bpan.aman.or.id – Catatan penting ini sedianya akan dimuat dalam Majalah Tapian sepuluh tahun yang lewat. Sayang, hasil wawancara ini tak pernah dimuat karena majalahnya kadung tutup. Penulisnya, Jeffar Lumban Gaol lantas mengunggahnya di akun facebooknya pada 1 Desember 2011.
Wawancara ini menjadi pertemuan awal keduanya, sang narasumber dan pewawancara. Kelak, si pewawancara merapat ke Pengurus Besar AMAN bersama-sama dengan Abdon Nababan dan kolega di barisan gerakan Masyarakat Adat.
Hari ini (2 Desember 2020), kami dari BPAN mendapat pesan WhatsApp langsung dari Abdon Nababan, sosok yang jadi narasumber yang berbagi soal link tulisan ini di facebook. Kami lantas berinisiatif untuk meminta izin Abdon untuk memuatnya di website BPAN untuk keperluan edukasi. Bagi kami, isi wawancara ini sangat berkorelasi dengan gerakan pulang kampung yang kini kami jalankan.
Jeffar sendiri menutup usia pada Januari 2017. Selain musisi legend, pencipta lagu Blues untuk Munir itu juga adalah penulis. Selama di AMAN, dia telah menghidupkan jurnalisme warga di mana para pemuda adat umumnya sangat aktif mengirimkan berita-berita komunitas untuk dimuat di Majalah Gaung AMAN maupun di Gaung Online.
Wawancara ini adalah salah satu tulisannya yang menurut kami paling menyimpan makna mendalam bagi anak-anak muda dan perjuangan Masyarakat Adat umumnya.
–Wawancara dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2007-2017 Abadon Nababan 8 Agustus 2010 —
“Sisingamangaraja adalah pahlawan Masyarakat Adat, dan orang batak yang ada di Jakarta ini bukan lagi bagian dari Masyarakat Adat”. Mari kita simak ulasan Sekjen AMAN tersebut di bawah ini:
Tanya: pertama, apa yang jadi tujuan serta cita-cita berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini? Kedua, kita sepakat bahwa Masyarakat Adat tidak eksis lagi dan terpinggirkan di negeri ini. Contohnya masyarakat etnik Batak itu kan mendua, pada satu sisi mereka masih melakukan peradatan lahir, kawin, dan meninggal. Namun pada sisi lain mereka tak lagi menjalankan hukum adatnya. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana AMAN memetakannya?
Abdon Nababan: Yang pertama mungkin situasi kita setelah berinteraksi dengan dunia luar, akibatnya secara pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan, baik kedaulatan individu maupun kedaulatan masing-masing orang. Kedaulatan kelompok sebagai Masyarakat Adat misalnya atau sebagai huta atau horja bius kalau di orang Batak. Itu masalah utama saat dan hal itu kemudian berimplikasi pada kedaulatan negara, kedaulatan bangsa Indonesia. Jadi, krisis yang kita hadapi saat ini adalah krisis kedaulatan.
Kenapa krisis-krisis kedaulatan itu menjadi sedemikian penting untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara? Karena memang secara keseluruhan kita sudah pada posisi dan menganggap yang kita punya itu adalah buruk, sedangkan yang orang lain punya adalah baik. Karena itu kita berlomba-lomba menjadi ‘orang lain’.
Kita tidak memperkuat diri menjadi diri sendiri. Sistem pengetahuan yang ada di Masyarakat Adat dan telah berkembang ribuan tahun bisa dengan gampang kita buang dan kita kemudian mencari pengetahuan-pengetahuan baru, lalu meninggalkan pengetahuan-pengetahuan yang kita anggap tidak relevan sesuai dengan pandangan pihak yang kita anggap sebagai benar itu. Jadi pertarungannya di situ, kalau kita lihat hampir seluruh kekayaan kita itu sebenarnya kita gadaikan. Kita tukar dengan punya orang lain dan kita anggap itu menjadi punya kita, nah itu persoalannya.
Kalau dalam konteks berdirinya AMAN, tentu karena gerakan Masyarakat Adat ini dimulai dari persoalan-persoalan riil di komunitas-komunitas adat. Jadi kalau gerakan Masyarakat Adat sudah dimulai sebelum Indonesia itu ada, gerakannya lebih pada perlawanan terhadap sistem kepercayaan, sistem keyakinan; ya sistem pengetahuan dari luar. Itulah kenapa misalnya, Sisingamangaraja X melawan Islamisasi. Dia melawan pemaksaan nilai, dia melawan pemaksaan sistem keyakinan dan itu pun terulang ketika kristenisasi yang mengakibatkan meletusnya perlawanan Sisingamangaraja XII.
Di Pulau Jawa, terjadi perlawanan Masyarakat Adat Baduy terhadap sistem negara pada masa itu. Di Jawa Tengah, kita menemukan Masyarakat Adat Sedulur Sikep, di Jawa Timur kita menemukan kelompok Masyarakat Adat Osing atau Tengger. Ini adalah perlawanan-perlawanan Masyarakat Adat.
Di tanah Batak masih tersisa perlawanan itu, kita sebut dengan Parmalim. Itu adalah bentuk-bentuk perlawanan yang muncul sebelum Indonesia merdeka, pada masa sebelum maupun masa kolonial. Nah artinya, pada waktu itu persoalan Masyarakat Adat adalah pada persoalan pemaksaan nilai-nilai.
Pada masa orde baru, persoalan nilai-nilai itu dianggap tidak masalah lagi, karena kita sudah mengadopsi lima agama besar, agama impor. Agama-agama asli tak kita anggap sebagai agama lagi dan tidak diadministrasikan oleh negara sebagai bagian dari diri kita. Setelah orde baru, dalam perjalanannya kemudian muncul lagi perlawanan dari Masyarakat Adat dan itu terjadi di mana-mana. Ini semua terjadi akibat penjajahan terhadap Masyarakat Adat dengan sifatnya yang berobah jadi material, bukan lagi nilai.
Dengan sistem konsesi HPH di kehutanan, wilayah-wilayah adat yang masih memiliki hutan kemudian dikonsesikan oleh pemerintah sebagai lahan HPH, perusahaan-perusahaan dari Jakarta atau luar negeri. Tanah-tanah dikonsesikan jadi HGU perusahaan perkebunan. Kalau di sana ada daerah tambang, wilayah yang kaya mineral, maka diserahkanlah wilayah itu sebagai kuasa pertambangan perusahaan-perusahaan tambang multi nasional. Perlawanannya jadi lebih kongkret, karena menyangkut keberlanjutan secara langsung kehidupan Masyarakat Adat. Inilah yang terjadi.
Sebenarnya perjuangan Masyarakat Adat setelah Indonesia berdiri adalah kelanjutan perjuangan Masyarakat Adat sebelum masa kolonial, cuma topik perkaranya sekarang berbeda. Kalau topik perkara sebelum masa kolonial adalah berhadapan dengan masuknya agama-agama baru, agama impor, lantas semasa kolonial, dia lebih berhadapan demi material, karena kolonial Belanda harus mengamankan daerah-daerah untuk memenuhi komoditi perdagangan, komoditi ekspor.
Oleh karena itu, kolonial Belanda lewat VOC bekerjasama dengan kesultanan dan kerajaan-kerajaan pada masa itu. Sebelum era kolonial sebenarnya sudah ada negara, negara kuno yaitu kerajaan dan kesultanan. Kerajaan dan kesultanan ini juga menjajah Masyarakat Adat. Karena itu, bagi AMAN ini sangat jelas, yang namanya kerajaan dan kesultanan dari masa lalu bukan Masyarakat Adat. Entitas mereka adalah negara pada masa itu.
Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat dalam konteks gerakan Masyarakat Adat Nusantara, yang kita bicarakan adalah sistem-sistem sosial, sistem-sistem kultur yang hidup dan berkembang bersama tanahnya, bersama wilayahnya. Kalau di Batak, kebudayaan yang tumbuh di atas bona pasogit, bukan kebudayaan Batak yang tumbuh di atas persekutuan marga-marga yang ada di Jakarta ini. Jadi kalau kita bicara kebudayaan dalam konteks Masyarakat Adat, maka kita sedang bicara budaya bersama tanah di mana budaya itu tumbuh. Karena itu, orang Batak yang ada di Jakarta yang sudah tak terikat lagi dengan bona pasogit dengan tanah leluhurnya, kita tidak menyebutnya sebagai Masyarakat Adat, karena hak dan kewajiban, ikatan-ikatan si orang Batak yang ada di Jakarta tersebut dengan tanahnya sudah tidak ada.
Pendefinisian itu penting, sebab kalau tidak ada pendefinisian itu, kemudian gerakannya bisa kehilangan identitas di dalam pertarungan politik dan ekonomi, pertarungan nilai dan segala macam. Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat, enggak bisa dipisahkan antara identitas budaya. Yang di dalamnya kita menyebut ada bahasa, ada spiritualitas. Ada sikap dan perilaku yang membedakan antara satu kelompok dengan identitas tertentu dengan kelompok lain yang namanya wilayah adat. Wilayah hidup dari Masyarakat Adat itulah yang dalam bahasa Batak kita sebut sebagai bona pasogit.
Jadi yang pertama, orang Batak tanpa bona pasogit atau tanpa ikatan dengan bona pasogit enggak pantas dia menyebut dirinya sebagai bagian dari Masyarakat Adat, tapi dia tetap orang Batak. Di situ etnisitas yang bekerja. Kedua, terdapat perbedaan antara orang Batak dari sisi etnisitas dengan orang Batak sebagai satu sistem sosial yang terikat dengan bona pasogit tanah adatnya. Ketiga, yang diwarisi Masyarakat Adat dari leluhurnya serta yang dipertahankan itu adalah pengetahuan. Jadi, kalau sistem pengetahuan pada masyarakat itu sudah bukan lagi pengetahuan yang berdasarkan pada kearifan dan pengetahuan leluhurnya, tapi sudah mengandalkan pengetahuan barat misalnya atau pengetahuan Cina atau pengetahuan Arab jika mereka memeluk agama Islam. Mana ikatannya dengan leluhur? Itu bukan Masyarakat Adat. Sekarang dalam diskursus ilmiah, diterjemahkan jadi kearifan lokal atau kearifan tradisional. Kearifan lokal dan kearifan tradisional itu juga mengakar pada tanahnya. Baru yang keempat kita bicara tentang pranata, baik hukum maupun kelembagaan. Kalau di Batak kita bicara tentang; huta, bius, horja.
Kalau di Batak itu, kita menyebut tentang pengaturan hidup bersama, maka kita bicara tentang marga, kita bicara interaksi antarmarga lewat perkawinan, baru bicara tentang teritori, yaitu huta dan bius tadi. Persoalannya sekarang di mana posisi kita?!
Persoalannya adalah kepercayaan kita bukan lagi Batak, tapi sudah jadi agama lain. Otomatis teritorial adat kita yaitu huta dan bius itu hilang. Yang tinggal hanyalah kekerabatan, geneologis lewat marga dan perkawinan. Itulah yang disebut Dalihan Na Tolu. Tapi Dalihan Na Tolu bukanlah suhi niampang naopat yang sebenarnya dalam konteks Masyarakat Adat tadi. Dalam konteks itulah sebenarnya, orang Batak harus mengapresiasi Parmalim karena mereka kemudian menyelamatkan salah satu warisan dari leluhur kita. Yang disebut Parmalim itu ya Ugamo Malim. Artinya, dengan adanya Permalim, mereka menyediakan kita jalan kembali kalau suatu saat kita tersesat, karena dunia ini semakin enggak jelas dan sedang mengalami multi krisis pula.
Tapi kalau soal teritorial, kita mau kembali ke mana? Karena kalau kita lihat sekarang di tanah Batak, di manakah kita bisa melihat bius bekerja sebagai pranata sosial? Sebagai sistem pengaturan hidup bersama, sudah susah. Sebenarnya sekarang saya sangat khawatir dengan kondisi orang Batak, karena untuk sistem kepengurusan hidup bersamanya, kita enggak punya jalan pulang. Nah, disitulah kenapa gerakan Masyarakat Adat itu bisa juga ditanggap di wilayah timur Indonesia. Karena relatif memori kolektif dari sistem tersebut di sana masih bekerja dibanding dengan daerah wilayah barat Indonesia.
Jadi jika kita bicara tentang memori kolektif tentang sistem adat Batak, ya kita harus bicara dengan orang tua-tua yang umurnya di atas 70-an. Kalau saya jadi pembaca setia tulisan Monang Naipospos, sebenarnya konteks di situ karena saya sedang menemukan jalan pulang. Karena kita tahu krisis global akan mendera kita, yaitu krisis pangan, krisis ekologi, krisis energi, dan krisis identitas. Kemudian muaranya semua ini adalah konflik, ke mana orang Batak akan kembali. Itu pertanyaan terbesar sebenarnya.
Penulis: Jeffar Lumban Gaol