Kawan-kawan kita baru saja menyelesaikan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Ketiga. Apresiasi untuk kita semua. Lega sudah satu perasaan karena konsolidasi menuju Jambore Nasional IV BPAN sudah dilaksanakan. Pengalaman bertemu dengan anggota BPAN yang berkesan dan menambah semangat untuk terus bergerak bersama dalam membangun kreativitas.
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tentang persiapan menuju RAKERNAS III BPAN. Tidak mudah bagi kami tim di Sekretariat BPAN dalam menyiapkan suksesnya kegiatan kita. Memundurkan tanggal kegiatan kami ambil sebagai keputusan, demi matangnya kegiatan yang akan kita lakukan. Sebab kita tahu, ini adalah awal dari temu yang akan terus tumbuh dan rindang di kemudian hari.
Berangkat dari kegelisahan orang muda dalam berorganisasi. Sehari-hari dalam persiapan kami melakukan diskusi tanpa henti tentang bagaimana mimpi organisasi BPAN. Memadu padankan cita-cita untuk dijadikan gerakan yang kekinian. Mencoba dan terus mencoba yang kita lakukan dan erdiskusi dalam ruang-ruang yang tersedia.
Pada prosesnya kami kemudian melakukan refleksi bersama atau melihat kilas balik BPAN dalam 3 tahun belakangan. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul dalam menemukan titik terang untuk terus bergerak Bersama. Kekosongan kepempimpinan hampir satu setengah tahun membuat kami mengalami kesulitan untuk memulai. Perlahan-lahan kami mulai membangun kerja tim, mencari cara untuk menjangkau para pengurus BPAN. Tak mudah tentunya, penuh tantangan sudah pasti tetapi tak membuat kami surut semangat.
Kilas balik yang kita lakukan membawa pada satu pemikiran yang sama, BPAN akan dimulai dari penguatan organisasi. Dasar inilah yang membuat kami kemudian giat melakukan sosialisasi atau pengenalan tentang BPAN. Berbagi pengetahuan dalam setiap ruang yang ada demi memahamkan satu pandangan ke depan. Menemukan solusi atas dinamika organisasi yang baru bergerak kembali setelah tertidur satu tahun lebih.
Hingga akhirnya apa yang kita lakukan membuahkan hasil. Rangkaian RAKERNAS III BPAN dihadiri lebih dari 200 anggota. 55 Wilayah Pengorganisasian BPAN adalah cerita kebanggaan untuk kita semua. Pastinya keberhasilan ini tak luput dari berpindah-pindah tempat untuk mencari sinyal dan adanya komitmen kawan-kawan semua untuk berjalan bersama BPAN secara beriringan. Bergandengan tangan.
Inilah cerita dibalik layar yang dapat saya sajikan untuk kawan-kawan. Bung Karno berkata Perjuangan-perjuangan membawa kesulitan-kesulitan. Perjuangan besar tidak hanya menuntut pengalaman tetapi juga menuntut keberanian. Saya kira, kutipan yang saya pilih adalah cerita dari kita semua. Atas keberanian dari kawan-kawan kita dapat bersama-sama membangun organisasi ini dari satu tangga naik ke tangga lainnya.
Tetap semangat, bangun kreativitas Pemuda Adat dan terus Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat!
Rekomendasi dan Resolusi Rapat Kerja Nasional III Barisan Pemuda Adat Nusantara (RAKERNAS III BPAN) 8 – 9 Mei 2021
Kami, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hadir sebagai wadah bersama para Pemuda-pemudi Adat Nusantara untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara selama ini telah dan terus melakukan pendokumentasian terhadap pengetahuan dan semua kekayaan yang ada di wilayah adat kami. Fakta dan temuan adalah bukti bahwa kami mewarisi titipan leluhur kami yang kami yakini nilai dan kebenarannya bersumber dari cita-cita luhur Masyarakat Adat Nusantara.
Gerakan Pulang Kampung atau Kembali ke Kampung adalah inti gerakan kami sebagai generasi muda adat yang menjadi jalan menuju masa depan yang lebih pasti. Kami meyakini bahwa kampung atau wilayah adat adalah sumber penghidupan utama yang sudah terbukti menghidupi kami tanpa ketergantungan pada pencarian pekerjaan di luar wilayah adat, seperti di kota.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara telah dan terus memperkuat solidaritas demi menjaga wilayah adat. Bagi kami wilayah adat merupakan ruang hidup, ruang belajar, dan sebagai unsur penting dalam membentuk identitas kami sebagai masyarakat adat.
Pada tanggal 8-9 Mei 2021 kami, seluruh Pengurus BPAN melalui Rapat Kerja Nasional III Barisan Pemuda Adat Nusantara (RAKERNAS III BPAN telah melakukan refleksi atas perkembangan organisasi maupun situasi politik di tanah air dan menegaskan pernyataan sikap kami yang termuat dalam resolusi dan rekomendasi di bawah ini:
Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, revisi UU Minerba, dan peraturan-peraturan lainnya yang merugikan kepentingan Masyarakat Adat, lingkungan hidup, yang telah terbukti menjadi penyebab dari tindakan perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi UU Kehutanan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Pada masa pandemi Covid-19 terbukti Masyarakat Adat menjadi yang paling memiliki daya lenting dan kampung atau wilayah adat menjadi benteng pertahanan kami. Karena itulah kami menolak aksi-aksi perampasan wilayah adat. Sekaligus kami juga menyerukan agar negara mengedepankan atau mempromosikan praktek-praktek pengelolaan wilayah adat berbasis kearifan lokal Masyarakat adat.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat dan mendesak pemerintah daerah untuk segera menerbitkan produk hukum daerah yang mengakui, melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin HPH, HTI, tambang, dan bentuk lainnya yang merampas dan merusak tanah adat, situs budaya, dan lain-lain yang ada di wilayah adat kami.
Kami, Pemuda-Pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah, terutama KLHK beserta jajarannya untuk MENGHENTIKAN Penetapan Kawasan Hutan “Negaraisasi Wilayah Adat” dan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial yang mencakup skema HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan dan mencabut semua perizinan perhutanan sosial yang terbit di atas Wilayah Adat. Sebaliknya Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan pengakuan wilayah adat.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah pusat sampai daerah untuk memberikan pemerataan akses internet di seluruh nusantara.
Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengakui dan mendukung sekolah-sekolah adat di seluruh nusantara.
Internal organisasi:
Menyerukan kepada pengurus dan anggota BPAN untuk terus belajar dan memperkuat hubungan dengan tetua untuk memperoleh pengetahuan demi menjaga wilayah adat.
Menginstruksikan kepada pengurus dan anggota BPAN untuk aktif melakukan sosialisasi lewat media sosial terkait program kerja dan upaya menjaga wilayah adat di komunitas Masyarakat Adat.
Mendorong pengurus dan anggota BPAN untuk melakukan penguatan sistem dan kelembagaan adat serta terus memperkuat dan memastikan musyawarah adat tetap ada demi keberlangsungan dan kedaulatan Masyarakat Adat itu sendiri.
Menyerukan kepada seluruh pengurus BPAN untuk mempersiapkan, mengutus, dan mendukungkader-kadernya untuk merebut ruang-ruang pengambilan keputusan, dari tingkat kampung sampai tingkat nasional.
Menginstruksikan kepada seluruh pengurus dan anggota BPAN untuk melakukan program-program yang relevan untuk terus membuktikan ketangguhan Masyarakat Adat di tengah pandemi dengan aksi seperti menanam tanaman pangan, obat-obatan tradisional, mengelola hasil hutan, laut, sungai, danau, dan memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di wilayah adat.
Mendorong pengurus dan anggota BPAN untuk terus mengembangkan inovasi dengan memadukan perkembangan teknologi dan pengetahuan tradisi untuk menjadikan kampung sebagai tempat bermain dan pusat belajar untuk berhubungan baik dengan alam, sesama manusia, leluhur, dan Sang Pencipta.
Sebagai penutup dari resolusi dan rekomendasi ini, kami mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perjuangan Masyarakat Adat Nusantara.
“Demikian banyak hal yang saya tangkap dan pelajari serta tertanam dalam diri, bahwasannya sangat penting dan menjadi suatu keharusan dalam mempertahankan wilayah adat dan kewajiban kita pemuda untuk melestarikan dan membangkitkan kembali tradisi yang kita punya”, ucap Adhe Masynta usai menonton film Kinipan bersama generasi muda adat Bengkulu.
Ia salah satu dari sejumlah pemudi adat yang ikut hadir dalam acara nonton bareng (nobar) film Kinipan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Bengkulu berkolaborasi dengan Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Bengkulu dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.
Sekolah Adat Tebo Leceak Rejang Lebong, di Komunitas Lubuk Kembang, hari itu begitu ramai. Dengan menerapkan protokol Kesehatan covid-19, sejumlah pemuda-pemudi adat Bengkulu berkumpul di sana. Kamis, (1/4/2021) menjadi momen penting mereka belajar bersama dari film Kinipan produksi WatchDoc.
Adhe Masynta sangat tergugah dengan film Kinipan. Baginya, film tersebut memberikan banyak pengetahuan baru tentang perjuangan mempertahankan wilayah adat. Film Kinipan membuka matanya.
Selain menjadi ruang bertemu dan konsolidasi antar-generasi muda adat Bengkulu, acara nobar film Kinipan menjadi ruang untuk membuka pengetahuan dan kesadaran pemuda-pemudi adat dalam menjaga wilayah adatnya.
“Supaya pemuda-pemudi adat yang ada di perkampungan mengetahui bahwa kerusakan hutan itu berdampak besar bagi kehidupan, dan supaya pemuda-pemudi adat, siap tidak siap, harus berani melawan, atas kerusakan- kerusakan hutan apalagi wilayah adat sendiri. Menjaga, merawat, melestarikan lingkungan di wilayah adat mereka,” ucap Edwin Ravinki, Ketua BPAN Wilayah Bengkulu.
Dijelaskan Edwin, Kinipan merupakan film yang berkaitan dengan isu lingkungan, pandemi covid, dan Masyarakat Adat.
“Kinipan merupakan film dokumenter dari WatchDoc yang berkaitan dengan isu lingkungan, pandemi covid, Masyarakat Adat, dan lumbung pangan. Kinipan merupakan salah satu desa yang ada di Kalimantan Selatan terkenal dengan Masyarakat Adat yang masih bertahan untuk memperjuangkan hak wilayah adatnya. Film ini tidak cuma menceritakan Kinipan dan Kalimantan, tapi juga ada wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera, di mana pandemi covid-19 telah mempengaruhi kesehatan dan ekonomi secara luas. Film Kinipan juga menjelaskan bahwa virus sejak dulu sudah ada, mewabah di Indonesia. Virus yang ditularkan dari hewan,” jelas Edwin.
Di masa pandemi ini, Masyarakat Adat adalah tembok terakhir penjaga sistem ekonomi dan ketersediaan pangannya. Hal ini menjadi refleksinya atas kondisi Masyarakat Adat terkini dan apa yang diceritakan dalam film Kinipan.
“Dampak dari covid-19 juga terimbas ke lapangan kerja semakin sempit. PHK semakin banyak akibat pandemi covid yang tak kunjung usai. Lumbung pangan atau food estate yang merupakan program pemerintah untuk mengatasi pangan akibat covid-19 sampai sekarang belum juga ada hasil yang memuaskan. Bercermin dari semua itu, Masyarakat Adat bisa jadi tembok terakhir dalam menjaga sistem ekonomi atau ketersediaan pangan akibat pandemi. Hal ini karena Masyarakat Adat sudah mempunyai semua yang dibutuhkan di dalam wilayah adat, baik sumber daya alam ataupun manusianya,” ungkap Edwin.
Setelah menonton film Kinipan, Edwin dan generasi muda adat Bengkulu semakin sadar untuk menjaga wilayah adatnya. Aksi penting lain yang harus dilakukan, menurut Edwin, yakni mendorong RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan.
“Yang harus dilakukan pemuda adat adalah menjaga wilayah adat dan mendorong segera dilakukannya pengesahan RUU Masyarakat Adat,” tegasnya.
Menjaga dan melestarikan hutan, menurut Edwin, menjadi salah satu isu penting dari beberapa isu yang diangkat dalam film Kinipan.
“Dari beberapa isu yang diangkat dalam film Kinipan, kita adalah pemuda adat. Pemuda adat memiliki peran penting dalam menjaga melestarikan hutan. Apalagi hutan di wilayah Masyarakat Adat,” tutup Edwin.
29 Maret menjadi tanggal yang penting bagi Tonaas Rinto Taroreh. Tanggal tersebut menjadi penanda waktu baginya ketika memulai kerja pengabdian tanpa pamrih bagi eksistensi kebudayaan Minahasa.
Sebelas tahun silam, di tanggal tersebut, ia pertama kali melakukan penyelamatan situs yang rusak akibat vandalisme. Bersama beberapa orang yang masih keluarga dekat, sahabat, dan rekan komunitas, ia memulai kerja untuk memperbaiki waruga yang rusak akibat penjarahan. Di Wanua Ure Lotta, semua itu dimulai.
“Kalau merawat situs peninggalan leluhur sudah lebih dari 20 tahun. Kalau penyelamatan situs, memperbaiki situs, itu sudah 11 tahun. Tepat hari ini 11 tahun. 29 Maret 2021,” tutur Tonaas Rinto.
Masawang-sawangan, Ru’kup, dan Panggilan Hati
Nama lengkapnya, Christian Rinto Taroreh. Ia biasa disapa Tonaas Rinto. Kini, aktivitasnya sehari-hari ia abdikan untuk kerja-kerja kebudayaan Minahasa. Misal, memperbaiki situs, mengobati orang lewat pengobatan tradisional Minahasa, melatih Kawasaran, dan lain sebagainya terkait dengan peran sebagai Tonaas.
Hampir semua hari, di sebelas tahun terakhir ini, ia habiskan untuk menjaga, merawat, dan memperbaiki situs peninggalan leluhur yang merupakan aset kultural Minahasa. Semua kerja itu dilakukannya sebagai penghormatan kepada leluhur. Menurutnya, leluhur adalah orang tua dan ia adalah anak. Sebagai anak adalah tanggung jawabnya untuk menjaga milik dan peninggalan orang tua. Salah satunya situs budaya. Kesadaran inilah yang memotivasinya dan memulai menyelamatkan situs. Waruga, makam leluhur Minahasa, di Lota menjadi situs pertama yang diselamatkannya bersama komunitas.
“Sebenarnya yang memotivasi saya karena situs ini adalah milik leluhur kita. Kalau ini leluhur kita, berarti dia adalah orang tua kita. Kalau mereka adalah orang tua kita, berarti tanggungjawabnya ada pada kita. Jadi, tidak perlu menunggu siapa-siapa. Kalau sudah melihat hal yang seperti ini, langsung bertindak. Ini soal kepekaan. Tapi kepekaan tidak cukup. Harus ada wujud nyata. Tindakan langsung. Jadi, yang memotivasi saya, yang paling pokok, karena ini orang tua kita. Kalau ini orang tua kita, kepada siapa lagi tanggung jawab ini harus diberikan? Tentu kepada kita. Dimulai dari kita,” jelas Rinto.
Tonaas Rinto menjelaskan bahwa motivasinya menyelamatkan situs adalah wujud bakti seorang anak kepada orang tua. Selain itu, upayanya ini merupakan sebuah tanggung jawab untuk generasi selanjutnya.
“Karena menurut saya yang paling utama adalah keterhubungan kita dengan situs leluhur. Ini soal tanggung jawab kepada leluhur kita, kepada orang tua kita. Dan tanggung jawab untuk anak cucu kita”
Selama ini, ia bekerja memperbaiki situs, melakukan aksi penyelamatan situs budaya karena panggilan hati. Ia dan kawan-kawan komunitas pegiat budaya Minahasa melakukan kerja tersebut berdasar atas nilai-nilai ke-Minahasaan.
“Menurut saya, ini terkait dengan salah satu dari nilai Keminahasaan. Ada beberapa nilai Keminahasaan. Pertama, Masawang-sawangan. Jadi ini kerja bersama. Kami bersama-sama, kerja di tempat leluhur. Dengan kami bekerja di tempat leluhur, ini wujud nyata dari kami untuk menghormati mereka. Dan kedua, ini menjadi pembelajaran untuk generasi berikutnya. Menjadi landasan untuk mereka nanti. Bagaimana ber-Minahasa. Dengan salah satu sisi, mesti ada kerja-kerja nyata, turun langsung ke lapangan. Melakukan aksi penyelamatan situs”
Menurut Tonaas Rinto, upaya penyelamatan situs dilakukan karena situs tersebut bukan hanya sekedar benda, tetapi ia memiliki nilai-nilai kearifan Minahasa.
“Penyelamatan situs ini, karena situs ini bukan sekedar benda, tetapi di situ terkadung nilai-nilai kearifan Minahasa. Kerja yang kami lakukan Masawang-sawangan itu, bagian dari nilai-nilai ke-Minahasaan yang para leluhur wariskan,” ungkapnya.
Masawang-sawangan dalam bahasa Minahasa berarti ‘saling bantu-membantu atau saling menopang’. Ini hanya bisa terjadi kalau dilakukan secara bersama-sama. Satu orang dengan yang lain. Panggilan hati dan tanggung jawab kepada leluhur serta nilai Masawang-sawangan menjadi dasar upaya penyelamatan situs yang mereka lakukan. Dasar ini kemudian menjadi bukti bahwa mereka mampu melakukan ini tanpa bantuan dana pemerintah. Ini juga yang menjadi salah satu cara mereka menujukan kepada banyak orang bahwa upaya mereka murni karena panggilan hati sebagai seorang anak Minahasa. Upaya mereka memperbaiki situs selama ini, dilakukan dalam spirit Masawang-sawangan, tanpa mengharap bantuan atau dapat bantuan dana dari pemerintah. Kearifan Minahasa, Ru’kup, menjadi dasar untuk memenuhi segala keperluan yang dibutukan untuk merawat dan memperbaiki situs yang rusak.
“Uang didapatkan dari Ru’kup. Dikumpulkan dari teman-teman semua. Bahan material, ada yang dibeli. Ada juga yang diambil dari rumah saya. Jadi kami semua patungan. Selain ada yang memberi uang, ada yang memberikan tenaganya. Selain tenaga, ada juga yang memberi bahan, contoh semen. Kemudian ada yang memberi makanan, pisang goreng, nasi, makanan yang kami makan di lokasi”, terangnya.
Ru’kup adalah salah satu kearifan Minahasa. Ia banyak digunakan orang Minahasa saat melakukan sesuatu, kegiatan, atau acara. Masing-masing orang memberikan apa yang ia punyai secara tulus dan ikhlas.
Berjuang Bersama Masyarakat Adat Nusantara
Selain melakukan banyak kerja dan karya dalam bidang kebudayaan Minahasa, Tonaas Rinto juga aktif dalam gerakan masyarakat adat nusantara bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tahun 2017, ia menjadi salah satu kader AMAN dari Sulawesi Utara mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara.
Ia juga aktif terlibat bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Utara. BPAN merupakan organisasi sayap AMAN yang menjadi wadah pemuda-pemudi adat se-Nusantara untuk berjuang bersama. Di Sulawesi Utara, BPAN memiliki kepengurusan. Dalam kepengurusan tersebut, Tonaas Rinto dimandatkan oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN Wilayah Sulut untuk menjadi penasehat. Posisi ini diberikan kepada Tonaas Rinto karena ketokohan, wawasan tentang adat tradisi Minahasa, dan pemberian dirinya bagi eksistensi kebudayaan Minahasa yang luar biasa. Allan Sumeleh, S.Teol selaku Ketua BPAN Wilayah Sulut, menyampaikan bahwa Tonaas Rinto menjadi teladan bagi pemuda-pemudi adat Minahasa. Karya dan kerja-kerjanya yang tulus bagi Tanah Toar Lumimuut menjadi inspirasi bagi mereka.
“Tonaas Rinto mengajarkan keteladanan. Tidak hanya cara hidupnya yang mengabdikan dirinya secara tulus bagi eksistensi kebudayaan Minahasa, tapi ia juga membagikan pengetahuan tersebut kepada generasi muda Minahasa. Ia tanpa pamrih, aktif terlibat bersama pemuda-pemudi adat. Ia juga hadir menjadi Kelung um Banua bagi Minahasa di konteks kekinian,” ungkap Allan.
Bagi Alan, Tonaas Rinto begitu bijaksana dalam hal apapun. Perannya bagi pemuda adat sangat berpengaruh. Tonaas sering berbagi tentang apa yang baik dan yang harus diikuti oleh mereka.
“Tonaas Rinto juga sebagai penasehat BPAN Sulut juga sangat berkontribusi dalam berbagai hal. Antara lain, sering memberikan latihan tarian Kawasaran dan memberikan atribut Kawasaran untuk kami pakai,” tambahnya.
Tonaas Rinto sendiri sudah bergabung dalam perjuangan masyarakat adat ketika terlibat dalam Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Komunitas Adat dan Tradisi Tahun 2012 di Surabaya. Ia waktu itu hadir lewat undangan dari AMAN. Sejak saat itu ia semakin intens bergerak dalam perjuangan bersama AMAN dan masyarakat adat nusantara. Terutama, dalam perjuangan bersama masyarakat adat di Minahasa melakukan advokasi, menggiatkan tradisi leluhur, aksi menyelamatkan situs, serta pelestarian seni tradisi dan warisan pengetahuan Minahasa.
Pencapaian yang Tak Pernah Diduga
Kiprah Tonaas Rinto yang tulus dan penuh dedikasi bagi Minahasa, juga terlihat dari kiprahnya melestarikan Kawasaran sebagai ritual dan Kawasaran sebagai seni pertunjukan.
Sudah satu dekade lebih, ia menggelorakan kembali Kawasaran di seluruh pelosok Minahasa. Sekarang ini, di Minahasa terjadi sebuah kebangkitan kultural. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak kelompok Kawasaran. Mulai dari kelompok Kawasaran di kampung-kampung, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, komunitas, serta sanggar-sanggar. Banyak di antaranya, dilatih dan digerakkan oleh Tonaas Rinto. Upayanya ini dilakukan sebagai panggilan hati untuk menjaga warisan pengetahuan leluhur. Tanpa ia duga, kerja dan karyanya ini, membuatnya mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) Tahun 2020 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Pelestari Kawasaran.
Di hari ia menerima penghargaan ini, ucapan selamat datang dari banyak pihak. Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, turut memberikan ucapan selamat. Begitu juga BPAN, lewat Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo ikut mengucapkan selamat. Penghargaan kepada Tonaas Rinto menjadi salah satu bukti eksistensi masyarakat adat yang konsisten menjaga warisan leluhurnya.
Ucapan Selamat dari Sekjend AMAN dan Ketua Umum BPAN kepada Tonaas Rinto
Waruga Opo Lawit Potot: Jejak Awal Aksi Penyelamatan Situs
Di daerah lain di Nusantara, masyarakat adat berhadapan dengan banyak tantangan. Mulai dari perampasan tanah sampai kriminalisasi masyarakat adat. Sementara di Minahasa, vandalisme atau pembongkaran dan pengrusakan aset kultural, seperti situs, menjadi masalah utama.
Vandalisme terhadap situs budaya telah lama terjadi di Minahasa. Bahkan sampai sekarang masih terjadi. Kasus terakhir, di daerah Minahasa Selatan. Memang, pengrusakan terhadap aset kultural Minahasa menjadi salah satu masalah besar yang dihadapai masyarakat adat Minahasa.
Vandalisme terhadap aset kulutral di Minahasa, membuat orang-orang seperti Tonaas Rinto Taroreh dan pegiat budaya lain langsung bergerak, memenuhi panggilan hati. Kasus pengrusakan dan penjarahan situs, langsung direspon dengan bukti nyata. Turun langsung dan bekerja secara tulus tanpa pamrih.
“Sudah banyak situs budaya yang diperbaiki. Ada Waruga, ada Lisung, ada Batu Tumani, Batu Tumotowa, Batu Sumanti. Kalu Waruga sudah ratusan, Watu Tumani, puluhan. Sama dengan Lisung-lisung Tua. Ratusan Waruga, Lisung dan beberapa situs lainnya diperbaiki secara swadaya dengan komunitas,” pungkasnya.
Tonaas Rinto mencatat ada beberapa kali terjadi pengrusakan dan pembongkaran terhadap situs terakhir yang baru saja ia dan reka-rekannya selesai perbaiki. Aset kultural Minahasa tersebut berupa Waruga yang sudah beberapa kali dirusak, sejak tahun 1980.
Situs Waruga Opo Lawit Potot yang hancur akibat vandalisme
“Yang menyebabkan situs itu rusak, kalau faktor alam kecil sekali. Hal utama yang membuatnya rusak karena adanya penjarahan, perampokan isi waruga. Itu terjadi dua kali. Jadi pertama kali dibongkar itu, tahun 1980. Baru kemudian, tahun 1987. Ada orang yang bilang pertama 1990, tapi dia ubah lagi jadi 1987,” paparnya.
Situs terakhir yang diselamatkan dan perbaiki oleh Tonaas Rinto terletak di Wanua Ure (Kampung Tua) Lotta. Situs tersebut berupa Waruga dari leluhur Minahasa, Opo Lawit Potot.
“Situs terakhir ini, baru selesai beberapa hari yang lalu, hari sabtu. Situs dari Opo Lawit Potot. OPo Lawit Potot ini, dia seorang Tonaas Perang, Teterusan, Mamuis dari Wanua Ure Lotta”
Proses penyelamatan situs Waruga Opo Lawit
Waruga Opo Lawit Potot menjadi situs yang pertama kali ia selamatkan, sekaligus menjadi situs terakhir yang diperbaiki baru-baru ini. Pekerjaan perbaikan situs ini, menjadi penanda waktu bagi Tonaas Rinto mulai terjun dalam aksi penyelamatan situs yakni sebelas tahun, sejak 29 Maret 2010.
“Merawat dan memperbaiki situs, seperti waruga yang dirusak adalah wujud bakti kepada leluhur sebagai orang tua kita,” tutup Tonaas Rinto.
Epilog
Hari Senin, 29 Maret 2021, Tonaas Rinto Taroreh mengupload sekitar 36 foto di sebuah album di akun Facebook miliknya. Album foto tersebut ia beri nama Wanua Ure Lotta’ (Kalih Tua). Album itu berisi foto-fotonya bersama para pegiat budaya Minahasa yang sedang memperbaiki Waruga Opo Lawit Potot. Ia kemudian menambahkan keterangan pada album tersebut dengan tulisan yang agak panjang. Ia menulis itu sebagai sebuah ingatan. Berikut tulisannya:
“Penyelamatan situs sejarah dan benda cagar budaya adalah tanggung jawab kita bersama.
Penyelamatan dan pemugaran situs secara mandiri adalah salah satu bukti bahwa nilai-nilai ke-Minahasaan (Masawa-sawangan, Matombo-tombolan, dsb) masih kuat dan terus tumbuh.
Ini adalah panggilan hati, kepekaan yang mewujud menjadi kerja nyata.
Hari ini genap 11 tahun kami memulai kegiatan penyelamatan situs-situs sejarah budaya dihampir seluruh tanah minahasa, secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Hancurnya situs budaya khususnya Waruga itu akibat penjarahan disekitar tahun 1970-1990an.
Kali ini kami melakukan penyelamatan situs bersejarah di Wanua Ure Lotta’, di Waruga dari Opo Lawit.
Teman-teman yang terlibat dari lintas komunitas adat dan pribadi. Ada dari Wanua Kembes, Bitung, Tomohon, Manado dan beberapa wanua seputaran situs.
Pekerjaan ini kami lakukan hampir 2 minggu dan selesai beberapa hari yg lalu.
Terima kasih banyak buat semua yang terlibat dalam kegiatan ini; Tua Isan, Om Mik, Papa, Firsa, Fano, Ayen, Ando, Jeki, Rio, Eber, Figo, Steven, Paschal, Hip, Charles, Ichan, Maikel, Andre, Doni, Onal.
Mari teman-teman semua, bersama kita selamatkan situs-situs sejarah dan budaya warisan peradaban Para Leluhur Minahasa.
Semoga semesta dan Para Leluhur menyertai kita semua.
Di dalam ruangan, ada sebuah baleho. Digantung di dinding berlatar putih.
Logo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) diletakan di bagian atas baleho. ‘Pendidikan Kader Pemula dan Konsolidasi Pemuda Adat’ tercetak besar di baleho tersebut. Tulisan ini hendak menggambarkan kegiatan yang sedang dilakukan. ‘Bangkit Bersatu Menuju Gerakan Masyarakat Adat yang Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat’ juga tertulis di baleho.
Di depan baleho, ada sejumlah generasi muda adat Mamasa. Mereka berkumpul, bermusyawarah, dan belajar bersama mengenai gerakan masyarakat adat. Mereka mengikat komitmen untuk tanah adat dan masa depan masyarakat adat. Upaya konkrit mereka mewujud dengan dibentuk dan dideklarasikannya Pengurus Daerah (PD) BPAN Mamasa.
“Kurangnya kesadaran generasi muda di Mamasa tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak istimewa yang diwariskan leluhurnya,” ungkap Evan. Ini kemudian menjadi salah satu alasan Evan dan generasi muda adat Mamasa membentuk BPAN Daerah Mamasa.
Evan percaya bahwa BPAN adalah wadah yang tepat dan selama ini konsisten memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
“BPAN adalah wadah yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat”, ucap Evan.
Evan Dwi Kurnianto begitu bersemangat hari itu. 13 Maret 2021 menjadi momen spesial baginya dan generasi muda adat Mamasa. Mereka berkumpul di Wisma Gandang Dewata, Kelurahan Mamasa Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa. Di waktu itu, mereka bermusyawarah dan mendeklarasikan BPAN Daerah Mamasa sebagai wadah perjuangan pemuda-pemudi adat.
Selain memutuskan untuk mendeklarasikan PD BPAN Mamasa, hasil musyawarah juga menetapkan kepengurusannya. Evan Dwi Kurnianto diberi mandat sebagai Ketua, Yudith Sriwahyuni sebagai Sekretaris dan Marson Ramba Kila sebagai Bendahara.
Sebagai pemuda adat, menurut Evan, BPAN menjadi wadah yang harus diiikuti oleh pemuda-pemudi adat di seluruh nusantara. Hal ini disampaikan Evan sebagai pengakuan dari apa yang dilihatnya mengenai BPAN selama ini.
Bagi Evan, BPAN harus dibentuk di seluruh daerah di nusantara sebagai perpanjangan tangan perjuangan masyarakat adat. BPAN di daerah-daerah menjadi motor untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
“BPAN harus membentuk pengurus daerah agar dapat menjadi perpanjangan tangan dalam mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat,” tuturnya.
Evan dan 21 orang generasi muda adat Mamasa yang mendeklarasikan PD BPAN Mamasa dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.
Muhammad Aipa Padang adalah pemuda adat asal Komunitas Marga Padang Petal. Setelah 30 menit jalan kaki, akhirnya ia sampai di lokasi kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) generasi muda adat Tanoh Pakpak.
12 Maret 2021 menjadi hari penting baginya dan generasi muda adat Tanoh Pakpak. Di hari itu mereka bermusyawarah untuk menentukan kepengurusan yang baru Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Tanoh Pakpak.
Kebun Cabe milik Komunitas Adat Sampen Bunga menjadi lokasi kegiatan Perda. Cabe hijau berukuran besar, menghiasi lokasi kegiatan. Perda ini diselenggarakan pada 10-12 Maret 2021.
Salah satu inti kegiatan Perda yakni memberikan pengetahuan tentang gerakan masyarakat adat. Selain materi tentang gerakan masyarakat adat nusantara, para generasi muda adat juga belajar mendalam tentang masyarakat adat Tanoh Pakpak.
“Kami juga belajar tentang masyarakat adat Tanohh Pakpak secara mendalam,” kata Aipa Padang.
Kegiatan Perda ini dihadiri oleh 20 orang pemuda-pemudi adat dari beberapa komunitas di Tanoh Pakpak. Hadir pula para tetua adat, Sana’un Angkat selaku Ketua BPH PD AMAN Tanoh Pakpak, dan Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera.
Para tetua adat yang hadir memberikan banyak petuah dan pesan bagi seluruh generasi muda adat yang hadir. Aipa Padang sangat ingat pesan-pesan tersebut.
“Jagalah wilayah adatmu, jaga kampungmu karna itu hakmu”
Itu pesan dari tetua yang paling diingatnya.
Pesan tersebut yang memotivasi dia untuk bergabung bersama BPAN. Wadah perjuangan generasi muda adat seperti BPAN menjadi tempat yang tepat untuk membangun kekuatan demi mempertahankan hak-hak masyarakat adat.
“Menurut saya, BPAN adalah wadah membangun kekuatan dan militansi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat adat,” ucap Aipa.
Dalam musyawarah pemuda-pemudi adat Tanoh Pakpak, mereka memutuskan dan memilih kepengurusan BPAN Daerah Tanoh Pakpak yang baru. Muhammad Aipa Padang dipercayakan menjadi Ketua. Ia terpilih menggantikan Jani Bacin yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua BPAN Daerah Tanoh Pakpak.
Pengurus dan anggota BPAN Daerah Tanoh Pakpak yang baru dikukuhkan dengan mengucapkan janji pemuda adat. Mereka mengucapkan ikrar tersebut sebagai sumpah untuk menjadi bagian perjuangan menjaga wilayah adatnya.
“Di samping karena ada kekosongan kepengurusan sejak awal pembentukan BPAN Lombok Utara, juga karna tahun kemarin DPRD bersama Pemerintah daerah sudah mengesahkan Perda No.6 Tahun 2020 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, AMAN sebagai lembaga induk yang terlibat aktif dalam mendorong perda tersebut sampai akhirnya disahkan, penting mendapat perhatian dan peran aktif pemuda sebagai garda terdepan mendorong implementasi perda tersebut” ungkap Hariyanto.
Begitu penjelasannya tentang diaktifkan kembali Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Lombok Utara. Ia juga mengungkapkan bahwa kehadiran BPAN Daerah Lombok Utara menjadi semangat baru bagi generasi muda adat di sana.
Ia juga bercerita proses pengaktifan kembali BPAN Daerah Lombok Utara.
“Waktu itu saya masih menjabat sebagai OKK dan sampai sekarang , tinggal menunggu jadwal untuk pergantian posisi saya di AMANDA Paer Daya. Saya melihat gerakan pemuda lebih pasif, karna setiap kegiatan cenderung para tetua dan tokoh sepuh yang hadir pemudanya minim. Sehingga setelah berdiskusi dengan Dewan Nasional BPAN region Bali –Nusra ini dapat terlaksana” ucapnya.
Sebagai pemuda adat Lombok, ia melihat gerakan pemuda adat mulai agak pasif. Ini kemudian mendorongnya untuk melakukan konsolidasi bersama beberapa pemuda-pemudia adat Lombok. Termasuk berkoordinasi dengan DePAN BPAN.
Upaya mereka ini pun mewujud dengan melakukan musyawarah generasi muda adat Lombok pada hari Minggu, 7 Maret 2021. dilaksanakan di Bale Pertemuan ‘Pusaka Sebaya Tanta’, Komunitas Adat Karang Bajo, Bayan, Lombok Utara.
Acara Konsolidasi sekaligus musyawarah pembentukan kembali BPAN Daerah Lombok, juga diisi dengan workshop pemetaan partisipatif.
“Dalam Keseharian para tetua berpesan, Jaga Dirik Jaga Gubuk, Ilang Dirik Ilang Gubuk. Yang berarti Gubuk atau kampung adat / adat. Ketika kita menjaga diri maka jaga juga kampungmu, hilangnya kita maka hilanglah identitasmu, hilanglah adat itu” , tutur Hariyanto. Ia mengulang kembali pesan tetua adat yang didengarnya saat disampaikan kepada para generasi muda adat Lombok.
Hariyanto selaku Ketua BPAN Daerah Lombok Utara menerima alat kelengkapan organisasi BPAN yang diserahkan oleh Lalu Kesumayadi selaku DePAN BPAN Region Balinusra
Menurut Hariyanto, pesan para tetua tersebut sangat penting. Upaya untuk menjaga kampung, sama seperti menjaga diri. Inti dari pesan ini, menurutnya sama dengan semangat perjuangan BPAN. Hal ini kemudian menjadi alasan mengapa generasi muda adat haru bergabung bersama BPAN.
Hariyanto juga menuturkan alasan lain pemuda-pemudi adat harus bergabung bersama BPAN. Baginya, BPAN menjadi suatu wadah yang memberikan ruang bagi pemuda-pemudi adat dalam gerakan perjuangan masyarakat adat.
“Karna sebelumnya, banyak anak muda berpotensi tidak memiliki arah gerakan yang jelas, cenderung terbentur dengan sistem yang ada, sedangkan hal semacam itu dapat membatasi kreatifitas mereka, perlu ada suatu wadah yang mengerti cara berfikir mereka terhadap gerakan perjuangan Masyarkat Adat”
Dalam musyarawah pembentukan kembali Pengurus Daerah (PD) BPAN Lombok Utara, Hariyanto terpilih sebagai Ketua. Ia kemudian dikukuhkan sebagai pengurus dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Proses pengukuhan ini dipimpin oleh Lalu Kesumayadi selaku DePAN Region Balinusra.
Hariyanto bersama generasi muda adat Lombok yang tergabung dalam BPAN Daerah Lombok Utara menjadi semangat baru bagi perjuangan masyarakat adat di Nusantara.
Selama tiga hari itu, langit begitu cerah. Air yang menyapu batu di sungai Lariang pun begitu jernih.
Di dekat sungai, sejumlah generasi muda adat Kulawi, Sulawesi Tengah berkumpul. Mereka mendekatkan kembali dirinya dengan alam. Berkonsolidasi. Membicarakan soal komitmen menjaga wilayah adatnya, menjaga kampungnya.
Kicau burung dan deru angin di pepohonan mengiringi aktivitas mereka sejak pagi sampai malam.
Beberapa hari itu, semesta memberikan ruang dan waktu yang begitu baik bagi mereka melaksanakan Pertemuan Daerah (Perda) pemuda-pemudi adat Kulawi.
Dalam Perda tersebut, mereka berkonsolidasi dan belajar bersama. Selain itu, mereka melakukan hal penting dan bersejarah. Bermusyawah dan mendeklarasikan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kulawi sebagai wadah perjuangan pemuda-pemudi adat Kulawi.
Liong, sapaan akrabnya. Nama aslinya Jemmy. Ia adalah salah satu pemuda adat yang ikut Perda bersama generasi muda adat Kulawi, 17-18 Februari 2021.
Liong dan beberapa temannya yang menjadi inisiator kegiatan ini. Mereka semakin bersemangat karena didukung penuh oleh orang tua dan para tetua adat di komunitasnya.
Rabu pagi, Liong sudah bersiap. Hari itu, hari pertama pelaksanaan kegiatan Perda. Ia menempuh waktu sekitar satu jam berkendara dengan motor menuju lokasi kegiatan. Liong berangkat bersama temannya. Mereka melalui jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Di ujung jalan, di dekat lokasi kegiatan, mereka harus melewati sebuah jembatan gantung di sungai Lariang. Sungai ini terletak di Dusun Pontu, Desa Makujawa. Di dekat situ, kegiatan Perda dilaksanakan.
Jembatan Sungai Lariang
Melewati jembatan gantung ekstrim itu, membuat Liong dan kawannya sedikit agak takut. Jantung mereka berdetak lebih cepat dari biasanya. Itu pengalaman menarik pertama yang mereka lalui.
“Hal menarik, saat melewati jembatan gantung dua tali yang ekstrim”, ucap Liong.
Bagi Liong, pengalaman itu begitu berkesan. Setelah perjalanan yang mengasyikkan, mereka akhirnya tiba.
Lokasi kegiatan persis di tepi sungai. Bebatuan dan pohon-pohon rindang menjadi alas dan atap. Mereka menjadikan alam sebagai rumah untuk berkegiatan.
Tanah lapang di dekat sungai menjadi tempat mereka mendirikan kemah dan menghabiskan malam berkegiatan.
Sungai Lariang merupakan ikon daerah Kulawi. Ia juga merupakan sungai terpanjang di Sulawesi. Hal ini menjadi alasan Sungai Lariang dipilih menjadi lokasi kegiatan.
Ada 20 orang pemuda-pemudi adat Kulawi yang ikut kegiatan tersebut. Hadir pula tetua adat dan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Kulawi.
Yonas Mantaeli merupakan salah satu tetua adat yang hadir. Selain sebagai anggota Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) Kulawi, ia juga juga menjabat sebagai Kepala Desa Gimpu dan sebagai anggota Lembaga Adat Kecamatan Kulawi Selatan. Di kegiatan itu, ia memberikan nasehat dan pesan kepada para pemuda-pemudi adat yang hadir. Ia mengilustrasikan perjuangan pemuda adat seperti batu dan air di sungai.
“Pemuda adat berjuang bagaikan batu dan air yang ada di sungai ini. Berpendirian teguh kokoh bagaikan batu dan tak akan henti-hentinya berjuang bagaikan aliran air yang mengalir deras di sungai Lariang ini yang tak pernah putus”, ungkap Yonas.
Selain menerima materi tentang gerakan Masyarakat Adat dan tentang AMAN, pemuda-pemudi adat Kulawi yang hadir juga menerima materi tentang BPAN.
Usai sesi materi dan belajar bersama, mereka kemudian bermusyarawah, membicarakan pembentukan dan pendeklarasian BPAN Daerah Kulawi. Termasuk, memilih kepengurusan PD BPAN Kulawi yang pertama.
Hasil musyawarah memutuskan posisi Ketua diamanatkan kepada Jemmy, Ia kemudian dibantu oleh Maikel Owen sebagai Sekretaris dan Stevi sebagai Bendahara.
Joko Sunarto menyerahkan Bendera BPAN kepada Jemmy sebagai Ketua BPAN Daerah Kulawi
“Pemuda adat perlu bergabung dengan BPAN supaya kita tahu berorganisasi, saling mengenal keberagaman etnis dan budaya di nusantara, saling menopang dan meringankan beban jika kita bersatu dalam satu ikatan komitmen perjuangan, dan perjuangan hak-hak Masyarakat Adat lebih kuat dan itu semua demi masa depan generasi Masyarakat Adat ke depannya karena tanah leluhur tetap terjaga,” jelas Liong selaku ketua pertama BPAN Daerah Kulawi.
Menurutnya pula, BPAN mesti dibentuk di semua daerah, di semua komintas adat dan kampung di Nusantara. BPAN bisa menjadi ruang bagi mereka untuk mereka belajar dan mengenali identitas mereka sebagai Masyarakat Adat.
“Perlu BPAN diperbanyak, dibentuk di daerah. Mengingat di zaman milenial sekarang ini, banyak pemuda adat yang hampir kehilangan identitas. Banyak yang tidak tahu tentang tradisi dan adat istiadatnya. Banyak yang tidak percaya diri lagi memakai pakaian kebesaran daerahnya; masih banyak hal yang harus diperjuangkan agar tidak lenyap ditelan masa”, tutupnya.
Pengurus dan anggota BPAN Daerah Kulawi dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Proses pengukuhan ini dipimpin oleh Delsius selaku Ketua BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan disaksikan oleh Joko Sunarto selaku DePAN Region Sulawesi.
Seperti batu dan air di Sungai Lariang, BPAN Daerah Kulawi tetap teguh dan takkan henti untuk bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adatnya.
“Pesan bagi pemuda adat yang hadir adalah agar generasi muda bisa menjadi kader pemula maupun kader penggerak dalam mempertahankan adat leluhur kita”, ucap Rian sambil mengulang kembali pesan tetua adat yang didengarnya.
Menurut Rian, suara para tetua adat saat bicara begitu lantang. Suara mereka mampu mengalahkan suara ombak yang pecah di pinggir pantai Siuri.
5 Februari 2021, angin berhembus lembut di sekitar pantai. Langit pun begitu cerah. Kondisi ini membuat Rian dan sejumlah generasi muda adat Pamona asyik berkegiatan di Pantai Siuri. Mereka sedang melaksanakan Pertemuan Daerah (Perda) sebagai ruang konsolidasi pemuda-pemudi adat Pamona.
Hari itu, menjadi hari bersejarah bagi pemuda-pemudi adat Pamona. Ombak dan angin di pantai Siuri menjadi saksi upaya mereka sebagai penerus Masyarakat Adat.
Pantai Siuri terletak di wilayah adat Komunitas Pu’umboto di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Komunitas Pu’umboto sendiri merupakan bagian dari Suku Pamona. Komunitas ini terkenal dengan kuliner khasnya, Inuyu atau nasi bambu.
Rian Rifandry Mohama, nama panggilannya Rian. Ia dan belasan pemuda-pemudi adat Pamona hadir di kegiatan Perda yang dilaksanakan di pantai Siuri. Turut hadir pula dalam Perda itu para tetua adat dan perwakilan Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Poso.
Dalam Perda itu, dilaksanakan beberapa agenda penting. Pertama, pendidikan kader pemula. Kedua, pembentukan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Pamona.
Dalam musyawarah pembentukan PD BPAN Pamona, terpilih Rian Rifandry Mohama sebagai Ketua. Ia menjadi Ketua pertama BPAN Daerah Pamona. Dalam kepengurusannya, ia didampingi oleh Sam Gulinda sebagai Sekretaris dan Yuyun Ombo sebagai Bendahara.
Rian memang begitu bersemangat untuk bergabung dengan BPAN. Ia terinpirasi dengan perjuangan BPAN dan AMAN. Menurutnya, pemuda adat Pamona harus bergabung dengan BPAN karena pemuda adat adalah Masyarakat Adat itu sendiri.
“Pemuda adat merupakan Masyarakat Adat itu sendiri dan harus menjadi barisan pemuda adat untuk bertanggung jawab mengembangkan serta menyelesaikan setiap permasalahan budaya adat yang ada di wilayahnya,” tuturnya.
Bagi Rian ini menjadi kredo pemuda-pemudi adat Pamona dalam perjuangan Masyarakat Adat.
Rian menjadi salah satu dari sekian banyak generasi muda adat anggota BPAN yang percaya bahwa perjuangan BPAN akan semakin kokoh apabila tiang-tiang organisasi BPAN terus ditancapkan di seluruh penjuru nusantara. Upaya ini, menurutnya, membuat perjuangan BPAN semakin kuat.
“BPAN bisa berdiri kokoh sebagai satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari Masyarakat Adat itu sendiri dan bisa menjadi kader penggerak dalam mempertahankan adat leluhur di daerah masing-masing,” tegasnya.
Pengurus dan anggota BPAN Daerah Pamona mendeklrasikan diri menjadi bagian dari perjuangan BPAN. Mereka kemudian dikukuhkan dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.
Seperti Deru Ombak Pantai Siuri yang mampu menghancurkan karang, seperti itu pula komitmen mereka menjaga wilayah adatnya.
Ada sebuah pondok di antara pepohonan di wilayah adat Kasepuhan Cicarucub. Pondok ini menjadi saksi sejarah yang digoreskan generasi muda adat Banten Kidul. Di sana mereka menggelar konsolidasi dalam bentuk Pertemuan Daerah (Perda) generasi muda adat Banten Kidul. Dalam Perda itu, Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Banten Kidul dideklarasikan.
Cia salah satu dari banyak generasi muda adat Banten Kidul yang hadir di kegiatan itu. Ia kemudian terpilih menjadi Ketua pertama BPAN Daerah Banten Kidul.
Nama lengkapnya Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik. Sapaan akrabnya Cia. Ia pemudi adat asal komunitas Kasepuhan Bayah.
Di hari di mana kegiatan Perda berlangsung, Cia begitu bersemangat. Sejak matahari belum terlalu lama naik, ia sudah mempersiapkan diri. Sekitar jam 9, ia berangkat bersama adiknya, Genta Galih, ke lokasi Perda. Sepeda motor menjadi tunggangan mereka ke sana.
Cuaca hari itu cukup cerah. Perjalanan mereka pun begitu mengasyikkan. Berkendara menggunakan motor, membuat mereka mampu berinteraksi langsung dengan angin dan udara khas pegunungan di wilayah adat yang terjaga. Pemandangan indah menjadi teman mereka sampai ke tempat kegiatan.
Usai berkendara selama satu jam, mereka sampai di lokasi kegiatan di Lebak Damar, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Di sana, rupanya angin bertiup cukup kencang. Udaranya pun dingin. Kondisi ini sangat khas daerah pegunungan.
“Cuaca pada saat itu lumayan cerah. Tapi karena lokasi berada di pegunungan, angin di sana cukup kencang dan udaranya sangat dingin,” ucap Cia.
Ia begitu bahagia bisa tiba dengan selamat dan menikmati langsung keindahan tempat tersebut. Apalagi bertemu dengan banyak pemuda-pemudi adat se-Banten Kidul dan mendeklarasikan BPAN, membuat kebahagiaanya semakin lengkap.
Cia rupanya mulai terlibat secara aktif dalam perjuangan Masyarakat Adat sejak tahun 2017. Ia kemudian mengenal BPAN saat sering mengikuti kegiatan Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN). Dalam aktivitas itulah, ia tahu bahwa AMAN punya organisasi sayap khusus untuk pemuda-pemudi adat. Ia juga mengikuti akun media sosial BPAN. Di situ pula ia tahu banyak informasi mengenai BPAN.
Hal-hal ini, ternyata juga yang mendorong Cia bersemangat bergabung dengan BPAN.
“Pemuda adat harus bergabung bersama BPAN karena bukan hanya ilmu dan pengalaman yang didapat, pemuda adat juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan mengabdi kepada kampung,” ujar Cia.
Ia dan pemuda pemudi adat Banten Kidul kemudian menghabiskan waktu selama 3 hari, sejak tanggal 19-21 Februari, mengikuti Perda BPAN Daerah Banten Kidul dan mendeklarasikan BPAN di sana.
Perda ini diikuti oleh 35 orang pemuda-pemudi adat dari beberapa komunitas adat se-Banten Kidul. Turut hadir pula, para tetua adat dari bebagai komunitas. Iwan Kastiwan sebagai Juru Basa dari Kasepuhan Bayah, Henriana Hatra sebagai Wakil Abah dari Kasepuhan Cisungsang, Lili Herdiana sebagai Wakil Abah dari Kasepuhan Ciherang, Mulyana sebagai Jaro Pamarentah dari Kasepuhan Cicarucub, dan Rozak Nurhawan sebagai Wakil Abah dari Kasepuhan Urug.
Dalam Perda itu, ada beberapa agenda yang dilaksanakan. Pelatihan Kader Pemula BPAN menjadi agenda awal yang dilangsungkan di hari pertama dan kedua. Sesi ini difasilitasi oleh Rozak Nurhawan selaku DAMANDA Banten Kidul dan Henriana Hatra selaku Sekretaris PD AMAN Banten Kidul.
Di hari ketiga, dilaksanakan agenda selanjutnya yakni musyawarah dan deklarasi PD BPAN Banten Kidul. Hasil musyawarah memutuskan stuktur kepengurusan PD BPAN Banten Kidul yang pertama. Cia atau Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik dimandatkan sebagai Ketua, Gia Khairul Azmi sebagai Sekretaris, dan Irfan Irawan sebagai Bendahara. Mereka kemudian dikukuhkan sebagai pengurus dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.
Cia menerima Bendera BPAN setelah dikukuhkan sebagai Ketua BPAN Daerah Banten Kidul
Para tetua adat yang hadir turut memberikan pesan dan motivasi bagi kepengurusan yang baru terbentuk. Lili Herdiana selaku tetua adat dari Kasepuhan Ciherang, secara khusus mengapresiasi terpilihnya pemudi adat sebagai Ketua BPAN Daerah Banten Kidul. Ini menurutnya menjadi sebuah terobosan dan semangat baru yang dilahirkan BPAN Daerah Banten Kidul.
“Tentu saja ini sebuah terobosan dan semangat baru, seorang kader pemuda perempuan terpilih menjadi Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Banten Kidul. Saya berpesan agar organisasi ini dapat menjadi wadah pemersatu dan silaturahim pemuda-pemudi adat kasepuhan, dan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kerja-kerja organisasi dalam gerakan Masyarakat Adat di Banten Kidul,” pesan Lili Herdiana.
21 Februari 2021 menjadi tanggal yang tak terlupakan bagi Cia dan para pemuda-pemudi adat lain yang berikrar dan mendeklrasikan BPAN Daerah Banten Kidul.
“Menurut saya, BPAN harus membentuk banyak pengurus di daerah karena daerah merupakan basis massa komunitas adat, dan agar komunitas-komunitas adat dapat terorganisir dengan baik. Selain itu, adanya BPAN di daerah dapat menjadi wadah berkumpul para pemuda adat dan dapat merekrut banyak pemuda adat agar bisa bersatu mengurus kampung,” tutup Cia.
Di akhir kegiatan, mereka berfoto bersama. Pohon-pohon tinggi menjulang, menjadi latar yang penuh makna.