Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran
Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara yang berasal dari Minahasa kini sedang mempelajari Tari Kawasaran sebagai salah satu upaya menelusuri jejak leluhur. Seperti kata pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; sambil menari kita bisa belajar sejarah juga bahasa Minahasa.
Menelusuri jejak leluhur, bagi BPAN, adalah satu gagasan untuk kembali kepada identitas budaya. Gagasan yang sudah berjalan ini dalam capaian sementara menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memiliki identitas atau jati diri: asal-usul lengkap dengan pranata sosial, kearifan lokal bahkan pengetahuan tradisional serta wilayah adat.
Fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir, perilaku masyarakat khususnya kaum muda cenderung tidak mengenal adat/budaya leluhurnya. Kemajuan masa yang pesat telah menjadi jiwa zamannya mereka di mana tradisi gadget, internet, hip hop dan
Seorang penari Kawasaran mengangkat pedang perang.
seperangkat kecanggihan teknologi benar-benar bukan tradisi leluhur. Dampaknya adalah hilangnya identitas dan tidak ada pemaknaan terhadap tanah/wilayah adat. Sebuah kerugian luar biasa untuk kini dan nanti.
Kesadaran pentingnya identitas tersebut menjadi pengertian paling berharga bagi pemuda adat Minahasa. Selangkah demi selangkah, kami kembali mencari identitas kebanggaan kami yaitu menelusuri jejak leluhur. Saat ini kami mulai dengan belajar tari Kawasaran.
Arti Harafiah
Tari Kawasaran adalah tarian perang suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kawasaran berasal dari kata Kawak (lindung) dan Asaran (ikuti orang tua). Jadi, Kawasaran bermakna mengikuti ajaran leluhur, lalu melestarikan dan terutama untuk melindungi warisan turun-temurun tersebut. “Anggap torang pe ade ada orang mo serang kong torang mo lindungi (anggap adik kita akan diserang dan kita yang melindungi),” kata Tonaas Rinto Taroreh, pelaku ritual, pelatih tari Kawasaran.
Pemuda adat dari Tanah Batak dan Lombok berfose dengan penari Kawasaran.
Konon Masyarakat Adat Minahasa akan menggelar tarian ini ketika akan ataupun sesudah berperang. Tarian ini juga dipersembahkan pada upacara-upacara adat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang meninggal di medan perang. Kawasaran, di sisi lain, menggambarkan betapa semangat perjuangan itu harus tetap ada, terawat dan terpelihara.
Tata cara
Sebelum memulai tarian selalu ada tata cara yang wajib diperagakan. Para penari memberi hormat (sumigi) kepada lawan perang sebagai tanda penghormatan sekaligus nama baik. Jumlah penari selalu ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9. Biasanya penari terdiri dari sembilan orang seturut dengan makna sembilan sebagai angka keramat bagi orang Minahasa.
Selanjutnya terbagi tiga babak permainan dalam tarian ini pertama, Sumakalele (berlaga) di mana para penari akan beraksi saling menyerang laiknya dalam peperangan sungguhan; kedua, Kumoyak (bermain jiwa) menceritakan bagaimana menghibur jiwa dan menenangkan jiwa setelah ikut berperang; ketiga, Lalaya’an (kemenangan) dengan muka tersenyum sambil menari menandakan peperangan usai dan menang.
Perangkat
Tambor, alat musik pukul dari kulit kambing/rusa, adalah alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini disertai dengan aba-aba dari pemimpin tarian.
Nedine, penari perempuan.
Kostum yang digunakan terdiri dari kain tenun Minahasa untuk ikat pinggang, paruh burung Taong (simbol kebesaran), bulu ayam jantan, tengkorak monyet (simbol kehebatan prajurit perang yang berhasil membunuh musuh) dan baju kulit kayu. Warna kostum, merah, adalah simbol keberanian. Perlengkapan lainnya adalah pedang (santi), perisai (kelung), tombak (wengkow).
Saat ini tarian Kawasaran digunakan dalam berbagai acara untuk mengusir dan membunuh roh jahat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kampung halaman agar tetap lestari, damai atau jauh dari niat jahat seperti halnya hantu bisnis.
Menjaga tanah Minahasa adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan yang tercermin dalam Kawasaran. Prinsip kesetaraan ini tampak pada praktiknya: penari terdiri dari perempuan dan laki-laki atau salah sebagian saja. Sembilan perempuan atau sembilan laki-laki. Ini pun menjadi alat perjuangan.
Penari laki-laki.
Bagi tou (orang) Minahasa, berperang adalah sesuatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani dan punya semangat perjuangan. Prajurit perang Minahasa disebut Waraney. Kini tou Minahasa tidak lagi berperang melalui kaki dan tangan manusia, tetapi dengan ‘otak’ (cara pandang).
Karena itu dalam melestarikan budaya, pemuda adat jangan jadi penonton tapi “aktor”. Zaman boleh berubah tapi pemuda adat kukuh mempertahankan identitasnya. Dengan adanya proses menelusuri jejak leluhur seperti ini, pemuda adat harus selalu berdiri kuat, memiliki semangat juang dan berani melawan penggusuran, pemetaan sepihak oleh negara, menolak hadirnya perusahaan tanpa persetujuan Masyarakat Adat. Singkatnya, mempertahankan wilayah adat warisan secara turun-temurun. “Sapa ley kal bukang torang?” (Siapa lagi kalau bukan kita?)
I YAYAT U SANTI (Angkatlah pedangmu!)