Indonesia memiliki keanekaragaman yang di dalamnya terdapat berbagai adat istiadat, suku, bangsa, bahasa dan budaya yang terangkum dalam identitas.
Masyarakat adat sudah mendapatkan pendidikan yang bersifat formal mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan formal itu masyarakat adat dituntut untuk bisa membaca, menulis, mengetahui sejarah Indonesia—yang didominasi oleh sejarah kerajaan/kesultanan. Pendidikan formal dalam prosesnya mendidik mempergunakan bahasa pengantar yang diseragamkan di seluruh Indonesia: bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa pergaulan internasional juga dikedepankan, meskipun hasilnya tidak membuat peserta didik bisa menguasai bahasa Inggris setidaknya pasif setelah menyelesaikan masa studinya.
Pendidikan formal membuat masyarakat adat bercita-cita untuk meninggalkan kampung halamannya. Anak-anak hingga dewasa berduyun-duyun pergi ke kota untuk alasan mengenyam pendidikan. Semakin mengenal kota, mereka malah ingin menetap di sana selamanya.
Dalam pendidikan formal tidak diajarkan tentang sejarah identitas asli para pelajar. Tidak pula diajarkan atau dianjurkan untuk berbahasa daerah. Dampaknya perlahan adalah adanya tanda perubahan dalam diri si perantau mulai muncul. Salah satunya yaitu mereka malu untuk berbahasa daerah. Kenyataan hari ini, bahasa daerah yang merupakan identitas masyarakat adat yang sangat melekat itu hampir jarang digunakan karena merasa malu untuk menggunakannya.
Seiring berjalannya arus modernisasi yang membuat generasi muda mengesampingkan hal ini, pendidikan adat yang di dalamnya terdapat sekolah adat harus hadir di tengah-tengah masyarakat adat.
Kalimantan Barat yang memiliki banyak komunitas adat di dalamnya juga memiliki permasalahan serupa. Oleh karena itu, kami—Modesta Wisa, Dwiana Sari, Reni Raja Gukguk, Yosita, dan Katarina Ria, generasi muda adat Kalimantan Barat—berinisiatif mendirikan sebuah sekolah adat. Sekolah adat bernama “SAMABUE” ini merupakan wujud kepedulian terhadap identitas peninggalan leluhur kami. Samabue merupakan nama sebuah bukit yang dianggap sakral atau keramat oleh masyarakat adat yang berada di komunitas Binua Manyalitn. Banyak ritual adat yang dilakukan di bukit Samabue ini. Hal ini membuat kami, perintis sekolah adat, untuk menyepakati pemberian nama sekolah adat itu.
Sekolah ini bertujuan untuk menciptakan generasi muda adat yang kreatif berbudaya, menggali kembali sejarah komunitas serta suku Dayak Kanayatn, dan mempertahankan kearifan lokal di tengah arus modernisasi.
Sekolah Adat Samabue ini berdiri pada 24 Februari 2016. Dengan struktur pengurus meliputi ketua, sekretaris, bendahara, divisi donasi dan divisi rekrutmen serta tenaga pengajar.
Saat ini sekolah adat Samabue ini sudah berjalan di tiga komunitas adat yaitu Binua Manyalitn, Binua Lumut Tangah dan Binua Kaca dengan jumlah murid sekitar 60 orang. Sekolah Adat Samabue ini merekrut anak didik mulai dari usia 4 sampai 15 tahun.
Sekolah Adat Samabue ini memiliki kelas tari tradisional, kelas sejarah yang sesuai dengan komunitas, kelas singara (bercerita) dan kelas musik tradisional. Sekolah Adat Samabue ini juga memiliki kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan di komunitas serta dengan konsep ‘’Semua Orang Itu Guru, Alam Raya Sekolahku’’.
Adapun lokasi sekolah adat ini tepat di komunitas Binua Manyalitn, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
~Modesta Wisa