Warisan pengetahuan leluhur Orang Rimba yang telah menjaga kelestarian alam sekitar memberikan pengaruh kuat bagi Orang Rimba saat ini dalam mengelola hutan sebagai rumah sekaligus kepercayaan terhadap perwujudan dewa yang bisa memberikan manfaat kebaikan ketika dipuja, namun pula mendatangkan petaka ketika titah dilanggar.
Dewa bagi Orang Rimba memiliki imaji dan pemaknaan yang mungkin berbeda dengan konsep dewa-dewi yang seringkali kita dengar dari kisah yang dikembangkan dari mitologi Yunani atau lainnya. Ada beberapa sosok dewa yang mereka percaya. Dewa Madu adalah penghuni pohon-pohon di mana lebah biasanya bersarang. Pohon-pohon yang diasosiasikan dengan Dewa Madu tidak boleh ditebang, bahkan tidak diizinkan membacok sedikit saja. Merusak pohon akan mengundang kemurkaan dewa, hingga Dewa Madu bisa meninggalkan pohon dan lebah-lebah tak lagi ingin bersarang di pohon itu. Pantangan lain adalah tidak diperbolehkan bagi perempuan datang bulan melintas di bawah pohon yang bermadu. Selain pohon bersarang lebah, pohon-pohon lain yang dipercaya didiami oleh dewa, yaitu pohon buah nuaran, situbung, dan singoris. Pohon singoris digunakan Orang Rimba untuk mengolesi ubun-ubun anak yang baru lahir. Tiga bagian dari kulit pohon diambil secara bertingkat, lalu ditumbuk sampai halus, kemudian dioleskan di ubun-ubun anak yang baru lahir. Setelah proses dilalu, barulah bayi mendapatkan nama.
Dewa-dewa lain yang diceritakan oleh Orang Rimba, selain Dewa Madu, adalah Dewa Siamang, Dewa Harimau, Dewa Gajah, dan Dewa Laut. Orang Rimba tidak pernah membuang kotoran secara sembarangan di sungai karena mereka percaya bahwa sungai dihuni oleh dewa. Itulah sebabnya mengapa sungai-sungai di hutan tetap terjaga kebersihan dan kejernihannya sampai-sampai air dari sungai pun cukup layak untuk bisa diminum langsung tanpa perlu dimasak. Nilai positif dari kepercayaan terhadap dewa-dewa ini menjadikan masyarakat adat Anak Rimba lebih arif dalam mengelola hutan serta menjadikan hutan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Ada banyak alasan bagi mereka untuk tetap bertahan dan berkehidupan di dalam hutan.
Masyarakat adat tidak mengenal sistem kepemilikan tanah secara individu. Orang Rimba hidup dengan pola nomaden (berpindah-pindah) di wilayah adat mereka. Mereka bebas mengelola tanah di mana saja dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Dalam aturan adat, tanah dikuasai oleh para penghulu, namun Orang rimba bebas menanam tumbuhan yang bisa menghasilkan bahan kebutuhan hidup mereka, baik itu pohon buah atau tumbuhan umbi-umbian sesuai aturan adat. Karena tanah adalah milik para penghulu, maka tumbuhan yang ditanam tetap milik para penghulu, tetapi hasil dari tumbuhan itu, baik buah atau umbi-umbian menjadi hak penanam. Durian misalnya, di mana pun Orang Rimba boleh menanamnya dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Jika kelak berbuah, maka buahnya dapat dinikmati oleh mereka yang menanam dan penghulu tidak bisa melarang untuk memanen buah. Sementara batang durian (pohon) tetap menjadi milik para penghulu sebagai perwakilan dari suatu komunitas. Penghulu juga bisa melakukan penuntutan terhadap kerusakan pohon. Aturan ini dalam Seluko adatnya dinamakan Tua Tanam Celako Tanam. Tua tanam artinya kita menanam dan kita pula yang mengambil hasilnya, sedangkan celaka tanam bermakna kita menanam di tanah orang.
Kehidupan Orang Rimba sejak dulu bergantung dengan apa yang disediakan oleh hutan. Namun perubahan adalah pula suatu kepastian ketika terjadi interaksi dengan orang-orang luar (hutan) yang hampir tidak bisa dihindari. Tak jarang ada kesalahpahaman sering terjadi.
Orang-orang luar kerap memiliki pandangan yang berbeda terkait pembakaran lahan sebagai bagian dari pola perladangan tradisional. Begitu pun dengan Orang Rimba yang kerap membakar untuk berladang. Tapi jangan kaitkan proses pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan persitiwa karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan kabut asap hebat yang kerap terjadi karena unsur kesengajaaan kepentingan ekonomi.
Tumenggung Betaring menjelaskan bagaimana pembakaran yang dilakukan Orang Rimba merupakan bagian dari aktivitas baik dalam tata kelola perladangan tradisional versi masyarakat adat. Ada serangkaian proses dengan ritual yang rumit dan panjang untuk memulainya. Ketika mereka membuka lahan, api tidak pernah merembes luas karena terlebih dulu mereka mengadakan ritual memanggil “angin kurung.”
Pada umumnya, di lahan yang telah dibuka, Orang Rimba selalu menanaminya dengan pohon karet. Namun sebelum tanaman karet tumbuh menjadi pohon yang besar, mereka menanam padi darat (padi ladang) dan tanaman lainnya, seperti singkong untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ini berbeda dengan Suku Anak Rimba terdalam yang memakan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Tetapi di saat musim kemarau panjang, – ketika tanah menjadi kering, sehingga tanaman umbi-umbian sulit tumbuh dengan baik – tak sedikit dari mereka yang ikut beralih ke beras yang dibeli dari orang luar dengan cara menukar komoditi. Beras mereka tukar dengan hasil hutan, seperti damar, jerenang, dan rotan. Cara transaksi Suku Anak Rimba pada mulanya sangat unik dan hanya berlandaskan pada kejujuran dan kepercayaan. Mereka meletakkan begitu saja barang yang ingin ditukar di pinggir jalan. Orang luar yang melihat dan memahaminya akan tahu, lalu mengambilnya dengan meninggalkan barang-barang lain sebagai gantinya. Tetapi kebutuhan Orang Rimba kini tak sekadar beras saja dan pola itu tak selalu relevan untuk terus dilakukan. Maka, kini banyak dari mereka harus keluar hutan dan berbelanja sendiri kebutuhan di pasar yang mudah dijangkau. Untuk Suku Anak Rimba yang tinggal relatif di kawasan paling dalam hutan, distribusi atau transaksi dilakukan di Tanah Garo satu kali dalam sebulan.
Sebagai suatu gambaran terhadap potensi komoditi atau ekonomi di dalam Komunitas Adat Orang Rimba, misalnya adalah karet. Pohon karet baru bisa berproduksi dengan baik setelah berumur 10 tahun di mana 6 hektar pohon karet bisa berproduksi sebesar 2 ton per bulan dengan harga Rp 4.500-5.000 per kg. Sedangkan untuk rotan dan jerenang masing-masing dihargai Rp 5.000 per batang rotan dengan ukuran 4 meter dan 100.000 per kg untuk jerenang. Orang Rimba baru akan meninggalkan lahan jika ada anggota keluarga yang meninggal.
Kedatangan Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2015, memunculkan harapan baru bagi Suku Anak Rimba untuk hidup lebih baik. Rencana pemerintahan untuk memberikan rumah bagi Suku Anak Rimba menghadapi suatu proses dialog yang berjalan baik. Paska kunjungan Jokowi, Suku Anak Rimba mengadakan rapat sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut. Hasil dari beberapa pertemuan yang diadakan, adalah Suku Anak Rimba akan membentuk satu desa tersendiri dari integrasi tiga wilayah, yakni Air Hitam, Kedasung, dan Mengkekal.
Perihal tempat bangunan permukiman disepakati dan disesuaikan pada ketiga wilayah itu. Pada Januari 2016, rencananya seluruh perwakilan Suku Anak Rimba akan kembali mengadakan pertemuan.
Faktor pendorong mereka tetap kembali ke hutan walaupun telah mendapatkan bantuan pembangunan rumah permukiman selama ini disebabkan karena ketergantungan mereka terhadap hutan sebagai sumber penghidupan. Tetapi peristiwa karhutla dan bencana asap yang terjadi diakhir tahun lalu perlu pula mempertimbangkan keberlangsungan hidup Orang Rimba yang terancam. Sementara itu, aksi sosial yang dilancarkan selama ini belum sepenuhnya menyelesaikan hakikat dari persoalan hidup Suku Anak Rimba. Ini diperparah lagi oleh permainan segelintir oknum tidak bertanggung jawab yang hendak mencari keuntungan dengan mengatasnamakan Suku Anak Rimba. Anggaran yang ditujukan kepada mereka terpangkas, misalnya hanya 20 persen yang diterima dari 50 persen yang dijanjikan di awal. Membangun rumah tanpa dibarengi dengan sarana penjamin kehidupan, seperti lahan perladangan, tidak akan bisa mengubah keinginan untuk kembali ke hutan. Bagaimana mereka akan bisa hidup enak di rumah yang cakap jika tidak punya makanan untuk dimakan?
Kita tak selalu punya pemahaman definisi yang sama tentang “rumah.”
Persoalan lahan dan wilayah adat menghadapi masalah pelik terkait perusahaan perkebunan sawit. Dulunya lahan perkebunan sawit adalah hutan utuh milik Orang Rimba, namun kini penguasaan sebagian wilayah adat mereka, telah membawa masalah terkait permukiman dan tata kelola wilayah adat. Menurut Tumenggung Betaring, semua perusahaan (PT) yang masuk ke wilayah adat Suku Anak Rimba tidak meminta izin kepada masyarakat adat sebagai pemilik asli hutan di Bukit Duabelas. Meski berbagai PT itu mengaku mendapat izin dari pemerintah, bukankah seharusnya Orang Rimba juga harus dilibatkan dalam proses perizinan? Sebab sebelum negara terbentuk, mereka sudah lebih dulu menghuni Hutan Bukit Duabelas serta memelihara dan melestarikanya sebagai bagian dari hidup dan penghidupan mereka.
-Ali Syamsul-