam. Anyaman-anyaman yang bisa dihasilkan dari rotan ini berbagai macam seperti:

(A) Gawang (Anjat)

Gawang/Anjat merupakan anyam-anyaman yang terbuat dari rotan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang.

 

Jenis-jenis Gawang/Anjat

(a) Gawang Lemuten (anjat rapat)

Anjat jenis ini digunakan untuk menyimpat alat perabotan jika seseorang mau melakukan perjalanan jauh

(b) Gawang Rahau (Anjat Jarang)

Anjat jenis ini dipakai untuk menyimpan bekal/hasil pada saat melakukan perburuan atau memancing ikan. Anjat jenis ini pada zaman dulu dipakai untuk menyimpan barang-barang pada saat laki-laki meminang perempuan.

(c) Gawang Bura (Anjat Polos)

Anjat jenis ini mempunyai fungsi yang fleksibel, karena anjat ini bentuknya sama dengan anjat rapat hanya saja anjat jenis ini tidak diwarnai seperti anjat rapat.

 

Gawang (Anjat) ini mempunyai motif bermacam-macam seperti :

(1) Wakai Joyak/Akar Runtuh

(2) Daun Kayas

(3) Alan Ayan Soe/Jalan Semut

(4) Sempulang Anyang. Sempulang adalah anting, Anyang adalah nama manusia

(5) Kansip Leka (Alat untuk membelah pinang)

(6) Lematek Tuet (Lintah Duduk)

(7) Maten Punei (Mata Burung Punei)

(8) Kana adalah motif yang berbentuk seperti orang yang memegang pinggang

(9) Tyong Tempu adalah motif yang berbentuk burung terbang

 

(B) Apai (Tikar)

Tikar adalah alas yang bisa digunakan sebagai alas tidur, jemuran padi, taplak meja, alas ritual adat, alas duduk pada saat acara perkawinan menurut kepercayaan Kaharingan

(C) Keba

Keba adalah sebuah alat yang digunakan oleh masyarakat adat Payang untuk membawa kayu bakar, membawa hasil buruan, dan untuk membawa padi.

(D) Bisan (Lanjung)

Bisan/lanjung adalah alat yang digunakan untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan.

(E) Topi

Topi adalah alat untuk menutup kepala agar terhindar dari sengatnya matahari.

(F) Dompet

Dompet adalah alat yang digunakan untuk menyimpan uang.

(G) Tas

Tas adalah alat yang bisa digunakan untuk menyimpan alat tulis, dan lain-lain.

(H) Balawit (Tali Parang)

Bawit/tali parang adalah alat yang dugunakan untuk mengikat parang agar bisa digantung.

(I) Kepinggang (Ikat Pinggang)

Kempinggang/ikat pinggang adalah alat yang digunakan sebagai penahan celana.

(J) Kursi

Kursi adalah alat yang digunakan sebagai tempat duduk jika ada tamu.

(K) Siur (Tangguk)

Siur/tangguk adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional.

 

Uniknya semua anyam-anyaman di atas terbuat dari rotan dan itu bisa menjadi pengembangan ekonomi kreatif masyarakat adat yang ada di komunitas adat Payang.

Kesyadi Antang

 

Menelusuri Jejak Leluhur: Pusaka dari Payang #2

 

Sistem Pengelolaan Wilayah Adat

 

Membuka hutan untuk berladang

Menanam padi merupakan suatu rutinitas yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat yang ada di komunitas adat Payang Kecamatan Gunung Purei. Artinya, ketika menanam padi, masyarakat adat harus membuka hutan dengan menggunakan kearifan lokal yang mereka yakini sejak turun-temurun. Seperti misalnya membuka hutan dengan menggunakan metode tradisional.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan ketika membuka hutan untuk dijadikan ladang bagi masyarakat adat Payang yaitu:

(a) Ngerang La’ang (mencari tanah untuk tempat berladang)

Dalam proses mencari tanah sebagai tempat berladang ini masyarakat adat membersihkan tanah selama empat hari, setelah proses pembersihan selesai baru masyarakat mengenali tanda dari bunyi burung Mentit. Kalau bunyi burung Mentitnya hanya sekali, maka tanah tersebut tidak baik untuk dijadikan ladang, tapi kalau bunyinya lebih dari tiga kali maka tanah tersebut bagus untuk tempat berladang. Setelah proses Ngerang La’ang selesai maka masyarakat adat setempat melakukan ritual “makan baya” yaitu ritual adat untuk meminta keselamatan dari leluhur.

(b) Nokap (menebas ladang)

Menebas ladang atau membersihkan ladang ini dilakukan oleh masyarakat setempat secara gotong royong.

(c) Noweng (menebang pohon-pohon besar)

Dalam proses ini, masyarakat menebang pohon yang besar supaya lebih bersih setelah menebas.

(d) Oing Joa (mengeringkan lahan yang sudah ditebas dan ditebang)

Oing Joa ini adalah proses di mana hutan yang sudah ditebas dan ditebang, harus didiamkan lagi supaya kering. Proses ini memakan waktu 30-40 hari.

(e) Nyuru (membakar ladang)

Dalam proses membakar ladang ini ada beberapa ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat Payang, yaitu masyarakat mengambil cabai kemudian dijemurkan di atas tanah, bersamaan dengan itu masyarakat mengukir gambar burung elang di atas tampi kemudian digantung dengan menggunakan pohon bambu. Tujuannya untuk mengukur seberapa panasnya matahari dan seberapa kencangnya hembusan angin supaya proses pembakaran ladang tersebut bisa benar-benar terbakar sesuai dengan harapan masyarakat. Setelah ritual ini dilakukan, maka masyarakat sudah bisa membakar ladang mereka.

(f) Menuk (membersihkan bekas pembakaran ladang)

Setelah ladang dibakar, maka ladang tersebut dibersihkan dari sisa-sisa kayu yang tidak terbakar ataupun yang sudah terbakar namun berserakan, supaya masyarakat bisa menanam padi dengan mudah.

(g) Ngasek (manugal/menanam padi)

Menanam padi merupakan proses di mana tanah yang dilobangi menggunakan kayu (tugal), kemudian padi ditabur di dalam lobang tersebut. Proses ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong. Memang sudah menjadi tradisi masyarakat bahwa pekerjaan seberat apa pun kalau dilakukan secara bersama-sama, maka akan terasa ringan.

(h) Ngerikut (merumput)

Setelah porses menanam padi selesai, maka ladang akan dibiarkan selama satu bulan, kemudian ladang tersebut dibersihkan dari rumput-rumput yang mengelilingi tanaman padi. Biasanya merumput ini dilakukan selama tiga bulan sambil menunggu padinya masak.

(i) Ngoteu (panen padi)

Setelah padi masak, maka masyarakat siap untuk memanen padi tersebut. Namun sebelum panen, masyarakat biasanya melakukan ritual adat yang dinamakan Sensotik. Sensotik adalah sebuah ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat melewati tetua adat di mana dalam prosesnya ini masyarakat berkumpul untuk mengucap syukur dengan hasil panen yang akan dihadapi. Setelah ritual ini selesai, setelahnya masyarakat bisa memanen padi.

 

Mengambil Hasil Hutan

Rotan merupakan komoditi unggulan yang dimiliki oleh komunitas Payang setelah karet, dari rotan masyarakat adat khususnya ibu-ibu bisa membuat anyam-anyaman tradisional kemudian dijual demi membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga.

Dalam mengelola wilayah adatnya, komunitas yang ada di Kecamatan Gunung Purei Kabupaten Barito Utara masih menggunakan kearifan lokal mereka ketika membuka hutan untuk dijadikan sebagai ladang. Walaupun dengan cara membakar, namun mereka punya teknik tersendiri agar proses pembakaran ladang tidak merembet ke tempat lain.

“Kami dari dulu memang sudah membakar ketika membuka hutan, dan kami punya cara untuk membakar ladang kami. Misalnya kami membuat sekat bakar seperti membersihkan sekeliling ladang, dan kami melakukannya dengan gotong royong. Jadi kalau apinya sudah mulai masuk ke tempat lain, kami bersama-sama untuk memadamkannya,” kata Talius.

Kesyadi Antang

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish