Rakernas II BPAN: Kami Akan Berlipat Ganda

Cibubur (16/3/2016)—Menahan buldoser, memasang plang MK 35, protes keras, aksi-aksi demonstrasi dan sebagainya. Itu membuktikan bahwa kondisi di lapangan belum membaik, meskipun beberapa daerah ada yang sudah mengeluarkan Perda (Tanah Adat). Situasi ini terus menjadi tantangan bagi Masyarakat Adat.

Demikian Mina Setra dalam sambutannya sekaligus membuka Rakernas II BPAN. Ia juga menambahkan perlunya gerakan muda untuk menopang kehidupan Masyarakat Adat yang berkelanjutan.

“Saya atas nama Sekjen AMAN (Abdon Nababan—red) dengan berkat dari Yang Maha Kuasa serta restu para leluhur MA resmi membuka Rakernas II BPAN, Cibubur 15 Maret 2016,” ujar Mina.

Situasi wilayah adat, kata Mina, semakin buruk. Kalimantan dan Sumatera semakin habis digasak. Wilayah hidup Masyarakat Adat semakin sempit. Negara tidak lagi dimiliki oleh Masyarakat Adat atau negara itu sendiri, melainkan korporasi atau bisnislah pemiliknya. Karena itu, Rakernas teramat penting juga untuk menyusun program kerja dalam mengurus wilayah adat dan sekaligus merayakan kebanggaannya berbudaya.

Rakernas berlangsung selama dua hari yakni 15-16 Maret 2016. Rakernas adalah mandat dari Statuta BPAN yang wajib diadakan minimal sekali dalam satu periode kepengurusan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mengevaluasi kinerja Ketum, Ketua PW, dan Ketua PB dalam sebuah program singkat sekaligus menyusun program selama periode kepengurusan dan Anggaran Rumah Tangga (ART).

“Rakernas ini merupakan mandat Statuta yang wajib kita lakukan. Statuta telah mengaturnya yang mana Statuta itu sendiri kita juga yang menyusun dan menyepakatinya sebagai suatu aturan bersama pada saat Jambore Nasional, tahun lalu (2015—red),” demikian disampaikan Jhontoni, Ketum BPAN.

Ia mengajak para peserta yang terdiri dari Pengurus Nasional, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah BPAN serta peninjau agar dalam pelaksanaan Rakernas bisa menghasilkan rumusan-rumusan bermakna demi tujuan memperjuangkan wilayah adat. Sesuai visi BPAN, Jhontoni menambahkan, bahwa para pemuda adat di nusantara selain bersatu harus terus saling menguatkan dan bersemangat untuk mengurus kampung, mengurus wilayah adat serta merangkul siapa saja yang bersedia, bergerak mengurus wilayah adat. Melawan para penjahat yang telah merampas tanah milik Masyarakat Adat harus terus digelorakan sebab pemuda bekerja dan berjuang tanpa bersyarat.

Ketum BPAN juga menyerukan bahwa pemuda adat di seluruh nusantara akan bertambah-tambah dari ujung Papua hingga ujung Sumatera. Sehingga bergerak mengurus wilayah adat akan tumbuh serentak atau merata di seluruh nusantara.

Pimpinan_Sidang_Sementara

“Kami masih ada dan terus berlipat ganda. Pemuda adat bangkit bersatu, bergerak mengurus wilayah adat,” Jhontoni berseru dengan lantang.

Sementara itu, Rakernas II BPAN bertujuan: a) Menjabarkan Garis-garis Besar Program Kerja BPAN menjadi program kerja operasional; b) Mendengarkan pemaparan laporan kemajuan penyelenggaraan organisasi oleh Ketua Umum BPAN; c) Membuat rekomendasi-rekomendasi perbaikan atas penyelenggaraan organisasi; dan d) Merumuskan dan menetapkan Anggaran Rumah Tangga dan atau keputusan-keputusan strategis lainnya.

 

 [Jakob Siringoringo]

Mengidentifikasi dan Mendokumentasikan Musik

Jakarta (4/4/2016)–Banyak cara mengenal suatu bangsa. Salah satunya melalui musik. Sebut saja genre K-Pop yang langsung membawa imajinasi kita mengingat Korea, genre Rege mengantar kita ke Jamaica, Rock dari Barat, Samba dari Brasil.

Indonesia sebagai negara majemuk memiliki ragam musik tradisional. Namun sejauh ini belum ada yang mengidentifikasi kekayaan musik tersebut. Identifikasi dalam pengelompokan jenis-jenis musik dalam bentuk digital sesuai dengan pertumbuhan zaman.

Deputi_I

Semangat mengidentifikasi dan mendokumentasikan ragam musik nusantara tercipta saat diskusi Deputi I Kementerian Pemuda dan Olahraga Profesor Chandra Wijaya dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara, Senin (4/4) di gedung Kemenpora Jl. Gerbang Pemuda No 3 Senayan Jakarta Pusat. Prof Chandra, yang baru dilantik seminggu sebelumnya (28/3), merencanakan mengisi Bank Musik yang sudah diluncurkan pada Hari Musik 9 Maret lalu.

“Jadi, kita punya 13 program unggulan di Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda. Salah satunya mengenai identifikasi dan dokumentasi musik nusantara, namanya Bank Musik,” kata Prof Chandra.

Jhontoni, Ketua Umum BPAN, menyambut gembira gagasan tersebut. Sebagai informasi, BPAN telah melakukan suatu upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya. Wadah para pemuda adat nusantara, pada November 2015 telah melakukan live in silang antarwilayah. Program ini dinamakan “Menelusuri Jejak Leluhur”.

“Sebagai hasilnya, pada April ini kami akan meluncurkan buku “Menelusuri Jejak Leluhur,” katanya.

Rencananya program dari BPAN dan Deputi akan disinkronkan. Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda menyiapkan ruang untuk mengindetifikasi dan mendokumentasikan musik-musik tradisional, sementara BPAN akan menjadi kolega jalan bersama untuk mewujudkan Bank Musik.

Sayap AMAN ini akan mengoleksi musik, lagu, alat musik, proses pembuatan alat musik, kisah/ceritanya dan merekamnya hingga proses akhir. Keseluruhannya akan diarsipkan dalam Bank Musik. Dengan begitu, musik nusantara akan terjaga dan lestari sepanjang masa.

Deputi I meyakini bahwa musuh bersama saat ini adalah kemiskinan, dekadensi moral, kosmopolitan, krisis identitas. Karena itu membangun komunitas merupakan salah satu jalan paling masuk akal, sehingga orang tidak berebut datang ke kota.

“Strateginya harus one community, one product,” tambahnya.

Terkait pergerakan BPAN, Pak Chandra memberi dukungan dan mengapresiasi. “Kalian (Pemuda Adat—red) KEREN. Itu saya yang bilang lo. Profesor dan Deputi, tidak ada lagi di atas (gelar—red) itu,” katanya dengan tertawa penuh semangat.

[Jakob Siringoringo]

Retret Metodologi Pendidikan Adat [6]

Deklarasi

 

 

Hari kelima (23/3) menjadi hari terakhir pelaksanaan kegiatan Retret Metodologi Pendidikan Adat. Seluruh peserta, fasilitator maupun panitia bergerak ke arah hutan. Melewati persawahan dan rumah adat serta jejeran lumbung padi (leuit), keseluruhan orang menuju satu  lokasi eksotis.

Dekat hutan, di atas sawah terasering, berdampingan dengan kolam ikan, kami duduk melingkar di atas tikar biru. Langit biru menjadi atap, alam terbuka sebagai hiasan tiada tara. Duduk melingkar seperti dalam setiap sesi kami lakukan menguatkan ikatan antarindividu dan dengan wilayah adat serta alam semesta.

Saat bersila melingkar itulah para penggerak utama pendidikan adat berdiskusi merumuskan deklarasi hasil retret. Silang pendapat memanaskan situasi ketika sistem pendidikan nasional menjadi permulaan bahasan. Hampir tanpa jeda saat membicarakannya, apakah selama ini sisdiknas berdampak positif terhadap Masyarakat Adat atau pelaksanaannya yang belum riil di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi.

Sebelumnya peserta lingkaran menyepakati membahas pradeklarasi yang dirumuskan drafter sebelumnya lewat metode kalimat per kalimat. Meskipun draft pradeklarasi hanya terdiri dari tiga paragraf, pembahasan per kalimatnya memakan waktu 45 menit.

“Jadi, telah sepakat bahwa kita membahas kalimat demi kalimat, bukan paragraf per paragraf,” tegas Simon Pabaras menyimpulkan kesepakatan mufakat peserta lingkaran.

Rapat lingkaran dalam waktu menuju satu jam akhirnya menyusun redaksi untuk kalimat pertama di paragraf awal. Kemudian dilanjutkan membahas kalimat kedua, ketiga. Walaupun begitu rapat lingkaran tetap berjalan sangat alot.

Beno, mengingatkan peserta pada sejarah awal kemerdekaan Republik Indonesia. Menurutnya, beginilah situasi rapat membahas dan menyusun teks Proklamasi.

“Kita harus menegaskan kalimat per kalimat, namun dengan frasa-frasa pendek. Esensi kontennya bisa merangkum penjelasan panjang, sebagaimana dulu Soekarno dan pendiri Republik (Indonesia—red) ini menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan,” seru Akang Beno asal Sekolah Pasawahan Pasundan.

Belum selesai paragraf pertama, hujan turun. Rapat lingkaran dilanjutkan di Balai Pertemuan Kasepuhan, tempat para sesepuh Ciptagelar mengadakan rapat saat acara Serentaun tiba.

Perbedaan pandangan masih terbawa hingga ke Balai Pertemuan, meskipun peserta lingkaran sependapat akan menegasi sistem pendidikan nasional. Sebagaimana akhirnya tertuang dalam paragraf pertama, bahwa sistem pendidikan nasional mencerabut anak-anak Masyarakat Adat dari orangtua dan secara keseluruhan dampak negatif pendidikan nasional mengancam keberlanjutan hak-hak Masyarakat Adat.

Atas permasalahan mendasar tersebut, rapat lingkaran menyepakati muatan dalam paragraf kedua dan ketiga. Adapun pandangan umum yang merupakan komitmen seluruh peserta Retret Metodologi Pendidikan Adat tertuang menjadi tiga bagian:

  1. Menciptakan generasi yang menjaga wilayah adat, tradisi, budaya, adat istiadat dan lingkungannya.
  2. Memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
  3. Mempertahankan serta mengembangkan nilai-nilai pengetahuan dari leluhur Masyarakat Adat atas dasar asas keberagaman.

Isi deklarasi ditutup dengan pernyataan kesadaran, pergerakan riil, serta visi untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang Mandiri, Berdaulat, dan Bermartabat.

Pada puncak perumusan deklarasi, seluruh peserta lingkaran bangkit berdiri untuk menyaksikan pembacaan isi Deklarasi Pendidikan Adat. Nanang Sujana merekam langsung secara audio-visual. Deklarasi ini menjadi tonggak awal gerakan pendidikan adat di nusantara sebagai antitesis pendidikan nasional yang selama ini menjauhkan Masyarakat Adat dari wilayah adat dan hak-haknya.

“Bersama deklarasi ini, mari kita sama-sama memekikkan: Pemuda Adat Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat. Hotu, hotu, hotu,” teriak Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran sekaligus menutup acara Retret Metodologi Pendidikan Adat, Kasepuhan Ciptagelar 19-23 Maret 2016.

 

[Jakob Siringoringo]

Retret Metodologi Pendidikan Adat [5]

Panen

 

Setelah melalui beberapa sesi dengan narasumber berganti, peserta kemudian diajak oleh fasilitator dalam hal ini Serge Marti untuk menuai beberapa benih yang telah ditanam. Sesi ini dinamakan panen atau memetik dan mengumpulkan butir-butir diskusi matang dari beberapa sesi sebelumnya. Caranya pun unik, mudah diingat dan langsung bisa dikoreksi atau ditanggapi sehingga hasil panennya kian memuaskan.

“Panen adalah salah satu cara untuk mengingatkan sesi-sesi sebelumnya dan tak melupakannya secepat angin berlalu. Panen merupakan metode lain dari notulensi. Kalau notulensi biasanya hanya tinggal sebagai catatan, tidak berhasil guna. Justru banyak diabaikan, bukannya dibaca apalagi diterapkan. Jadi, panen adalah cara untuk mengatasi itu,” Serge memberi penjelasan mengenai sesi panen.

Sesi panen pertama dilakukan oleh beberapa orang yang sudah tahu sebelumnya saat mendapat pengalaman sama di Sungai Utik. Jhontoni Tarihoran, Modesta Wisa, Nedine Helena Sulu, dan Mundus menjadi tim panen pertama. Cara yang mereka peragakan persis laporan langsung pada berita jurnaslisme televisi.

Presenter tv di studio (diperagakan Wisa) mengajak pemirsa untuk menyaksikan langsung laporan langsung dari lapangan. Reporter (Nedine) dan kameramen (Mundus) di lapangan meliput gambar dan menyampaikan kabar yang mereka peroleh dan disela dengan wawancara langsung dengan informan (Jhontoni). Dengan cara itu, si informan banyak menuturkan poin-poin di sesi diskusi sebelumnya setelah memberikan penjelasan awal mengenai retret pendidikan adat.

Dengan metode panen ini, semua poin-poin penting di sesi sebelumnya diuraikan kembali secara singkat. Dengan demikian, peserta bisa langsung mengamati sesi sebelumnya dan membuat mereka mengingatnya lebih lama, sebab tak perlu harus membaca notulensi yang di dalamnya berbagai hal membuat orang malas membaca.

Bersambung [6]

Retret Metodologi Pendidikan Adat [4]

Tidak kalah menarik dengan pengalaman dari Filipina dan Kolumbia, Beno dari Sekolah Pasawahan Ciamis Jawa Barat menuturkan bagaimana berjalannya sekolah mereka. Meskipun mengikuti kurikulum dari negara, namun pada praktiknya mereka melakukan pembedahan materi terhadap kurikulum tersebut. Model pendidikan yang mereka lakukan wajib menyesuaikan dengan situasi dan kebutuhan petani di sekitarnya. Sehingga belajar ala Sekolah Pasawahan tidak melulu memegang pena dan belajar di dalam kotak bangunan, namun belajar di ladang, sawah atau alam sekitar.

Serge mempertanyakan suatu pengalaman menarik yang dilihatnya ketika mengunjungi sekolah itu beberapa tahun sebelumnya.

“Saya pernah bicara dengan perempuan-perempuan berusia 13-15 tahun atau remaja, mereka sudah bisa bicara politik. Bagaimana hal itu terjadi?”

Beno yang nama aslinya Sarno Maulana Rahayu menjelaskan bahwa Sekolah Pasawahan merupakan wahana bagi petani di Pasundan untuk belajar banyak hal, salah satunya politik. Jadi, pendidikan politik rakyat langsung dipraktikkan sehari-hari oleh warga Sekolah Pasawahan.

“Perempuan-perempuan berumur 13-15 tahun di Pasawahan telah melek politik. Mereka tidak malu-malu bicara, juga tidak enggan dekat dengan orang. Maka sekolah Pasawahan mendidik anak-anak sejak SD untuk melihat segala sesuatunya dengan cara mereka di kampungnya yang memang dipraktikkan oleh masyarakat di mana mereka tinggal. Lingkungan mendidik anak-anak untuk tahu banyak hal dan saling bertautan satu sama lain,” ungkap Beno.

Uniknya lagi, katanya, setiap hari anak-anak SMP di Sekolah Pasawahan menuliskan ceritanya sehari-hari baik berupa puisi, cerpen dan sebagainya. Dengan demikian, mereka sudah terbiasa dengan baca tulis terlebih mengenai pengalaman hidupnya sehari-hari yang berakar langsung di kehidupan nyata pertanian.

Narasumber terkahir yang juga dari Filipina menyampaikan pengalamannya khususnya mendirikan universitas adat. Filipina dalam urusan MA dapat dikatakan sebagai negara yang tergolong maju, di mana pemerintahnya sudah mengundangkan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adatnya sebagai yang pertama di dunia. Termasuk dalam mendukung sekolah tradisi hidup hingga universitas adat.

Universitas Pamulaan, demikian namanya, salah satu yang didorong dalam perjuangan MA adalah dengan mendorong pemuda adat.

Bersambung [5]

Retret Metodoogi Pendidikan Adat [3]

Sementara itu, Victoria dari Sekolah Tradisi Hidup (School of Living Tradition) di Talaandig Filipina mengatakan bahwa salah satu hal istimewa dari MA adalah mandiri secara ilmu pengetahuan. MA sudah memiliki kekayaan pengetahuan tersendiri dan itu menjadi identitas. Bahwa pengetahuan dimaksud datang dari MA itu sendiri, namun selama ini acapkali dieksploitasi oleh pendatang yang bukan MA.

Upaya MA untuk terus memperjuangkan hak-haknya, misalnya melalui pengembangan pendidikan adat tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Latin, salah satunya Kolumbia, khususnya MA Misak. Mereka juga mengalami perlakuan diskriminatif dan keterjajahan lainnya sebagaimana dialami MA di Indonesia. Namun, sama seperti di Filipina, MA di Kolumbia juga dalam perjuangannya selalu melakukan transfer of knowledge kepada generasi muda.

“Langkah pertama untuk pendidikan adat adalah menggali sejarah MA itu sendiri. Rekonstruksi memori masa lalu budaya MA,” demikian kutipan Liliana dan Jeremias, MA asal Misak Kolumbia.

Pemuda-pemuda mengambil peran utama dalam menggali sejarah MA itu sendiri. Tekniknya? Begini: dua hal utama, satu melalui lisan dan kedua melalui tulisan.  Mendengar dari tetua adat adalah yang paling penting. Lalu dokumen tertulis dari buku-buku baik yang orang lain tulis dari luar begitu juga yang ditulis MA itu sendiri.

“Satu hal penting untuk memulai pendidikan adalah bagaimana membuang mental dan pikiran yang terkungkung karena penjajahan. Artinya kita harus membersihkan anasir-anasir pikiran terjajah dari pikiran kita sendiri. Cuci otak kita dengan alam pikiran dari kita (Masyaakat Adat), bukan dari “luar”. Kami menyebutnya dengan “Pendidikan dari Kita” di mana segala sesuatunya untuk dipelajari berasal dari wilayah adat kita sendiri,” ujar Liliana dalam presentasenya lewat skype (20/3).

Bahasa, tambah Jeremias, menjadi salah satu yang sangat penting dalam “Pendidikan dari Kita”. Bahasa merupakan satu dasar perjuangan. Terlebih dewasa ini bahasa daerah sudah banyak yang tidak digunakan lagi oleh pemiliknya (umumnya generasi muda), kalau bukan punah.

Liliana dan Jeremias pada Oktober 2015 pernah datang ke Indonesia dan berbagi pengalaman di Sungai Utik pada sebuah kegiatan yang diadakan oleh BPAN. Tak heran pada saat keduanya jadi narasumber di Retret Metodologi Pendidikan Adat, mereka masih ingat beberapa peserta kegiatan di Sui Utik dan menyapa peserta dengan ucapan selamat pagi dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, Serge Marti dari LifeMosaic menjadi penghubung dengan menerjemahkan bahasa Spanyol ke Indonesia dan sebaliknya.

Bersambung [4]

Retret Metodologi Pendidikan Adat [2]

Noer Fauzi Rahman, salah satu narasumber mempertanyakan asal-usul sekolah dan mengapa pendidikan formal (kolonial) melahirkan pemimpin gerakan untuk melawan pendidikan formal itu sendiri? Staf kepresidenan ini mengajak para peserta untuk merefleksikan pengalaman masing-masing terkait sekolah formal/resmi ala negara.

“Bagaimana asal-usul sekolah di negara kita? Apa tujuannya? Lalu mengapa pendidikan yang didirikan itu justru ilmunya dimanfaatkan untuk melawan kaum yang mendirikan sekolah itu?” tanyanya yang membuat peserta berpikir dan mengenali diri sendiri sebagai produk sekolah formal.

Hilangnya wilayah adat tidak terlepas dari penjajahan kolonial. Potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki MA bisa terlepas dengan cukup mudah. Melalui penguasaan ilmu dan taktik menguasai, penjajah kolonial berhasil membuat wilayah-wilayah adat terpecah dari kesatuannya. Sosok penjajah yang pendatang, tidak menguasai geografis, iklim dan suasana, berjumlah kecil namun berhasil menguasai sedemikian luas daratan yang dihuni dan dikuasai oleh pemiliknya sejak ratusan tahun sebelum datangnya kolonial.

“Jadi ada ilmunya. Ada ilmu penjajah (Belanda) untuk menaklukkan komunitas temuan barunya. Sebagai contoh ada buku berjudul ‘Java: How to Manage A Colony?’ Ilmu ini dihasilkan melalui penelitian tim ahli mereka, sebut saja Snouck Hurgronje yang lama meneliti di Aceh. Hasil penelitian ini menjadi rekomendasi yang dijadikan untuk memulai penaklukan,” ujar narasumber yang biasa dipanggil Bang Oji ini.

Paska merdeka, wilayah adat semakin banyak yang dijarah negara lewat regulasinya yang kerap bertentangan dengan MA. Ketika Masyarakat Hukum Adat bersatu dalam RI yang didirikan, maka kewenangan atas tanah yang dahulu ada pada tetua adat, norma adat dengan sendirinya beralih ke pemerintah pusat Republik (Indonesia) yang baru didirikan. Republik melanjutkan domein verklaring.

Sehingga sumber peraturan negara baru hingga hari ini bersumber dari prinsip penguasaan kolonial di masa lalu. Kepentingan investasi, misalnya semakin menguat sejak 1967 saat Soeharto mengundangkan UU Penanaman Modal Asing yang terbalik 180 derajat dari kebijakan nasionalisasi Soekarno. Investasi kemudian menjadi prinsip hidup masyarakat luas yang mana salah satu pintu masuk sosialisasinya adalah sekolah formal.

Bersambung [3]

Retret Metodologi Pendidikan Adat [1]

 

Jakarta (31/3/2016) –“Sistem Pendidikan Nasional saat ini tidak sesuai dengan konteks lokal dan mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat (MA). Sistem ini mencerabut anak-anak MA dari orang tua, budaya, pola pikir, cara hidup dan pengetahuan di wilayah adat atau secara luas hak-hak MA, yang menyebabkan hilang rasa percaya diri dengan identitasnya. Karena itu, muncullah masyarakat yang materialistik dan individualistik (mental bersaing).”

Kutipan tersebut adalah bagian dari isi Deklarasi Pendidikan Adat yang dideklarasikan 23 Maret 2016 di Ciptagelar Banten. Paragraf tersebut menggambarkan hasil-hasil diskusi Pendidikan Adat selama lima hari di sana. Pendidikan Adat yang digelar di Kasepuhan Ciptagelar sejak 19 hingga 23 Maret 2016 diadakan oleh AMAN dan BPAN serta didukung oleh LifeMosaic dan The Samdhana Institute.

duduk_melingkar

Seluruh peserta melingkar utuh saling berkenalan.

Adapun tujuan dari retret ini diadakan adalah untuk memunculkan gagasan tentang pendidikan adat dan berbagi pengalaman, memperkaya wawasan dan saling memperkuat kemampuan antarpenggerak pendidikan adat untuk menciptakan pendidikan adat yang mendukung kedaulatan, kemandirian, martabat dan identitas MA.

Pesertanya merupakan kaum muda dari berbagai daerah seperti Tanah Batak (Sumut), Mentawai (Sumbar), Rimba (Jambi), Punan (Kaltara), Kalbar, Minahasa (Sulut), Sinjai dan Pattalasang (Sulsel), Molo (NTT), Halmahera, Papua yang mendirikan sekolah-sekolah yang prinsipnya mendekatkan diri kepada adat dan tradisi masyarakat sekitar. Acuannya tidak berdasarkan kurikulum yang disusun pemerintah.

Berikutnya [2]

Deklarasi Pendidikan Adat

Kami pemuda-pemudi adat nusantara yang memperjuangkan pendidikan adat mengadakan “Retreat Metodologi Pendidikan Adat” pada tanggal 18 s/d 23 Maret 2016 di Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat. Sebagai pendukung gerakan pendidikan adat, kami prihatin pada sistem pendidikan nasional yang saat ini sebagai acuan pendidikan di Indonesia.

Sistem Pendidikan Nasional saat ini tidak sesuai dengan konteks lokal dan mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Sistem ini mencerabut anak-anak Masyarakat Adat dari orang tua, budaya, pola pikir, cara hidup dan pengetahuan di wilayah adat yang menyebabkan hilangnya rasa percaya diri dengan identitasnya. Oleh karena itu, muncullah masyarakat yang materialistik dan individualistik (mental bersaing) yang merupakan warisan sistem pendidikan nasional sehingga wilayah, sistem pengetahuan, identitas dan hak-hak Masyarakat Adat terancam hilang.

Dari permasalahan di atas, kami berkomitmen mengembangkan Pendidikan Adat untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang cerdas, berdaulat, mandiri dan bermartabat. Sebuah sistem pendidikan yang mampu:

  1. Menciptakan generasi yang menjaga wilayah adat, tradisi, budaya, adat istiadat dan lingkungannya;
  2. Memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat; dan
  3. Mempertahankan serta mengembangkan nilai-nilai pengetahuan dari leluhur Masyarakat Adat atas dasar asas keberagaman.

Kami menyadari bahwa peran pemuda-pemudi adat sangat penting dalam mengembangkan sistem pendidikan adat. Sebagai penggerak utama, pemuda-pemudi adat harus meningkatkan perannya dalam upaya menjaga pengetahuan adat dari gempuran atau pengaruh luar melalui: pemetaan wilayah adat, menggali sejarah, mempertahankan tradisi dan budaya, serta mengkampanyekan pendidikan adat. Langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari gerakan untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang mandiri, berdaulat, dan bermartabat.

 

Pemuda Adat Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat !!!

Kasepuhan Ciptagelar, 23 Maret 2016

[tim BPAN]

Cara BPAN Sumut Menuju Rakernas II BPAN

Cibubur (16/3)—Segala sesuatu butuh uang. Materi bernilai ini serupa tuhan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Singkatnya, sirkulasi keberlangsungan hidup bergantung kepada uang. Inilah kenyataan dunia materi. Namun ini bukan ulasan mengenai filsafat. Baca dengan enjoy.

Bagi pemuda adat dari Medan Sumatera Utara uang bukanlah semangat utama. Praktiknya ketika mereka membebaskan pikirannya dari kenyataan bahwa uang bukanlah alasan untuk menempuh tujuan mereka ke Jakarta.

Sore itu (10/3) mereka kehilangan waktu memperoleh tiket kapal laut. Perjalanan laut ya perjalanan yang sudah tidak populer lagi di masa saat ini seiring bertumbuh pesatnya niaga penerbangan.

Sejak tiga hari sebelumnya waktu mereka padat untuk mempersiapkan laporan kerja. Laporan kerja pengurus wilayah untuk diperdengarkan pada saat Rakernas BPAN. Sesuai statuta BPAN, bahwa organisasi sayap AMAN ini wajib melakukan Rakernas minimal satu kali dalam satu periode kepengurusan untuk mendapat perkembangan kerja-kerja serta merumuskan Anggaran Rumah Tangga.

Tema Rakernas 2016 kali ini yaitu Pemuda Adat Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Pesawat terbang dari dan ke Kualanamu beroperasi setiap hari, setiap jam. Lagi-lagi pemikiran untuk menunda uang dijalankan dengan melepaskan kesempatan penerbangan. Padahal Pengurus Nasional sesungguhnya siap sedia memberikan mereka tiket pesawat terbang. Cara mereka, justru menunda ketersediaan tersebut.

Pendek kata, mereka menolak tiket pesawat dengan sopan dan terhormat. Tiket kepulangan saja yang mereka minta. Mereka punya cara untuk memastikan kehadirannya di Rakernas.

IMG_0509

“Kami berlima dari Medan. Kami akan sampai di Cibubur. Tiket kepulangan saja yang kami minta,” kata Khairul, Ketua PW BPAN Sumut.

Dana swadaya untuk keberangkatan mereka cari sendiri. Kejujuran Khairul mengungkap sisi lain yang menunjukkan bahwa kemandirian dan keswadayaan serta kesiapan para komunitas membantu mereka berangkat naik bis. Perlu dicatat: kemandirian komunitas yang tidak lain tempat mereka berasal dari dalamnya adalah bukti betapa kuatnya Masyarakat Adat.

“Kemandirian sudah menjadi kebiasaan. Kolektifitas di antara kami sudah sangat kuat. Upaya untuk memenuhi keperluan sebetulnya dipasok dari usaha sendiri, misalnya bertanam cabai, ubi, dan komoditi lainnya yang bermanfaat,” tambah Khairul.

Para pemuda adat pemberani ini terdiri dari Joni (Batakilan, Surwe), Ali Akbar (komunitas Sampali, PD Serdang), Muhamad Yusuf (komunitas Menteng, Amplas), Lindo Hermando (komunitas Terjun, PD Deli), Muhamad Khairul (ketua PW BPAN).

***

Jumat sore (11/3) kelima pemuda adat beranjak dari Medan lewat terminal bis Simpang Marindal. Sejak dari Medan, mereka menjadi penghuni tersetia di bus yang sama selama perjalanan menuju ibukota.

Sepanjang jalan adalah pengalaman baru. Melintasi darat berbeda halnya dengan udara yang cukup disikapi dengan tidur. Melintasi jalan jauh adalah menyimpan memori dengan saksi bisu batas demi batas. Batas provinsi tak menjadi persoalan. Justru pertemuan kota demi kota menyimpan sejuta kenangan.

IMG_5233

Perlu diperjelas bahwa tujuan perjalanan adalah Rapat Kerja Nasional II BPAN di Cibubur Jakarta Timur. Acara yang dihelat dari 15 sampai 16 Maret merupakan ajang berdiskusi ala masyarakat adat. Diskusi yang mengedepankan musyawarah mufakat untuk setiap keputusan yang disepakati.

Demi panggilan organisasi, komitmen perjuangan dan sikap kemandirianlah suatu spirit utama para pemuda adat “edan” ini. Bahwa para pemuda adat ialah benteng depan dan utama dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Inilah petualangan extra-tidak biasa.

Pergi dengan bis bukan juga pilihan yang murah. Para pemuda adat ini justru harus menikmati perjalanannya hanya dengan satu rumus untuk survive: kebersamaan. Menghabiskan waktu dengan bercerita kepada orang dari berbagai tempat yang naik-turun.

Hari pertama keberangkatan mereka membawa nasi bungkus dan ikan teri serta sayur. Selanjutnya di sepanjang jalan hanya beli nasi putih, sementara stok ikan teri medan dan sayur kacang-kacangan masih tersedia.

Tidak makan di rumah makan loket perhentian bus adalah cara menyiasati ketersediaan isi kantong. Mereka kerap membeli nasi putih saja lalu makan di teras rumah orang, dekat loket perhentian bis.

IMG_5237

“Begitulah dilakukan hampir sepanjang perjalanan. Stok ikan teri goreng dan sayur kacang-kacangan memang cukup tersedia untuk empat hari. Karena itu, rasa ketakutan tidak ada di sepanjang jalan. Kami justru menikmatinya. Begitu nyampe di Cibubur (14/1) kami langsung main bola, bukannya istirahat. Suasana sejuk Cibubur menyegarkan perasaan kami yang telah tiba dari perjalanan panjang. Kami tiba sebagai peserta perdana. Tercepat dari rekan-rekan lain yang menaiki pesawat terbang,” Ali Akbar menerangkan pengalamannya dengan sumringah.

[Jakob Siringoringo]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish