Masyarakat Adat Nua Nea: Kelembagaan dan Hukum Adat (III)

Masyarakat Adat Nuaulu yang berada di Pulau Seram di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah ini menggunakan bahasa asli suku mereka dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Nuaulu. Adat istiadat maupun kearifan lokal (pengetahuan masyarakat adat) masih dipegang teguh sebagai warisan leluhur.

Komunitas Nuaulu adalah Masyarakat Adat Nuaulu yang berdomisili di tujuh kampung, antara lain Nuanea, Rohuwa Lama, Rohuwa Waimanesi, Bonara, Latan, Hahowalan, dan Simalou. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Ikatan persaudaraan sangat terasa dalam keseharian masyarakat adat.

Mereka pula terbagi ke dalam banyak marga. Sejumlah marga tersebut, yaitu Marga Matoke, Marga Sonawe, Marga Leipari, Marga Huri, Marga Somori, Marga Pia, Marga Rumalait, Marga Peirisa, Marga Kamama, Marga Nahatue, dan Marga Sopalanip. Setiap marga masih dapat terbagi-bagi dalam kelompok kecil. Contohnya adalah Marga Sonawe yang terbagi menjadi dua, yaitu Sonawe Ainakahata dan Sonawe Aipura.

Di dalam setiap marga, kelompok adat dipimpin oleh tetua adat yang diketuai oleh masing-masing kepala marga, seperti ada yang namanya Kepala Marga Sonawe, Kepala Marga Leipari, Kepala Marga Huri, Kepala Marga Somori, Kepala Marga Pia, Kepala Marga Rumalait, Kepala Marga Peirisa, Kepala Marga Kamama, Kepala Marga Nahatue, dan Kepala Marga Sopalanip. Dalam tatanan kelembagaan adat, Masyarakat Adat Nuaulu dipimpin oleh seorang Raja Nuaulu dari marga tertinggi Suku Nuaulu, yaitu Marga Matoke yang bernama Sahune Matoke dan seorang kepala suku yang bernama Aipinoa Matoke yang merupakan ayah dari Bapa Raja Nuaulu Sahune Matoke. Masing-masing marga juga mempunyai rumah adat tersendiri dengan tata ruang arsitektur kampung. Semakin ke atas letak rumah adat, maka semakin tinggi marga dan jabatannya dalam kelembagaan adat Nuaulu.

pemberian jabatan adat

Ada yang unik dari bagaimana Masyarakat Adat Nuaulu memperlakukan dan menghormati perempuan dengan kondisi/kebutuhan khususnya. Possune adalah sebutan bagi pondok-pondok di belakang rumah warga Nuaulu. Pondok tersebut hanya diperuntukkan bagi perempuan sebagai tempat peristirahatan dari pekerjaan/aktivitas yang telah dilakukan perempuan di dalam dan di luar rumah ketika perempuan memasuki proses menstruasi dan pasca-persalinan hingga akhir masa haid dan nifas. Maksud dan tujuan possune adalah mengistirahatkan jiwa dan raga perempuan untuk tidak mengurusi semua pekerjaan atau kesibukan lain di saat organ reproduksi sedang bekerja keras.

Ada pakem pada arsitektur possune yang khas di mana di dalamnya hanya terdiri dari satu ruangan. Atapnya terbuat dari daun aren yang dirajut satu per satu, kerangka atap dari bambu, dan pondasi yang diikat dengan rotan juga menggunakan teknik penyambungan lokal. Bahan atau material possune seluruhnya didapatkan dari hutan adat. Di dalamnya tidak terdapat barang atau perabot apa-apa karena bersifat sebagai persinggahan sementara. Namun kita dapat menemukan tempat tidur dan perkakas dapur bersama tungku yang dilengkapi tumpukan abu dengan satu sela penyangga di atasnya. Pinamou adalah panggilan bagi seorang perempuan yang sedang berada di possune di kala haid hari pertama, sedangkan Makasusue menjadi sebutan bagi perempuan yang akan dan telah melahirkan untuk diistirahatkan di possune. Peraturan adat yang memperhatikan kebutuhan khusus perempuan ini sudah diterapkan sejak nenek moyang Nuaulu. Di dalam sebuah possune bisa dihuni sampai 5 orang lebih perempuan tergantung pada luasan pondok.

“Katong kalo di Posune waktu melahirkan, dong, dibantu banyak orang lae, dong kalo di rumah katong sandiri sa,” kata Rena Mattoke, putri Bapa Raja Nuaulu. Banyak orang bawa makanan mentah yang kemudian dimasak di possune.

Aturan adat lain yang terkait perempuan adalah numaonate, yaitu prosesi ritual pemberian tanda kepada seorang perempuan yang memasuki kedewasaan di saat haid pertama. Ia diwajibkan memakai selembar kain sarung sebagai pakaian yang serupa kemben di Jawa. Memasuki hari ketiga, ia yang kemudian tinggal di possune memulai ritual. Perempuan tersebut akan dibaluri bubuk hitam yang ditumbuk – hasil kayu khusus yang dibakar – ke seluruh tubuhnya, kecuali bagian yang tertutupi kain dari lutut kaki hingga dada dan dibersihkan pada keesokan harinya. Seorang perempuan itu dibolehkan kembali pulang ke rumah orang tuanya setelah ia mandi bersih. Begitu pula dengan seorang perempuan yang melahirkan. Bagi ia yang baru melahirkan, ada prosesi adat lain lagi yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum ia membawa bayinya masuk ke dalam rumah.

Nuaulu juga memiliki keunikan yang sangat berbeda dari prosesi perkawinan dibandingkan tempat lain di Pulau Seram, Maluku Tengah. Ausahaso adalah kata yang merujuk pada perkawinan dalam bahasa Nuaulu. Perkawinan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Mereka percaya bahwa perkawinan bukan semata ikatan, melainkan untuk menjaga kehormatan peradaban hidup dalam satu keluarga dan kampung.

Ketika seseorang ingin menikah, keluarga calon pengantin laki-laki akan menunjuk manorisou (perantara) pihak laki-laki yang ditugaskan untuk mengurus penetapan harta atau mas kawin (mahar). Kemudian manorisou pihak perempuan bergegas pergi ke rumah keluarga calon pengantin perempuan untuk memberitahukan keinginan seorang lelaki yang telah meminta izin mengawini seorang perempuan. Pihak keluarga perempuan akan bertanya kepada calon mempelai lelaki. Jika calon mempelai perempuan setuju, maka akan ditetapkan hari untuk berkumpul di rumah adat marga calon pengantin perempuan. Calon mempelai istri-lah yang akan memberitahu calon suaminya tanggal musyawarah perkawinan dan mahar. Peran manorisou tidak lagi ikut ke baileu (rumah adat marga) pihak perempuan untuk menetapkan harta atau mas kawin. Hanya manorisou pihak lelaki saja yang akan hadir.

Harta yang selalu ada sebagai mahar adalah hanainnasinae, yaitu piring adat yang ditentukan oleh pihak perempuan dan bisa dikalkulasikan dengan jumlah uang. Setelah jumlah permintaan harta ditentukan oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan, selanjutnya ditetapkan hari kumpul bermusyawarah di baileu calon pengantin lelaki. Di sanalah terjadi kesepakatan timbal balik harta mas kawin yang diinginkan pihak laki-laki kepada perempuan maupun mas kawin yang diinginkan perempuan kepada pihak laki-laki. Hunonin adalah penetapan mahar dalam bahasa Nuaulu. Setelah hunonin selesai, dilanjutkan dengan ditetapkannya hari perkawinan yang tidak boleh lebih dari satu bulan. Jika penetapan hari perkawinan mengacu pada waktu lima hari ke depan, maka disebut hetemetene ononanima. Jika penetapan seminggu lebih, maka disebut minggu unuenesi. Selesainya penetapan hari pernikahan adat, kedua belah pihak pulang mempersiapkan segala prosesi ausahaso.

Selain perkawinan, ada pula yang berbeda dengan pemakaman dari Masyarakat Adat Nuaulu. Mereka menyebutnya dengan nimoa nianehahae. Nimoa berarti perkampungan, sementara nianehahae adalah dia (orang) yang telah meninggal dunia. Mereka percaya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan meninggalkan dunia dan memasuki alam baru di kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Dia yang meninggal akan dibawa ke para-para. Para-para merupakan sebutan bagi tempat peristirahatan akhir berupa meja persegi panjang dengan pondasi tiang setinggi 1,5 sampai 2 meter. Para-para sendiri terbuat dari kayu yang diambil dari hutan sekitar dan dibuat di dalam area hutan masyarakat adat yang sekaligus menjadi situs pemakaman yang dilindungi. Tidak sembarang orang bisa masuk ke areal nimoa nianehahae. Hanya orang-orang yang sudah melaksanakan ritual Maku-maku yang diperbolehkan mengantar mayat ke nimoa nianehahae, bahkan tidak bagi sanak keluarga yang meninggal.

Ketika seseorang meninggal dunia, dia akan dipakaikan pakaian adat Suku Nuaulu, lalu dibalut menggunakan tikar dari kokaya (daun pandan) yang diikat. Dia dibawa dengan cara ditandu oleh dua orang (depan dan belakang) menggunakan dua batang bambu dan diikuti barisan pengantar mayat. Mayat ditandu dengan berjalan kaki dan diiringi masyarakat dalam satu barisan ke nimonia nehahae yang ditempuh kurang lebih lima sampai enam kilometer. Jika salah satu penandu merasa lelah, seseorang yang berada di barisan pertama di belakang penandu tersebut akan maju untuk menggantikan dan penandu sebelumnya masuk ke dalam barisan paling belakang. Sebelum Pemakaman dilakukan, keluarga akan menunggu keluarga yang lain hingga keesokan harinya selama tidak lebih dari dua hari satu malam. Pemakaman tidak boleh dilangsungkan pada sore hari, biasanya pada pagi atau menjelang siang. Sesampainya di dalam hutan di nimoa niahahae, seketika itu juga dibuatkan tiang para-para dan dikelilingi pagar dari bambu yang ditancapkan sekitar para-para untuk menghalangi binatang masuk. Ada ritual yang harus dilewati ketika menempatkan mayat pada para-para. Setelah selesai, barulah areal luar para-para disapu dan mengelilinginya sebanyak lima kali menggunakan ranting kayu. Kemudian sapu tersebut diletakkan pada tone (pagar para-para). Usai pemakaman, seseorang yang telah ditunjuk oleh kepala adat dari marga yang meninggal, akan menentukan batas alam antara seseorang yang meninggal dan yang masih hidup (arena matametene).

Selain tata cara dengan mengantar dia yang meninggal ke nimoa nianehahae, masih ada cara lain yang dilakukan khusus bagi perempuan yang meninggal saat hamil atau melahirkan. Itu disebut imata pouhue. Imata berarti meninggal dan pohue berarti dikuburkan. Perempuan yang meninggal tersebut akan dikubur dengan tetap mengenakan pakaian adat lengkap dengan kain tenunnya.

Setelah seluruh prosesi pemakaman selesai, semua rombongan pengantar jenazah kembali ke kampung dan tidak boleh menghadap ke belakang, termasuk menengok lagi ke pemakaman. Dia akan ditinggalkan untuk selama-lamanya. Kalau pun ada seseorang yang sedang berburu tidak sengaja menemukan arena matametene, maka ia harus balik arah kembali untuk tidak melewati batas arena matametene.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Nua Nea: Negeri Penuh Cerita dan Kearifan (II)

Sejarah Asal Usul

Negeri Nua Nea merupakan sebuah negeri adat yang lahir berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas wilayah teritorial (petuanan/ulayat) dengan kekayaan alam yang berlimpah, serta kehidupan sosial yang diatur oleh norma-norma atau kaidah-kaidah adat yang tidak tertulis tetapi dihormati dan diakui oleh Masyarakat Adat Nua Nea sendiri.

Bila kita menelisik Negeri Nua Nea dari aspek historis, hal itu tidak terlepas dari kehidupan Komunitas Adat Suku Nuaulu di bagian selatan Pulau Seram yang salah satunya berada di Negeri Nua Nea sebagai pusat pemerintahan adat untuk orang-orang Nuaulu yang tersebar di beberapa kampung. Suku Nuaulu terdiri atas enam negeri yang secara administratif berada di lima kampung di bawah Negeri Sepa. Kelima kampung tersebut adalah Kampung Rohua, Bonara, Watane, Hahuwalan, dan Simalouw.

Negeri Nua Nea merupakan pusat pemerintahan adat untuk Suku Nuaulu. Untuk menelusuri sejarah, maka kita perlu menoleh ke belakang ketika awalnya semua bermula dari Nunusaku. Nunusaku adalah sebuah kerajaan pertama di Bumi Nusa Ina.

IMG_8654

Suku Nuaulu telah sejak lama mendiami Pulau Seram, khususnya Seram Tengah di bagian selatan Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Suku Naulu merupakan penduduk asli Nusa Ina Pulau Seram. Pada awalnya, negeri-negeri atau desa-desa adat yang berada pada Pulau Seram maupun Maluku pada umumnya, berada pada satu kekuasaan kerajaan, yakni Kerajaan Nunusaku yang merupakan kerajaan pertama di Nusa Ina. Berbicara Suku Nuaulu sudah barang tentu tidak terlepas dari kekuasaan Kerajaan Nunusaku. Nunusaku dahulu berlokasi di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, yaitu di hulu Sungai/Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Suku ini merupakan Keturunan dari anak-cucu Raja Nunusaku yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku.

Ceritanya kira-kira seperti ini:

Alkisah, Kerajaan Nunusaku adalah kerajaan pertama atau tempat pertama di Bumi Nusa Ina Pulau Seram yang terdapat di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, tepatnya di hulu Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Kerajaan ini di pimpin oleh seorang raja yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku. Ia mempunyai dua orang putra: Natu Manue dan Natu Sahunawe.

Nama kedua purta Raja Nunusaku itu masing-masing memiliki arti penuh makna. Natu Manue mempunyai arti kapten atau panglima perang yang dalam perang – saat diserang atau menyerang musuh – atau bepergian jauh, Natu Manue biasanya terbang-terbang. Sedangkan Natu Sahunawe mempunyai arti kapten atau panglima yang dalam berperang atau berpergian jauh, memiliki langkah yang panjang ke mana pun ia pergi. Entah apakah arti tersebut bermakna sebenarnya atau sekadar metafor. Kedua putra raja tersebut kemudian mempunyai jabatan masing-masing dalam kerajaan sebagai kapten atau panglima perang.

Awalnya kedua Putra Upu Aman Latu Nunusaku hidup rukun, aman, dan damai. Namun seiring berjalannya waktu, Raja Nunusaku memasuki usia senja dan kedua putra raja pun mulai berebut tahta kerajaan. Hal itu terlihat pada setiap permasalahan yang terjadi dalam Kerajaan Nunusaku yang memicu perselisihan dan kerap mengorbankan rakyat Nunusaku.

Melihat hubungan kedua putranya yang kurang harmonis, Raja Upu mengadakan musyawarah besar. Pada musyawarah, Sang Raja mengambil keputusan untuk mengeluarkan kedua putranya dari Kerajaan Nunusaku. Itu dilakukan agar rakyat Nunusaku tidak lagi menjadi korban dari setiap permasalahan yang timbul atas ulah kedua putranya. Mendengar keputusan ayahandanya, Natu Manue dan Natu Sahunawe mencari jalan untuk keluar dari Nunusaku. Namun keputusan raja justru menimbulkan huru-hara baru di antara kelompok pengikut kedua putra mahkota tersebut.

Tibalah hari perpisahan atas keluarnya kedua putra Raja Nunusaku dari kerajaan. Sebelum berangkat meninggalkan Nunusaku, kedua putra raja berdiri di bawah pohon beringin yang tumbuh melingkari pohon sagu di atas batu besar yang menjadi sumber mata air sungai (Wae Tala, Eti, dan Sapalewa).

Kedua putra raja berdiri sambil menyanyikan dua kapata atau lagu perpisahan yang berbunyi: “Hiti-hitio tui-tui tahei lete hei lete yahei lete Nunusakuo, Nunusakuo Nunusaku paratamao.” Usai menyanyikan lagu tersebut, keduanya berkata, “Nunusaku re sama ita mansiau mai Nusa Ina kaka wani.”

Ada hal yang sangat penting dalam perpisahan kedua putra Raja Nunusaku sebelum berpisah meninggalkan Nunusaku. Ketika itu Natu Manue dan Natu Sahunawe masih tetap berdiri di bawah beringin. Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano eu pusu Wae Sapalewa Poe. Natu Sahunawe, ano eu pusu Wae Tala Poe.” Artinya, “Natu Manue, kamu berjalan menelusuri Sungai Sapalewa. Natu Sahunawe, kamu berjalan menelusuri Sungai Tala.”

Namun, sebelum kedua putra raja meninggalkan Kerajaan Nunusaku, kelompok-kelompok pengikut tersebut memohon kepada Raja Nunusaku agar mereka ikut serta meninggalkan Nunusaku. Mendengar permohanan tersebut, Raja Nunusaku berkata “Munata nanie pusimo eumo ari honi Nunusaku, reimo pusimo omo poe nunue nohue remo!” (Jika kalian semua berkehendak meninggalkan Nunusaku, kalian semua berdiri di bawah pohon beringin itu!”)

Mendengar perkataan Raja Nunusaku, kelompok-kelompok masyarakat Nunusaku tersebut berkumpul bersama-sama dengan Natu Manue dan Natu Sahunawe. Pengikut masing-masing kubu pun berdiri di Wae Sapalewa (bagian utara) serta Natu Sahunawe di Wae Tala (bagian selatan). Sebagian kelompok yang tidak memihak kedua putra Raja Nunusaku berdiri di batu pada sumber mata air Wae Eti.

Melihat semua rakyat Nunusaku bersama kedua putranya sudah berada di bawah pohon beringin yang melingkari pohon sagu tersebut, Raja Nunusaku menunjuk di atas pohon tersebut dengan tombak yang dipegangnya sambil berkata, “Nunue mese-mese.” Seketika itu di bawah pohon beringin – yang tadinya rakyat Nunusaku banyak berdiri bersama kedua putranya – pun menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanya kedua putra dan beberapa orang pengikut Natu Manue dan Natu Sahunawe. Kelompok Natu Manue tersisa empat orang ditambah Natu Manue sendiri, maka menjadi lima orang. Kelompok Natu Sahunawe tersisa delapan orang ditambah Natu Sahunawe sendiri, maka menjadi sembilang orang. Sementara kelompok rakyat Nunusaku lainnya yang tidak memihak kedua putra, hanya tersisa sembilan orang.

Melihat hal tersebut, Raja Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano runame mansiau hata ate remo runa amo ruam oyo omi nima eu resunoi oruemo tau motihue otoe isa omimo omi Hata Nima. Natu Sahunawe, ano runame mansiau hata wanu remo runa amo ruam oyo omi sia eu resunoi oruemo tau tihue otoe isa omi Hata Sia Putia. Runa omi sia remo euresunoi oruemo taumo tihue otoe isa omi Hata Sia Metena.” (Natu Manue, kamu dan keempat orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian adalah kelompok Pata Lima. Natu Sahunawe, kamu dan kedelapan orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru sebagai tempat tinggal kalian yang baru kalian adalah kelompok Pata Siwa Putih. Dan kalian kelompok rakyat Nunusaku yang lain yang tidak memihak salah satu dari kedua putraku, karena kalian berjumlah sembilan, dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian kelompok Patasiwa Hitam.)

Selesai berucap, Raja Upu menghilang seketika. Melihat kejadian tersebut, Natu Manue dan Natu Sahunawe serta kelompok lain pun meninggalkan Nunusaku. Natu Manue dan pengikutnya (Pata Lima) berjalan menelusuri Wae Sapalewa dan Natu Sahunawe dan pengikutnya (Pata Siwa Putih) berjalan menelusuri Wae Tala. Kelompok lain yang berjumlah sembilan (Pata Siwa Hitam) berjalan menelusuri Wae Eti. Itulah yang menjadi cikal bakal runtuhnya Kerajaan Nunusaku sekaligus menjadi permulaan bagi Pata Siwa dan Pata Lima untuk merujuk pembagian kelompok-kelompok masyarakat adat di Nusa Ina Pulau Seram. Sampai saat ini, penamaan Pata Siwa dan Pata Lima dipakai sebagai lambang asal mula suatu negeri pecahan Nunusaku. Jika pada zaman sekarang ada suatu negeri di Bumi Nusa Ina yang tidak memiliki adat istiadat atau kebudayaan dan tradisi dari kedua kelompok, maka negeri tersebut bukanlah penduduk asli Nusa Ina.

Tetapi ada kisah lanjutan lain. Setelah perpisahan, Natu Manue dan pengikutnya yang berjalan menelusuri Wae Sapalewa menuju utara Bumi Nusa Ina, lantas berpisah. Natu Manue justru berjalan menuju timur Nusa Ina. Dalam perjalanan mencari tempat yang baru itulah, Natu Manue tiba di suatu tempat bernama Asinahu Sanawai. Asinahu Sanawai adalah dua sungai yang ada di bagian utara Nusa Ina dan memiliki nilai historis yang penting bagi Suku Nuaulu. Di sanalah mereka percaya peradaban awal Nuaulu bermula dan berkembang.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Nua Nea: Perbincangan di Teluk Ambon (I)

Jumat, 27 November 2015. Hari itu, saya merenungkan sesuatu sambil melihat sayap pesawat yang membawa saya menuju langit Pattimura dari tanah lampau Batavia dengan terik matahari yang menyengat di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di atas ketinggian udara ini, terlintas di benak saya tentang alasan untuk apa kita terlahir? Tentang asal muasal dan juga hendak ke mana akan menuju. Saya berjalan ke mana arah angin membawa langkah. Memburu perbedaan yang menjadikan Indonesia bersatu dalam keberagaman. Ada satu kepuasan batin ketika melihat senyum anak-anak di pedalaman. Mungkin itu, entahlah mengapa Tuhan membawa saya ke negeri ini. Tak tahu bagaimana kebiasaan mereka, bagaimana cara mereka makan, di mana mereka mandi, bagaimana mereka menyembah sosok yang disebut Tuhan, dan lain-lain.

Beberapa hari yang lalu, 14 pemuda adat Nusantara belajar bersama dalam kegiatan pendokumentasian jejak sejarah leluhur dan menjejaki kawasan Gunung Gede Pangrango. Saya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur terpilih untuk live in di Komunitas Nuaulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Sebelum berangkat, tak terbersit sedikit pun untuk mencari tahu tentang komunitas yang tergabung sebagai anggota AMAN ini karena informasi terakhir yang saya dapatkan adalah kami harus sampai ke komunitas terlebih dulu untuk mendapatkan izin dari para tetua adat dan raja di Nuaulu. Bagi saya, ada makna yang menarik untuk mengunjungi tempat yang asing di mana saya tak perlu mencari tahu banyak hal dari internet sebelum pada akhirnya saya tiba dan memulai pencarian sendiri dari hal yang kosong.

Kami tetap meneguhkan hati untuk sampai ke Komunitas Adat Nuaulu.

Mencoba mengurangi insomnia perjalanan, saya memutuskan menonton film karya pemuda Suku Sasak tentang perjalanan seorang perempuan Sasak. Hal itu memberikan saya rindu akan tanah kelahiran sekaligus kisah para perempuan Sasak yang terbungkam.

Tedoq tangis gumi Sasak.
Bande jari tutur kate leq semeton jari.
Inaq Amaq semeton jari, tiang tunas maaf beleq beleq.

(Terbungkam tangis bumi Sasak Lombok.
Memikul beban tetapi menjadi sebuah tutur kata indah kepada sanak saudara.
Ibu dan bapak, saya mohon maaf sebesar-besarnya.)

Sebuah film dengan alur cerita tentang perempuan Sasak yang mencoba berbakti kepada orang tua, namun tak lepas juga membahagiakan orang lain di sekitarnya. Saya usap air mata dengan kerudung walau telah sekian kali menonton film ini. Filmnya pun terputus karena 15 menit lagi pesawat akan mendarat.

Saya tempel telapak tangan pada jendela pesawat. Saya gerakkan ke sana kemari telunjuk sambil melihat gumpalan awan. Sontak saya terkejut melihat awan yang seolah-olah memberi pesan. Percaya atau tidak, itu nyata. Jelas sekali awan itu terlihat seperti orang-orang yang sedang berkumpul. Laki-laki bersama seorang perempuan  saling berhadapan dan laki-laki dengan ikat kepala bersama banyak pasukan di belakangnya.

Puku 18.45 Wit, kami mendarat di Bandara Pattimura Ambon, lalu melanjutkan perjalanan menuju Kota Ambon dengan satu jam jarak tempuh mengitari Teluk Ambon yang dihiasi kilau lampu-lampu dari rumah masyarakat dengan tata ruang perumahan yang menumpuk hingga ke atas bukit.

Di tengah perjalanan, saya berbincang-bincang dengan sopir taksi Avanza. Banyak pertanyaan yang saya layangkan kepadanya. Seperti tentang morea, – belut raksasa yang terkenal itu – destinasi wisata, hingga kuliner di Ambon. Sampai pada akhirnya ia mempertanyakan maksud dan tujuan kami datang ke Ambon. Kami bilang bahwa kami hanya singgah di Kota Ambon.

Begini Percakapan antara supir dan saya.

Supir    : Berapa hari Nona di Ambon?
Saya     : Kami hanya singgah di Ambon. Akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Seram.
Sopir    : Memang rencana ke Seram mau ke mana, Nona?
Saya     : Ke Amahai di Nua Ulu.
Sopir    : (Bapak supir langsung diam.)
Saya     : Bapak ada tahu informasi tentang Nua Ulu ‘kah?
Sopir    : Kalian ada penelitian ya di sana?
Saya     : Kami ada pendokumentasian komunitas (adat).
Sopir    : Ini saya su merinding Nona ‘e.
Saya     : Kenapa ?
Sopir    : Di sana tampa bunu bunu orang, Kakak. Kapala manusia dipenggal deng taru depan de pu rumah.
Saya     : Lalu ?
Sopir    : Kakak berani sakali ‘e ke sana! Seng takut ‘kah itu kapala dipenggal, balum lae di sana orang-orang seng pu agama ‘e.

Saya bertanya cukup di dalam hati. Benarkah hal seperti itu masih ada di Indonesia. Dan saya pun tersenyum saja sambil memotret Teluk Ambon sambil meyakinkan diri bahwa tujuan kami datang adalah sebagai saudara, bukan untuk terbunuh oleh pikiran negatif  tentang mereka.

Setiap orang adalah guru.
Setiap tempat akan berkesan jika kau mengambil arti di dalamnya.
Setiap tempat akan berkesan jika kau memberi arti pada mereka.

Semua tempat adalah sekolah.
Semua tempat adalah belajar.
Semua pengalaman adalah ilmu.

Syahadatul Khair

Dirjen Kebudayaan: Masyarakat Adat Lebih Masuk Akal

Jakarta (13/2/2016)—Dalam skop sosial ekonomi politik luas, Masyarakat Adat sejak dulu telah memiliki kearifan khas. Hal ini terbukti dengan keberadaan Masyarakat Adat itu sendiri yang tegak berdiri di wilayah adatnya masing-masing. Dalam hal pangan, misalnya, beberapa komunitas adat di Banten memiliki cara untuk mengatasinya: Serentaun. Serentaun merupakan kegiatan rutin yang diadakan Masyarakat Adat Sunda sebagai sebentuk festival tahunan.

“Kalau terjadi kekeringan selama enam tahun berturut-turut, mereka akan selamat,” ungkap Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam audiensi ke kantor Direktorat Jenderal Kebudayaan RI.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, menyampaikan bahwa terdapat porsi Masyarakat Adat dalam programnya yang selama ini ruangnya masih terbatas. Adapun sinergi Dirjen dengan AMAN adalah suatu kolaborasi yang perlu dikedepankan. Masyarakat Adat seharusnya lebih ditonjolkan karena merekalah pemilik dan pemakai sehari-hari kebudayaan itu.

“Seharusnya kehadiran Masyarakat Adat di Indonesia dalam hal kebudayaan harus menonjol tidak hanya dalam urusan persoalan tanah ulayat atau agraria dan sebagainya. Karena kebudayaan adalah ruang yang paling masuk akal,” demikian pernyataan Hilmar Farid.

Dalam pertemuan itu, Hilmar menyampaikan akan ada beberapa kegiatan budaya yang sifatnya internasional. Dua di antaranya adalah World Culture Forum dan Europalia. Kesempatan dalam kegiatan tersebut diharapkan akan bisa menyampaikan pesan substantif dengan menekankan segala rupa proses dan pemaknaan kepada Masyarakat Adat selaku subjek, bukan objek. Kegiatan internasional ini diharapkan berlangsung tidak hanya tunduk pada satu bahasa: Inggris.

Inilah salah satu upaya mengenalkan budaya yang sesungguhnya dari Masyarakat Adat yang benar-benar beragam. Prinsip universal yang menyatukan budaya bukan pada pemahaman bahasa internasional, melainkan kepada makna dan pesan yang disampaikan lewat kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, harus ada penguatan kedaulatan dan martabat Masyarakat Adat.

IMG_20160212_155702

Menggerakkan budaya dari pinggir

Kerja-kerja yang dilakukan AMAN selama ini dalam pertemuan disambut baik oleh Dirjen. Berbagai bentuk program yang dilakukan Masyarakat Adat dalam mengembalikan rasa percaya dirinya bahkan menyelamatkan komunitas dan budaya yang terancam punah. Umpamanya generasi muda adat yang bergerak bersama dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaannya sebagai Masyarakat Adat. Memulai menggagas sebuah pendidikan menurut adat dan budayanya tanpa intervensi orang lain dalam menentukan esensi pendidikan adatnya.

Para pemuda adat juga sudah memulai pendokumentasian budaya komunitas masing-masing melalui kegiatan pemuda adat pulang kampung, merekam penuturan tetua adat, bahkan membuat video. Terbaru mereka lakukan pada November hingga Desember 2015 dengan pola live in silang lintas tradisi: pemuda adat dari Sulawesi dan Kalimantan ke komunitas Orang Rimba Jambi, dari Sumatera ke Kalimantan, dari Kalimantan dan Sulawesi ke Maluku.

“Semua orang mengeluh anak-anak atau pemuda tidak memahami budayanya, tapi saat ditanya apa yang kamu lakukan untuk hal itu. Tidak seorang pun yang menjawab” kata Dirjen yang juga sejarawan dan aktivis ini.

Pernyataan tersebut menohok bagi siapa saja yang biasa mengeluh, namun minus solusi dan tanggung jawab. Menanggapi pernyataan tersebut pemuda adat dari BPAN tengah bergerak menjemput dan menjawab keluhan itu. “Kami sedang membangkitkan semangat pemuda di mana slogannya ‘Pemuda Adat bangga berbudaya’. Beberapa kegiatan kami di antaranya memulangkan pemuda ke kampung, memulai sebuah pendidikan tanpa intervensi dari siapa pun, mempersiapkan Pekan Pemuda Adat. Kegiatan ini kami lakukan dalam suatu rangkaian ‘Menelusuri Jejak Leluhur’. Kami juga melakukan suatu pendokumentasian saat live in yang akan kami pelajari kembali selaku generasi muda adat,” kata Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoran.

Senada dengan itu, Rizaldi Siagian mengatakan bahwa istilah membaca juga harus diterjemahkan lebih luas. Masyarakat Indonesia yang lekat dengan tradisi lisan harus pula didampingi dengan pendekatan lisan. Pendokumentasian cerita-cerita rakyat dilakukan dengan merekam dan dibuat menarik sehingga akrab di telinga tanpa mengurangi substansi nilainya.

“Mendulang Mitos: bagaimana kita menggali dan merekam penuturan cerita-cerita rakyat dengan sangat sederhana, lalu membuat cerita itu menarik. Jadi, mengangkat tradisi dan mengolahnya dengan menarik secara digital. Kita menerjemahkan pengertian membaca ke mendengar. Tidak bisa semua kita tulis jadi buku atau naskah,” tambah etnomusikolog ini.

Menjaga, merawat, dan menggerakkan budaya dari pinggir masih menjadi programnya Dirjen baru ini. Bagaimana menelusuri jejak leluhur sesuai program BPAN dilakukan  dengan pendekatan sekolah adat dan atau bentuk lain yang telah AMAN praktikkan sejauh itu bersamaan dengan jalur Dirjen Kebudayaan.

Sebab selama ini penampilan kebudayaan yang diproyeksikan pemerintah kerap kali dipengaruhi kepentingan proyek dan berjalannya program birokratisnya.

Hilmar juga menyatakan komitmennya untuk serius menggerakkan kebudayaan dari bawah.

[Jhontoni Tarihoran-Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat Rimba: Sistem Kelola Wilayah Adat (Part V)

Warisan pengetahuan leluhur Orang Rimba yang telah menjaga kelestarian alam sekitar memberikan pengaruh kuat bagi Orang Rimba saat ini dalam mengelola hutan sebagai rumah sekaligus kepercayaan terhadap perwujudan dewa yang bisa memberikan manfaat kebaikan ketika dipuja, namun pula mendatangkan petaka ketika titah dilanggar.

Dewa bagi Orang Rimba memiliki imaji dan pemaknaan yang mungkin berbeda dengan konsep dewa-dewi yang seringkali kita dengar dari kisah yang dikembangkan dari mitologi Yunani atau lainnya. Ada beberapa sosok dewa yang mereka percaya. Dewa Madu adalah penghuni pohon-pohon di mana lebah biasanya bersarang. Pohon-pohon yang diasosiasikan dengan Dewa Madu tidak boleh ditebang, bahkan tidak diizinkan membacok sedikit saja. Merusak pohon akan mengundang kemurkaan dewa, hingga Dewa Madu bisa meninggalkan pohon dan lebah-lebah tak lagi ingin bersarang di pohon itu. Pantangan lain adalah tidak diperbolehkan bagi perempuan datang bulan melintas di bawah pohon yang bermadu. Selain pohon bersarang lebah, pohon-pohon lain yang dipercaya didiami oleh dewa, yaitu pohon buah nuaran, situbung, dan singoris. Pohon singoris digunakan Orang Rimba untuk mengolesi ubun-ubun anak yang baru lahir. Tiga bagian dari kulit pohon diambil secara bertingkat, lalu ditumbuk sampai halus, kemudian dioleskan di ubun-ubun anak yang baru lahir. Setelah proses dilalu, barulah bayi mendapatkan nama.

Dewa-dewa lain yang diceritakan oleh Orang Rimba, selain Dewa Madu, adalah Dewa Siamang, Dewa Harimau, Dewa Gajah, dan Dewa Laut. Orang Rimba tidak pernah membuang kotoran secara sembarangan di sungai karena mereka percaya bahwa sungai dihuni oleh dewa. Itulah sebabnya mengapa sungai-sungai di hutan tetap terjaga kebersihan dan kejernihannya sampai-sampai air dari sungai pun cukup layak untuk bisa diminum langsung tanpa perlu dimasak. Nilai positif dari kepercayaan terhadap dewa-dewa ini menjadikan masyarakat adat Anak Rimba lebih arif dalam mengelola hutan serta menjadikan hutan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Ada banyak alasan bagi mereka untuk tetap bertahan dan berkehidupan di dalam hutan.

Masyarakat adat tidak mengenal sistem kepemilikan tanah secara individu. Orang Rimba hidup dengan pola nomaden (berpindah-pindah) di wilayah adat mereka. Mereka bebas mengelola tanah di mana saja dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Dalam aturan adat, tanah dikuasai oleh para penghulu, namun Orang rimba bebas menanam tumbuhan yang bisa menghasilkan bahan kebutuhan hidup mereka, baik itu pohon buah atau tumbuhan umbi-umbian sesuai aturan adat. Karena tanah adalah milik para penghulu, maka tumbuhan yang ditanam tetap milik para penghulu, tetapi hasil dari tumbuhan itu, baik buah atau umbi-umbian menjadi hak penanam. Durian misalnya, di mana pun Orang Rimba boleh menanamnya dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Jika kelak berbuah, maka buahnya dapat dinikmati oleh mereka yang menanam dan penghulu tidak bisa melarang untuk memanen buah. Sementara batang durian (pohon) tetap menjadi milik para penghulu sebagai perwakilan dari suatu komunitas. Penghulu juga bisa melakukan penuntutan terhadap kerusakan pohon. Aturan ini dalam Seluko adatnya dinamakan Tua Tanam Celako Tanam. Tua tanam artinya kita menanam dan kita pula yang mengambil hasilnya, sedangkan celaka tanam bermakna kita menanam di tanah orang.

Kehidupan Orang Rimba sejak dulu bergantung dengan apa yang disediakan oleh hutan. Namun perubahan adalah pula suatu kepastian ketika terjadi interaksi dengan orang-orang luar (hutan) yang hampir tidak bisa dihindari. Tak jarang ada kesalahpahaman sering terjadi.

Orang-orang luar kerap memiliki pandangan yang berbeda terkait pembakaran lahan sebagai bagian dari pola perladangan tradisional. Begitu pun dengan Orang Rimba yang kerap membakar untuk berladang. Tapi jangan kaitkan proses pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan persitiwa karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan kabut asap hebat yang kerap terjadi karena unsur kesengajaaan kepentingan ekonomi.

Tumenggung Betaring menjelaskan bagaimana pembakaran yang dilakukan Orang Rimba merupakan bagian dari aktivitas baik dalam tata kelola perladangan tradisional versi masyarakat adat. Ada serangkaian proses dengan ritual yang rumit dan panjang untuk memulainya. Ketika mereka membuka lahan, api tidak pernah merembes luas karena terlebih dulu mereka mengadakan ritual memanggil “angin kurung.”

Pada umumnya, di lahan yang telah dibuka, Orang Rimba selalu menanaminya dengan pohon karet. Namun sebelum tanaman karet tumbuh menjadi pohon yang besar, mereka menanam padi darat (padi ladang) dan tanaman lainnya, seperti singkong untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ini berbeda dengan Suku Anak Rimba terdalam yang memakan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Tetapi di saat musim kemarau panjang, – ketika tanah menjadi kering, sehingga tanaman umbi-umbian sulit tumbuh dengan baik – tak sedikit dari mereka yang ikut beralih ke beras yang dibeli dari orang luar dengan cara menukar komoditi. Beras mereka tukar dengan hasil hutan, seperti damar, jerenang, dan rotan. Cara transaksi Suku Anak Rimba pada mulanya sangat unik dan hanya berlandaskan pada kejujuran dan kepercayaan. Mereka meletakkan begitu saja barang yang ingin ditukar di pinggir jalan. Orang luar yang melihat dan memahaminya akan tahu, lalu mengambilnya dengan meninggalkan barang-barang lain sebagai gantinya. Tetapi kebutuhan Orang Rimba kini tak sekadar beras saja dan pola itu tak selalu relevan untuk terus dilakukan. Maka, kini banyak dari mereka harus keluar hutan dan berbelanja sendiri kebutuhan di pasar yang mudah dijangkau. Untuk Suku Anak Rimba yang tinggal relatif di kawasan paling dalam hutan, distribusi atau transaksi dilakukan di Tanah Garo satu kali dalam sebulan.

Sebagai suatu gambaran terhadap potensi komoditi atau ekonomi di dalam Komunitas Adat Orang Rimba, misalnya adalah karet. Pohon karet baru bisa berproduksi dengan baik setelah berumur 10 tahun di mana 6 hektar pohon karet bisa berproduksi sebesar 2 ton per bulan dengan harga Rp 4.500-5.000 per kg. Sedangkan untuk rotan dan jerenang masing-masing dihargai Rp 5.000 per batang rotan dengan ukuran 4 meter dan 100.000 per kg untuk jerenang. Orang Rimba baru akan meninggalkan lahan jika ada anggota keluarga yang meninggal.

Kedatangan Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2015, memunculkan harapan baru bagi Suku Anak Rimba untuk hidup lebih baik. Rencana pemerintahan untuk memberikan rumah bagi Suku Anak Rimba menghadapi suatu proses dialog yang berjalan baik. Paska kunjungan Jokowi, Suku Anak Rimba mengadakan rapat sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut. Hasil dari beberapa pertemuan yang diadakan, adalah Suku Anak Rimba akan membentuk satu desa tersendiri dari integrasi tiga wilayah, yakni Air Hitam, Kedasung, dan Mengkekal.

Perihal tempat bangunan permukiman disepakati dan disesuaikan pada ketiga wilayah itu. Pada Januari 2016, rencananya seluruh perwakilan Suku Anak Rimba akan kembali mengadakan pertemuan.

Faktor pendorong mereka tetap kembali ke hutan walaupun telah mendapatkan bantuan pembangunan rumah permukiman selama ini disebabkan karena ketergantungan mereka terhadap hutan sebagai sumber penghidupan. Tetapi peristiwa karhutla dan bencana asap yang terjadi diakhir tahun lalu perlu pula mempertimbangkan keberlangsungan hidup Orang Rimba yang terancam. Sementara itu, aksi sosial yang dilancarkan selama ini belum sepenuhnya menyelesaikan hakikat dari persoalan hidup Suku Anak Rimba. Ini diperparah lagi oleh permainan segelintir oknum tidak bertanggung jawab yang hendak mencari keuntungan dengan mengatasnamakan Suku Anak Rimba. Anggaran yang ditujukan kepada mereka terpangkas, misalnya hanya 20 persen yang diterima dari 50 persen yang dijanjikan di awal. Membangun rumah tanpa dibarengi dengan sarana penjamin kehidupan, seperti lahan perladangan, tidak akan bisa mengubah keinginan untuk kembali ke hutan. Bagaimana mereka akan bisa hidup enak di rumah yang cakap jika tidak punya makanan untuk dimakan?

Kita tak selalu punya pemahaman definisi yang sama tentang “rumah.”

Persoalan lahan dan wilayah adat menghadapi masalah pelik terkait perusahaan perkebunan sawit. Dulunya lahan perkebunan sawit adalah hutan utuh milik Orang Rimba, namun kini penguasaan sebagian wilayah adat mereka, telah membawa masalah terkait permukiman dan tata kelola wilayah adat. Menurut Tumenggung Betaring, semua perusahaan (PT) yang masuk ke wilayah adat Suku Anak Rimba tidak meminta izin kepada masyarakat adat sebagai pemilik asli hutan di Bukit Duabelas. Meski berbagai PT itu mengaku mendapat izin dari pemerintah, bukankah seharusnya Orang Rimba juga harus dilibatkan dalam proses perizinan? Sebab sebelum negara terbentuk, mereka sudah lebih dulu menghuni Hutan Bukit Duabelas serta memelihara dan melestarikanya sebagai bagian dari hidup dan penghidupan mereka.

-Ali Syamsul-

Masyarakat Adat Rimba: Wilayah Adat (Part IV)

Berdasar teritori sungai, luasan wilayah hidup adat Suku Anak Rimba Bukit Duabelas dihitung sesuai dengan luas hutan. Dari Air hitam ke Kedasung sampai Mengkekal, hutan yang utuh hingga sekarang adalah 59.000 ha – sebelumnya seluas 60.500 ha – sekaligus menjadi tempat pengembaraan Suku Anak Rimba. Sebelah utara dibatasi dengan anak Sungai Tabir, selatan dengan Sungai Air Hitam, timur dengan Sungai Kedasung, dan barat dengan Sungai Mengkekal. Mengkekal, Ai’ban, dan Kedasung adalah anak Sungai Tabir, sedangkan Air Hitam adalah anak Sungai Tembesi.

Kawasan hutan Bukit Duabelas termasuk areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tahun 1985. Di tahun 1999 statusnya berubah cagar alam dan tahun 2000 menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Ditetapkannya Hutan Bukit Duabelas sebagai taman nasioanal merupakan niat baik dan wujud perlindungan pemerintah terhadap Orang Rimba yang telah menjadikan kawasan ini (seharusnya tetap) sebagai pusat kebudayaan dan penghidupan di mana adat dan kebiasaan masyarakat adat masih utuh dan tetap terjaga.

TNBD memiliki topografi datar dengan dua belas bukit yang bagai bergelombang. Orang Rimba mempunyai pemaknaan khusus terhadap setiap bukit dengan memberikan mereka nama-nama yang indah. Kedua belas bukit tersebut, antara lain Bukit Bernyanyi, Bukit Panggang, Bukit Kuran, Bukit Teregang, Bukit Punai Banyak, Bukit Suban, Bukit Tiga Beradik, Bukit Benteng, Bukit Betempo, Bukit Penyeding, Bukit Beton, dan Bukit Enau. Bukit Duabelas berada pada rentan ketinggian 50 sampai 450 mdpl dan dihuni oleh sekitar 1.560 kepala keluarga.

Terdapat kurang lebih 120 jenis tumbuhan, termasuk jenis cendawan yang tumbuh di Bukit Duabelas. Tumenggung Betaring yang paham betul tentang kondisi alam dan kekayaan flora di Bukit Duabelas memberitahu apa saja yang bisa dengan mudah ditemukan di sini. Sebagian nama pohon maupun buah yang disebutkannya terdengar asing karena menggunakan nama lokal, antara lain karet, rotan, menggeris, keruing, jernang, meranti, sialang, dan singoris. Sedangkan tumbuhan berbuah, meliputi durian, duku, rambutan, cempedak, siabuk, rinam, rambai, kudu biawak, dan salak hutan. Kekayaan fauna juga tidak kalah banyak. Hutan ini adalah rumah bagi berbagai hewan langka, seperti siamang, beruk, kancil, rusa, kelinci, kukang, harimau, kijang, gajah, ayam hutan, ular, biawak, beragam jenis burung seperti elang, dan banyak lagi.

Ada beberapa jenis tumbuhan yang dimanfatkan oleh Orang Rimba sebagai sumber obat bagi penyakit-penyakit, yaitu akar sempalang, peleku muncang, kerketas, dan akar jelatang untuk sakit perut; akar setolu, daun rambutan, daun durian, dan tebu pungguk untuk demam; kayu salung untuk luka atau koreng; daun tampui nasi dan daun nango untuk gatal; kayu salo’, akar ubor, dan kayu kelebu gaja untuk obat anak bayi; akar kapak untuk obat sakit gigi; umbut rotan semambu dan sarang angkut untuk bisul; tumbuhan penyengah untuk lemah sahwat; dan akar kopu untuk pelembut rambut. Daerah tempat tumbuh tanaman-tanaman obat ditetapkan mereka sebagai hutan larangan. Artinya, tidak dibolehkan siapa pun untuk membuka lahan perladang. Namun sayangnya, menurut Nuntut, seorang Debalang Batin di wilayah Kedasung, hutan itu kini telah menjadi lahan masyarakat luar.

Selain kekayaan ragam flora dan fauna, kawasan hutan juga memiliki potensi wisata yang besar dengan hadirnya air terjun, air panas, dan Benteng Bukit Duabelas yang menjadi saksi fisik sejarah keberadaan Suku Anak Rimba.

-Ali Syamsul-

Maasyarakat Adat Rimba: Kelembagaan dan Hukum Adat (Part III)

Orang Rimba sejak dulu telah mengenal aturan tentang kehidupan yang diwariskan secara turun temurun. Aturan itu dituangkan dalam undang-undang hukum adat, yakni Undang Pucuk Delapan Teliti Duabelas.

Undang Pucuk Delapan Teliti Duabelas dipegang teguh oleh para penghulu hingga sekarang dan ditaati oleh seluruh warga Suku Anak Rimba dengan mematuhi perintah dan larangan. Aturan adat tersebut berisi keutamaan, mencakup Empat di Atas, Empat di Bawah, dan Isi Teliti Duabelas.

Empat di Atas, antara lain menikam bumi (berzina dengan ibu kandung sendiri), mandi di depan cawon gading (berzina dengan saudara kandung), mancerak telok (berzina dengan anak gadis sendiri), dan melebung dalam (mengganggu rumah tangga orang).

Orang Rimba sangat takut melanggar aturan ini sebab pelanggaran terhadap salah satunya bisa dihukum mati. Penegasan aturan itu tercermin dari seloko adat (istilah adat) berbunyi “yang bermai mati dan yang tidak bermai mati.” Artinya, dengan melanggar aturan adat, maka hukumannya tetap mati dan tidak bisa ditebus dengan harta kekayaan dalam bentuk apa pun. Kesungguhan dalam penerapan aturan dimaksudkan agar tatanan sosial Orang Rimba tetap terjaga dan menjadi efek jera bagi yang lain, agar jangan sekali-kali melanggar aturan. Penerapan hukuman mati dilaksanakan dengan dua cara, yakni dipancung dan ditenggelamkan ke sungai. Penenggelaman dilakukan dengan cara mengurung pelanggar hukum adat ke dalam anyaman jala sampai terikat kencang, lalu membalut seluruh tubuh untuk kemudian diberikan kepada penghulu yang memberikan sebuah pisau dari timah. Penghulu akan berujar, “Kamu telah melanggar hukum adat yang dipegang teguh oleh seluruh penghulu, jadi seperti inilah yang kamu inginkan, jadi sekarang kami berikan senjato (senjata). Kalau bisa kamu memutus anyaman sangkar ini, maka kamu bebas dari hukum adat. Tetapi jika tidak, maka kamu akan tenggelam dalam lubuk yang dalam hanyut ke rantau yang panjang.”

Empat di Bawah, meliputi tabung racun (meracuni orang yang tidak punya salah, misalnya membubuhi racun pada minuman atau makanan); sio bakar (membakar rumah orang); tantang pahamut (menantang orang berkelahi tanpa sebab); dan amogram (mengancam orang dan menyatakan akan membunuhnya). Berbeda dengan Empat di Atas yang tidak bisa ditebus, aturan berupa Empat di Bawah masih bisa ditebus dengan harta berupa 180 lembar kain. Si Pelanggar harus menyerahkan tebusan dengan mengatakan, “Kami telah khilaf, maka terjadi seperti ini, melanggar adat yang dipegang teguh oleh seluruh penghulu. Jadi karena salah, kami ganti hutang, berduso (berdosa) kami ganti mati, dari pada terjun ke lubuk yang dalam dan hanyut ke rantau yang panjang, meresa dewe kami memang bersalah. Namun sebagaimana aturan yang dipegang teguh oleh para penghulu, maka inilah kami menebus jiwa kami dengan 180 lembar kain.”

Sementara itu, Isi Teliti Duabelas mencakup 12 aturan yang lebih spesifik. Keduabelas aturan tersebut terangkum pada penjelasan di bawah ini.

  1. Lembah baluh ditepung tawar artinya orang yang menyakiti fisik orang lain sampai meninggalkan bekas, sehingga wajib mengobatinya.
  2. Luka lukih dipampas artinya wajib membayar pampas dan ini terbagi dalam tiga jenis luka:
  3. Luka rendah yaitu luka yang dapat ditutupi dengan pakaian dan tidak parah. Pampasnya seekor ayam, segantang beras, selemak semanis, dan obatnya.
  4. Luka tinggi yaitu luka yang dapat merusak rupa, seperti muka, namun tidak parah. Pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras, selemak semanis, dan biaya pengobatan (hilang hari).
  5. Luka sangat parah yaitu pampasnya sama dengan separuh bangun.
  6. Mati dibangun yaitu orang yang membunuh orang lain wajib membayar bangun, seperti seekor kerbau, 100 gantang beras, dan satu kayu kain.
  7. Samun yaitu perampokan yang terbagi ke dalam empat kategori:
  8. Samun gajah duman yaitu perampokan yang tidak bisa ditangkap, hanya dibuktikan dengan ada langau hijau. Siapa yang kuat pasti menang, siapa lemah pasti kalah.
  9. Samun sementi yaitu penyamun di batas hutan daerah pemukiman.
  10. Samun diadun duman yaitu perampokan dalam daerah perkampungan.
  11. Samun sakai yaitu segala bentuk penipuan yang merugikan harta benda orang.
  12. Salah makan dialihkan yaitu salah dikembalikan, salah pakai diluluskan (dilepaskan).
  13. Hutang kecil dibayar lunas, hutang besar dapat diangsur, tapi wajib dibayar.
  14. Golok gadai yaitu harta yang diborohkan (digadaikan) yang dijadikan agunan atas sesuatu hutang dan akan menjadi hak pemegang bila telah sampai waktu sesuai kesepakatan bersama.
  15. Memekik mengetam tanah, menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki seluar (kain) yaitu menantang orang berkelahi. Kalau yang ditantang sederajat, maka hukumannya seekor ayam, segantang beras, dan sebuah kelapa. Kalau pimpinan, maka hukumannya seekor kambing, dan 20 gantang beras untuk dimakan bersama.
  16. Meminang di atas pinang, menawar di atas tawar yaitu meminang tunangan orang lain yang telah diikat perjanjian. Hukumannya menyerahkan seekor kambing dan 20 gantang beras.
  17. Berpagar siang, berkandang malam yaitu apabila kebun atau sawah seseorang dirusak atau dimakan hewan ternak orang lain, maka orang yang memiliki ternak mengganti yang dirusak atau dimakan ternaknya.
  18. Menempuh nan besawa, manjat nan rebak yaitu memasuki tempat-tempat terlarang, seperti rumah, toko, dan kamar yang tidak diizinkan oleh pemiliknya.
  19. Berlarian kawin keluar kampong yaitu kawin lari seperti pergi ke rumah pejabat dalam desa, ke rumah pejabat kecamatan atau luar kecamatan. Hukumannya adalah kawin dan bayar pada saat hajatannya. Kalau istri orang dibayar tebus talak/uang kesayangan dan dinikahkan setelah habis iddah talaknya dan istri itu turun dari rumah tidak membawa harta perhiasan dan harta lainnya.

Aturan adat Orang Rimba memang tegas dan begitu detil untuk hal-hal tertentu. “Penerapan hukuman tidak boleh menyimpang dari apa yang telah dijalani oleh leluhur. Jangan sampai orang salahnya ringan menjadi salah berat karena tidak teliti dalam menjatuhkan hukuman,” ungkap Tumenggung Betaring usai menjelaskan perihal aturan adat.

Sementara mengenai struktur lembaga adat, Suku Anak Rimba mengenal hierarki yang terdiri dari tiga lapis, yaitu paling tinggi adalah Jenang, di bawahnya adalah Tumenggung, dan pada level di bawah Jenang dan Tumenggung terdapat Depati, Menti, Tengganai, Anak Dalam, dan Debalang.

Jenang adalah adalah orang yang dipercaya Orang Rimba sebagai penghubung dengan orang luar. Jenang ditunjuk oleh mereka melalui kesepakatan para penghulu. Secara struktural, Jenang berada pada struktur tertinggi, tapi hanya untuk urusan eksternal. Sementara urusan ke dalam, Tumenggung-lah yang memegang jabatan tertinggi. Jenang tidak berhak mengambil keputusan tanpa persetujuan Tumenggung. Sedangkan perangkat adat lain di bawah Tumenggung, ada Depati yang memegang jabatan sebagai kepala kampung dan berhak memutuskan perkara, sehingga jika terjadi persoalan, tidak bisa langsung ke Tumenggung. Selain Depati, ada Tengganai yang bertugas untuk menghitung tamu yang masuk, mengurus Orang Rimba ketika ada yang melahirkan, sakit, dan meninggal; Anak Dalam bertugas mengurus masalah kepemudaan; Mangku untuk hal-hal khusus terkait adat; dan Debalang Batin bertugas sebagai pengamanan.

Kini struktur lembaga Suku Anak Rimba telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Alasan dari perubahan ini adalah karena Tumenggung yang ada di Air Hitam sudah tidak bisa lagi menjangkau kelompok lain di Kedasung dan Mengkekal, sehingga Suku Anak Rimba Bukit Duabelas kini memiliki tiga Tumenggung, Depati, Menti, Anak Dalam, dan Mangku. Tetapi pemimpin tertinggi tetap berada di Ketumenggungan Air Hitam. Mekanisme pengambilan keputusan berlandaskan atas musyawarah mufakat antara para penghulu.

Dalam sebuah komunitas masyarakat adat tentunya tidak akan lepas dari ritual. Suku Anak Rimba dikenal dengan adanya ritual mengucap syukur ketika musim buah di mana buah-buahan telah matang dan melimpah. Ritual ini dilakukan setiap tahun di tempat khusus yang bernama Tana Berdewo.

Ketika sakit mereka juga melakukan ritual penyembuhan Besale. Besale dilakukan dengan maksud untuk membersihkan jiwa yang dirasuki roh-roh jahat. Jika ada anggota keluarga pada Suku Anak Rimba yang sakit, mereka meyakini bahwa dewa sedang menurunkan malapetaka. Itulah sebabnya ritual harus diadakan secara khusus untuk memohon ampun kepada dewa agar kesialan yang ada pada diri seseorang dibuang.

Sementara untuk perkawinan, juga memiliki ritual sendiri yang diisi dengan tari-tarian. Tarian Orang rimba dinamakan Tari Elang. Biasanya tarian ini diperagakan pula untuk menyambut tamu kehormatan.

Orang Rimba tidak mengubur orang yang mati ke dalam tanah. Mereka membuatkan rumah di atas pohon yang disebut Rumah Pesagon. Setiap tahun tempat penyimpanan jasad ini dikunjungi oleh keluarga. Namun dengan adanya beberapa kepala keluarga yang membuka diri dan berinteraksi dengan orang luar serta memeluk agama monoteisme, seperti Islam dan Kristen, maka tradisi menyimpan anggota keluarga yang telah mati di atas pohon sudah hampir tidak lagi dilakukan.

-Ali Syamsul-

Menuju Jambore Wilayah BPAN Tano Batak

Jakarta (9/2/2016) – Jambore Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Tano Batak akan digelar awal Maret tahun ini. Kegiatan dilakukan satu kali dalam satu periode (tiga tahun sekali) sesuai mandat statuta BPAN dan merupakan rangkaian beberapa Jambore Wilayah BPAN se-Nusantara.

Pada periode 2013-2016 BPAN Tano Batak diketuai oleh Pancur Alex Chandra Simanjuntak. Masa kepengurusannya selama tiga tahun pun akan segera berakhir. Estafet kepengurusan BPAN wilayah Tano Batak untuk mengurus wilayah adatnya akan segera disambung.

“Kita akan mengadakan Jambore Wilayah Tano Batak mengingat masa periode pengurusnya akan berakhir. Ini merupakan mandat organisasi yang harus dilakukan” kata Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoran di Jakarta.

Jambore Wilayah digelar untuk mengajak generasi muda Batak untuk mengurus wilayah adatnya. Ini menjadi momentum penting bagi pemuda Batak dalam menyikapi persoalan sosial, budaya dan lingkungannya dari ancaman penghancuran oleh pihak ketiga. Tema jambore sendiri mengangkat “Pemuda Adat Tano Batak Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.

Dalam menyambut Jambore ini, pengurus wilayah BPAN Tano Batak telah melakukan persiapan-persiapan. Mulai dari lokasi, peserta yang tak lain pemuda adat se-Tano Batak telah diundang, tokoh adat, serta apa yang akan dibutuhkan dalam pelaksanaan Jambore.

“Saat ini kami di Wilayah tengah sibuk mempersiapkan acara. Akan ada beberapa bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan nanti. Sampai sekarang persiapan berjalan lancar,” ujar Lasron Sinurat, sekretaris BPAN Tano Batak via telepon.

“Rencananya kegiatan akan diadakan di Lumban Lobu, Kabupaten Toba Samosir. Jadi kita mengundang generasi muda adat dari lintas kabupaten se-Tano Batak,” Lasron menambahkan.

[Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat Rimba: Hutan Sebagai Rumah (Part II)

Sejarah Asal-Usul

Setidaknya terdapat 51 kepala keluarga Masyarakat Adat Suku Anak Rimba atau juga biasa disebut Orang Rimba yang bermukim di Kampung Ujung Kutai, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Tiga kelompok Orang Rimba dalam wilayah Bukit Duabelas, yaitu Kelompok Air Hitam, Kedasung, dan Mengkekal. Suku Anak Rimba melekat kepada kelompok ini karena tempat tinggal mereka di dalam hutan. Hutan adalah rumah, rumah adalah hutan, begitulah kira-kira makna yang tak bisa dipisahkan antara rumah dan hutan. Mereka menghabiskan kehidupan sehari-hari di hutan dan menggantungkan sumber kehidupan sehari-hari dari hutan. Ada alasan bagi mereka untuk tetap bernaung di hutan dan tidak melebur dengan orang-orang di luar hutan. Orang Rimba bercakap dengan bahasa mereka sendiri: bahasa Rimba.

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar penamaan lain terhadap Orang Rimba. Masyarakat yang berada di luar hutan di sekitar Bukit Duabelas kerap menyebut mereka dengan Kubu. Kubu sebetulnya adalah penamaan yang tidak tepat dan cenderung menyudutkan masyarakat adat. Kata “kubu” sendiri mempunyai arti yang mengejek dan berasosiasi dengan sesuatu yang primitif, kotor, bau, jorok, dan tidak tahu sopan santun. Stigma yang kerap dilekatkan pada Orang Rimba yang sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Orang Rimba sendiri pantas untuk marah dan enggan disebut Kubu.

Tumenggung Betaring, pemimpin tertinggi Suku Anak Rimba Bukit Duabelas, menyatakan bahwa “Menyebut kami dengan Kubu, sama saja dengan kata makian ‘anjing kau!’ Maksudnya adalah menyamakan Orang Rimba dengan binatang.” Pada masa kolonial, nama itu sudah ada sebagai sebutan kepada orang yang masuk ke dalam hutan karena tidak ingin terjajah, lalu membuat kubu pertahanan di Bukit Duabelas.

Suku Anak Rimba dalam sejarah leluhurnya mempunyai beberapa versi. Menurut Tumenggung Betaring dalam versi cerita, leluhur mereka bernama Datuk Munyang Segayo adalah keturunan Datuk Minangkabau. Generasi di bawah Datuk Munyang Segayo, Datuk Rail dan yang sekarang Tumenggung Betaring sendiri. Akan tetapi dalam penuturannya juga dikatakan bahwa Datuk Munyang Segayo bukan orang yang pertama mendiami rimba di Bukit Duabelas karena berabad-abad sebelumnya kehidupan rimba sudah ada. Dalam versi lain sejarah, leluhur Orang Rimba berasal dari Proto Melayu (Melayu Tua) Yunan. Golongan ini terdesak masuk ke dalam hutan setelah kedatangan Deutro Melayu (Melayu Muda) dengan perdaban yang berbeda. Dari pelacakan sejarah diketahui tentang gelombang eksodus pertama kelompok Proto Melayu masuk ke Indonesia pada tahun 2.000 SM. Itu artinya berabad-abad sebelum Datuk Munyang Segayo, Orang Rimba sudah mendiami Bukit Duabelas.  Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa leluhur Orang Rimba adalah satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Cambai Muara Enim. Mereka hijrah karena terdesak oleh perang pada masa Kesultanan Palembang dan Kolonial Belanda.

Versi lain yakni cerita tentang perang antara Jambi dan Belanda yang berakhir pada tahun 1904. Pada versi ini disebutkan bahwa pasukan Jambi dibantu oleh pasukan Orang Rimba yang dipimpin oleh Raden Perang. Jika merujuk pada cerita yang disampaikan oleh Tumenggung Betaring, sebenarnya Orang Rimba adalah orang yang melarikan diri masuk ke dalam hutan karena tidak ingin menyerah dan terjajah. Ini adalah salah satu cerita yang kuat. Banyaknya versi asal-usul leluhur Orang Rimba ini membuat para peneliti sulit menyimpulkan dengan pasti mana yang paling benar karena setiap kisah mempunyai dasar masing-masing. Yang pasti Orang Rimba sendiri mengakui bahwa leluhur mereka dalam kehidupan sehari-hari hanya mengenakan kancut (sebutan bagi celana terbuat dari kulit kayu terap atau kayu ipo yang ditumbuk sampai lembut) bagi laki-laki untuk menutup salah satu bagian tubuh yang vital.

Masyarakat Adat Orang Rimba tinggal di rumah yang beratap daun serdang dan tidak berdinding. Mereka menamai rumah dengan detano. Sehari-hari Orang Rimba makan buah-buahan yang disediakan oleh hutan dengan nama-nama dengan bahasa mereka sendiri, yaitu rinam, rambai, siabuk, kuduk biawak, dan tampus. Nama buah-buahan lain yang sudah akrab dengan kita, antara lain cempedak, durian, duku, salak, dan banyak lagi. Mereka memiliki kebiasaan meminum air langsung dari sungai yang mereka jaga kejernihannya. Sudah merupakan tradisi bahwa mereka tidak memakan daging ternak, namun hasil buruan, seperti kijang, rusa, dan kancil. Sejak leluhur Orang Rimba hingga saat ini, mereka hidup dengan penghargaan yang amat tinggi terhadap alam.

-Ali Syamsul-

Masyarakat Adat Rimba: Sebuah Refleksi (Part I)

“Hidup adalah perjalanan, maka tapakilah; dunia ini luas, maka arungilah.”

Hari itu pada 13 November 2015, seorang kawan menelpon dan bertanya, “Apakah kau punya waktu untuk ikut pelatihan pendokumentasian?”

Saya menjawab, “Iya mudah-mudahan ada waktu untuk itu.”

Namanya Sandi. Ia kemudian memberikan petunjuk untuk keikutsertaan saya dalam kegiatan tersebut. Syaratnya adalah saya harus menyerahkan tulisan tentang komunitas adat.

Saya pun mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh BPAN itu di mana kemudian saya mendapatkan banyak pembelajaran sebagai bekal. Tentu saja sebelum pada akhirnya mendapat kabar bahwa saya bisa bergabung dalam pelatihan bersama kawan-kawan pemuda adat dari berbagai penjuru Nusantara, saya terdorong untuk pulang kampung. Saya kembali ke komunitas saya di Desa Tongko, Kecamatan Baroko. Di sana saya menemui tokoh adat untuk menggali bahan tulisan sebagai bentuk kesungguhan saya untuk ikut dalam pelatihan dan live in di sebuah komunitas adat yang kelak akan ditentukan. Kala itu dengan tekad dan semangat, saya berhasil menyelesaikan empat halaman tulisan dalam waktu relatif singkat selama sekitar dua jam sepulangnya ke rumah.

Pada 16 November 2015 adalah awal dari perjalanan saya menempuh ribuan kilo meter dengan menumpang Kijang Innova dari Enrekang menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin sejauh 280 km. Sesampainya di sana, saya langsung check-in agar bisa istrahat sejenak di ruang tunggu.

Melintasi laut dan langit selama dua jam, saya tiba di Sukarno-Hatta. Di bandara saya masih harus melanjutkan perjalanan selama tiga jam untuk sampai ke tujuan akhir yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan di Bogor, Jawa Barat.

***

Satu minggu lamanya saya di Bogor bersama 15 pemuda-pemudi adat mengikuti pelatihan dengan suguhan beberapa materi sebagai panduan pengetahuan pendokumentasian terhadap masyarakat adat. Dari kelimabelas peserta pelatihan, panitia menugaskan enam orang untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat Adat di tiga tempat. Sedangkan yang lainnya, tetap menulis di komunitas masing-masing.

Yosi dan Aang mengunjungi Masyarakat Adat Punan Dulau di Kalimantan Utara, Mursyid dan Hera ke Masyarakat Adat Nuaulu di Maluku, lalu saya sendiri dan Katharina ke Masyarakat Adat Suku Anak Rimba di Jambi. Sungguh menarik karena dengan pola penugasan seperti itu kami sama sekali belum tahu tentang masyarakat adat yang akan menjadi tempat live in, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang komunitas itu bermunculan dalam pikiran.

Sekjen AMAN, Abdon Nababan yang akrab kami sapa Bang Abdon, berkata pada suatu kesempatan: “Jangan percaya dengan apa yang dikatakan orang, tapi lihat dan rasakanlah sendiri!” Kalimat itu terus terngiang di benak saya.

Mendengar cerita tentang Suku Anak Dalam atau Orang Rimba seperti cerita dari teman saya, Dini, terbayang dalam pikiran saya situasi-situasi sulit yang akan saya alami jika nanti berada dalam komunitas mereka. Agresif, liar, tak bersahabat adalah bayang-bayang yang menghantui pikiran saya selama beberapa hari menjelang keberangkatan. Karena saya tidak begitu saja yakin dengan cerita-cerita negatif mengenai mereka, maka saya rajin mencari informasi dengan cara sering mengajak ngobrol orang-orang yang kemungkinan tahu mengenai Orang Rimba.

Saya bertanya lagi. Masa iya ada orang seperti itu? Agresif, liar, tak bersahabat.

Dalam usaha awal saya untuk mengetahui mereka, saya tidak mendapatkan informasi yang memuaskan. Akhirnya dengan cerita-cerita awal yang saya dapat baca sekilas bercampur dengan keingintahuan yang begitu besar, justru memunculkan semangat baru untuk melihat dan merasakan langsung seperti apa dan bagaimana rasanya berinteraksi dengan mereka.

Tanggal 25 November 2015, kami berangkat ke komunitas yang akan menjadi tempat tinggal sementara saya dan kawan lain selama beberapa waktu. Dari Rumah AMAN di Tebet, Jakarta Selatan, saya bersama Katharina, Hera, dan Mursyid menuju ke Bandara Sukarno-Hatta. Kami berpisah di bandara. Seperti yang sebelumnya saya katakan, masing-masing dari kami akan pecah menuju komunitas adat yang berbeda. Aku dan Kaharina terbang ke Jambi.

Penerbangan ke Jambi hanya memakan waktu satu jam. Setibanya di sana, kami dijemput oleh Dini bersama temannya yang bernama Bagas. Dari Bandara Sultan Thaha, kami langsung menuju ke rumah PW AMAN Jambi. Kami berkenalan dengan Datuk Usman Gumanti. Di rumahnya juga hadir Bang Heru selaku Ketua BPAN Jambi. Persinggahan yang tidak begitu lama di rumah Datuk Usman, saya manfaatkan untuk mendapatkan informasi lagi mengenai Suku Anak Rimba. Datuk banyak menyebut nama-nama Orang Rimba yang menjadi karibnya. Dari cerita itu, saya berkesimpulan bahwa Orang Rimba bisa menjalin keakraban dengan orang luar.

Berarti apa yang diceritakan teman saya tentang mereka tidak selalu benar. Rasa cemas saya sedikit terobati.

Pagi yang cerah tiba di tanggal 26 November 2015. Bersama dengan Ketua BPAN Jambi dan Dini, kami menuju ke Pau di Kabupaten Sarolangun menggunakan mobil sewaan. Kami sempat beriringan dengan Orang Rimba yang menggunakan kendaraan roda dua di perjalanan. Saya lihat mereka memanggul senjata dengan baju kumal tanpa alas kaki. Mereka singgah dekat sebuah pom bensin. Saya melihat melalui jendela mobil. Mereka tampak sedang berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Teman saya kemudian mengatakan kalau mereka sedang berkomunikasi untuk menunggu kami.

Pikiran buruk pun kembali muncul. Saya berpikir jangan-jangan benar apa yang Dini ceritakan. Kata Dini, penyambutan mereka dengan cara menembak atau membacok. Dalam hati aku berkata matilah aku jika begini. Namun tetap saja akal rasional saya mengatakan masa iya, sih, ada manusia segila itu.

Jam 12 siang kami sampai di Pau, tapi tidak langsung ke lokasi tempat Suku Anak Rimba. Kami beristirahat sejenak di rumah Dini karena dia menjanjikan akan menyuguhkan makanan khas Jambi: tempoyak. Rasanya aneh. Tempoyak dibuat dari durian yang diasamkan dan dicampur dengan daging ikan, biasanya patin.

Selesai makan, Bang Heru mengajak kami silaturahmi ke kuburan leluhurnya. Bentuk kuburnya panjang. Katanya, makam itu punya sejarah menarik dan tadinya akan menjadi bagian dari tulisan Dini. Tetapi di musim batu akik, nisannya malah hilang, sehingga Dini kebingungan untuk menulis dokumentasi mengenai kuburan itu.

Jam 3 sore kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Ujung Kutai, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Nangkus, Ketua PD AMAN Sarolangun, mengarahkan kami agar berkomunikasi dengan orang yang diminta untuk menjemput kami di simpang Pau di mana kami melanjutkan perjalanan dengan ojek ke Air Hitam selama dua jam. Sesampainya di lokasi kami sudah ditunggu oleh Jenang di depan kantor Dinas Kehutanan. Menurut beliau, setiap orang yang ingin masuk ke wilayah pengembaraan Suku Anak Rimba—sekarang menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas—harus minta izin kepada pihak Dinas Kehutanan. Sebelumnya, Nangkus bilang tidak perlu minta izin. Namun, Jenang khawatir: “Takutnya kalian dicegat, jadi aku menunggu di situ.”

Untuk beberapa saat kami bincang di depan kantor Dinas kehutanan. Jenang kemudian meminta kepada anak muda yang menjemput kami supaya ke aula pertemuan. Dalam pikiran saya, aula pertemuan adalah sebuah bangunan gedung sebagaimana layaknya aula pada umumnya. Namun ceritanya sangat berbeda jika itu adalah aula milik Orang Rimba yang beratap dan tidak berdinding. Lantainya pun penuh dengan lumpur yang telah mengering dengan debu dan dedaunan yang juga kering. Lokasinya terpisah dari rumah permukiman yang dibangun oleh Dinas Sosial untuk Orang Rimba.

Jenang memberitahu: “Kalian istirahat dan tidur dulu di sini karena malam ini tidak bisa masuk hutan.”

Saya sungguh kaget dan ingin menangis. Tikar tidak ada. Lantai begitu kotor dan gelap gulita karena tidak ada aliran listrik. Nyamuk pun banyak. Kembali saya berpikir kalau di tempat ini kita harus istirahat dan tidur dengan kondisi yang begitu buruk, lalu bagaimana nantinya jika sudah berada dalam hutan. Untunglah anak muda yang mengantar kami mencarikan tikar pinjaman untuk dijadikan alas tidur malam itu. Saya mempunyai suatu kesan pertama yang berbeda dalam lokasi Orang Rimba.

Hari Jumat tanggal 27 November 2015, tepatnya jam setengah dua malam, saya bersama Katharina dan Tumenggung Betaring masuk Hutan. Satu jam lebih kami berjalan kaki menyusuri hutan hingga tiba di tempat kelompok Tumenggung membuat rumah untuk tempat tinggal sementara. Mereka menyebut rumah dengan detano. Ada dua rumah  di tempat itu. Kedatangan kami menjadi bagian dari kelompok mereka, sehingga rumah bertambah menjadi tiga. Dua hari setelah itu, bertambah lagi menjadi empat karena anak laki-laki Tumenggung juga ada.

***

Empat hari saya jalani hidup dalam hutan bersama Tumenggung. Setiap malam saya manfaatkan waktu untuk diskusi dengannya mengenai kehidupan mereka, tentang sejarah asal-usul, tata kelola wilayah, aturan hidup, perekonomian, serta berbagai ritual. Siangnya kami jalan menyusuri hutan dan berjumpa dengan kelompok lain sambil bercerita tentang bagaimana mereka menjalin hubungan tak terpisahkan dengan hutan  yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Hutan yang penuh dengan kekayaan flora dan fauna dari Bukit Duabelas. Kami biasa menempuh jarak 10 km.

Dengan berjalan menyusuri hutan, saya menyaksikan sendiri aktivitas kehidupan Orang Rimba yang berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka meletakkan hasil pekerjaan mereka itu di pinggir jalan begitu saja. Tidak ada yang hilang atau rusak. Ini menegaskan bagaimana mereka memegang teguh nilai-nilai adat dan menerapkannya dalam kehidupan untuk menjaga interaksi sosial tetap kuat. Aturan adat yang menjunjung tinggi nilai moral, seperti kejujuran dan kepercayaan, yang telah menjadi panduan kehidupan mereka sehari hari.

Saya bertemu mereka dan kami saling melempar senyum ketika berpapasan. Seketika prasangka yang sempat mengendap dalam benak saya tentang mereka yang agresif, liar, dan tidak bersahabat, gugur dan berganti sebaliknya. Bang Abdon benar. Cerita orang (tentang masyarakat adat) tidak bisa dipercaya sebagai sebuah kebenaran sebelum melihat dan merasakan sendiri.

Manusia tidak akan mengerti arti kenyamanan jika tidak pernah merasakan kesusahan. Dengan mencicipi kehidupan rimba, afirmasi dari kalimat yang sempat dilontarkan Bang Abdon itu semakin terasa dan punya makna. Saya menyadari kedewasaan ditempa bukan karena bebasnya kita dari persoalan hidup, tetapi dari banyaknya persoalan yang kita hadapi. Kehidupan yang saya nikmati sesaat di alam bebas Hutan Bukit Duabelas sudah pasti berbeda. Ketika saya berada dalam pergaulan masyarakat umum yang relatif modern dan mapan dengan segala hal yang gemerlap, kemudian ada yang berubah saat saya merasakan kehidupan yang berbeda dengan tidur di hutan. Tidur bernaung tenda tanpa dinding yang menahan dinginnya angin malam. Rajin mendonorkan darah untuk nyamuk. Tak lupa kenikmatan mi instan dengan nasi.

Pada perjalanan ini saya menjalin persahabatan dengan sesama manusia dan alam. Saya mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan untuk belajar dan memperkaya makna kehidupan. Sebuah refleksi yang hadir tentang kehidupan di dalam rimba.

***

-Ali Syamsul-

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish