Liberalisasi pendidikan Indonesia mengaburkan tugas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Liberalisasi menyebabkan komersialisasi pendidikan yang masif dengan lahir swastanisasi dunia pendidikan. Jika pendidikan (pengetahuan) menjadi barang dagangan, lalu dimanakah tugas negara itu ?
Slogan pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah akan menjadi mimpi buruk bagi warga negara, karena ternyata biaya pendidikan kita sangat mahal. Seorang petani tidak bisa membiaya anaknya, karena petani mengalami rawan pangan. Begitu juga seorang nelayan. Laut yang menjadi lapangan pekerjaan, berubah menjadi tempat yang menakutkan karena iklim tidak menentu. Sebaliknya para buruh. Mereka di PHK dengan alasanya perusahaan pailed di tengah pandemi Covid dan tidak bisa memberikan penghasilan kepada semua karyawan.
Selain itu kurikulum pendidikan kita yang tidak memberikan ruang sebesar-besarnya kepada lembaga pendidikan di daerah untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Yang terjadi adalah daerah dipaksakan mengikuti kurikulum yang dibuat oleh pusat. Hal ini yang menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan menjadi pusat penciptaan pengangguran baru di indonesia.
Apakah sekolah adat menjadi solusi ?
Sekolah adat merupakan sekolah yang dikembangkan oleh masyarakat adat. Sistem pendidikannya disesuaikan dengan konteks lokal di setiap wilayah adat. Di sekolah adat, kita belajar tentang sejarah asal usul, tentang wilayah adat, tentang struktur dan sistim nilai serta sumberdaya alam yang ada di wilayah adat. Di sekolah adat kita tidak mengenal biaya pendidikan, karena yang menjadi guru adalah para pemangku adat. Mereka punya tugas mewariskan pengetahuan lokal ke generasi berikutnya. Di sana kita belajar tentang bagaimana menjaga, mengelolah, dan mempertahankan wilayah adat, sehingga bisa di wariskan ke generasi berikutnya. Di sana kita diajarkan bagaimana bercocok tanam, menjadi nelayan, menjadi pengerajin tradisional dll. Selain itu, kita juga diajarkan untuk menjaga hutan, mata air, laut, sehingga kehidupan kita selaras alam.
Jika sekolah formal mengajarkan ilmu pergi, maka sekolah adat mengajarkan ilmu untuk kembali.
Bogor (29/4/2021) – Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo, mengutuk tindakan sewenang-wenang PT Arara Abadi yang mengkiriminalisasi Masyarakat Adat Sakai dan menghancurkan tanaman-tanaman muda mereka yang sudah panen dan sedang ditanam sebagai sumber kebutuhan pangan terutama selama pandemi Covid-19.
Masyarakat Adat Sakai yang sedang berjuang hidup di atas tanah leluhurnya dan membuktikan diri bisa bertahan dimasa sulit pandemi Covid-19, justru dikriminalisasi di atas wilayah adatnya sendiri.
Menurut kami, tindakan sepihak ini tidak manusiawi dan jauh dari perikeadilan. Kami mengutuk tindakan brutal PT Arara Abadi. Masyarakat Adat Sakai sudah hidup ratusan tahun secara turun-temurun di atas wilayah adat mereka, maka PT. Arari Abadi tidak memiliki hak untuk mengelola dan menanam tanaman ecalyptus tanpa izin masyarakat.
Oleh karena itu, Ketua Umum BPAN menyerukan:
Hentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Sakai.
Tarik karyawan, Security dan Brimob yang melakukan kekerasan, diskriminasi terhadap Masyarakat Adat Sakai.
Berikan ganti rugi atas pengrusakan tanaman Masyarakat Adat Sakai dan segera pergi dari wilayah adat Sakai.
Presiden Joko Widodo hentikan perizinan yang merampas di atas wilayah-wilayah adat.
Presiden Joko Widodo dan DPR RI segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Masyarakat Adat bukan tumbal dari pembangunan untuk memulihkan krisis ekonomi. Masyarakat adat berdaulat di atas tanah adat sendiri, dan mampu menunjukan kedaulatan pangan tanpa bergantung kepada perusahaan dan oligarki.
“Demikian banyak hal yang saya tangkap dan pelajari serta tertanam dalam diri, bahwasannya sangat penting dan menjadi suatu keharusan dalam mempertahankan wilayah adat dan kewajiban kita pemuda untuk melestarikan dan membangkitkan kembali tradisi yang kita punya”, ucap Adhe Masynta usai menonton film Kinipan bersama generasi muda adat Bengkulu.
Ia salah satu dari sejumlah pemudi adat yang ikut hadir dalam acara nonton bareng (nobar) film Kinipan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Bengkulu berkolaborasi dengan Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Bengkulu dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.
Sekolah Adat Tebo Leceak Rejang Lebong, di Komunitas Lubuk Kembang, hari itu begitu ramai. Dengan menerapkan protokol Kesehatan covid-19, sejumlah pemuda-pemudi adat Bengkulu berkumpul di sana. Kamis, (1/4/2021) menjadi momen penting mereka belajar bersama dari film Kinipan produksi WatchDoc.
Adhe Masynta sangat tergugah dengan film Kinipan. Baginya, film tersebut memberikan banyak pengetahuan baru tentang perjuangan mempertahankan wilayah adat. Film Kinipan membuka matanya.
Selain menjadi ruang bertemu dan konsolidasi antar-generasi muda adat Bengkulu, acara nobar film Kinipan menjadi ruang untuk membuka pengetahuan dan kesadaran pemuda-pemudi adat dalam menjaga wilayah adatnya.
“Supaya pemuda-pemudi adat yang ada di perkampungan mengetahui bahwa kerusakan hutan itu berdampak besar bagi kehidupan, dan supaya pemuda-pemudi adat, siap tidak siap, harus berani melawan, atas kerusakan- kerusakan hutan apalagi wilayah adat sendiri. Menjaga, merawat, melestarikan lingkungan di wilayah adat mereka,” ucap Edwin Ravinki, Ketua BPAN Wilayah Bengkulu.
Dijelaskan Edwin, Kinipan merupakan film yang berkaitan dengan isu lingkungan, pandemi covid, dan Masyarakat Adat.
“Kinipan merupakan film dokumenter dari WatchDoc yang berkaitan dengan isu lingkungan, pandemi covid, Masyarakat Adat, dan lumbung pangan. Kinipan merupakan salah satu desa yang ada di Kalimantan Selatan terkenal dengan Masyarakat Adat yang masih bertahan untuk memperjuangkan hak wilayah adatnya. Film ini tidak cuma menceritakan Kinipan dan Kalimantan, tapi juga ada wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera, di mana pandemi covid-19 telah mempengaruhi kesehatan dan ekonomi secara luas. Film Kinipan juga menjelaskan bahwa virus sejak dulu sudah ada, mewabah di Indonesia. Virus yang ditularkan dari hewan,” jelas Edwin.
Di masa pandemi ini, Masyarakat Adat adalah tembok terakhir penjaga sistem ekonomi dan ketersediaan pangannya. Hal ini menjadi refleksinya atas kondisi Masyarakat Adat terkini dan apa yang diceritakan dalam film Kinipan.
“Dampak dari covid-19 juga terimbas ke lapangan kerja semakin sempit. PHK semakin banyak akibat pandemi covid yang tak kunjung usai. Lumbung pangan atau food estate yang merupakan program pemerintah untuk mengatasi pangan akibat covid-19 sampai sekarang belum juga ada hasil yang memuaskan. Bercermin dari semua itu, Masyarakat Adat bisa jadi tembok terakhir dalam menjaga sistem ekonomi atau ketersediaan pangan akibat pandemi. Hal ini karena Masyarakat Adat sudah mempunyai semua yang dibutuhkan di dalam wilayah adat, baik sumber daya alam ataupun manusianya,” ungkap Edwin.
Setelah menonton film Kinipan, Edwin dan generasi muda adat Bengkulu semakin sadar untuk menjaga wilayah adatnya. Aksi penting lain yang harus dilakukan, menurut Edwin, yakni mendorong RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan.
“Yang harus dilakukan pemuda adat adalah menjaga wilayah adat dan mendorong segera dilakukannya pengesahan RUU Masyarakat Adat,” tegasnya.
Menjaga dan melestarikan hutan, menurut Edwin, menjadi salah satu isu penting dari beberapa isu yang diangkat dalam film Kinipan.
“Dari beberapa isu yang diangkat dalam film Kinipan, kita adalah pemuda adat. Pemuda adat memiliki peran penting dalam menjaga melestarikan hutan. Apalagi hutan di wilayah Masyarakat Adat,” tutup Edwin.
Mbah Wari adalah Pemangku Adat Wadon asal Komunitas Adat Osing Cungking yang mengurusi makanan untuk ritual dan segala perlengkapanya. Rabu, 31 Maret 2021 ia dikunjungi oleh pemuda-pemudi adat, perempuan adat, dan Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi. Mereka membawakannya kangkung segar yang baru dipanen. Kangkung tersebut merupakan tanaman hasil panen perdana program kedaulatan pangan yang mereka kelola.
Program kedaulatan pangan ini sudah dilakukan sejak bulan November 2020. Dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Komunitas Adat Osing Kenjo, Cungking, Andong, Mondoluko, dan Pesinauan Sekolah Adat Osing. Anggota BPAN dari Komunitas Adat Osing Kemiren, Andong, Mondoluko, Bakungan, Cungking, Kenjo bersama dengan pengurus Sekolah Adat ‘Pesinauan’ Osing menjadi pelaksana kegiatan.
Program kedaulatan pangan yang mereka lakukan mencakup penanaman pangan lokal, peternakan, dan perikanan. Tujuan utamanya untuk memperkuat lumbung pangan masyarakat adat.
“Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperkuat lumbung pangan Masyarakat Adat, serta untuk memastikan ketersediaan pangan dan air bersih yang cukup di wilayah adat. Melalui penanaman tanaman pangan lokal, peternakan, dan perikanan,” ujar Venedio Nala Ardisa. Ia adalah pemuda adat Osing. Dalam struktur kepengurusan BPAN Daerah Osing, ia menjabat sebagai Sekretaris.
“Jadi panen pertama kita bagikan kepada ketua adat dan kepala desa sekitar sekolah adat,” tutur Venedio.
Di grup aplikasi Whatsapp (WA) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Venedio membagikan beberapa kegiatan kedaulatan pangan mereka. Dari foto yang diunggahnya, ia dan orang-orang di foto tersebut nampak bahagia. Mereka berpose sambil memegang kangkung dengan senyum penuh rasa gembira. Hari dimana ia membagikan foto tersebut, rupanya menjadi hari penuh sukacita bagi Komunitas Adat Osing. Hari itu, mereka panen perdana sayur kangkung.
Kankung yang dipanen, mereka bagikan kepada para Tetua Adat di Osing dan beberapa Kepala Desa di sekitarnya. Pembagian kangkung ini pun mereka abadikan dalam foto yang dibagikan oleh Venedio di grup WA BPAN.
Venedio kemudia menjelaskan orang-orang yang ada di dalam foto yang mendapat kehormatan menerima hasil panen perdana mereka.
“Untuk yang difoto itu ada Ketua Adat Komunitas Adat Osing Kemiren, Bapak Suhaimi. DAMANDA PD AMAN Osing dari Komunitas Adat Osing Olehsari, Bapak Sunardi. Kepala Desa Kemiren, Bapak Mohamad Arifin. Istri Kepala Desa Olehsari, Pemangku Adat Wadon Komunitas Adat Osing Cungking, Mbah Wari, dan Mak Sus salah satu Perempuan Adat Komunitas Adat Osing Kemiren yang mengajarkan kami terkait kegiatan bercocok tanam di kegiatan ini,” paparnya.
Ditambahkan Venedio, kankung yang mereka tanam juga dipanen untuk dimakan bersama, setelah kegiatan rutin Komunitas Adat Osing Cungking.
“Jadi di Komunitas Adat Osing Cungking kita rutin nyapu setiap kamis di pesarean Buyut Cungking, leluhur yang dituakan di Cungking. Jadi hasil panenya bisa dimasak dan dimakan di hari kamis setelah nyapu,” ucapnya.
Kegiatan menyapu pesarean Buyut Cungking setiap kamis
Kedaulatan pangan menjadi salah satu aspek penting dari masyarakat adat. Salah satunya bercocok tanam. Ini yang kemudian disadari oleh pemuda-pemudi adat Osing untuk dipelajari dan dilakukan sendiri oleh mereka.
“Kegiatan ini kami laksanakan karena pemuda dan pemudi perlu belajar bercocok tanam agar ketika orang tua kita sudah tiada kita sudah mahir untuk membudidayakan tanaman serta mengajarkan pola tanam tradisional,” ungkap Venedio.
29 Maret menjadi tanggal yang penting bagi Tonaas Rinto Taroreh. Tanggal tersebut menjadi penanda waktu baginya ketika memulai kerja pengabdian tanpa pamrih bagi eksistensi kebudayaan Minahasa.
Sebelas tahun silam, di tanggal tersebut, ia pertama kali melakukan penyelamatan situs yang rusak akibat vandalisme. Bersama beberapa orang yang masih keluarga dekat, sahabat, dan rekan komunitas, ia memulai kerja untuk memperbaiki waruga yang rusak akibat penjarahan. Di Wanua Ure Lotta, semua itu dimulai.
“Kalau merawat situs peninggalan leluhur sudah lebih dari 20 tahun. Kalau penyelamatan situs, memperbaiki situs, itu sudah 11 tahun. Tepat hari ini 11 tahun. 29 Maret 2021,” tutur Tonaas Rinto.
Tonaas Rinto Taroreh (memakai kaos hitam) dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa saat mulai memperbaiki situs Waruga Opa Lawit Potot di Wanua Ure Lotta.
Masawang-sawangan, Ru’kup, dan Panggilan Hati
Nama lengkapnya, Christian Rinto Taroreh. Ia biasa disapa Tonaas Rinto. Kini, aktivitasnya sehari-hari ia abdikan untuk kerja-kerja kebudayaan Minahasa. Misal, memperbaiki situs, mengobati orang lewat pengobatan tradisional Minahasa, melatih Kawasaran, dan lain sebagainya terkait dengan peran sebagai Tonaas.
Tonaas Rinto Taroreh
Hampir semua hari, di sebelas tahun terakhir ini, ia habiskan untuk menjaga, merawat, dan memperbaiki situs peninggalan leluhur yang merupakan aset kultural Minahasa. Semua kerja itu dilakukannya sebagai penghormatan kepada leluhur. Menurutnya, leluhur adalah orang tua dan ia adalah anak. Sebagai anak adalah tanggung jawabnya untuk menjaga milik dan peninggalan orang tua. Salah satunya situs budaya. Kesadaran inilah yang memotivasinya dan memulai menyelamatkan situs. Waruga, makam leluhur Minahasa, di Lota menjadi situs pertama yang diselamatkannya bersama komunitas.
“Sebenarnya yang memotivasi saya karena situs ini adalah milik leluhur kita. Kalau ini leluhur kita, berarti dia adalah orang tua kita. Kalau mereka adalah orang tua kita, berarti tanggungjawabnya ada pada kita. Jadi, tidak perlu menunggu siapa-siapa. Kalau sudah melihat hal yang seperti ini, langsung bertindak. Ini soal kepekaan. Tapi kepekaan tidak cukup. Harus ada wujud nyata. Tindakan langsung. Jadi, yang memotivasi saya, yang paling pokok, karena ini orang tua kita. Kalau ini orang tua kita, kepada siapa lagi tanggung jawab ini harus diberikan? Tentu kepada kita. Dimulai dari kita,” jelas Rinto.
Tonaas Rinto, Tonaas Jack Reppi, dan beberapa Tonaas lain serta komunitas adat saat menyelamatkan Watu Tumotowa Opo Sarayar yang dirusak di Minahasa Selatan dan dibuang di Poigar Tahun 2012.
Tonaas Rinto menjelaskan bahwa motivasinya menyelamatkan situs adalah wujud bakti seorang anak kepada orang tua. Selain itu, upayanya ini merupakan sebuah tanggung jawab untuk generasi selanjutnya.
“Karena menurut saya yang paling utama adalah keterhubungan kita dengan situs leluhur. Ini soal tanggung jawab kepada leluhur kita, kepada orang tua kita. Dan tanggung jawab untuk anak cucu kita”
Selama ini, ia bekerja memperbaiki situs, melakukan aksi penyelamatan situs budaya karena panggilan hati. Ia dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa melakukan kerja tersebut berdasar atas nilai-nilai ke-Minahasaan.
Tonaas Rinto Taroreh dkk saat melakukan aksi kampanye penyelamatan Waruga di ruang publik
“Menurut saya, ini terkait dengan salah satu dari nilai Keminahasaan. Ada beberapa nilai Keminahasaan. Pertama, Masawang-sawangan. Jadi ini kerja bersama. Kami bersama-sama, kerja di tempat leluhur. Dengan kami bekerja di tempat leluhur, ini wujud nyata dari kami untuk menghormati mereka. Dan kedua, ini menjadi pembelajaran untuk generasi berikutnya. Menjadi landasan untuk mereka nanti. Bagaimana ber-Minahasa. Dengan salah satu sisi, mesti ada kerja-kerja nyata, turun langsung ke lapangan. Melakukan aksi penyelamatan situs”
Menurut Tonaas Rinto, upaya penyelamatan situs dilakukan karena situs tersebut bukan hanya sekedar benda, tetapi ia memiliki nilai-nilai kearifan Minahasa.
“Penyelamatan situs ini, karena situs ini bukan sekedar benda, tetapi di situ terkadung nilai-nilai kearifan Minahasa. Kerja yang kami lakukan Masawang-sawangan itu, bagian dari nilai-nilai ke-Minahasaan yang para leluhur wariskan,” ungkapnya.
Saat Kerja bersama memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot
Masawang-sawangan dalam bahasa Minahasa berarti ‘saling bantu-membantu atau saling menopang’. Ini hanya bisa terjadi kalau dilakukan secara bersama-sama. Satu orang dengan yang lain. Panggilan hati dan tanggung jawab kepada leluhur serta nilai Masawang-sawangan menjadi dasar upaya penyelamatan situs yang mereka lakukan. Dasar ini kemudian menjadi bukti bahwa mereka mampu melakukan ini tanpa bantuan dana pemerintah. Ini juga yang menjadi salah satu cara mereka menujukan kepada banyak orang bahwa upaya mereka murni karena panggilan hati sebagai seorang anak Minahasa. Upaya mereka memperbaiki situs selama ini, dilakukan dalam spirit Masawang-sawangan, tanpa mengharap bantuan atau dapat bantuan dana dari pemerintah. Kearifan Minahasa, Ru’kup, menjadi dasar untuk memenuhi segala keperluan yang dibutukan untuk merawat dan memperbaiki situs yang rusak.
“Uang didapatkan dari Ru’kup. Dikumpulkan dari teman-teman semua. Bahan material, ada yang dibeli. Ada juga yang diambil dari rumah saya. Jadi kami semua patungan. Selain ada yang memberi uang, ada yang memberikan tenaganya. Selain tenaga, ada juga yang memberi bahan, contoh semen. Kemudian ada yang memberi makanan, pisang goreng, nasi, makanan yang kami makan di lokasi”, terangnya.
Makan bersama hasil Ru’kup saat sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot
Ru’kup adalah salah satu kearifan Minahasa. Ia banyak digunakan orang Minahasa saat melakukan sesuatu, kegiatan, atau acara. Masing-masing orang memberikan apa yang ia punyai secara tulus dan ikhlas.
Berjuang Bersama Masyarakat Adat Nusantara
Selain melakukan banyak kerja dan karya dalam bidang kebudayaan Minahasa, Tonaas Rinto juga aktif dalam gerakan masyarakat adat nusantara bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tahun 2017, ia menjadi salah satu kader AMAN dari Sulawesi Utara mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara.
Tonaas Rinto bersama AMAN Wilayah Sulut berfoto bersama Sekjend AMAN Terpilih, Rukka Sombolinggi
Ia juga aktif terlibat bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Utara. BPAN merupakan organisasi sayap AMAN yang menjadi wadah pemuda-pemudi adat se-Nusantara untuk berjuang bersama. Di Sulawesi Utara, BPAN memiliki kepengurusan. Dalam kepengurusan tersebut, Tonaas Rinto dimandatkan oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN Wilayah Sulut untuk menjadi penasehat. Posisi ini diberikan kepada Tonaas Rinto karena ketokohan, wawasan tentang adat tradisi Minahasa, dan pemberian dirinya bagi eksistensi kebudayaan Minahasa yang luar biasa. Allan Sumeleh, S.Teol selaku Ketua BPAN Wilayah Sulut, menyampaikan bahwa Tonaas Rinto menjadi teladan bagi pemuda-pemudi adat Minahasa. Karya dan kerja-kerjanya yang tulus bagi Tanah Toar Lumimuut menjadi inspirasi bagi mereka.
Tonaas Rinto Taroreh bersama Kawasaran BPAN Sulut saat mengikuti Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara di Muara Samu, Kalimatan Timur.
“Tonaas Rinto mengajarkan keteladanan. Tidak hanya cara hidupnya yang mengabdikan dirinya secara tulus bagi eksistensi kebudayaan Minahasa, tapi ia juga membagikan pengetahuan tersebut kepada generasi muda Minahasa. Ia tanpa pamrih, aktif terlibat bersama pemuda-pemudi adat. Ia juga hadir menjadi Kelung um Banua bagi Minahasa di konteks kekinian,” ungkap Allan.
Bagi Alan, Tonaas Rinto begitu bijaksana dalam hal apapun. Perannya bagi pemuda adat sangat berpengaruh. Tonaas sering berbagi tentang apa yang baik dan yang harus diikuti oleh mereka.
“Tonaas Rinto juga sebagai penasehat BPAN Sulut juga sangat berkontribusi dalam berbagai hal. Antara lain, sering memberikan latihan tarian Kawasaran dan memberikan atribut Kawasaran untuk kami pakai,” tambahnya.
Tonaas Rinto sendiri sudah bergabung dalam perjuangan masyarakat adat ketika terlibat dalam Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Komunitas Adat dan Tradisi Tahun 2012 di Surabaya. Ia waktu itu hadir lewat undangan dari AMAN. Sejak saat itu ia semakin intens bergerak dalam perjuangan bersama AMAN dan masyarakat adat nusantara. Terutama, dalam perjuangan bersama masyarakat adat di Minahasa melakukan advokasi, menggiatkan tradisi leluhur, aksi menyelamatkan situs, serta pelestarian seni tradisi dan warisan pengetahuan Minahasa.
Pencapaian yang Tak Pernah Diduga
Kiprah Tonaas Rinto yang tulus dan penuh dedikasi bagi Minahasa, juga terlihat dari kiprahnya melestarikan Kawasaran sebagai ritual dan Kawasaran sebagai seni pertunjukan.
Tonaas Rinto Taroreh melakukan Kawasaran sebagai ritual di Wanua Ure Lotta
Sudah satu dekade lebih, ia menggelorakan kembali Kawasaran di seluruh pelosok Minahasa. Sekarang ini, di Minahasa terjadi sebuah kebangkitan kultural. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak kelompok Kawasaran. Mulai dari kelompok Kawasaran di kampung-kampung, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, komunitas, serta sanggar-sanggar. Banyak di antaranya, dilatih dan digerakkan oleh Tonaas Rinto. Upayanya ini dilakukan sebagai panggilan hati untuk menjaga warisan pengetahuan leluhur. Tanpa ia duga, kerja dan karyanya ini, membuatnya mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) Tahun 2020 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Pelestari Kawasaran.
Di hari ia menerima penghargaan ini, ucapan selamat datang dari banyak pihak. Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, turut memberikan ucapan selamat. Begitu juga BPAN, lewat Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo ikut mengucapkan selamat. Penghargaan kepada Tonaas Rinto menjadi salah satu bukti eksistensi masyarakat adat yang konsisten menjaga warisan leluhurnya.
Ucapan Selamat dari Sekjend AMAN dan Ketua Umum BPAN kepada Tonaas Rinto
Waruga Opo Lawit Potot: Jejak Awal Aksi Penyelamatan Situs
Di daerah lain di Nusantara, masyarakat adat berhadapan dengan banyak tantangan. Mulai dari perampasan tanah sampai kriminalisasi masyarakat adat. Sementara di Minahasa, vandalisme atau pembongkaran dan pengrusakan aset kultural, seperti situs, menjadi masalah utama.
Vandalisme terhadap situs budaya telah lama terjadi di Minahasa. Bahkan sampai sekarang masih terjadi. Kasus terakhir, di daerah Minahasa Selatan. Memang, pengrusakan terhadap aset kultural Minahasa menjadi salah satu masalah besar yang dihadapai masyarakat adat Minahasa.
Vandalisme terhadap aset kulutral di Minahasa, membuat orang-orang seperti Tonaas Rinto Taroreh dan pegiat budaya lain langsung bergerak, memenuhi panggilan hati. Kasus pengrusakan dan penjarahan situs, langsung direspon dengan bukti nyata. Turun langsung dan bekerja secara tulus tanpa pamrih.
“Sudah banyak situs budaya yang diperbaiki. Ada Waruga, ada Lisung, ada Batu Tumani, Batu Tumotowa, Batu Sumanti. Kalu Waruga sudah ratusan, Watu Tumani, puluhan. Sama dengan Lisung-lisung Tua. Ratusan Waruga, Lisung dan beberapa situs lainnya diperbaiki secara swadaya dengan komunitas,” pungkasnya.
Tonaas Rinto mencatat ada beberapa kali terjadi pengrusakan dan pembongkaran terhadap situs terakhir yang baru saja ia dan reka-rekannya selesai perbaiki. Aset kultural Minahasa tersebut berupa Waruga yang sudah beberapa kali dirusak, sejak tahun 1980.
Situs Waruga Opo Lawit Potot yang hancur akibat vandalisme
“Yang menyebabkan situs itu rusak, kalau faktor alam kecil sekali. Hal utama yang membuatnya rusak karena adanya penjarahan, perampokan isi waruga. Itu terjadi dua kali. Jadi pertama kali dibongkar itu, tahun 1980. Baru kemudian, tahun 1987. Ada orang yang bilang pertama 1990, tapi dia ubah lagi jadi 1987,” paparnya.
Situs terakhir yang diselamatkan dan perbaiki oleh Tonaas Rinto terletak di Wanua Ure (Kampung Tua) Lotta. Situs tersebut berupa Waruga dari leluhur Minahasa, Opo Lawit Potot.
“Situs terakhir ini, baru selesai beberapa hari yang lalu, hari sabtu. Situs dari Opo Lawit Potot. OPo Lawit Potot ini, dia seorang Tonaas Perang, Teterusan, Mamuis dari Wanua Ure Lotta”
Proses penyelamatan situs Waruga Opo Lawit
Waruga Opo Lawit Potot menjadi situs yang pertama kali ia selamatkan, sekaligus menjadi situs terakhir yang diperbaiki baru-baru ini. Pekerjaan perbaikan situs ini, menjadi penanda waktu bagi Tonaas Rinto mulai terjun dalam aksi penyelamatan situs yakni sebelas tahun, sejak 29 Maret 2010.
“Merawat dan memperbaiki situs, seperti waruga yang dirusak adalah wujud bakti kepada leluhur sebagai orang tua kita,” tutup Tonaas Rinto.
Epilog
Hari Senin, 29 Maret 2021, Tonaas Rinto Taroreh mengupload sekitar 36 foto di sebuah album di akun Facebook miliknya. Album foto tersebut ia beri nama Wanua Ure Lotta’ (Kalih Tua). Album itu berisi foto-fotonya bersama para pegiat budaya Minahasa yang sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot. Ia kemudian menambahkan keterangan pada album tersebut dengan tulisan yang agak panjang. Ia menulis itu sebagai sebuah ingatan. Berikut tulisannya:
“Penyelamatan situs sejarah dan benda cagar budaya adalah tanggung jawab kita bersama.
Penyelamatan dan pemugaran situs secara mandiri adalah salah satu bukti bahwa nilai-nilai ke-Minahasaan (Masawa-sawangan, Matombo-tombolan, dsb) masih kuat dan terus tumbuh.
Ini adalah panggilan hati, kepekaan yang mewujud menjadi kerja nyata.
Hari ini genap 11 tahun kami memulai kegiatan penyelamatan situs-situs sejarah budaya dihampir seluruh tanah minahasa, secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Hancurnya situs budaya khususnya Waruga itu akibat penjarahan disekitar tahun 1970-1990an.
Kali ini kami melakukan penyelamatan situs bersejarah di Wanua Ure Lotta’, di Waruga dari Opo Lawit.
Teman-teman yang terlibat dari lintas komunitas adat dan pribadi. Ada dari Wanua Kembes, Bitung, Tomohon, Manado dan beberapa wanua seputaran situs.
Pekerjaan ini kami lakukan hampir 2 minggu dan selesai beberapa hari yg lalu.
Terima kasih banyak buat semua yang terlibat dalam kegiatan ini; Tua Isan, Om Mik, Papa, Firsa, Fano, Ayen, Ando, Jeki, Rio, Eber, Figo, Steven, Paschal, Hip, Charles, Ichan, Maikel, Andre, Doni, Onal.
Mari teman-teman semua, bersama kita selamatkan situs-situs sejarah dan budaya warisan peradaban Para Leluhur Minahasa.
Semoga semesta dan Para Leluhur menyertai kita semua.
Di dalam ruangan, ada sebuah baleho. Digantung di dinding berlatar putih.
Logo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) diletakan di bagian atas baleho. ‘Pendidikan Kader Pemula dan Konsolidasi Pemuda Adat’ tercetak besar di baleho tersebut. Tulisan ini hendak menggambarkan kegiatan yang sedang dilakukan. ‘Bangkit Bersatu Menuju Gerakan Masyarakat Adat yang Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat’ juga tertulis di baleho.
Di depan baleho, ada sejumlah generasi muda adat Mamasa. Mereka berkumpul, bermusyawarah, dan belajar bersama mengenai gerakan masyarakat adat. Mereka mengikat komitmen untuk tanah adat dan masa depan masyarakat adat. Upaya konkrit mereka mewujud dengan dibentuk dan dideklarasikannya Pengurus Daerah (PD) BPAN Mamasa.
“Kurangnya kesadaran generasi muda di Mamasa tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak istimewa yang diwariskan leluhurnya,” ungkap Evan. Ini kemudian menjadi salah satu alasan Evan dan generasi muda adat Mamasa membentuk BPAN Daerah Mamasa.
Evan percaya bahwa BPAN adalah wadah yang tepat dan selama ini konsisten memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
“BPAN adalah wadah yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat”, ucap Evan.
Evan Dwi Kurnianto begitu bersemangat hari itu. 13 Maret 2021 menjadi momen spesial baginya dan generasi muda adat Mamasa. Mereka berkumpul di Wisma Gandang Dewata, Kelurahan Mamasa Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa. Di waktu itu, mereka bermusyawarah dan mendeklarasikan BPAN Daerah Mamasa sebagai wadah perjuangan pemuda-pemudi adat.
Selain memutuskan untuk mendeklarasikan PD BPAN Mamasa, hasil musyawarah juga menetapkan kepengurusannya. Evan Dwi Kurnianto diberi mandat sebagai Ketua, Yudith Sriwahyuni sebagai Sekretaris dan Marson Ramba Kila sebagai Bendahara.
Sebagai pemuda adat, menurut Evan, BPAN menjadi wadah yang harus diiikuti oleh pemuda-pemudi adat di seluruh nusantara. Hal ini disampaikan Evan sebagai pengakuan dari apa yang dilihatnya mengenai BPAN selama ini.
Bagi Evan, BPAN harus dibentuk di seluruh daerah di nusantara sebagai perpanjangan tangan perjuangan masyarakat adat. BPAN di daerah-daerah menjadi motor untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
“BPAN harus membentuk pengurus daerah agar dapat menjadi perpanjangan tangan dalam mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat,” tuturnya.
Evan dan 21 orang generasi muda adat Mamasa yang mendeklarasikan PD BPAN Mamasa dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.
Muhammad Aipa Padang adalah pemuda adat asal Komunitas Marga Padang Petal. Setelah 30 menit jalan kaki, akhirnya ia sampai di lokasi kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) generasi muda adat Tanoh Pakpak.
12 Maret 2021 menjadi hari penting baginya dan generasi muda adat Tanoh Pakpak. Di hari itu mereka bermusyawarah untuk menentukan kepengurusan yang baru Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Tanoh Pakpak.
Kebun Cabe milik Komunitas Adat Sampen Bunga menjadi lokasi kegiatan Perda. Cabe hijau berukuran besar, menghiasi lokasi kegiatan. Perda ini diselenggarakan pada 10-12 Maret 2021.
Salah satu inti kegiatan Perda yakni memberikan pengetahuan tentang gerakan masyarakat adat. Selain materi tentang gerakan masyarakat adat nusantara, para generasi muda adat juga belajar mendalam tentang masyarakat adat Tanoh Pakpak.
“Kami juga belajar tentang masyarakat adat Tanohh Pakpak secara mendalam,” kata Aipa Padang.
Kegiatan Perda ini dihadiri oleh 20 orang pemuda-pemudi adat dari beberapa komunitas di Tanoh Pakpak. Hadir pula para tetua adat, Sana’un Angkat selaku Ketua BPH PD AMAN Tanoh Pakpak, dan Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera.
Para tetua adat yang hadir memberikan banyak petuah dan pesan bagi seluruh generasi muda adat yang hadir. Aipa Padang sangat ingat pesan-pesan tersebut.
“Jagalah wilayah adatmu, jaga kampungmu karna itu hakmu”
Itu pesan dari tetua yang paling diingatnya.
Pesan tersebut yang memotivasi dia untuk bergabung bersama BPAN. Wadah perjuangan generasi muda adat seperti BPAN menjadi tempat yang tepat untuk membangun kekuatan demi mempertahankan hak-hak masyarakat adat.
“Menurut saya, BPAN adalah wadah membangun kekuatan dan militansi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat adat,” ucap Aipa.
Dalam musyawarah pemuda-pemudi adat Tanoh Pakpak, mereka memutuskan dan memilih kepengurusan BPAN Daerah Tanoh Pakpak yang baru. Muhammad Aipa Padang dipercayakan menjadi Ketua. Ia terpilih menggantikan Jani Bacin yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua BPAN Daerah Tanoh Pakpak.
Pengurus dan anggota BPAN Daerah Tanoh Pakpak yang baru dikukuhkan dengan mengucapkan janji pemuda adat. Mereka mengucapkan ikrar tersebut sebagai sumpah untuk menjadi bagian perjuangan menjaga wilayah adatnya.
“Di samping karena ada kekosongan kepengurusan sejak awal pembentukan BPAN Lombok Utara, juga karna tahun kemarin DPRD bersama Pemerintah daerah sudah mengesahkan Perda No.6 Tahun 2020 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, AMAN sebagai lembaga induk yang terlibat aktif dalam mendorong perda tersebut sampai akhirnya disahkan, penting mendapat perhatian dan peran aktif pemuda sebagai garda terdepan mendorong implementasi perda tersebut” ungkap Hariyanto.
Begitu penjelasannya tentang diaktifkan kembali Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Lombok Utara. Ia juga mengungkapkan bahwa kehadiran BPAN Daerah Lombok Utara menjadi semangat baru bagi generasi muda adat di sana.
Ia juga bercerita proses pengaktifan kembali BPAN Daerah Lombok Utara.
“Waktu itu saya masih menjabat sebagai OKK dan sampai sekarang , tinggal menunggu jadwal untuk pergantian posisi saya di AMANDA Paer Daya. Saya melihat gerakan pemuda lebih pasif, karna setiap kegiatan cenderung para tetua dan tokoh sepuh yang hadir pemudanya minim. Sehingga setelah berdiskusi dengan Dewan Nasional BPAN region Bali –Nusra ini dapat terlaksana” ucapnya.
Sebagai pemuda adat Lombok, ia melihat gerakan pemuda adat mulai agak pasif. Ini kemudian mendorongnya untuk melakukan konsolidasi bersama beberapa pemuda-pemudia adat Lombok. Termasuk berkoordinasi dengan DePAN BPAN.
Upaya mereka ini pun mewujud dengan melakukan musyawarah generasi muda adat Lombok pada hari Minggu, 7 Maret 2021. dilaksanakan di Bale Pertemuan ‘Pusaka Sebaya Tanta’, Komunitas Adat Karang Bajo, Bayan, Lombok Utara.
Acara Konsolidasi sekaligus musyawarah pembentukan kembali BPAN Daerah Lombok, juga diisi dengan workshop pemetaan partisipatif.
“Dalam Keseharian para tetua berpesan, Jaga Dirik Jaga Gubuk, Ilang Dirik Ilang Gubuk. Yang berarti Gubuk atau kampung adat / adat. Ketika kita menjaga diri maka jaga juga kampungmu, hilangnya kita maka hilanglah identitasmu, hilanglah adat itu” , tutur Hariyanto. Ia mengulang kembali pesan tetua adat yang didengarnya saat disampaikan kepada para generasi muda adat Lombok.
Hariyanto selaku Ketua BPAN Daerah Lombok Utara menerima alat kelengkapan organisasi BPAN yang diserahkan oleh Lalu Kesumayadi selaku DePAN BPAN Region Balinusra
Menurut Hariyanto, pesan para tetua tersebut sangat penting. Upaya untuk menjaga kampung, sama seperti menjaga diri. Inti dari pesan ini, menurutnya sama dengan semangat perjuangan BPAN. Hal ini kemudian menjadi alasan mengapa generasi muda adat haru bergabung bersama BPAN.
Hariyanto juga menuturkan alasan lain pemuda-pemudi adat harus bergabung bersama BPAN. Baginya, BPAN menjadi suatu wadah yang memberikan ruang bagi pemuda-pemudi adat dalam gerakan perjuangan masyarakat adat.
“Karna sebelumnya, banyak anak muda berpotensi tidak memiliki arah gerakan yang jelas, cenderung terbentur dengan sistem yang ada, sedangkan hal semacam itu dapat membatasi kreatifitas mereka, perlu ada suatu wadah yang mengerti cara berfikir mereka terhadap gerakan perjuangan Masyarkat Adat”
Dalam musyarawah pembentukan kembali Pengurus Daerah (PD) BPAN Lombok Utara, Hariyanto terpilih sebagai Ketua. Ia kemudian dikukuhkan sebagai pengurus dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Proses pengukuhan ini dipimpin oleh Lalu Kesumayadi selaku DePAN Region Balinusra.
Hariyanto bersama generasi muda adat Lombok yang tergabung dalam BPAN Daerah Lombok Utara menjadi semangat baru bagi perjuangan masyarakat adat di Nusantara.
Selama tiga hari itu, langit begitu cerah. Air yang menyapu batu di sungai Lariang pun begitu jernih.
Di dekat sungai, sejumlah generasi muda adat Kulawi, Sulawesi Tengah berkumpul. Mereka mendekatkan kembali dirinya dengan alam. Berkonsolidasi. Membicarakan soal komitmen menjaga wilayah adatnya, menjaga kampungnya.
Kicau burung dan deru angin di pepohonan mengiringi aktivitas mereka sejak pagi sampai malam.
Beberapa hari itu, semesta memberikan ruang dan waktu yang begitu baik bagi mereka melaksanakan Pertemuan Daerah (Perda) pemuda-pemudi adat Kulawi.
Dalam Perda tersebut, mereka berkonsolidasi dan belajar bersama. Selain itu, mereka melakukan hal penting dan bersejarah. Bermusyawah dan mendeklarasikan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kulawi sebagai wadah perjuangan pemuda-pemudi adat Kulawi.
Liong, sapaan akrabnya. Nama aslinya Jemmy. Ia adalah salah satu pemuda adat yang ikut Perda bersama generasi muda adat Kulawi, 17-18 Februari 2021.
Liong dan beberapa temannya yang menjadi inisiator kegiatan ini. Mereka semakin bersemangat karena didukung penuh oleh orang tua dan para tetua adat di komunitasnya.
Rabu pagi, Liong sudah bersiap. Hari itu, hari pertama pelaksanaan kegiatan Perda. Ia menempuh waktu sekitar satu jam berkendara dengan motor menuju lokasi kegiatan. Liong berangkat bersama temannya. Mereka melalui jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Di ujung jalan, di dekat lokasi kegiatan, mereka harus melewati sebuah jembatan gantung di sungai Lariang. Sungai ini terletak di Dusun Pontu, Desa Makujawa. Di dekat situ, kegiatan Perda dilaksanakan.
Jembatan Sungai Lariang
Melewati jembatan gantung ekstrim itu, membuat Liong dan kawannya sedikit agak takut. Jantung mereka berdetak lebih cepat dari biasanya. Itu pengalaman menarik pertama yang mereka lalui.
“Hal menarik, saat melewati jembatan gantung dua tali yang ekstrim”, ucap Liong.
Bagi Liong, pengalaman itu begitu berkesan. Setelah perjalanan yang mengasyikkan, mereka akhirnya tiba.
Lokasi kegiatan persis di tepi sungai. Bebatuan dan pohon-pohon rindang menjadi alas dan atap. Mereka menjadikan alam sebagai rumah untuk berkegiatan.
Tanah lapang di dekat sungai menjadi tempat mereka mendirikan kemah dan menghabiskan malam berkegiatan.
Sungai Lariang merupakan ikon daerah Kulawi. Ia juga merupakan sungai terpanjang di Sulawesi. Hal ini menjadi alasan Sungai Lariang dipilih menjadi lokasi kegiatan.
Ada 20 orang pemuda-pemudi adat Kulawi yang ikut kegiatan tersebut. Hadir pula tetua adat dan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Kulawi.
Yonas Mantaeli merupakan salah satu tetua adat yang hadir. Selain sebagai anggota Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) Kulawi, ia juga juga menjabat sebagai Kepala Desa Gimpu dan sebagai anggota Lembaga Adat Kecamatan Kulawi Selatan. Di kegiatan itu, ia memberikan nasehat dan pesan kepada para pemuda-pemudi adat yang hadir. Ia mengilustrasikan perjuangan pemuda adat seperti batu dan air di sungai.
“Pemuda adat berjuang bagaikan batu dan air yang ada di sungai ini. Berpendirian teguh kokoh bagaikan batu dan tak akan henti-hentinya berjuang bagaikan aliran air yang mengalir deras di sungai Lariang ini yang tak pernah putus”, ungkap Yonas.
Selain menerima materi tentang gerakan Masyarakat Adat dan tentang AMAN, pemuda-pemudi adat Kulawi yang hadir juga menerima materi tentang BPAN.
Usai sesi materi dan belajar bersama, mereka kemudian bermusyarawah, membicarakan pembentukan dan pendeklarasian BPAN Daerah Kulawi. Termasuk, memilih kepengurusan PD BPAN Kulawi yang pertama.
Hasil musyawarah memutuskan posisi Ketua diamanatkan kepada Jemmy, Ia kemudian dibantu oleh Maikel Owen sebagai Sekretaris dan Stevi sebagai Bendahara.
Joko Sunarto menyerahkan Bendera BPAN kepada Jemmy sebagai Ketua BPAN Daerah Kulawi
“Pemuda adat perlu bergabung dengan BPAN supaya kita tahu berorganisasi, saling mengenal keberagaman etnis dan budaya di nusantara, saling menopang dan meringankan beban jika kita bersatu dalam satu ikatan komitmen perjuangan, dan perjuangan hak-hak Masyarakat Adat lebih kuat dan itu semua demi masa depan generasi Masyarakat Adat ke depannya karena tanah leluhur tetap terjaga,” jelas Liong selaku ketua pertama BPAN Daerah Kulawi.
Menurutnya pula, BPAN mesti dibentuk di semua daerah, di semua komintas adat dan kampung di Nusantara. BPAN bisa menjadi ruang bagi mereka untuk mereka belajar dan mengenali identitas mereka sebagai Masyarakat Adat.
“Perlu BPAN diperbanyak, dibentuk di daerah. Mengingat di zaman milenial sekarang ini, banyak pemuda adat yang hampir kehilangan identitas. Banyak yang tidak tahu tentang tradisi dan adat istiadatnya. Banyak yang tidak percaya diri lagi memakai pakaian kebesaran daerahnya; masih banyak hal yang harus diperjuangkan agar tidak lenyap ditelan masa”, tutupnya.
Pengurus dan anggota BPAN Daerah Kulawi dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Proses pengukuhan ini dipimpin oleh Delsius selaku Ketua BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan disaksikan oleh Joko Sunarto selaku DePAN Region Sulawesi.
Seperti batu dan air di Sungai Lariang, BPAN Daerah Kulawi tetap teguh dan takkan henti untuk bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adatnya.
“Dibentuknya BPAN di Kabupaten Kampar diharapkan ke depannya bisa bersinergi dalam membenahi persoalan-persoalan yang sudah terlanjur terjadi di masing-masing wilayah adat di kabupaten Kampar. Gerakan pulang kampung merupakan gerakan yang perlu dilakukan, sebab kelestarian budaya dan ketahanan pangan Masyarakat Adat tergantung kepada peran pemuda adat yang sudah memiliki SDM yang kuat sehingga SDA yang ada bisa terkelola dengan baik,” ucap Datuk Suparmantono.
Ia begitu bersemangat. Suaranya pun masih lantang. Di dalam kalimat-kalimat yang terucap di mulutnya, tersimpan optimisme bagi masa Masyarakat Adat di Kampar. Ia meletakan harapan-harapannya itu di pundak generasi muda adat yang mendengarnya bicara. Gerakan Pulang Kampung menjadi hal yang mesti dilakukan para pemuda-pemudi adat Kampar.
Datuk Suparmantono adalah salah satu tetua adat yang hadir pada Pertemuan Daerah (Perda) generasi muda adat di Kabupaten Kampar, 12-14 Februari 2021. Kegiatan ini dilaksanakan di kawasan Rimbang Baling yaitu di Kenegerian Batu Sanggan, Riau.
“Selama ini yang mengakibatkan terjadinya pelepasan wilayah adat ke pihak luar dikarenakan status kedaulatan ekonomi Masyarakat Adat yang lemah, sehingga ketika dihadapkan dengan situasi di mana kebutuhan ekonomi ada yang mencukupi, maka pelepasan tanah adat yang menjadi pilihan utama. Sementara para pemuda yang seharusnya memberikan pemikiran jangka panjang kepada para tetua sibuk di luar kampung dengan gaya hidup baru mereka, namun ketika pulang kampung, ternyata tanah adat sudah diambil alih oleh pihak luar,” tuturnya.
Kegiatan perda ini diikuti oleh 22 orang pemuda dan pemudi adat dari berbagai komunitas adat di Kampar. Komunitas adat tersebut yaitu Komunitas Kenegerian Batu Sanggan, Komunitas Kenegerian Tanjung Belit, Komunitas Kenegerian Aur Kuning, Komunitas Kenegerian Kuok, Komunitas Kenegerian Rumbio, Komunitas Kenegerian Lipat Kain, dan Komunitas Kenegerian Air Tiris. Hadir pula para tetua adat dan Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar.
Para pemuda/i adat Kampar membacakan Janji Pemuda Adat
“Dalam rangka membangkitkan semangat pemuda adat daerah Kampar untuk mengurus wilayah adat serta mendiskusikan kondisi perjuangan Masyarakat Adat Kampar, khususnya keterlibatan pemuda-pemudi adat di dalamnya. Berkaca kepada beberapa persoalan di atas maka kami merasa perlu membentuk BPAN di Kampar sebagai wadah menyatukan pikiran dan rasa senasib sepenanggungan bagi pemuda adat di Kampar yang sudah mulai terpecah disebabkan pola pikir yang sudah tergerus oleh konsep kekinian sehingga rasa memiliki kampung sudah mulai ditinggalkan,” terang Himyul Wahyudi selaku Ketua BPH AMAN Daerah Kampar.
Perda ini dilaksanakan dalam bentuk kemah adat selama 3 hari. Di dalamnya para pemuda-pemudi adat menerima materi-materi penting terkait Gerakan Masyarakat Adat. Kegiatan juga diisi dengan diskusi dan tanya jawab bersama para tetua adat.
Puncak kegiatan diisi dengan pembentukan dan deklarasi Pengurus Daerah BPAN Kampar. Acara ini dilaksanakan dihari terakhir kegiatan. Sebelum deklarasi para generasi muda adat Kampar bermusyawarah. Mereka kemudian membahas kepengurusan pertama BPAN Daerah Kampar. Hasil musyawarah memutuskan Azhari sebagai Ketua, Hermansah sebagai Sekretaris, dan Anisa Pauzana sebagai Bendahara. Ketiga pemuda-pemudi adat ini, dipercayakan untuk menggerakkan roda organisasi di Kampar.
“BPAN harus membentuk banyak pengurus di daerah supaya komunitas-komunitas adat dapat terorganisir dengan baik dan dengan adanya BPAN di daerah dapat menjadi wadah berkumpulnya para pemuda-pemudi adat bisa bersinergi dalam membangun kampung agar lebih baik lagi,” ucap Azhari.
Azhari dikukuhkan sebagai Ketua pertama BPAN Daerah Kampar bersama para anggota dan kepengurusan yang telah dibentuk. Mereka mendeklarasikan diri menjadi bagian dari perjuangan pemuda-pemudi adat Nusantara yang tergabung di BPAN. Di Kampar, kembali BPAN begerak.
Seperti harapan para tetua adatnya, BPAN Daerah Kampar dibentuk demi mewujudnya visi Generasi Muda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat sebagai jalan para pemuda-pemudi adat memperkuat dan menjaga wilayah adat.