bpan.aman.or.id – Wilayah adat adalah ruang hidup yang di dalamnya terdapat sejarah, budaya, adat-istiadat, tradisi lisan dan tulisan, kesenian, sumber-sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri di mana tanah dan kehidupan di atasnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua ini harus dijaga, dipertahankan, diperjuangkan, dilestarikan dan diurus.
Namun saat ini masyarakat adat justru mengahadapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah adatnya. Terjadi perampasan wilayah adat, kekerasan, dan tindakan kriminal. Negara yang seharusnya melindungi setiap warga negara justru tutup mata. Tak ada pengakuan yang tegas dan perlindungan yang nyata oleh negara bahwa wilayah adat adalah milik masyarakat adat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 18B dan juga telah diperkuat dengan Putusan MK 35/PUU-X/2012.
Masyarakat adat menjadi korban dan ini adalah ancaman serius bagi masyarakat adat hari ini dan di waktu mendatang.
Lalu bagaimana kita menghadapi ini? Apa yang harus dilakukan oleh pemuda adat sebagai generasi penerus masyarakat adat? Bagaimana pemuda adat dapat terpanggil dan tertarik untuk mengurus wilayah adatnya? Bagaimana agar pemuda adat tetap konsisten pada komitmennya?
BPAN merupakan bagian penting dari masyarakat adat sebab BPAN adalah wadah untuk mempertemukan pemuda adat di Nusantara dalam semangat yang sama, membangun kekuatan bersama sehingga tidak merasa seorang diri dalam menjaga wilayah adatnya. Mereka adalah generasi penerus sebuah kehidupan. Itu sebabnya sebagai bagian dari masyarakat adat, pemuda adat harus menjaga, mempertahankan bahkan mengurus wilayah adatnya. Karena di sanalah sumber kehidupan. Berkaca dari pemuda adat di Amazon yang gigih memperjuangkan wilayah adat mereka, di era modern sekalipun mereka tetap mengurus wilayah adatnya, seperti bisa kita saksikan dalam film Pemuda Adat Amazon.
ǂ
Malam itu purnama kedua di Minahasa! Semilir angin berhembus. Pernak-pernik alam menyambut kedatangan kami di pantai Ranowangko. Pantai timur Minahasa benar-benar surga yang meringankan langkah untuk mensukseskan kemah pemuda adat yang telah dipersiapkan.
Tiba di lokasi perkemahan, beberapa pemuda mulai mendirikan tenda dan yang lainnya ambil bagian memasak. Beberapa saat kemudian tenda sudah didirikan. Makanan pun telah terhidang. Di bawah purnama, kami makan sambil bercerita dan tertawa bersama. Ah, sungguh indah masa muda ini kawan. Kami bersyukur kepada-Nya atas kesempatan baik seperti lagu yang kami nyanyikan ini:
(…Opo Wanan’atas e Tembone se mengale-ngaley Tembone se mengale-ngaley Pakatuan pakalawiren Kuramo // kalaley u langit Tentumo kalaley un tana’ Kuramo, kalaley un tana’ Tentumo kalaley ta (in) tou Nikita tou // karia E nimapasusuat uman E nimpasusuat man // karia Wia si Opo wana natas Si opo wana natas Sia si mata u ampeleng Sia si mata u ampeleng Mahmuali wia mbawointana…)
Lagu Opo Wanan’atas adalah lagu memohon berkat umur panjang, perlindungan dan berharap kepada Yang Maha Kuasa. Kami menyanyikannya dalam ritual membuka kegiatan #Kemah Pemuda Adat #BPAN #Sulawesi Utara di pantai Ranowangko Tondano Minahasa yang dilaksanakan selama tiga hari, 20-23 Juli 2016.
~
Matahari terbit di atas laut, di pantai timur Minahasa. Namun sang mentari bersinar silau untuk beberapa saat saja, gugusan awan hitam tebal kemudian melenyapkannya. Pagi yang cerah berganti menjadi gelap. Bahkan seolah tak mempedulikan detak waktu, hujan mengguyur. Derasnya hujan tersebut membuat kami kedinginan. Pun begitu, kami tak habis akal dan tenggelam di bawah guyuran. Kami bernyanyi untuk menghangatkan ruang dan menyemangati diri masing-masing:
Ingatlah visi misi kita // Barisan Pemuda Adat Nusantara // bangkit bersatu, harus bersatu // tanah leluhur kita jaga pantang mundur // hei…// Pemuda Adat bangga berbudaya // jaga wilayah adat kita semua // berdiri kuat di tanah kita // para perampas kita lawan jangan ragu //
Reff: Ayolah kawan pemuda adat di seluruh nusantara // mengurus kampung beri waktumu tuk teruskan perjuangan // terus berjuang / terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bergerak // bergerak // bergerak // kita berdaulat mandiri bermartabat // terus berjuang // terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bangkit // bergerak bergerak // sampai menang kita masyarakat adat 2x
Mars BPAN berkumandang keras seolah ingin mengalahkan suara hujan saat itu. Suasana bertambah seru karena kami kedinginan, namun tetap tersenyum duduk dalam lingkaran. Kami memilih melingkar utuh agar semangat terhubung satu dengan lainnya sehingga menjadi kekuatan besar melawan cuaca. Waktu pun terus berjalan, hujan deras tak berhenti seperti ingin terus bersama dalam kemah pemuda adat ini.
Meskipun demikian, semangat kami tetap panas. Kami meneruskan aktivitas yang telah tersusun setahap demi setahap sembari mengopi. Ya, kopi memang paling setia. Berdiskusi tentang tanah dan gerakan sambil minum kopi dan makan singkong rebus di bawah tenda di pinggir pantai membuat suasana tambah asyik dan makin akrab. “Pemuda adat…bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat,” sesekali pekik semangat ini menerobos kesewenangan derik hujan.
~
Pagi kedua, matahari dengan gagah naik perlahan di atas laut tanpa malu-malu. Matahari ini sebenarnya menunjukkan apa tujuan hidup kita. Karena cahayanya yang penuh semangat mengajak kita untuk selalu semangat dan terus bersemangat.
Hari baru yang indah. Satu per satu peserta mulai bangun sambil sesekali mengusap mata karena masih terasa ngantuk. Meski terasa berat untuk bangkit, namun kami berniat untuk menyambut pagi dan menyaksikan gelombang laut, gemericik air, burung-burung mengangkasa dan embun di pagi hari yang tak bertahan lama karena akan segera habis disedot sang fajar.
Tanpa menyianyiakan kesempatan, meskipun masih sangat pagi, para pemuda adat mulai membersihkan sampah di bibir pantai sebagai wujud cintanya terhadap lingkungan. Usai bersih-bersih, kami melanjutkan kegiatan dengan bermain benteng. Permainan sekaligus olahraga pagi.
Benteng adalah permainan tradisional di mana secara bergantian menjaga benteng sekaligus mencari lawan untuk menggantikan si penjaga awal. Benteng adalah perlindungan, jika sudah menyentuhnya si pencari tidak bisa apa-apa lagi, sambil menunggu lawan mainnya keluar dari bentengnya.
“Talalu jao ngoni pe benteng (terlalu jauh benteng kalian),” seru salah seorang dari kami. Pemuda adat bermain permainan tradisional benteng. Saat Pokemon Go merajalela, kami pemuda adat asyik bermain permainan warisan leluhur kami. Dan ini tidak memakan kuota internet. (hahahahaha).
Pagi pilihan itu juga menjadi satu kesempatan langka bagi kami. Sebuah pengalaman berharga dan beruntung. Betapa tidak, saat kami terlelap telur penyu menetas. Telur-telur tersebut menetas tidak pada waktunya. Sangat istimewa. Alam yang sangat seimbang dan berpelukan dengan jiwa kami. Sebanyak 17 ekor bayi Tukik (penyu) kami lepas ke laut sebagai tempat dia hidup. Kami pun berharap mereka tetap hidup lalu berkembang biak mengingat ini adalah hewan langka sama halnya dengan dinosaurus.
Matahari meninggi. Kami teruskan kegiatan kemah. Pagi yang berbahagia kami lanjutkan memasak. Terdapat tiga kelompok memasak yang dibagi sama rata. Kelompok dua, setelah dimufakatkan, mulai menyiapkan bahan makanan untuk dimasak. Kelompok masak ini dibuat agar kita dapat belajar tentang kepemimpinan kolektif.
Setelah masakan tersaji, kami pun makan. Makanan yang disajikan selalu makanan khas dari Sulawesi Utara seperti Ikan Roa, Cakalalang Fufu sampai Ragey.
Usai makan kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang tidur, mandi di pantai, bermain gitar dan bercerita. Sambil mengumpulkan tenaga untuk berjalan menyusuri mata air Ranowangko dan menanam pohon, kami berdiskusi dengan model warung kopi dunia. Apa makna wilayah adat bagimu? Lalu apa peran pemuda adat dalam menjaga wilayah adatnya.
Setelah itu, kami mulai menyusuri mata air Ranowangko. Saat menuju ke mata air, kami mulai menanam Mahoni. Menanam pohon ini sebagai bentuk aksi kita terhadap hutan yang gundul. Menanam pohon adalah bagian dari menjaga bumi. Satu pohon sama dengan satu kehidupan. Mari menanam anak muda!
Akhirnya malam tiba, api unggun menyala. Suasana di pantai semakin romantis dengan desiran angin dan suara debur ombak. Wow…! Janji pemuda adat diucapkan untuk semakin meneguhkan komitmen dengan diri sendiri sambil memohon restu para leluhur untuk menjaga wilayah adat. Dan beginilah cara kami anak muda menemukan ide bersama dan membangun komitmen. Kembali menyatu dengan alam. Alam terbuka tanpa sekat ruang yang membatasi ekspresi para pemuda.
Dalam kesempatan ini juga, kami sempat mengobrol dengan penatua kampung. Namanya Opa’ No. Beliau biasa disapa demikian. Sosoknya ramah dan sangat respek terhadap anak muda, terlebih yang mencintai budaya leluhur atau adat istiadat. Dia berpesan kepada pemuda adat bahwa jikalau mau mengurus dan menjaga kampung, harus memiliki kepekaan yang kuat atau kuat dari dalam diri. Selanjutnya penatua murah senyum ini menasehati kami dalam hal belajar, anak muda harus belajar kepada yang tua. Tapi tidak juga sembarang tua, harus pula yang tau.
Undangan dan ajakan dari #Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran menyempurnakan malam hari itu: Wilayah adat adalah sumber hidup dan kehidupan itu sendiri.
Jadi, wilayah adat harus dijaga karena itu jatidiri kita. Wilayah adat harus dipertahankan karena itu kehidupan kita. Wilayah adat harus diurus karena itu adalah kita.
ǂ
“Sulawesi Utara adalah tempat orang termahsyur,” demikian menurut budayawan Minahasa Mner Fredy Wowor. Katanya lagi, yang paling penting adalah keterikatan atau kesatuan. Dia mengharapkan adanya kesatuan para pemuda adat di Sulawesi Utara dalam menjaga wilayah adatnya.
Suku bangsa yang berbeda tidak seharusnya membuat kita terpisah-pisah. Karena terpisah itu lemah. Siapakah masyarakat adat? Bagaimanakah masyarakat adat? Apa AMAN? Berbicara tentang gerakan masyarakat adat tentu tidak lepas dari perjuangan akan hak-hak yang menimbulkan konflik. Tetapi ketika semangat masih ada, kebersamaan kuat, berpikir sebagai masyarakat adat maka kita pasti akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
“Apakah ngoni masih suka lia Minahasa 10 tahun mendatang? Kalo masih suka, maka jaga Minahasa dari sekarang,” kata Matulandi Supit saat berbagi pengalamannya.
[Nedine Helena Sulu]