“Sebagai organisasi yang sudah lama berdiri dan selalu konsisten dalam membantu masyarakat adat baik secara hukum maupun pemberdayaan, dan sebagai wadah mengimplementasikan bakat dan minat para anggota baik secara, sosial, budaya, dan politik,” ucap Rici Ricardo. Ini menjadi alasan, ia dan 26 pemuda-pemudi adat Kerinci bergabung bersama BPAN.
Rici adalah Ketua BPAN Daerah Kerinci. Ia terpilih dalam musyawarah pembentukan Pengurus Daerah (PD) BPAN Kerinci, 9 September 2020 di Desa Air Bersih, Kecamatan Air Hangat Barat, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Pembentukan PD BPAN Kerinci menjadi salah satu agenda Pertemuan Daerah (Perda) I BPAN Kerinci. Selain itu, diskusi tentang wilayah adat dan perencanaan launching sekolah adat juga menjadi agenda di dalam kegiatan Perda tersebut.
Kegiatan Perda I BPAN Daerah Kerinci dihadiri oleh 26 orang, pemuda-pemudi adat, dari 5 (Lima) komunitas adat yaitu Komunitas Depati Mudo, Komunitas Depati Rencong Telang, Komunitas Depati Intan, Komunitas Depati Sungai Langit, dan Komunitas Depati Kepalo Sembah. Turut hadir pula perwakilan dari Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kerinci dan tokoh masyarakat adat.
PD AMAN Kerinci dan Rici menjadi insiator Perda I dan pembentukan BPAN Daerah Kerinci. Menurut Rici, BPAN harus ada di Kerinci supaya ada lembaga atau organisasi yang dekat dengan masyarakat adat, selalu memperhatikan dan menyuarakan keinginan masyarakat adat kepada pemerintah.
“Mendorong para pemuda-pemudi untuk melakukan kegiatan positif, memfasilitasi pemuda-pemudi pecinta dan pegiat adat budaya kerinci serta membantu masyarakat adat dan masyarakat di sekitar hutan adat demi kesejahteraan bersama”, tutur Ricardo. Hal ini menurutnya, menjadi alasan PD BPAN Kerinci harus dibentuk.
Rici juga menegaskan bahwa BPAN perlu dibentuk, di banyak daerah di Indonesia. Ditambahkannya, bahwa BPAN hadir untuk membantu menyuarakan hak-hak masyarakat adat.
“BPAN harus ada di daerah-daerah untuk membantu masyarakat dalam pengelolaan hutan adat dan sekitarnya. Serta membantu menyuarakan hak-hak masyarakat adat dan sekitarnya demi kesejahteraan”, ungkap Rici.
Rici Ricardo dikukuhkan sebagai Ketua pertama BPAN Daerah Kerinci. Dalam kepengurusannya, ia dibantu oleh Rozi Aguswira sebagai Sekertaris dan Khairul Akbar sebagai Bendahara.
“’Marilah kita bersama bangkit, bergerak, mengurus wilayah adat dan mempertahankan kehidupan harmonis yang selalu berorientasikan pada kearifan lokal di Massenrempulu. Itu pesan yang disampaikan oleh Ibu Dida,” tutur Jusmiati.
Ibu Dida merupakan tetua adat dari komunitas adat Pana. Ia salah satu tetua adat yang hadir di Pelatihan Kader Pemula dan Konsolidasi Pemuda Adat Massenrempulu. Kegiatan ini digelar oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Massenrempulu di Rumah AMAN Mendatte, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 9-10 Januari 2021. Turut hadir di kegiatan ini, pemuda-pemudi adat dari 12 Komunitas Adat di Sulsel, tetua adat, Ketua BPH AMAN Sulsel, Ketua PD AMAN Massenrempulu, Ketua BPAN Wilayah Sulsel, dan Ketua PHD PEREMPUAN AMAN Sulsel.
Hari pertama, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan materi yang dibawakan oleh para fasilitator. Materi pertama tentang gerakan masyarakat adat nusantara disampaikan oleh Sardi Razak selaku Ketua BPH AMAN Sulsel. Materi kedua tentang Organisasi AMAN, disampaikan oleh Solihin dari Pengurus Wilayah AMAN Sulsel. Materi ketiga dibawakan oleh Ketua BPH AMAN Daerah Massenrempulu tentang situasi dan perkembangan AMAN Massenrempulu.
Di hari kedua, para fasililtator melanjutkan materi. Dimulai dari materi pendidikan kader pemula, materi kesetiakawanan sosial dengan menonton 3 film, materi teknik komunikasi, dan terakhir materi menulis. Usai sesi materi dilanjutkan dengan agenda konsolidasi dan pembentukan BPAN Daerah Massenrempulu.
Pembentukan PD BPAN Massenrempulu diawali dengan musyawarah generasi muda adat Massenrempulu dan memutuskan struktur PD BPAN Massenrempulu yang pertama. Posisi Ketua dipercayakan kepada Jusmiati. Posisi Sekretaris dijabat oleh Ayyup dan Bendahara dijabat oleh Wahyu. Pengurus dan anggota PD BPAN Massenrempulu dikukuhkan dengan mengucapakan Janji Pemuda Adat yang dipandu oleh Ketua BPAN Wilayah Sulsel, Marjuli.
Jusmiati adalah pemudi adat dari Komunitas Uru. Ia mencatatkan dirinya sebagai pemudi adat pertama yang menjabat sebagai ketua BPAN Daerah Massenrempulu. Ia memberanikan diri menjadi ketua, karena terinpirasi perjuangan para perempuan adat.
“Mama Deen, Mama Yosepha, dan Kak Jaisa adalah perempuan adat yang menginspirasi saya. Mereka adalah perempuan tangguh yang berani berada di garda terdepan untuk mempertahakan hak-hak mereka”, ucapnya
Selain beraktivitas sebagai mahasiswa tingkat akhir, ia juga aktif di pengembangan ekonomi perempuan adat di komunitas adat Uru untuk membantu ibu-ibu meningkatkan ekonomi secara mandiri.
Di semua kesibukannya, ia memilih untuk mengabdikan diri dalam perjuangan pemuda adat bersama BPAN. Menurutnya, kehadiran BPAN di Kabupaten Enrekang menjadi hal yang sangat penting.
“Di BPAN kita mendapat ruang, tempat, dan mendapat dukungan sehingga kita tidak merasa berjalan sendirian. Oleh karna itu pemuda adat sudah saatnya bangkit bergerak mengurus wilayah adat dan mempertahankan kehidupan harmonis yang selalu berorientasi pada kearifan lokal”, ujar Jusmiati
Ia juga menambahkan bahwa kehadiran BPAN adalah upaya untuk menyadarkan para pemuda-pemudi tentang adat yang ada di kampung yang beriringan dengan kemajuan teknologi.
10 Januari menjadi tanggal bersejarah, lahirnya sebuah tonggak perjuangan baru para pemuda-pemudi adat Massenrempulu. Hari dimana PD BPAN Massenrempulu dideklrasikan.
bpan.aman.or.id – Gambar seorang pemudi adat Minahasa berbaju Kawasaran terpampang di sebuah baleho. Tulisan “Lokakarya Hak-hak Pemudi Adat Minahasa” juga ada di situ.
Di depan baleho, duduk sejumlah pemudi adat Minahasa. Mereka sedang berkumpul, berdiskusi tentang hak-hak Pemudi Adat Minahasa.
Putri Kapoh dan Nedine Sulu menjadi narasumber kegiatan. Pemudi adat asal Roong Wuwuk, Lisah Rumengan, menjadi moderator.
Sebelum Mars BPAN dikumangdankan, kegiatan diawali dengan doa yang dipimpin oleh Giska Silangen dari Wanua Tandengan.
Kegiatan yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara ini dilangsungkan di Kebeng Lounge & Eatery, di Sasaran Tondano, pada Jumat (18/12/2020). Puluhan pemudi adat dari beberapa kampung di Minahasa hadir di acara tersebut.
“Kita sebagai pemudi adat masih menemui tatangan dalam menjalankan peran sebagai pemudi adat”, ucap Nedine Helena Sulu.
Nedine adalah pemudi adat asal Wanua Koha, Minahasa. Ia menjadi narasumber yang membuka sesi materi.
Nedine Sulu
Nedine menyampaikan materi mengenai kondisi perempuan adat di nusantara. Kisah mengenai sejarah perjuangan perempuan di tanah Minahasa, Talang Mamak, Dayak Iban dan di nusantara yang hidup dari wilayah adatnya, turut disampakan Nedine. Ia kemudian menghantar materi lebih spesifik ke topik posisi dan peran pemudi adat. Konteks perjuangan BPAN menjadi contoh konkrit yang diangkat Nedine.
“Peran pemudi adat ialah memperjuangkan wilayah adat. Sama seperti peran pemuda adat. Inilah mengapa peran tersebut menjadi visi BPAN yaitu generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat,” ucapnya.
Nedine kemudian mengajak para pemudi adat untuk merefleskikan hak dan kewajiban mereka sebagai perempuan adat Minahasa, sebagai pemudi adat.
“Di Minahasa, secara kultural, posisi laki-laki dan perempuan itu sederajat, egaliter. Sehingga semua peran untuk menjaga kehidupan tetap berlangsung di tanah ini, juga menjadi kewajiban kita sebagai pemudi adat. Kita memiliki hak-hak yang sama seperti kaum pria di Minahasa untuk hidup dan Tanah Minahasa”, tutur Nedine.
Ia juga menyampaikan bahwa pemudi adat wajib menjelaskan peran dan haknya di tengah masyarakat. Upaya ini dimaksudkannya untuk menghancurkan sistem patriarki warisan kolonial yang masih tersisa di Minahasa. Bagi Nedine upaya ini justru menjadi hak-hak dasar pemudi adat untuk menyatakan diri sebagai manusia Minahasa sejati.
“Menjelaskan perempuan adalah tindakan untuk membebaskan laki-laki,” ujar Nedine, mengakhiri sesi materinya.
Pemaparan materi dilanjutkan ke pemateri selanjutnya. Putri Kapoh kemudian mengisi sesi ini.
“Dalam struktur masyarakat Minahasa, laki-laki dan perempuan itu setara. Sehingga sebagai pemudi adat, kita juga harus bertindak sebagaimana seharusnya seorang manusia Minahasa. Lokakarya ini hendak memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada kita tentang itu”, ungkap putri.
Putri Kapoh
Ia melanjutkan materi dengan kisah perjuangannya menjaga kampung bersama generasi muda Wanua Tandengan. Salah satu kisah yang diceritakan yaitu advokasi terhadap penggundulan gunung Kamintong di kampungnya. Gunung Kamintong merupakan sumber air bersih dan penjaga ekosistem yang sudah dijaga para leluhur sejak kampung berdiri. Beberapa waktu lalu, bagian puncak gunung digundulkan oleh oknum yang hendak menjadikannya tempat wisata paralayang. Putri, Manguni Muda Minaesa (komunitas generasi muda Tandengan), dan pemuda adat Tandengan melakukan aksi atas upaya tersebut. Mereka kemudian bergerak menyelamatkan gunung Kamintong sebagai penopang hidup Tandengan, kini dan nanti.
“Kasus Kamintong menjadi pelajaran bagi kita semua. Menjaga kampung adalah tanggung jawab semua orang. Termasuk pemuda adat,” ucap Putri.
Upayanya mengorganisir generasi muda untuk menyelamatkan gunung Kamintong menjadi satu cara untuk menunjukan bahwa hak laki-laki dan perempuan itu sama. Hak untuk bersuara, menyatakan sikap, dan bertindak di tengah kehidupan bermasyarakat di kampung Tandengan dan di Minahasa.
“Seperti di Mars BPAN, bahwa kita harus menjaga wilayah adat. Para perampas harus kita lawan. Akhirnya kami berhasil menyampaikan hak kami untuk bersuara, hak untuk menjaga wilayah adat kami”, ungkap Putri dengan suara lantang.
Di bagian-bagian akhir sesi bicaranya, ia juga menjelaskan tentang beberapa hal penting yang bisa didapatkan dari kegiatan.
“Ada beberapa hal pentting yang kita dapatkan di lokakarya ini. Pertama, pemudi adat berhak menjaga wilayah adat, seperti yang disampaikan kak Nedine, karena itu adalah tempat hidup kita. Hal lain yaitu hak menyampaikan pendapat. Syukur karena kita hidup di Minahasa, kita sebagai perempuan untuk menyampaikan pendapat tidak dibatasi. Mungkin berbeda dengan kondisi pemudi atau perempuan adat di tempat lain,” jelasnya.
Putri kemudian menutup sesi materinya dengan menjelaskan tentang kualitas hidup manusia Minahasa yang harus dimiliki pemudi adat Minahasa. Kualitas hidup ini menjadi modal untuk menjadi manusia Minahasa seutuhnya yang siap menjaga kampung dan tanah Minahasa.
“Sebagai permulaan, kita juga harus memiliki 3 kuliatas hidup manusia atau Tou Minahasa yaitu Ningaasan, Niatean, dan Mawai. Ningaasan artinya berpengetahuan. Seorang pemudi adat harus mengisi dirinya dengan pengetahuan sehingga membentuk pola pikir dan intelektualitas yang khas manusia Minahasa. Niatean berarti bijak menggunakan hati/perasaan. Artinya seorang pemudi adat wajib mendayagunakan hati dan perasaaan untuk hidup sebagai seorang manusia. Mawai artinya kuat, baik secara fisik maupun mental. Ini artinya pemudi adat Minahasa secara fisik maupun mental ia kuat dan mampu memaksimalkannya untuk hidup. Kita sebagai pemudi adat wajib memiliki 3 hal ini. Ketiga hal ini menjadi ukuran kita untuk bisa disebut Tou Minahasa,” tutup Putri.
“Apabila sesuatu sudah ditentukan haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari. Aturan harus tetap berjalan sesuai dengan azasnya”
“Ropo’mo’o Mai langi’, tilili’ mo’o sau buttu, tannaulele diuru pura loau, dotami iyami’ sisara’ uli’i dai sisara’ pura loai”
Artinya,
“Sekiranya langit akan runtuh, runtuhlah. Gunung mau terbang, terbanglah. Namun saya tidak akan beranjak dari kata semula. Lebih baik kepala kami berpisah dengan badan daripada mengingkari kata semula.”
Amanat leluhur tersebut, menurut Hamsir, menjadi alasan pemuda-pemudi adat Majene mesti bergabung dan berjuang bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kedua kalimat tersebut adalah pesan leluhur Masyarakat Adat Adolang dalam Bahasa Mandar.
“ Oleh karena itu, saat ini jangan menunggu waktu untuk menyumbangkan jiwa dan raga kita bangkit, bersatu menjaga dan melestarikan aset-aset leluhur yang telah diletakkan di genggaman kita sesuai dengan pesan leluhur itu”, ungkap Hamsir.
Hamsir merupakan pemuda adat dari komunitas adat Adolang. Ia menjadi ketua pertama BPAN Daerah Majene. Ia terpilih berdasarkan hasil musyawarah generasi muda adat Majene dalam kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) I BPAN Majene.
“’Inggai situlu-tulung lao diapiangang, mappeppondo’i inggannana adzaeang, alesei adzaeang, tinro’i apiangang, situlu-tulung paratta rupa tau’. Pesan leluhur ini juga turut disampaikan oleh Gading Corai”, ucap Hamsir.
Ia kemudian mengartikan petuah leluhur tersebut. Pesan leluhur itu disampaikan oleh Gading Corai pada kegiatan Perda I yang dilaksanakan oleh pemuda-pemudi adat Majene, 3-4 Januari 2021.
“Mari kita tolong-menolong menuju kebaikan, meninggalkan seluruh kejahatan, hindarilah kejahatan, kejarlah kebaikan, saling tolong-menolong sesama manusia. Itu artinya”, tutur Hamsir.
Gading Gorai adalah seorang Pappuangang Adolang. Ia adalah salah satu tetua adat yang hadir di Perda I BPAN Daerah Majene.
“Pappuangang artinya pemimpin komunitas. Adolang itu nama komunitas adat,” tambah Hamsir.
Komunitas Adat Adolang menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan Perda I Pengurus Daerah (PD) BPAN Majene. Dalam kegiatan Perda ini, dilaksanakan pula Pelatihan Advokasi di hari pertama dan dilanjutkan dengan deklarasi PD BPAN Majene.
Kegiatan Perda I ini dihadiri oleh sekitar 40 orang yakni pemuda-pemudi adat dari 6 komunitas adat di Kabupaten Majene, Pappuangang Adolang, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Ketua BPAN Wilayah Sulsel, dan Pengurus Daerah (PD) AMAN Majene.
Di hari pertama, kegiatan diisi dengan agenda pelatihan advokasi. Sesi pelatihan ini difasilitatori oleh Sardi Razak selaku Ketua BPH AMAN Wilayah Sulsel dan Marjuli selaku Ketua BPAN Wilayah Sulsel. Mereka membawakan materi mengenai advokasi, sejarah AMAN dan BPAN. Gerakan Pulang Kampung Pemuda Adat menjadi topik penting yang dibahas di sesi ini.
Sardi Razak saat memberikan pelatihan advokasi
Usai pelatihan advokasi, kegiatan dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan, deklarasi, dan pengukuhan PD BPAN Majene. Hasil musyawarah memutuskan sturuktur kepenguruan PD BPAN Majene. HAMSIR, SP, sebagai Ketua, Andriani sebagai Sekretaris, dan Samsul H sebagai Bendahara.
Tepat tanggal 4 Januari 2021, PD BPAN Majene resmi dideklarasikan. Pengurus dan anggota dikukuhkan. Mereka lantas mengucapkan Janji Pemuda Adat, dipimpin oleh Ketua BPAN Wilayah Sulsel, Marjuli. PD BPAN Majene lahir untuk memenuhi amanat para leluhurnya.
(Sebuah Catatan dari Pelatihan Advokasi Kebijakan BPAN)
bpan.aman.or.id – “Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa Pak Sinung Karto?” tanya Pekam Usut Ngaik.
Ia nampak antusias. Hasrat untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang advokasi kebijakan membuatnya mengajukan pertanyaan itu.
Pekam Usut Ngaik adalah pemuda adat asal Mentawai. Minggu (20/12/2020), ia mengikuti Training Advokasi yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) secara daring via aplikasi zoom.
Training advokasi ini diikuti oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN. Tujuannya supaya mereka dapat mengambil bagian dalam kerja-kerja advokasi kebijakan di tingkat kampung atau wilayah adat. Selain itu, bisa mengajak dan memulai membiasakan pemuda-pemudi adat terlibat perjuangan di lapangan dari sisi advokasi khususnya terkait mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat kampung atau wilayah adat. Sementara, hasil dari pelatihan ini diharapkan akan muncul 2 atau 3 orang yang serius menjadi semacam paralegal pemuda adat.
Sinung Karto selaku Staf Deputi II Sekjen AMAN, Nur Amalia selaku Ketua PPMAN, Jhontoni Tarihoran selaku DePAN Region Sumatera, dan Katarina Megawati selaku Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Utara, menjadi fasilitator pelatihan. Hadir pula Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo, yang membuka kegiatan.
“Salam Pemuda Adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.
Kalimat tersebut diucapkan Jakob dengan lantang. Salam tersebut menjadi slogan perjuangan yang memanggil pemuda adat untuk berjuang.
Jakob Siringoringo
Dalam sambutannya, Jakob menegaskan maksud penyelenggaraan kegiatan.
“Pelatihan ini bertujuan untuk membekali diri atau mempersenjatai diri pemuda pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa pelatihan advokasi kebijakan bagi anak-anak muda adat dimaksudkan untuk membekali mereka dengan wawasan advokasi atau hukum secara umum yang setiap waktu sangat dibutuhkan dalam kerja-kerja mengurus wilayah adat.
Di akhir kesempatan bicaranya, ia memotivasi para peserta untuk tetap saling menguatkan dan mengambil pengetahuan penting di pelatihan ini.
“Kita saling menguatkan, sehingga apa yang kita petik hari ini dapat memperkuat gerakan kita di kampung”, ucapnya.
Ia kemudian menutup sesi sambutannya dengan salam pemuda adat nusantara yang ia ucapkan di awal.
Acara berlanjut ke sesi materi.
Rusmita
Rusmita, pemudi adat asal Paser, selaku moderator langsung meminta Katarina Megawati menjadi pembicara pertama. Katarina kemudian bercerita hal-hal yang sudah ia lakukan selama ini.
Ia bercerita bahwa mereka baru selesai melakukan pelatihan advokasi dan deklarasi pengurus daerah BPAN Sungai Kayan. Di acara tersebut, para pemuda adat diberikan pelatihan advokasi. Materi-materinya kemudian menyadarakan mereka atas ancaman sawit di wilayah adatnya.
“Saya salut karena ada teman-taman di sana yang merasa terancam dan ada yang merasa akan terancam. Kami menonton film karya LifeMosaic. Film itu bercerita tentang trik-trik yang digunakan oleh perusahaan,” ucap Katarina yang akrab disapa Rina.
Katarina Megawati
Materi advokasi menggungah pemudi adat untuk membentuk wadah perjuangan bagi pemuda adat. Rina kemudian memfasilitasi pembentukan BPAN Pengurus Daerah Sungai Kayan.
“Setelah kami deklarasi mereka sadar bahwa mereka punya wadah untuk melawan”.
Di akhir sesi bicaranya, Rina menceritakan kisah dari teman-temannya yang kini semangat untuk menjaga wilayah adatnya.
Sesi materi Rina pun selesai. Dilanjutkan giliran Jhontoni Tarihoran, pemuda adat Tano Batak, dari kampung Janji.
Jhon mengawali materinya dengan bercerita tentang aktivitasnya, baik di organisasi AMAN, di komunitasnya, dan tentang dirinya. Ceritanya kembali ke kampung.
Materi Jhontoni Tarihoran
Ia mengatakan bahwa upaya kembali ke kampungnya Janji untuk menepati janji yaitu kembali ke kampung sebagai janji bersama BPAN. Kembali ke kampung adalah cara untuk mewujudkan Gerakan Pulang Kampung yang dicetuskan BPAN.
Bagi Jhon, kembali ke kampung bukan cuma sekedar pulang kampung, tapi dalam rangka memperkuat dan memastikan wilayah adat semakin kuat.
“Mengurus kampung, lebih memikirkan nasib bersama,” imbuhnya.
Berada di kampung tidak hanya untuk mengurus diri sendiri, tapi juga untuk kerja-kerja organisasi. Ia melakukan banyak hal. Misalnya dengan menjadi relawan yang berkaitan dengan sekolah adat.
“Saya menjadi relawan di AMAN Wilayah Tano Batak, yang ditugaskan untuk memfasiltasi proses pendirian sekolah adat”, tuturnya
Ia turut berbaur dalam kehidupan komunitas sebagai petani: berkebun, beladang, mengolah sawah (menanam, panen padi, dan kolam ikan). Selain itu, ia juga hadir untuk mengawal kebijakan pemerintah setempat, sebagai upayanya berjuang bersama Masyarakat Adat.
“Kalau terkait dengan kebijakan yah, kita mendorong pemerintah mulai dari tingkat desa. Saya juga hadir di pertemuan tingkat desa dan mendorong pemerintah desa untuk berpihak pada Masyarakat Adat”, ungkap Jhon.
Ia juga banyak membantu Masyarakat Adat di tempatnya. Memastikan mereka mendapatkan hak-haknya. Misal mengurus dokumen kependudukan. Ia bercerita di tempatnya ada orang tua yang sudah tidak bisa menulis karena kondisi fisik, sehingga ia membantu mengurusnya.
“Terkait dokumen kependudukan, saya hadir tidak hanya menyuarakan tetapi juga mengurusnya secara teknis”, ungkap Jhon.
Jhon juga bercerita bagaimana ia mendampingi masyarakat yang berurusan dengan polisi karena menjaga wilayah adatnya. Ini bukti kongkritnya menjaga kampung secara bersama-sama. Ia menampingi warga di kantor polisi dan bahkan sampai ke pengadilan. Menurut Jhon, upayanya itu membuat orang yang ia dampingi menjadi percaya diri dan sadar bahwa ia tidak sendiri. Cerita ini merupakan satu dari sekian banyak banyak hal lain yang ia kerjakan sebagai kerja advokasi. Baginya, kembali ke kampung dan mengurusnya menjadi urusan yang asyik.
“Mengurus kampung adalah urusan yang rame, urusan yang asyik,” tutupnya.
Rina dan Jhon menjadi narsumber yang bicara dari sisi praktis. Hal-hal terkait advokasi yang sudah mereka lakukan. Di sisi lain, dua narasumber selanjutnya, bicara soal wawasan dan pengetahuan teoritik tentang advokasi. Sinung Karto dan Nur Amalia, menjadi punggawa di ranah ini.
Sinung Karto, menjadi pembicara ketiga. Ia akrab disapa Bang Sinung oleh pemuda adat di BPAN. Di sesi materinya, ia begitu humanis. Ia menggendong anak sambil membawakan materi.
Sinung Karto bersama anaknya
Pengantar Advokasi adalah materi yang disampaikannya. Menurut Bang Sinung, materi ini menjadi penting karena merupakan dasar bagaimana sebenarnya advokasi itu. Ia menjelaskan secara teoritik tentang advokasi. Ia juga kemudian menjelaskan juga tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat yang menjadi hal pokok kerja advokasi.
“Tiga kewajiban negara ini, menjadi pegangan kita melakukan advokasi”, ucap Bang Sinung.
Menurutnya, advokasi merupakan serangkaian tindakan dan kegiatan aktif, dilakukan secara sisematis, serta terencana untuk mendorong terjadinya suatu perubahan.
“Saya yakin dengan membuat definisi seperti ini, orang akan lebih mudah memahami apa itu advokasi,” akunya.
Sinung Karto kemudian memberikan pengertian tentang advokasi bagi Masyarakat Adat.
“Dalam konteks Masyarakat Adat, advokasi adalah upaya untuk mengubah kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat menjadi kebijakan yang menguntungkan Masyarakat Adat”.
Ia memberikan contoh kongkrit tentang advokasi. Kisah Jhontoni dipakainya sebagai contoh yang nyata.
“Dalam advokasi yang diutamakan adalah pastisipasi. Yang terpenting harus melibatkan korban, melibatkan masyarakat”, tegas Sinung.
Materinya kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan langkah-langkah mengadvokasi. Di akhir bicaranya, ia mengusulkan tindak lanjut dari materinya dengan membuat kelompok dari pemuda adat yang fokus di ranah advokasi secara mendalam.
Sinung Karto membuka wawasan para peserta tentang advokasi dan meletakan titik pijak bagi materi selanjutnya yang disampaikan Nur Amalia.
Nur Amalia
Nur Amalia merupakan Ketua PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara). Di sesi materinya, ia menjelaskan soal profil PPMAN dan berbagai hal terkait dengan kerja advokasinya.
Disampaikannya bahwa mandat PPMAN berfokus pada pendampingan kasus.
“PPMAN itu mandatnya untuk melakukan pendampingan kasus. Itu fokusnya”, cetusnya.
Ditambahkannya, walapun fokus PPMAN pada pendampingan kasus, namun saat diminta AMAN, sebagai oraganisasi induk, PPMAN terlibat dalam penciptaan kader dan advokasi kebijakan. Hal itu menjadi tugas tambahan PPMAN. Sejauh ini PPMAN sudah menangani 213 kasus. Paling banyak di antaranya yaitu kasus pidana,sebanyak 135 kasus.
Hingga waktu bicaranya usai, Nur Amalia menjelaskan kasus-kasus yang sudah ditangani PPMAN.
Usai materi, sesi tanya jawab dan diskusi menjadi sesi yang juga paling dinanti. Bagian ini menjadi ramai dengan pertanyaan-pertanyaan peserta. Kisah dan masalah yang terjadi di komunitas juga diceritakan oleh peserta di sesi ini. Pertanyaan dan masalah yang dikemukakan di sesi ini langsung ditanggapi oleh para narasumber yang berkompeten.
“Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa pak Sinung Karto? Misalnya, pertama, masyarakat itu sendiri, biasanya tidak sabar, pengen cepat-cepat selesai masalahnya. Tanpa kehati-hatian. Kedua, pihak ‘lawan’ yang merasa tindakan yang mereka lakukan sudah paling benar apalagi dibackup oleh aktor keamanan”.
Pernyataan tersebut disampaikan Sinung Karto sebagai jawaban atas pertanyaan dari pemuda adat Mentawai, Pekam Usut Ngaik. Beberapa pertanyaan penting lain juga ditanyakan para peserta dan dijawab secara detail oleh narasumber di sesi ini.
Kegiatan pelatihan advokasi ini, diakhiri dengan foto bersama. Batara Tambing, pemuda adat asal Toraja, selaku host dan pembawa acara, memandu sesi ini.
bpan.aman.or.id – Sebuah truk besar terparkir di kebun Komunitas Adat Sakai. Di sampingnya ada ribuan kilogram semangka yang menggunung. Beberapa pemuda pemudi dan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai nampak di sekitarnya.
Sabtu (6/12/2020) menjadi kali kedua truk tersebut datang. Ia dipakai untuk mengangkut hasil panen buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Sakai. Ini merupakan panen kedua.
Menanam semangka menjadi salah satu bagian dari program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Program ini dikelola secara bersama. Pemuda pemudi adat menjadi penggeraknya.
“Kami panen lagi”, ucap Ismail Dolek begitu bahagia.
Ismail adalah ketua kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia bergerak bersama anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai.
“Buah semangka ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Sakai, untuk menaikan ekonomi masyarakat adat dan meningkatkan sumber vitamin dan memperkuat daya tahan tubuh demi menghadapi masa covid19” tutur Ismail.
Panen pertama, mereka menghasilkan 4.298 kg semangka. Kini di panen kedua mereka menghasilkan 6.220 kg semangka.
Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.
Ismail dan kawan-kawan pemuda adat sedang bahagia. Ini adalah bahagia kedua. Bahagia mereka tentu masih akan berlanjut. Menikmati hasil usaha mengolah tanah. Membuktikan kedaulatan pangan Masyarakat Adat di tengah pandemi.
bpan.aman.or.id – Junaedi, berhasil mewujudkan mimpi itu. Mimpi yang selama ini diperjuangkannya bersama para pemuda-pemudi adat anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sembalun. Hari Minggu, 6 Desember 2020, mimpi itu termanifestasi menjadi Sekolah Adat (SA) Laskar Lembah Rinjani Sembalun.
Hari itu, angin dari gunung Rinjani berhembus lembut. Ia membawa restu dari Sang Pencipta, alam semesta dan leluhur Masyarakat Adat Sembalun ke komunitas adat Kemangkuan Adaq Tanaq di lembah Rinjani. Di sana sudah berkumpul para pemuda adat Sembalun anggota BPAN dan para tetua adat Komunitas Kemangkuan Adaq Tanag. Hadir juga Ketua DAMANWIL NTB, PPMAN, PN DePAN Region Bali Nusra, Ketua DAMANDA Sembalun, Ketua BPH AMAN Daerah Sembalun, Ketua BPAN Daerah Sembalun, tokoh pemuda, dan pengurus BPAN Sembalun. Mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mendeklarasikan wadah berpengetahuan ala Masyarakat Adat Sembalun. Wadah itu diberi nama ‘Sekolah Adat Laskar Lembah Rinjani’.
“Laskar artinya pasukan. Lembah Rinjani adalah bumi Sembalun. Jadi Laskar Lembah Rinjani artinya pasukan bumi Sembahulun. Diharapkan dari sekolah adat, lahir para pasukan pembela tanah leluhurnya nanti di lembah Rinjani ini”, tutur Junaedi selaku Ketua BPAN Daerah Sembalun.
Menurut Junaedi, SA Lakar Lembah Rinjani Sembalun sudah lama diimpikan. Ide ini juga sudah dibahas secara mendalam dan menjadi hasil Kemah Pemuda Adat BPAN Sembalun pada 21 Juni 2020 silam. Sejak itu hinga bulan Desember 2020, Junaedi dan kawan-kawan sudah memulai aktivitas sebagai sekolah adat. Usaha mendirikan dan menjalankan sekolah adat itu kemudian mencapai puncak saat pendeklarasiannya.
“Kami pemuda adat menginisiasi perlawanan dengan mencetak generasi penerus Masyarakat Adat lewat sekolah adat. Diadakanlah musyawarah pertama kali dengan melibatkan para tetua adat pada tanggal 21 Juni 2020 dan didaftar anak-anak Masyarakat Adat sebagai murid-murid. Diadakan pelajaran-pelajaran adat untuk memperkenalkan tentang sekolah adat. Setelah sekolah adat beberapa bulan berjalan, maka diadakan musyawarah yang ke-2 pada tanggal 06 Desember 2020 sekaligus launching sekolah adat” jelasnya.
Junaedi juga menuturkan bahwa gagasan mengenai sekolah adat ini berawal dari keprihatinan generasi penerus Masyarakat Adat yang hampir tidak ada lagi. Belum lagi masalah terkait wilayah adat yang sudah diklaim oleh oknum-oknum. Bahkan soal lain seperti bentrok antara Masyarakat Adat dengan pemerintah dan PT (perusahaan).
“Sekolah adat adalah salah satu langkah perjuangan Masyarakat Adat untuk menjaga wilayah adat, tengah menanamkan jiwa adat sejak dini pada anak-anak adat untuk mereka mengenal jati diri mereka sebagai generasi penerus adat,” tegas Junaedi.
SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun diresmikan oleh Dr. R. L. A. Rahman Sembahulun selaku Ketua DAMANWIL NTB, Lalu Kesumajayadi, S.Pd selaku DePAN Region Bali Nusra, dan Junaedi, S.H selaku Ketua BPAN Sembalun. Mereka bertiga menandatangani surat peresmian SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun.
SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun menjadi manifesto perjuangan pemuda adat dan Masyarakat Adat daerah Sembalun untuk menjaga wilayah adatnya.
bpan.aman.or.id – Catatan penting ini sedianya akan dimuat dalam Majalah Tapian sepuluh tahun yang lewat. Sayang, hasil wawancara ini tak pernah dimuat karena majalahnya kadung tutup. Penulisnya, Jeffar Lumban Gaol lantas mengunggahnya di akun facebooknya pada 1 Desember 2011.
Wawancara ini menjadi pertemuan awal keduanya, sang narasumber dan pewawancara. Kelak, si pewawancara merapat ke Pengurus Besar AMAN bersama-sama dengan Abdon Nababan dan kolega di barisan gerakan Masyarakat Adat.
Hari ini (2 Desember 2020), kami dari BPAN mendapat pesan WhatsApp langsung dari Abdon Nababan, sosok yang jadi narasumber yang berbagi soal link tulisan ini di facebook. Kami lantas berinisiatif untuk meminta izin Abdon untuk memuatnya di website BPAN untuk keperluan edukasi. Bagi kami, isi wawancara ini sangat berkorelasi dengan gerakan pulang kampung yang kini kami jalankan.
Jeffar sendiri menutup usia pada Januari 2017. Selain musisi legend, pencipta lagu Blues untuk Munir itu juga adalah penulis. Selama di AMAN, dia telah menghidupkan jurnalisme warga di mana para pemuda adat umumnya sangat aktif mengirimkan berita-berita komunitas untuk dimuat di Majalah Gaung AMAN maupun di Gaung Online.
Wawancara ini adalah salah satu tulisannya yang menurut kami paling menyimpan makna mendalam bagi anak-anak muda dan perjuangan Masyarakat Adat umumnya.
–Wawancara dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2007-2017 Abadon Nababan 8 Agustus 2010 —
“Sisingamangaraja adalah pahlawan Masyarakat Adat, dan orang batak yang ada di Jakarta ini bukan lagi bagian dari Masyarakat Adat”. Mari kita simak ulasan Sekjen AMAN tersebut di bawah ini:
Tanya: pertama, apa yang jadi tujuan serta cita-cita berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini? Kedua, kita sepakat bahwa Masyarakat Adat tidak eksis lagi dan terpinggirkan di negeri ini. Contohnya masyarakat etnik Batak itu kan mendua, pada satu sisi mereka masih melakukan peradatan lahir, kawin, dan meninggal. Namun pada sisi lain mereka tak lagi menjalankan hukum adatnya. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana AMAN memetakannya?
Abdon Nababan: Yang pertama mungkin situasi kita setelah berinteraksi dengan dunia luar, akibatnya secara pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan, baik kedaulatan individu maupun kedaulatan masing-masing orang. Kedaulatan kelompok sebagai Masyarakat Adat misalnya atau sebagai huta atau horja bius kalau di orang Batak. Itu masalah utama saat dan hal itu kemudian berimplikasi pada kedaulatan negara, kedaulatan bangsa Indonesia. Jadi, krisis yang kita hadapi saat ini adalah krisis kedaulatan.
Kenapa krisis-krisis kedaulatan itu menjadi sedemikian penting untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara? Karena memang secara keseluruhan kita sudah pada posisi dan menganggap yang kita punya itu adalah buruk, sedangkan yang orang lain punya adalah baik. Karena itu kita berlomba-lomba menjadi ‘orang lain’.
Kita tidak memperkuat diri menjadi diri sendiri. Sistem pengetahuan yang ada di Masyarakat Adat dan telah berkembang ribuan tahun bisa dengan gampang kita buang dan kita kemudian mencari pengetahuan-pengetahuan baru, lalu meninggalkan pengetahuan-pengetahuan yang kita anggap tidak relevan sesuai dengan pandangan pihak yang kita anggap sebagai benar itu. Jadi pertarungannya di situ, kalau kita lihat hampir seluruh kekayaan kita itu sebenarnya kita gadaikan. Kita tukar dengan punya orang lain dan kita anggap itu menjadi punya kita, nah itu persoalannya.
Kalau dalam konteks berdirinya AMAN, tentu karena gerakan Masyarakat Adat ini dimulai dari persoalan-persoalan riil di komunitas-komunitas adat. Jadi kalau gerakan Masyarakat Adat sudah dimulai sebelum Indonesia itu ada, gerakannya lebih pada perlawanan terhadap sistem kepercayaan, sistem keyakinan; ya sistem pengetahuan dari luar. Itulah kenapa misalnya, Sisingamangaraja X melawan Islamisasi. Dia melawan pemaksaan nilai, dia melawan pemaksaan sistem keyakinan dan itu pun terulang ketika kristenisasi yang mengakibatkan meletusnya perlawanan Sisingamangaraja XII.
Di Pulau Jawa, terjadi perlawanan Masyarakat Adat Baduy terhadap sistem negara pada masa itu. Di Jawa Tengah, kita menemukan Masyarakat Adat Sedulur Sikep, di Jawa Timur kita menemukan kelompok Masyarakat Adat Osing atau Tengger. Ini adalah perlawanan-perlawanan Masyarakat Adat.
Di tanah Batak masih tersisa perlawanan itu, kita sebut dengan Parmalim. Itu adalah bentuk-bentuk perlawanan yang muncul sebelum Indonesia merdeka, pada masa sebelum maupun masa kolonial. Nah artinya, pada waktu itu persoalan Masyarakat Adat adalah pada persoalan pemaksaan nilai-nilai.
Pada masa orde baru, persoalan nilai-nilai itu dianggap tidak masalah lagi, karena kita sudah mengadopsi lima agama besar, agama impor. Agama-agama asli tak kita anggap sebagai agama lagi dan tidak diadministrasikan oleh negara sebagai bagian dari diri kita. Setelah orde baru, dalam perjalanannya kemudian muncul lagi perlawanan dari Masyarakat Adat dan itu terjadi di mana-mana. Ini semua terjadi akibat penjajahan terhadap Masyarakat Adat dengan sifatnya yang berobah jadi material, bukan lagi nilai.
Dengan sistem konsesi HPH di kehutanan, wilayah-wilayah adat yang masih memiliki hutan kemudian dikonsesikan oleh pemerintah sebagai lahan HPH, perusahaan-perusahaan dari Jakarta atau luar negeri. Tanah-tanah dikonsesikan jadi HGU perusahaan perkebunan. Kalau di sana ada daerah tambang, wilayah yang kaya mineral, maka diserahkanlah wilayah itu sebagai kuasa pertambangan perusahaan-perusahaan tambang multi nasional. Perlawanannya jadi lebih kongkret, karena menyangkut keberlanjutan secara langsung kehidupan Masyarakat Adat. Inilah yang terjadi.
Penulis
Sebenarnya perjuangan Masyarakat Adat setelah Indonesia berdiri adalah kelanjutan perjuangan Masyarakat Adat sebelum masa kolonial, cuma topik perkaranya sekarang berbeda. Kalau topik perkara sebelum masa kolonial adalah berhadapan dengan masuknya agama-agama baru, agama impor, lantas semasa kolonial, dia lebih berhadapan demi material, karena kolonial Belanda harus mengamankan daerah-daerah untuk memenuhi komoditi perdagangan, komoditi ekspor.
Oleh karena itu, kolonial Belanda lewat VOC bekerjasama dengan kesultanan dan kerajaan-kerajaan pada masa itu. Sebelum era kolonial sebenarnya sudah ada negara, negara kuno yaitu kerajaan dan kesultanan. Kerajaan dan kesultanan ini juga menjajah Masyarakat Adat. Karena itu, bagi AMAN ini sangat jelas, yang namanya kerajaan dan kesultanan dari masa lalu bukan Masyarakat Adat. Entitas mereka adalah negara pada masa itu.
Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat dalam konteks gerakan Masyarakat Adat Nusantara, yang kita bicarakan adalah sistem-sistem sosial, sistem-sistem kultur yang hidup dan berkembang bersama tanahnya, bersama wilayahnya. Kalau di Batak, kebudayaan yang tumbuh di atas bona pasogit, bukan kebudayaan Batak yang tumbuh di atas persekutuan marga-marga yang ada di Jakarta ini. Jadi kalau kita bicara kebudayaan dalam konteks Masyarakat Adat, maka kita sedang bicara budaya bersama tanah di mana budaya itu tumbuh. Karena itu, orang Batak yang ada di Jakarta yang sudah tak terikat lagi dengan bona pasogit dengan tanah leluhurnya, kita tidak menyebutnya sebagai Masyarakat Adat, karena hak dan kewajiban, ikatan-ikatan si orang Batak yang ada di Jakarta tersebut dengan tanahnya sudah tidak ada.
Pendefinisian itu penting, sebab kalau tidak ada pendefinisian itu, kemudian gerakannya bisa kehilangan identitas di dalam pertarungan politik dan ekonomi, pertarungan nilai dan segala macam. Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat, enggak bisa dipisahkan antara identitas budaya. Yang di dalamnya kita menyebut ada bahasa, ada spiritualitas. Ada sikap dan perilaku yang membedakan antara satu kelompok dengan identitas tertentu dengan kelompok lain yang namanya wilayah adat. Wilayah hidup dari Masyarakat Adat itulah yang dalam bahasa Batak kita sebut sebagai bona pasogit.
Jadi yang pertama, orang Batak tanpa bona pasogit atau tanpa ikatan dengan bona pasogit enggak pantas dia menyebut dirinya sebagai bagian dari Masyarakat Adat, tapi dia tetap orang Batak. Di situ etnisitas yang bekerja. Kedua, terdapat perbedaan antara orang Batak dari sisi etnisitas dengan orang Batak sebagai satu sistem sosial yang terikat dengan bona pasogit tanah adatnya. Ketiga, yang diwarisi Masyarakat Adat dari leluhurnya serta yang dipertahankan itu adalah pengetahuan. Jadi, kalau sistem pengetahuan pada masyarakat itu sudah bukan lagi pengetahuan yang berdasarkan pada kearifan dan pengetahuan leluhurnya, tapi sudah mengandalkan pengetahuan barat misalnya atau pengetahuan Cina atau pengetahuan Arab jika mereka memeluk agama Islam. Mana ikatannya dengan leluhur? Itu bukan Masyarakat Adat. Sekarang dalam diskursus ilmiah, diterjemahkan jadi kearifan lokal atau kearifan tradisional. Kearifan lokal dan kearifan tradisional itu juga mengakar pada tanahnya. Baru yang keempat kita bicara tentang pranata, baik hukum maupun kelembagaan. Kalau di Batak kita bicara tentang; huta, bius, horja.
Kalau di Batak itu, kita menyebut tentang pengaturan hidup bersama, maka kita bicara tentang marga, kita bicara interaksi antarmarga lewat perkawinan, baru bicara tentang teritori, yaitu huta dan bius tadi. Persoalannya sekarang di mana posisi kita?!
Persoalannya adalah kepercayaan kita bukan lagi Batak, tapi sudah jadi agama lain. Otomatis teritorial adat kita yaitu huta dan bius itu hilang. Yang tinggal hanyalah kekerabatan, geneologis lewat marga dan perkawinan. Itulah yang disebut Dalihan Na Tolu. Tapi Dalihan Na Tolu bukanlah suhi niampang naopat yang sebenarnya dalam konteks Masyarakat Adat tadi. Dalam konteks itulah sebenarnya, orang Batak harus mengapresiasi Parmalim karena mereka kemudian menyelamatkan salah satu warisan dari leluhur kita. Yang disebut Parmalim itu ya Ugamo Malim. Artinya, dengan adanya Permalim, mereka menyediakan kita jalan kembali kalau suatu saat kita tersesat, karena dunia ini semakin enggak jelas dan sedang mengalami multi krisis pula.
Tapi kalau soal teritorial, kita mau kembali ke mana? Karena kalau kita lihat sekarang di tanah Batak, di manakah kita bisa melihat bius bekerja sebagai pranata sosial? Sebagai sistem pengaturan hidup bersama, sudah susah. Sebenarnya sekarang saya sangat khawatir dengan kondisi orang Batak, karena untuk sistem kepengurusan hidup bersamanya, kita enggak punya jalan pulang. Nah, disitulah kenapa gerakan Masyarakat Adat itu bisa juga ditanggap di wilayah timur Indonesia. Karena relatif memori kolektif dari sistem tersebut di sana masih bekerja dibanding dengan daerah wilayah barat Indonesia.
Jadi jika kita bicara tentang memori kolektif tentang sistem adat Batak, ya kita harus bicara dengan orang tua-tua yang umurnya di atas 70-an. Kalau saya jadi pembaca setia tulisan Monang Naipospos, sebenarnya konteks di situ karena saya sedang menemukan jalan pulang. Karena kita tahu krisis global akan mendera kita, yaitu krisis pangan, krisis ekologi, krisis energi, dan krisis identitas. Kemudian muaranya semua ini adalah konflik, ke mana orang Batak akan kembali. Itu pertanyaan terbesar sebenarnya.
bpan.aman.or.id – Hari Minggu (29/11/2020), Ismail Dolek bergembira. Begitu juga para temannya, sesama pemuda adat Sakai. Hal ini karena buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, siap dipanen. Hari tersebut menjadi awal keberhasilan program kedaulatan yang mereka lakukan.
Ismail adalah ketua kelompok program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia juga anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Ia dan pemuda adat Sakai mulai menikmati hasil program kedaulatan pangan yang mereka mulai sejak 1 Agustus 2020.
Menurut Ismail, program kedaulatan pangan ini bertujuan untuk menaikan ekonomi Masyarakat Adat Sakai. Selain itu, di masa pandemi ini, tanaman yang mereka tanam menjadi sumber vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh.
Buah semangka menjadi tanaman pertama yang dipanen. Semangka tersebut ditanam di lahan BPAN Batin Beringin Sakai. Jumlah semangka yang mereka tanam sebanyak 2.500 batang dari dua jenis varietas semangka. Jumlah sebanyak ini menghasilkan 4.298 kilogram semangka dalam panen perdana.
“Yang baru dipanen cuma semangka, tapi masih ada lagi cabe, jagung, dan pisang” ucap Ismail.
Sebagian hasil panen perdana semangka ini akan dijual. Sebagiannya lagi akan dibagikan kepada Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai.
Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.
Bagi Ismail kedaulatan pangan sangat penting untuk Masyarakat Adat dan pemuda adat. Menurutnya, kedaulatan pangan komunitasnya ada di tangan pemuda adat Sakai. Ia kemudian mengajak seluruh pemuda adat untuk pulang kampung dan membangun kampungnya.
“Pesan saya bagi seluruh pemuda-pemuda adat Nusantara, pulanglah ke kampung halaman masing-masing. Bangunlah kampungmu. Majukanlah wilayah adatmu. Gerakkanlah masyarakat adatmu dan gunakanlah segenap kemampuanmu untuk sukumu, untuk budayamu, untuk masyakarat adat dan pertahankanlah peninggalan leluhurmu”, tutupnya.
Ismail dan pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, menjadi bukti resiliensi Masyarakat Adat di tengah pandemi covid-19. Mereka memastikan pangan tetap tersedia. Kedaulatan pangan ada di tangan mereka. Begitu juga masa depan Masyarakat Adat Sakai.
Pada tanggal 17 – 19 November 2020 secara virtual telah dilaksanakan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Keenam (RAKERNAS AMAN VI) yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari Sumatera hingga Papua mulai dari Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Besar AMAN beserta Organisasi Sayap, Badan Otonom dan peninjau dari berbagai institusi pemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Lebih dari delapan bulan kita dilanda krisis Pandemi Covid-19. Banyak aspek dari kehidupan kita berubah secara drastis, mulai dari menjaga jarak fisik, perubahan budaya dan kebiasaan hingga fenomena peralihan aktivitas sosial ke dunia digital. Pandemi memang sekaligus menjadi penanda perubahan sosial secara cepat.
Dalam hal lain, wabah virus Covid 19 juga menjadi ujian bagi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Kita dapat melihat bagaimana pemerintah Indonesia terjebak dalam kebingungan antara mendahulukan aspek kesehatan atau ekonomi yang hari ini digempur dengan resesi di berbagai sektor. Investasi dan korporasi besar yang selama ini mengeksploitasi sebagian kekayaan sumber daya alam ternyata gagal menjadi tameng dan penyelamat masyarakat dari ancaman krisis sosial dan ekonomi.
Bagi Masyarakat Adat, Covid-19 justru menegaskan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan Masyarakat Adat adalah benar dan baik. Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, kehidupan baru dimana kita harus hidup terus menjaga Ibu Bumi dan adil dengan sesama manusia. Masyarakat Adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan, telah terbukti mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adatnya, bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan. Masyarakat Adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lainnya, bahkan ke kota-kota.
Kami sungguh menghargai isyarat-isyarat penghormatan terhadap Masyarakat Adat yang ditunjukan tokoh-tokoh politik termasuk Presiden Republik Indonesia yang dalam perayaan-perayaan hari kemerdekaan selalu mengenakan pakaian adat bahkan fasih menyampaikan salam-salam adat. Tetapi kami harus menyampaikan bahwa penghormatan tersebut masih sebatas simbol. Penghormtan sejati kepada Masyarakat Adat baru akan tercapai apabila tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat benar-benar dihentikan. Penghormatan sejati terhadap Masyarakat Adat baru akan terjadi apabila negara melalui hukum dan kebijakannya berhenti memfasilitasi usaha-usaha yang merampas dan merusak kehidupan Masyarakat Adat, merusak masa depan, dan merusak bumi.
Oleh sebab itu, kami sebagai Masyarakat Adat menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa cita-cita Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat masih belum menapak bumi, bagai panggang jauh dari api. Bahkan, perjuangan Masyarakat Adat untuk menggapai cita-cita itu semakin menemukan tantangan maha berat. Pengingkaran dan kekerasan demi kekerasan terhadap Masyarakat Adat, kriminalisasi peladang hingga pengabaian masih terlalu sering dipertontonkan oleh ragam kebijakan baik di tingkat daerah hingga pusat. Kehadiran negara justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan Masyarakat Adat.
Tantangan demi tantangan tersebut tidak membuat semangat kami surut. Di tingkat kampung/desa kami saksikan agenda perubahan secara perlahan mulai tampak. Meskipun di tingkat nasional, ada beragam tantangan baru yang muncul mulai dari pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (CILAKA) hingga mangkraknya pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI. Situasi ini penting kita sikapi dengan gerakan politik yang massif dan terkonsolidasi.
Sudah saatnya negara bersama seluruh warga negara dan warga dunia untuk bersama-sama berpikir dan bersama sama mengambil tindakan nyata untuk mengubah politik ekonomi nasional dan global yang sudah tidak mampu lagi membawa kita pada kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Terhadap berbagai situasi tersebut di atas RAKERNAS AMAN VI menyampaikan resolusi sebagai berikut:
Kami mendesak Presiden dan DPR RI mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM yang menjadi panduan bagi negara-negara berdaulat. Lebih dari itu, secara prosedur UU tersebut disusun tanpa partisipasi yang penuh dan efektif dari seluruh elemen rakyat termasuk Masyarakat Adat. UU tersebut akan menjadi basis legal dalam tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Bahkan UU ini akan meninggalkan jejak kelam bagi lingkungan hidup dan keberlangsungan generasi yang akan datang.
Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat, yang menyediakan suatu prosedur sederhana, murah, dan punya legitimasi dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas wilayah adatnya beserta hak asal-usul atau hak-hak tradisional lainnya.
Kami mendesak Pemerintah untuk mempercepat perlindungan hak kekayaan intelektual Masyarakat Adat, mengakui hak masyarakat Adat atas agama leluhur serta memastikan negara mempercepat pelayanan administrasi dan kependudukan bagi para penganut agama leluhur.
Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk segera membentuk kebijakan daerah pengakuan Masyarakat Adat beserta hak asal-usulnya termasuk hak atas wilayah adatnya. Bagi daerah, provinsi/kabupaten/kota, yang sudah mempunyai produk hukum Masyarakat Adat (Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan-Peraturan Bupati/Wali Kota maupun Peraturan Gubernur) kami mendesak untuk segera diimplementasikan.
Kami mendesak pemerintah, terutama KLHK beserta jajarannya untuk MENGHENTIKAN Penetapan Kawasan Hutan “Negaraisasi Wilayah Adat” dan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial yang mencakup skema HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan dan mencabut semua perizinan perhutanan sosial yang terbit di atas Wilayah Adat. Sebaliknya Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan pengakuan wilayah adat.
Kami mendesak POLRI dan TNI untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, para pembela Masyarakat Adat yang berjuang mempertahankan haknya. Sebaliknya POLRI dan TNI harus mengutamakan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, secara khusus perempuan dan anak. Selanjutnya kami mendesak agar Institusi POLRI dan TNI menindak tegas anggotanya yang melakukan tindakan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat.
Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap perempuan dengan menetapkan kembali RUU Penghentian Kekerasan Seksual (PKS) dalam Prolegnas dan memastikan pengesahannya pada tahun 2021.
Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melindungi praktek-praktek pertanian tradisional Masyarakat Adat, demi menjamin kedaulatan pangan baik di komunitas adat yang juga merupakan dasar dari tercapainya kedaulatan pangan nasional, terutama ditengah pandemi Covid 19. Selanjutnya Pemerintah harus mengambil langkah-langkah progressif untuk mengakui dan mempromosikan praktek dan pengembangan model ekonomi Masyarakat Adat yang bersifat lokal dan berkelanjutan, yang selama ini telah terbukti memastikan kemandirian komunitas-komunitas adat.
Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mencabut semua izin investasi pertambangan, energi, perkebunan, hutan tanaman industri, hak pengelolaan hutan, pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan ijin usaha lainnya yang merampas hak-hak Masyarakat Adat dan merusak lingkungan hidup.
Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan implementasi perlindungan terhadap hak penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia.
Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk memasukkan Peta Wilayah Adat ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang dan mencabut atau mengubah seluruh peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang yang tidak mengakomodir wilayah-wilayah adat baik di daratan maupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Terkait dengan akan berakhirnya Otonomi Khusus Papua, kami mendesak Pemerintah Pusat untuk tetap menjamin, melindungi dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat di Papua.
Pemerintah Daerah harus menghormati dan melindungi keberadaan sekolah-sekolah adat di Komunitas Masyarakat Adat.
Kami mendesak pemerintah untuk memastikan hak-hak Masyarakat Adat dan pelibatan penuh Masyarakat Adat dalam proses-proses persiapan hingga implementasi dan evaluasi proyek strategis nasional antara lain pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, proyek food estate dan proyek strategis nasional lainnya.
Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh proyek-proyek pembangunan termasuk proyek-proyek strategis nasional yang mengancam ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, serta keberlangsungan lingkungan hidup dan masa depan.
Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memasukkan pengetahuan dan pengalaman Masyarakat Adat dalam mitigasi, tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi kebencanaan.
Kami menyadari bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Perubahan hanya akan datang melalui rencana dan kerja nyata yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan bersifat menyeluruh. Oleh karena itu kami seluruh Pengurus AMAN dan Organisasi Sayap AMAN di berbagai tingkatan menyatakan:
Akan senantiasa memperhatikan situasi politik dan kebijakan sehingga dapat menyusun langkah-langkah yang tepat dalam mengamankan wilayah adat dari berbagai ancaman perampasan sebagai akibat ketidakberpihakan negara kepada Masyarakat Adat.
Akan senantiasa memperkuat kemampuan dalam pengelolaan organisasi dan para staf di setiap pengurus sebagai prasyarat penting dalam melaksanakan dan mempercepat pencapaian agenda-agenda perlindungan, pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat.
Membangun kerja sama yang lebih massif dengan pemerintahan desa, lembaga adat, organisasi masyarakat sipil lainnya, kalangan akademik, dan media dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
Melaksanakan ritual adat untuk memohon restu leluhur dan aksi-aksi yang terorganisir untuk mendesak percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.
Secara tegas MENOLAK Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CILAKA) yang akan merampas ruang hidup dan mengkriminalisasi kami sebagai Masyarakat Adat dan pejuang-pejuang Masyarakat Adat.
Akan tetap konsisten menjaga kedaulatan wilayah adat dengan tidak melakukan penjualan tanah-tanah adat demi kepentingan generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
Hutan kami adalah hutan adat. Oleh sebab itu, kami menolak dengan tegas program HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan atau Perhutanan Sosial di wilayah-wilayah adat kami. Di sisi lain, kami akan memperkuat dan memperluas penguasaan wilayah-wilayah adat serta mempercepat usulan pengakuan wilayah adat dan hutan adat.
Menegaskan bahwa kami TIDAK SAMA atau berbeda dengan kerajaan-kerajaan nusantara. Oleh sebab itu, kami senantiasa akan menjaga identitas kami yang sejati, yang berbeda, dan di sisi lain kami akan menolak setiap upaya yang menyamakan kami dengan kerajaan-kerajaan nusantara.
Senantiasa berupaya menggalang dana mandiri dan membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) untuk memperkuat kemandirian dan ekonomi Masyarakat Adat.
Memastikan keterlibatan kami dalam setiap proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan di semua tingkatan, khususnya di tingkat desa, termasuk dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
Mendorong kader-kader terbaik kami sebagai utusan politik Masyarakat Adat untuk merebut posisi-posisi strategis di berbagai tingkatan, terutama di tingkat desa sehingga kepentingan-kepentingan kami sebagai Masyarakat Adat dapat disuarakan dalam setiap pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kami dan kepada generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
Memobilisasi seluruh sumber daya organisasi untuk melawan para Calon Kepala Daerah yang memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM.
Mengerahkan segenap upaya tetap mengawal dan mengevaluasi berbagai kebijakan yang mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.
Senantiasa memperbaharui dan memperkuat hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat adat terutama kelompok perempuan; pemuda; anak-anak; orang lanjut usia; orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, usia, struktur masyarakat, jenis kelamin, dan karena kemampuan; dan penyandang disabilitas.
Senantiasa memperkuat rasa senasib-sepenanggungan dengan sesama Masyarakat Adat dimana pun.
Demikian Resolusi ini kami sepakati sebagai bentuk dari kesadaran kami terhadap berbagai situasi memperihatinkan yang dihadapi Masyarakat Adat di seluruh nusantara. Resolusi ini juga merupakan bentuk desakan perubahan terhadap negara agar segera melakukan langkah-langkah perubahan untuk melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Selanjutnya, melalui resolusi ini kami telah memperkuat komitmen kami sebagai Masyarakat Adat untuk senantiasa berjuang bersama-sama dalam mempertahankan identitas dan hak yang kami warisi dari leluhur kami.