Masyarakat Adat Nua Nea: Kelembagaan dan Hukum Adat (III)
Masyarakat Adat Nuaulu yang berada di Pulau Seram di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah ini menggunakan bahasa asli suku mereka dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Nuaulu. Adat istiadat maupun kearifan lokal (pengetahuan masyarakat adat) masih dipegang teguh sebagai warisan leluhur.
Komunitas Nuaulu adalah Masyarakat Adat Nuaulu yang berdomisili di tujuh kampung, antara lain Nuanea, Rohuwa Lama, Rohuwa Waimanesi, Bonara, Latan, Hahowalan, dan Simalou. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Ikatan persaudaraan sangat terasa dalam keseharian masyarakat adat.
Mereka pula terbagi ke dalam banyak marga. Sejumlah marga tersebut, yaitu Marga Matoke, Marga Sonawe, Marga Leipari, Marga Huri, Marga Somori, Marga Pia, Marga Rumalait, Marga Peirisa, Marga Kamama, Marga Nahatue, dan Marga Sopalanip. Setiap marga masih dapat terbagi-bagi dalam kelompok kecil. Contohnya adalah Marga Sonawe yang terbagi menjadi dua, yaitu Sonawe Ainakahata dan Sonawe Aipura.
Di dalam setiap marga, kelompok adat dipimpin oleh tetua adat yang diketuai oleh masing-masing kepala marga, seperti ada yang namanya Kepala Marga Sonawe, Kepala Marga Leipari, Kepala Marga Huri, Kepala Marga Somori, Kepala Marga Pia, Kepala Marga Rumalait, Kepala Marga Peirisa, Kepala Marga Kamama, Kepala Marga Nahatue, dan Kepala Marga Sopalanip. Dalam tatanan kelembagaan adat, Masyarakat Adat Nuaulu dipimpin oleh seorang Raja Nuaulu dari marga tertinggi Suku Nuaulu, yaitu Marga Matoke yang bernama Sahune Matoke dan seorang kepala suku yang bernama Aipinoa Matoke yang merupakan ayah dari Bapa Raja Nuaulu Sahune Matoke. Masing-masing marga juga mempunyai rumah adat tersendiri dengan tata ruang arsitektur kampung. Semakin ke atas letak rumah adat, maka semakin tinggi marga dan jabatannya dalam kelembagaan adat Nuaulu.
Ada yang unik dari bagaimana Masyarakat Adat Nuaulu memperlakukan dan menghormati perempuan dengan kondisi/kebutuhan khususnya. Possune adalah sebutan bagi pondok-pondok di belakang rumah warga Nuaulu. Pondok tersebut hanya diperuntukkan bagi perempuan sebagai tempat peristirahatan dari pekerjaan/aktivitas yang telah dilakukan perempuan di dalam dan di luar rumah ketika perempuan memasuki proses menstruasi dan pasca-persalinan hingga akhir masa haid dan nifas. Maksud dan tujuan possune adalah mengistirahatkan jiwa dan raga perempuan untuk tidak mengurusi semua pekerjaan atau kesibukan lain di saat organ reproduksi sedang bekerja keras.
Ada pakem pada arsitektur possune yang khas di mana di dalamnya hanya terdiri dari satu ruangan. Atapnya terbuat dari daun aren yang dirajut satu per satu, kerangka atap dari bambu, dan pondasi yang diikat dengan rotan juga menggunakan teknik penyambungan lokal. Bahan atau material possune seluruhnya didapatkan dari hutan adat. Di dalamnya tidak terdapat barang atau perabot apa-apa karena bersifat sebagai persinggahan sementara. Namun kita dapat menemukan tempat tidur dan perkakas dapur bersama tungku yang dilengkapi tumpukan abu dengan satu sela penyangga di atasnya. Pinamou adalah panggilan bagi seorang perempuan yang sedang berada di possune di kala haid hari pertama, sedangkan Makasusue menjadi sebutan bagi perempuan yang akan dan telah melahirkan untuk diistirahatkan di possune. Peraturan adat yang memperhatikan kebutuhan khusus perempuan ini sudah diterapkan sejak nenek moyang Nuaulu. Di dalam sebuah possune bisa dihuni sampai 5 orang lebih perempuan tergantung pada luasan pondok.
“Katong kalo di Posune waktu melahirkan, dong, dibantu banyak orang lae, dong kalo di rumah katong sandiri sa,” kata Rena Mattoke, putri Bapa Raja Nuaulu. Banyak orang bawa makanan mentah yang kemudian dimasak di possune.
Aturan adat lain yang terkait perempuan adalah numaonate, yaitu prosesi ritual pemberian tanda kepada seorang perempuan yang memasuki kedewasaan di saat haid pertama. Ia diwajibkan memakai selembar kain sarung sebagai pakaian yang serupa kemben di Jawa. Memasuki hari ketiga, ia yang kemudian tinggal di possune memulai ritual. Perempuan tersebut akan dibaluri bubuk hitam yang ditumbuk – hasil kayu khusus yang dibakar – ke seluruh tubuhnya, kecuali bagian yang tertutupi kain dari lutut kaki hingga dada dan dibersihkan pada keesokan harinya. Seorang perempuan itu dibolehkan kembali pulang ke rumah orang tuanya setelah ia mandi bersih. Begitu pula dengan seorang perempuan yang melahirkan. Bagi ia yang baru melahirkan, ada prosesi adat lain lagi yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum ia membawa bayinya masuk ke dalam rumah.
Nuaulu juga memiliki keunikan yang sangat berbeda dari prosesi perkawinan dibandingkan tempat lain di Pulau Seram, Maluku Tengah. Ausahaso adalah kata yang merujuk pada perkawinan dalam bahasa Nuaulu. Perkawinan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Mereka percaya bahwa perkawinan bukan semata ikatan, melainkan untuk menjaga kehormatan peradaban hidup dalam satu keluarga dan kampung.
Ketika seseorang ingin menikah, keluarga calon pengantin laki-laki akan menunjuk manorisou (perantara) pihak laki-laki yang ditugaskan untuk mengurus penetapan harta atau mas kawin (mahar). Kemudian manorisou pihak perempuan bergegas pergi ke rumah keluarga calon pengantin perempuan untuk memberitahukan keinginan seorang lelaki yang telah meminta izin mengawini seorang perempuan. Pihak keluarga perempuan akan bertanya kepada calon mempelai lelaki. Jika calon mempelai perempuan setuju, maka akan ditetapkan hari untuk berkumpul di rumah adat marga calon pengantin perempuan. Calon mempelai istri-lah yang akan memberitahu calon suaminya tanggal musyawarah perkawinan dan mahar. Peran manorisou tidak lagi ikut ke baileu (rumah adat marga) pihak perempuan untuk menetapkan harta atau mas kawin. Hanya manorisou pihak lelaki saja yang akan hadir.
Harta yang selalu ada sebagai mahar adalah hanainnasinae, yaitu piring adat yang ditentukan oleh pihak perempuan dan bisa dikalkulasikan dengan jumlah uang. Setelah jumlah permintaan harta ditentukan oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan, selanjutnya ditetapkan hari kumpul bermusyawarah di baileu calon pengantin lelaki. Di sanalah terjadi kesepakatan timbal balik harta mas kawin yang diinginkan pihak laki-laki kepada perempuan maupun mas kawin yang diinginkan perempuan kepada pihak laki-laki. Hunonin adalah penetapan mahar dalam bahasa Nuaulu. Setelah hunonin selesai, dilanjutkan dengan ditetapkannya hari perkawinan yang tidak boleh lebih dari satu bulan. Jika penetapan hari perkawinan mengacu pada waktu lima hari ke depan, maka disebut hetemetene ononanima. Jika penetapan seminggu lebih, maka disebut minggu unuenesi. Selesainya penetapan hari pernikahan adat, kedua belah pihak pulang mempersiapkan segala prosesi ausahaso.
Selain perkawinan, ada pula yang berbeda dengan pemakaman dari Masyarakat Adat Nuaulu. Mereka menyebutnya dengan nimoa nianehahae. Nimoa berarti perkampungan, sementara nianehahae adalah dia (orang) yang telah meninggal dunia. Mereka percaya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan meninggalkan dunia dan memasuki alam baru di kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Dia yang meninggal akan dibawa ke para-para. Para-para merupakan sebutan bagi tempat peristirahatan akhir berupa meja persegi panjang dengan pondasi tiang setinggi 1,5 sampai 2 meter. Para-para sendiri terbuat dari kayu yang diambil dari hutan sekitar dan dibuat di dalam area hutan masyarakat adat yang sekaligus menjadi situs pemakaman yang dilindungi. Tidak sembarang orang bisa masuk ke areal nimoa nianehahae. Hanya orang-orang yang sudah melaksanakan ritual Maku-maku yang diperbolehkan mengantar mayat ke nimoa nianehahae, bahkan tidak bagi sanak keluarga yang meninggal.
Ketika seseorang meninggal dunia, dia akan dipakaikan pakaian adat Suku Nuaulu, lalu dibalut menggunakan tikar dari kokaya (daun pandan) yang diikat. Dia dibawa dengan cara ditandu oleh dua orang (depan dan belakang) menggunakan dua batang bambu dan diikuti barisan pengantar mayat. Mayat ditandu dengan berjalan kaki dan diiringi masyarakat dalam satu barisan ke nimonia nehahae yang ditempuh kurang lebih lima sampai enam kilometer. Jika salah satu penandu merasa lelah, seseorang yang berada di barisan pertama di belakang penandu tersebut akan maju untuk menggantikan dan penandu sebelumnya masuk ke dalam barisan paling belakang. Sebelum Pemakaman dilakukan, keluarga akan menunggu keluarga yang lain hingga keesokan harinya selama tidak lebih dari dua hari satu malam. Pemakaman tidak boleh dilangsungkan pada sore hari, biasanya pada pagi atau menjelang siang. Sesampainya di dalam hutan di nimoa niahahae, seketika itu juga dibuatkan tiang para-para dan dikelilingi pagar dari bambu yang ditancapkan sekitar para-para untuk menghalangi binatang masuk. Ada ritual yang harus dilewati ketika menempatkan mayat pada para-para. Setelah selesai, barulah areal luar para-para disapu dan mengelilinginya sebanyak lima kali menggunakan ranting kayu. Kemudian sapu tersebut diletakkan pada tone (pagar para-para). Usai pemakaman, seseorang yang telah ditunjuk oleh kepala adat dari marga yang meninggal, akan menentukan batas alam antara seseorang yang meninggal dan yang masih hidup (arena matametene).
Selain tata cara dengan mengantar dia yang meninggal ke nimoa nianehahae, masih ada cara lain yang dilakukan khusus bagi perempuan yang meninggal saat hamil atau melahirkan. Itu disebut imata pouhue. Imata berarti meninggal dan pohue berarti dikuburkan. Perempuan yang meninggal tersebut akan dikubur dengan tetap mengenakan pakaian adat lengkap dengan kain tenunnya.
Setelah seluruh prosesi pemakaman selesai, semua rombongan pengantar jenazah kembali ke kampung dan tidak boleh menghadap ke belakang, termasuk menengok lagi ke pemakaman. Dia akan ditinggalkan untuk selama-lamanya. Kalau pun ada seseorang yang sedang berburu tidak sengaja menemukan arena matametene, maka ia harus balik arah kembali untuk tidak melewati batas arena matametene.