Masyarakat Adat Matio Desak Pemerintah agar PT TPL Segera Out!

Tanah adat Matio adalah salah satu yang diklaim oleh TPL sebagai wilayah konsesi mereka di Tano Batak. Wilayah adat Matio memiliki luas ± 2.500 ha. Dari luas tersebut hampir total keseluruhan berada dalam konsesi TPL. Artinya, hanya pemukiman, fasilitas umum seperti sekolah satu atap, gereja dan lahan di sekitar pemukiman yang tidak diusahai oleh TPL. Sisanya ditanami eukaliptus, bahan  baku pabrik TPL.

Hutan di wilayah adat Matio tidak akan ditemui lagi. Andai kata pada masa sekarang pemerintah meninjau dan mendata hutan, maka di Matio tidak akan ditemui jenis hutan apa pun. Paling sederhana misalnya Hutan Lindung, itu pun tidak akan dijumpai.

Masyarakat adat Matio yang sudah tiga abad mendiami tanahnya hanya oleh satu perkara yaitu pembangunan, nyaris lenyap untuk selamanya. TPL bahkan semakin menjadi-jadi, ketika 2014 lalu mereka meratakan lahan produksi masyarakat yang sangat sempit itu, di dalamnya sudah terdapat makam-makam leluhur. Sama sekali TPL tidak memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar dengan segala hak asasinya yang paling mendasar sekalipun.

Saat ini Masyarakat Adat Matio terus berjuang melawan TPL. Mereka sudah melakukan pemetaan partisipatif di wilayah adatnya, melayangkan surat audiensi ke bupati Toba Samosir (Tobasa), Kadis Kehutanan Tobasa, pertemuan-pertemuan kampung hingga aksi turun ke jalan. Bersama AMAN, mereka mendapatkan kekukuhan dan komitmen memperjuangkan tanah leluhur mereka secara khusus dan Tano Batak secara umum.

Karena desakan dan perlawanan yang tegas dan tak berhenti, pada Kamis (3/3/2016) terciptalah pertemuan Masyarakat Adat Matio, AMAN Tano Batak dengan pihak terkait langsung: Pemkab Tobasa diwakilkan oleh Asisten I, Kadis Kehutanan Alden Napitupulu, Kapolres Tobasa AKBP  Jidin Siagian, Kakan Satpol PP Tobasa Elisber Tambunan, Camat Habinsaran Santo Pane, Kepala Desa Parsoburan Barat Demas Simangunsong, dan Tagor Manik Humas TPL. Pertemuan beralngsung di wilayah adat Matio yang secara administratif berada di Desa Parsoburan Barat, Kec. Habinsaran, Kab. Tobasa, Sumatera Utara.

Berikut ini adalah hasil pertemuan yang membahas konflik tanah adat Matio dengan TPL si perusak tanah Batak:

Laiknya dengar pendapat, masyarakat lebih dulu dipersilakan menyampaikan tuntutannya.

“Sejak kehadiran TPL yang dulunya masih bernama Indorayon, mereka dengan semena-mena memasuki wilayah adat kami mulai dari perusakan kolam ikan dan lahan perkebunan untuk dibuka jalan. Tetapi ketika itu masih di zaman orde baru, kami tidak bisa berbuat banyak untuk mengusir kehadiran mereka karena kekuatan militer yang tidak bisa kami hadapi,” ujar salah seorang warga bermarga Siagian.

Tanah Matio

Seorang Natua-tua ni Huta (tetua adat) lalu menambahkan: “bahwa kami sudah menguasai dan mengusahai tanah adat Matio sejak leluhur kami yaitu Ompung Puntumpanan Siagian membuka kampung tiga ratus tahun yang lalu. Itulah warisan leluhur kepada kami. Namun sejak kehadiran PT Indorayon yang saat ini berganti nama menjadi TPL, tanah adat kami porak-poranda dirusak perusahaan. Pohon kemenyan yang masih diusahai ketika itu sudah habis karena dibabat TPL. Kini justru tanaman eukaliptus yang mengepung hingga ke perkampungan kami. Jadi, kami mendesak kepada pemerintah agar tanah adat yang diklaim sebagai hutan negara dan konsesi TPL untuk dikembalikan kepada kami.”

Sementara itu, sebuah peristiwa yang mengerikan kembali muncul sekira dua tahun sebelumnya. Dengan sesukanya, TPL memorakmorandakan pemakaman leluhur Masyarakat Adat Matio, tanpa pemberitahuan, apalagi penghormatan. Tidak hanya itu, sumber air yang adalah kebutuhan sehari-hari masyarakat turut diracuni dan diputus sirkulasi kehidupannya.

“Di tahun 2014 TPL merusak makam leluhur kami dengan memakai alat berat. Sumber air minum kampung ini juga disemprot dengan menggunakan racun kimia sehingga tidak layak untuk diminum, demikian juga dengan abu yang ditimbulkan kendaraan perusahaan yang lalu lalang dan membuat dinding rumah retak. Hal ini pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian ketika terjadi perusakan makam leluhur kami. Tetapi sampai saat ini kami tidak pernah mendapatkan keterangan dari polisi terkait laporan tersebut.

Kami meminta kepada TPL dan Dinas Kehutanan agar memperjelas batas areal kerja TPL sampai di mana agar warga Matio tidak ditangkapi ketika bekerja di ladang,” tambah Amani Marisa Siagian yang juga Ketua Pengurus Daerah AMAN Tobasa.

Menanggapi tuntutan masyarakat Matio tersebut Kadishut Napitupulu merespon bahwa beliau sepakat dengan tuntutan warga.

“Seharusnya dua puluh tahun yang lalu sejak Indorayon mengantongi izin dari Menhut perusahaan telah melakukan tata batas. Kami saja pun tidak tahu yang mana batas kerja TPL. Oleh karena itu harus segera kita lakukan penatabatasan tanah adat dengan areal kerja TPL. Usul saya secepatnya kita buat bersama di lapangan,” ujar Napitupulu.

Kadishut juga menambahkan bahwa menurut aturan di kehutanan karena areal ini masuk dalam Hutan Produksi Terbatas seharusnya TPL tidak boleh merusak mata air dan tidak boleh menebang di pinggiran sungai.

Adapun pernyataan Kadishut Alden Napitupulu hanya pengulangan janji. Ia sendiri pernah menyampaikan itu di kantornya sendiri di Balige, sekitar Agustus 2015. Bahkan dengan menekankan pendekatan kekeluargaan dengan nadanya yang ceplas-ceplos seolah meyakinkan, sejauh ini hanya bualan semata. Ia, kemudian tidak menindaklanjuti pernyataannya tersebut.

Matio bersatu

Masyarakat Adat Matio sendiri sudah melakukan pemetaan wilayah adatnya secara partisipatif. Peta gelang yang digambar pun bahkan sudah diserahkan pada sang kadishut. Di sisi lain, Matio yang sudah siap dengan petanya sendiri ketika diminta melakukan pemetaan bersama juga menyatakan sangat bersedia menemani tim pemetaan dari dinas kehutanan.

Sekali lagi, masyarakat adat Matio menanti kehadiran tim tersebut. Hingga pertemuan ini kembali digelar, Napitupulu memainkan kartu yang sama tanpa ada pelaksanaan di lapangan.

Menanggapi laporan warga, Kapolres Tobasa AKBP Jidin Siagian mengatakan bahwa pihak kepolisian tidak bisa menindaklanjuti hal tersebut karena tidak dilengkapi alat bukti.

Kehadiran polisi di tanah adat pada umumnya tidak ubahnya bak tameng perusahaan. Berkali-kali kejadian di lahan yang bersifat pidana didapat masyarakat, ketika dilaporkan ke kepolisian hasilnya nihil besar. Sebaliknya saat masyarakat dianggap melakukan tindak pidana terhadap salah seorang buruh TPL, kepolisian akan turun ke lapangan menjemput tersangka. Biasanya berujung di penjara.

Pernyataan Kapolres Siagian pada pertemuan ini seolah tidak mengetahui persoalan. Tanpa bukti baginya, tidak bisa bertindak. Pembelaan yang akrab selalu dari aparat yang mengetengahkan hal-hal kecil namun diperbesar. Saat tanah adat dirampas, bagi mereka itu bukan bukti pelanggaran hukum.

Sementara pihak TPL yang diwakili oleh Tagor Manik mengatakan bahwa TPL bekerja berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah.

Begitulah dinas kehutanan, kepolisian, TPL bahkan pemkab berprinsip setali tiga uang. Meskipun demikian, Masyarakat Adat Matio tetap kukuh memperjuangkan tanah leluhurnya. Di sisi lain, setelah terpilihnya Darwin Siagian sebagai Bupati Tobasa diharapkan lobi politik bisa dimainkan masyarakat untuk memaksa TPL secepat-cepatnya keluar dari wilayah adat Matio.

Roganda Simanjuntak

Deklarasi PD BPAN Minahasa Utara

Minahasa (03/03)—Pengurus Wilayah BPAN Sulawesi Utara mendeklarasikan Pengurus Daerah BPAN Minahasa Utara (Sabtu, 27/2). Yusac Peils Tangkilisan, setelah melalui serangkaian bentuk kegiatan dan menempuh musyawarah mufakat, akhirnya terpilih menjadi Ketua PD untuk yang pertama kali.

Pembentukan PD BPAN Minahasa Utara dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi organisasi yang kuat serta melaksanakan tugas-tugas organisasi sesuai statuta dan AD/ART BPAN. Deklarasi ini dilakukan dalam kordinasi dengan Pengurus Wilayah dan Pengurus Nasional.

Dalam semangat pemuda adat bangkit bersatu, pembentukan PD baru dihadiri sebanyak 26 pemuda adat dari Minahasa Utara. Di antaranya turut hadir Badan Pengurus Harian AMAN Sulut.

Acara

Adapun jalannya acara diawali dengan pengenalan organisasi BPAN dan AMAN. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi soal ‘Pemuda Minahasa dalam Modernitas’. Setelah para pemuda paham dan bersepakat untuk bersatu dan bergerak bersama BPAN, maka sebagai simbol bahwa mereka diterima diisilah sebentuk form keanggotaan. Seluruh rangkaian acara dijalankan hingga acara terpenting: musyawarah mufakat pemuda adat.

Selanjutnya seluruh peserta menyanyikan lagu daerah yang bermakna doa akan terciptanya persatuan, persaudaraan yang kuat dan pergerakan bagi para pemuda adat. Pembacaan Janji Pemuda Adat Nusantara, berikutnya, menggema ke seluruh ruangan dan sanubari para pemuda adat yang menghadiri deklarasi PD BPAN Minahasa Utara.

“Sebagai pemuda adat kita harus berada di garda terdepan. Kita harus ambil peran dalam menjaga dan mengelola wilayah adat Minahasa. Tidak boleh hanya jadi penonton. Jika hari ini wilayah adat kita sudah dirampas, maka saatnya kita bersatu dan bergerak untuk melawan. I Yayat U Santi (angkatlah perisaumu dan maju berperang!),” pekik Christi Mamahit, Ketua PW BPAN Sulawesi Utara.

Nedine Helena Sulu

BPAN Akan Menyelenggarakan Rakernas II

Jakarta (29/2) – Pemuda adat dalam pelaksanaan upaya taktis dan strategis harus berada di garda terdepan. Sebagai contoh kita ketahui adanya penolakan terhadap korporasi yang menggempur wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat. Selain itu juga telah dilakukan pemetaan wilayah adat untuk mempertegas batas wilayah adat. Gugatan UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah Hutan Negara yang disambut dengan pemasangan plang MK 35 di komunitas-komunitas adat di seluruh nusantara, reclaiming, advokasi dan sebagainya. Atas perjuangan yang terus-menerus dilakukan Masyarakat Adat di beberapa daerah telah ditetapkannya Peraturan Daerah Tentang Perlindungan dan Pengakauan Hak-hak Masyarakat Adat.

Setiap komunitas anggota AMAN dalam perjuangannya seharusnya mengikutsertakan pemuda adat. Para pemudalah yang berjibaku khususnya pada posisi lapangan, meskipun tak melewatkan peran mereka dalam bidang advokasi, penyuluhan, pelatihan atau dunia tulis-menulis.

tema_rakernas ii

Kini, generasi muda adat kembali ke teritorinya untuk mengembalikan rasa percaya diri, memperjuangkan serta mengurus wilayah adat dan adat-istiadatnya. Pemuda adat nusantara sejak 29 Januari 2012 telah mengorganisir diri dan bersatu dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) bersepakat untuk memperjuangkan  wilayah adat dan segenap warisan leluhur.

Untuk memperkukuh kerja-kerja tersebut, maka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II BPAN akan digelar pada 16 Maret 2016. Para pemuda adat yang dihadiri oleh Ketua Umum, Dewan Pemuda Nasional, Ketua Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah BPAN akan bertemu kembali dalam satu rapat. Rencananya Rakernas bertema “Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat” ini akan dilaksanakan di Cibubur, Jakarta Timur.

Tujuan Rakernas sendiri adalah a) Menjabarkan Garis-garis Besar Program Kerja BPAN menjadi program kerja operasional; b) Mendengarkan pemaparan laporan kemajuan penyelenggaraan organisasi oleh Ketua Umum BPAN; c) Membuat rekomendasi-rekomendasi perbaikan atas penyelenggaraan organisasi; d) Merumuskan dan menetapkan Anggaran Rumah Tangga dan atau keputusan-keputusan strategis lainnya.

Rakernas wajib dilaksanakan Pengurus Nasional sebagai  mandat statuta BPAN. Kegiatan ini dilakukan paling tidak satu kali dalam masa kepengurusan (1 kali dalam 3 tahun). Rapat kerja sesuai tujuannya yaitu untuk menjabakan dan merumuskan ART dan keputusan strategis lainnya.

[Jakob Siringoringo]

Ini Alasan Masyarakat Adat Tolak PT Seko

FAJARONLINE, MASAMBA — Masuknya pemukiman penduduk pada enam desa dalam kawasan hak guna usaha perkebunan palawija PT Seko Fajar di Kecamatan Seko disikapi Pemerintah Luwu Utara. Pemerintah akan mendorong BPN atau Kementerian Agraria untuk melakukan peninjauan kembali (PK).

”Kita lakukan peninjauan kembali atas putusan banding BPN yang dimenangkan Seko Fajar,” kata Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani.

Mantan Wakil Bupati ini akan tetap membela rakyatnya agar tetap bermukim di kampung halamannya.

Ketua PD AMAN Seko, Ilham mengatakan masyarakat enam desa akan mempertahankan rumah dan kampung halamannya dari penggusuran. ”Sejak nenek moyang kami tinggal disini. Kami tidak mau diusir PT Seko Fajar,” ujarnya.

(Syahruddin)

Sumber: http://fajaronline.com/2016/02/24/indah-dorong-kementrian-agraria-lakukan-pk/

Masyarakat Adat Seko Menolak PT. Seko Fajar

Jakarta—Hari ini (Selasa, 23/02/2016) sekitar 1.000 orang menggelar aksi unjuk rasa di Desa Padang Raya, Ibukota Kecamatan Seko, Sulawesi Selatan. Aksi tersebut diwarnai dengan pengusiran pihak perusahaan oleh masyarakat setempat yang tetap pada pendiriannya menolak HGU PT. Seko Fajar di tanah Seko.

demo_seko

Selain dipicu oleh sejarah panjang penolakan masyarakat terhadap konsesi tersebut, hal ini juga karena adanya aktivitas perusahaan yang melakukan peninjauan lokasi HGU kemarin senin (22/02/2016) pkl.16.00 Wita dan sosialisasi Surat Perintah Eksekusi Lahan berdasarkan putusan PTUN Jakarta, Nomor: 35/G/2012/PTUN-JKT di empat wilayah adat.

Hampir 20 tahun masyarakat adat Seko menolak izin konsensi PT. Seko Fajar Plantation yang mendapat izin konsesi melalui sertifikat HGU nomor 1/1996 per tanggal 10 Agustus 1996 dengan lahan seluas 12.676 hektar dan berakhir hingga 16 Agustus 2020, sedangkan HGU yang kedua bernomor 02/1996 tertanggal 16 Agustus 1996 seluas 11.042 hektar dan berakhir tanggal 16 Agustus 2020.

PT.Seko Fajar Plantation yang memegang HGU sejak 1996, hanya satu tahun melakukan aktivitas pembibitan dan penanaman teh. Setelah itu, lahan HGU yang meliputi 85% luas wilayah kecamatan Seko itu ditelantarkan hingga saat ini. Awalnya, HGU PT. Seko Fajar Plantation akan memanfaatkan lahannya untuk bidang perkebunan seperti teh hijau, kopi arabika, markisa dan tanaman hortikultura lainnya.

Penolakan masyarakat adat Seko yang telah didengungkan sejak awal adanya izin konsensi tidak juga digubris oleh pemerintah, bahkan pihak Pemerintah Daerah telah menyampaikan dengan terbuka permintaan untuk mencabut izin HGU tersebut. Pada tahun 2009 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara yang ketika itu masih dipimpin oleh Bupati Luthfi A. Mutty juga telah mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut HGU Perusahaan tersebut.

Keinginan serupa juga disampaikan oleh Indah Putri Indriani saat masih menjabat sebagai wakil Bupati Luwu Utara pada tahun 2011 silam dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN di Lapangan Sabbang. Dengan tegas Indah Putri meminta kepada BPN agar konsensi PT. Seko Fajar di atas lahan 23.718 hektar dan menguasai wilayah masyarakat adat di tujuh desa agar segera dicabut.

Ketua BPH AMAN Daerah Seko, Ilham melalui telepon seluluernya mengatakan bahwa pihak perusahaan sudah tidak berada di lokasi HGU. “Sampai tadi pagi, masyarakat turun ke jalan menyampaikan aspirasi mereka dan pihak perusahaan menanggapi dengan baik apa yang disampaikan masyarakat di sana dan perusahaan pun angkat kaki dari lokasi, namun belum tahu apakah mereka akan kembali lagi ke lokasi. Yang pasti hari ini mereka angkat kaki dari lokasi”.

Menanggapi aksi unjuk rasa hari ini, PD AMAN Seko menghimbau kepada pemerintah setempat hingga pusat agar segera mencabut izin PT. Seko Fajar. Menurutnya, Perusahaan tersebut tidak layak untuk beroperasi di Seko. “Karena kami melihat di Seko sudah tidak ada lagi lahan kosong di pemukiman masyarakat, semua sudah lahan produksi”.

Indah Putri Indriani yang saat ini menjabat sebagai Bupati Luwu Utara serta Luthfi A. Mutty yang saat ini adalah anggota DPR-RI diharapkan untuk menyikapi situasi ini secara serius sebelum situasi semakin memburuk.

**Arman Dore** (diolah dari berbagai sumber)

Masyarakat Adat Talang Mamak Usir PT Runggu

Jakarta (20/02/2016)-Masyarakat Adat Talang Mamak menggelar aksi besar-besaran di Hulu Cenaku guna mempertahankan wilayah adatnya. PT Runggu, sebuah perusahaan sawit perusak hutan, kembali beroperasi di tanah adat mereka.

Ratusan anggota Masyarakat Adat Talang Mamak turun langsung mulai dari kebatinan, pemuda sampai perempuan. Mereka mengamankan dua buldozer milik perusahaan.

“Kita aksi untuk mendesak perusahaan agar meninggalkan wilayah adat kita,” kata Aan Pardinata, anggota BPAN Inhu saat dihubungi, Sabtu (20/2).

Perusahaan tak berizin itu melanggar perjanjian yang sebelumnya telah ditandatangani dengan Masyarakat Adat Talang Mamak. Sekitar lima bulan lalu, perusahaan dan masyarakat membuat perjanjian agar segala aktivitas dihentikan di lahan sampai kejelasan batas wilayah adat dengan konsesi, terang.

“Mereka melanggar surat perjanjian yang ditandatangani dengan materai lima bulan yang lalu,” terang Aan.

Abu Sanar, Ketua PD AMAN Inhu bersama para dubalang/batin Talang Mamak memimpin aksi sepanjang hari.

Selain mempertahankan wilayah adat secara umum, Masyarakat Adat Talang Mamak juga memperjuangkan sungai yang menjadi sumber air bagi 20 desa yang membutuhkan. Sungai yang berada di hutan adat Talang Mamak terancam kering jika perusahaan meneruskan aktivitas mereka menebangi pohon di hutan. Masyarakat Adat berpenduduk 20.000 jiwa itu bisa kehilangan air di tengah-tengah hutan.

“Perusahaan merusak hutan di hulu yang menyediakan air bagi kita, masyarakat berpenduduk 20.000 jiwa,” tambahnya.

Saat ini dua alat berat tengah diamankan sebagai barang bukti, dan aksi masih akan berlanjut besok.

[Jakob Siringoringo]

Dirjen Kebudayaan: Masyarakat Adat Lebih Masuk Akal

Jakarta (13/2/2016)—Dalam skop sosial ekonomi politik luas, Masyarakat Adat sejak dulu telah memiliki kearifan khas. Hal ini terbukti dengan keberadaan Masyarakat Adat itu sendiri yang tegak berdiri di wilayah adatnya masing-masing. Dalam hal pangan, misalnya, beberapa komunitas adat di Banten memiliki cara untuk mengatasinya: Serentaun. Serentaun merupakan kegiatan rutin yang diadakan Masyarakat Adat Sunda sebagai sebentuk festival tahunan.

“Kalau terjadi kekeringan selama enam tahun berturut-turut, mereka akan selamat,” ungkap Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam audiensi ke kantor Direktorat Jenderal Kebudayaan RI.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, menyampaikan bahwa terdapat porsi Masyarakat Adat dalam programnya yang selama ini ruangnya masih terbatas. Adapun sinergi Dirjen dengan AMAN adalah suatu kolaborasi yang perlu dikedepankan. Masyarakat Adat seharusnya lebih ditonjolkan karena merekalah pemilik dan pemakai sehari-hari kebudayaan itu.

“Seharusnya kehadiran Masyarakat Adat di Indonesia dalam hal kebudayaan harus menonjol tidak hanya dalam urusan persoalan tanah ulayat atau agraria dan sebagainya. Karena kebudayaan adalah ruang yang paling masuk akal,” demikian pernyataan Hilmar Farid.

Dalam pertemuan itu, Hilmar menyampaikan akan ada beberapa kegiatan budaya yang sifatnya internasional. Dua di antaranya adalah World Culture Forum dan Europalia. Kesempatan dalam kegiatan tersebut diharapkan akan bisa menyampaikan pesan substantif dengan menekankan segala rupa proses dan pemaknaan kepada Masyarakat Adat selaku subjek, bukan objek. Kegiatan internasional ini diharapkan berlangsung tidak hanya tunduk pada satu bahasa: Inggris.

Inilah salah satu upaya mengenalkan budaya yang sesungguhnya dari Masyarakat Adat yang benar-benar beragam. Prinsip universal yang menyatukan budaya bukan pada pemahaman bahasa internasional, melainkan kepada makna dan pesan yang disampaikan lewat kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, harus ada penguatan kedaulatan dan martabat Masyarakat Adat.

IMG_20160212_155702

Menggerakkan budaya dari pinggir

Kerja-kerja yang dilakukan AMAN selama ini dalam pertemuan disambut baik oleh Dirjen. Berbagai bentuk program yang dilakukan Masyarakat Adat dalam mengembalikan rasa percaya dirinya bahkan menyelamatkan komunitas dan budaya yang terancam punah. Umpamanya generasi muda adat yang bergerak bersama dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaannya sebagai Masyarakat Adat. Memulai menggagas sebuah pendidikan menurut adat dan budayanya tanpa intervensi orang lain dalam menentukan esensi pendidikan adatnya.

Para pemuda adat juga sudah memulai pendokumentasian budaya komunitas masing-masing melalui kegiatan pemuda adat pulang kampung, merekam penuturan tetua adat, bahkan membuat video. Terbaru mereka lakukan pada November hingga Desember 2015 dengan pola live in silang lintas tradisi: pemuda adat dari Sulawesi dan Kalimantan ke komunitas Orang Rimba Jambi, dari Sumatera ke Kalimantan, dari Kalimantan dan Sulawesi ke Maluku.

“Semua orang mengeluh anak-anak atau pemuda tidak memahami budayanya, tapi saat ditanya apa yang kamu lakukan untuk hal itu. Tidak seorang pun yang menjawab” kata Dirjen yang juga sejarawan dan aktivis ini.

Pernyataan tersebut menohok bagi siapa saja yang biasa mengeluh, namun minus solusi dan tanggung jawab. Menanggapi pernyataan tersebut pemuda adat dari BPAN tengah bergerak menjemput dan menjawab keluhan itu. “Kami sedang membangkitkan semangat pemuda di mana slogannya ‘Pemuda Adat bangga berbudaya’. Beberapa kegiatan kami di antaranya memulangkan pemuda ke kampung, memulai sebuah pendidikan tanpa intervensi dari siapa pun, mempersiapkan Pekan Pemuda Adat. Kegiatan ini kami lakukan dalam suatu rangkaian ‘Menelusuri Jejak Leluhur’. Kami juga melakukan suatu pendokumentasian saat live in yang akan kami pelajari kembali selaku generasi muda adat,” kata Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoran.

Senada dengan itu, Rizaldi Siagian mengatakan bahwa istilah membaca juga harus diterjemahkan lebih luas. Masyarakat Indonesia yang lekat dengan tradisi lisan harus pula didampingi dengan pendekatan lisan. Pendokumentasian cerita-cerita rakyat dilakukan dengan merekam dan dibuat menarik sehingga akrab di telinga tanpa mengurangi substansi nilainya.

“Mendulang Mitos: bagaimana kita menggali dan merekam penuturan cerita-cerita rakyat dengan sangat sederhana, lalu membuat cerita itu menarik. Jadi, mengangkat tradisi dan mengolahnya dengan menarik secara digital. Kita menerjemahkan pengertian membaca ke mendengar. Tidak bisa semua kita tulis jadi buku atau naskah,” tambah etnomusikolog ini.

Menjaga, merawat, dan menggerakkan budaya dari pinggir masih menjadi programnya Dirjen baru ini. Bagaimana menelusuri jejak leluhur sesuai program BPAN dilakukan  dengan pendekatan sekolah adat dan atau bentuk lain yang telah AMAN praktikkan sejauh itu bersamaan dengan jalur Dirjen Kebudayaan.

Sebab selama ini penampilan kebudayaan yang diproyeksikan pemerintah kerap kali dipengaruhi kepentingan proyek dan berjalannya program birokratisnya.

Hilmar juga menyatakan komitmennya untuk serius menggerakkan kebudayaan dari bawah.

[Jhontoni Tarihoran-Jakob Siringoringo]

Menuju Jambore Wilayah BPAN Tano Batak

Jakarta (9/2/2016) – Jambore Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Tano Batak akan digelar awal Maret tahun ini. Kegiatan dilakukan satu kali dalam satu periode (tiga tahun sekali) sesuai mandat statuta BPAN dan merupakan rangkaian beberapa Jambore Wilayah BPAN se-Nusantara.

Pada periode 2013-2016 BPAN Tano Batak diketuai oleh Pancur Alex Chandra Simanjuntak. Masa kepengurusannya selama tiga tahun pun akan segera berakhir. Estafet kepengurusan BPAN wilayah Tano Batak untuk mengurus wilayah adatnya akan segera disambung.

“Kita akan mengadakan Jambore Wilayah Tano Batak mengingat masa periode pengurusnya akan berakhir. Ini merupakan mandat organisasi yang harus dilakukan” kata Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoran di Jakarta.

Jambore Wilayah digelar untuk mengajak generasi muda Batak untuk mengurus wilayah adatnya. Ini menjadi momentum penting bagi pemuda Batak dalam menyikapi persoalan sosial, budaya dan lingkungannya dari ancaman penghancuran oleh pihak ketiga. Tema jambore sendiri mengangkat “Pemuda Adat Tano Batak Bangkit Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.

Dalam menyambut Jambore ini, pengurus wilayah BPAN Tano Batak telah melakukan persiapan-persiapan. Mulai dari lokasi, peserta yang tak lain pemuda adat se-Tano Batak telah diundang, tokoh adat, serta apa yang akan dibutuhkan dalam pelaksanaan Jambore.

“Saat ini kami di Wilayah tengah sibuk mempersiapkan acara. Akan ada beberapa bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan nanti. Sampai sekarang persiapan berjalan lancar,” ujar Lasron Sinurat, sekretaris BPAN Tano Batak via telepon.

“Rencananya kegiatan akan diadakan di Lumban Lobu, Kabupaten Toba Samosir. Jadi kita mengundang generasi muda adat dari lintas kabupaten se-Tano Batak,” Lasron menambahkan.

[Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat Rimba: Hutan Sebagai Rumah (Part II)

Sejarah Asal-Usul

Setidaknya terdapat 51 kepala keluarga Masyarakat Adat Suku Anak Rimba atau juga biasa disebut Orang Rimba yang bermukim di Kampung Ujung Kutai, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Tiga kelompok Orang Rimba dalam wilayah Bukit Duabelas, yaitu Kelompok Air Hitam, Kedasung, dan Mengkekal. Suku Anak Rimba melekat kepada kelompok ini karena tempat tinggal mereka di dalam hutan. Hutan adalah rumah, rumah adalah hutan, begitulah kira-kira makna yang tak bisa dipisahkan antara rumah dan hutan. Mereka menghabiskan kehidupan sehari-hari di hutan dan menggantungkan sumber kehidupan sehari-hari dari hutan. Ada alasan bagi mereka untuk tetap bernaung di hutan dan tidak melebur dengan orang-orang di luar hutan. Orang Rimba bercakap dengan bahasa mereka sendiri: bahasa Rimba.

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar penamaan lain terhadap Orang Rimba. Masyarakat yang berada di luar hutan di sekitar Bukit Duabelas kerap menyebut mereka dengan Kubu. Kubu sebetulnya adalah penamaan yang tidak tepat dan cenderung menyudutkan masyarakat adat. Kata “kubu” sendiri mempunyai arti yang mengejek dan berasosiasi dengan sesuatu yang primitif, kotor, bau, jorok, dan tidak tahu sopan santun. Stigma yang kerap dilekatkan pada Orang Rimba yang sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Orang Rimba sendiri pantas untuk marah dan enggan disebut Kubu.

Tumenggung Betaring, pemimpin tertinggi Suku Anak Rimba Bukit Duabelas, menyatakan bahwa “Menyebut kami dengan Kubu, sama saja dengan kata makian ‘anjing kau!’ Maksudnya adalah menyamakan Orang Rimba dengan binatang.” Pada masa kolonial, nama itu sudah ada sebagai sebutan kepada orang yang masuk ke dalam hutan karena tidak ingin terjajah, lalu membuat kubu pertahanan di Bukit Duabelas.

Suku Anak Rimba dalam sejarah leluhurnya mempunyai beberapa versi. Menurut Tumenggung Betaring dalam versi cerita, leluhur mereka bernama Datuk Munyang Segayo adalah keturunan Datuk Minangkabau. Generasi di bawah Datuk Munyang Segayo, Datuk Rail dan yang sekarang Tumenggung Betaring sendiri. Akan tetapi dalam penuturannya juga dikatakan bahwa Datuk Munyang Segayo bukan orang yang pertama mendiami rimba di Bukit Duabelas karena berabad-abad sebelumnya kehidupan rimba sudah ada. Dalam versi lain sejarah, leluhur Orang Rimba berasal dari Proto Melayu (Melayu Tua) Yunan. Golongan ini terdesak masuk ke dalam hutan setelah kedatangan Deutro Melayu (Melayu Muda) dengan perdaban yang berbeda. Dari pelacakan sejarah diketahui tentang gelombang eksodus pertama kelompok Proto Melayu masuk ke Indonesia pada tahun 2.000 SM. Itu artinya berabad-abad sebelum Datuk Munyang Segayo, Orang Rimba sudah mendiami Bukit Duabelas.  Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa leluhur Orang Rimba adalah satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Cambai Muara Enim. Mereka hijrah karena terdesak oleh perang pada masa Kesultanan Palembang dan Kolonial Belanda.

Versi lain yakni cerita tentang perang antara Jambi dan Belanda yang berakhir pada tahun 1904. Pada versi ini disebutkan bahwa pasukan Jambi dibantu oleh pasukan Orang Rimba yang dipimpin oleh Raden Perang. Jika merujuk pada cerita yang disampaikan oleh Tumenggung Betaring, sebenarnya Orang Rimba adalah orang yang melarikan diri masuk ke dalam hutan karena tidak ingin menyerah dan terjajah. Ini adalah salah satu cerita yang kuat. Banyaknya versi asal-usul leluhur Orang Rimba ini membuat para peneliti sulit menyimpulkan dengan pasti mana yang paling benar karena setiap kisah mempunyai dasar masing-masing. Yang pasti Orang Rimba sendiri mengakui bahwa leluhur mereka dalam kehidupan sehari-hari hanya mengenakan kancut (sebutan bagi celana terbuat dari kulit kayu terap atau kayu ipo yang ditumbuk sampai lembut) bagi laki-laki untuk menutup salah satu bagian tubuh yang vital.

Masyarakat Adat Orang Rimba tinggal di rumah yang beratap daun serdang dan tidak berdinding. Mereka menamai rumah dengan detano. Sehari-hari Orang Rimba makan buah-buahan yang disediakan oleh hutan dengan nama-nama dengan bahasa mereka sendiri, yaitu rinam, rambai, siabuk, kuduk biawak, dan tampus. Nama buah-buahan lain yang sudah akrab dengan kita, antara lain cempedak, durian, duku, salak, dan banyak lagi. Mereka memiliki kebiasaan meminum air langsung dari sungai yang mereka jaga kejernihannya. Sudah merupakan tradisi bahwa mereka tidak memakan daging ternak, namun hasil buruan, seperti kijang, rusa, dan kancil. Sejak leluhur Orang Rimba hingga saat ini, mereka hidup dengan penghargaan yang amat tinggi terhadap alam.

-Ali Syamsul-

Masyarakat Adat Rimba: Sebuah Refleksi (Part I)

“Hidup adalah perjalanan, maka tapakilah; dunia ini luas, maka arungilah.”

Hari itu pada 13 November 2015, seorang kawan menelpon dan bertanya, “Apakah kau punya waktu untuk ikut pelatihan pendokumentasian?”

Saya menjawab, “Iya mudah-mudahan ada waktu untuk itu.”

Namanya Sandi. Ia kemudian memberikan petunjuk untuk keikutsertaan saya dalam kegiatan tersebut. Syaratnya adalah saya harus menyerahkan tulisan tentang komunitas adat.

Saya pun mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh BPAN itu di mana kemudian saya mendapatkan banyak pembelajaran sebagai bekal. Tentu saja sebelum pada akhirnya mendapat kabar bahwa saya bisa bergabung dalam pelatihan bersama kawan-kawan pemuda adat dari berbagai penjuru Nusantara, saya terdorong untuk pulang kampung. Saya kembali ke komunitas saya di Desa Tongko, Kecamatan Baroko. Di sana saya menemui tokoh adat untuk menggali bahan tulisan sebagai bentuk kesungguhan saya untuk ikut dalam pelatihan dan live in di sebuah komunitas adat yang kelak akan ditentukan. Kala itu dengan tekad dan semangat, saya berhasil menyelesaikan empat halaman tulisan dalam waktu relatif singkat selama sekitar dua jam sepulangnya ke rumah.

Pada 16 November 2015 adalah awal dari perjalanan saya menempuh ribuan kilo meter dengan menumpang Kijang Innova dari Enrekang menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin sejauh 280 km. Sesampainya di sana, saya langsung check-in agar bisa istrahat sejenak di ruang tunggu.

Melintasi laut dan langit selama dua jam, saya tiba di Sukarno-Hatta. Di bandara saya masih harus melanjutkan perjalanan selama tiga jam untuk sampai ke tujuan akhir yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan di Bogor, Jawa Barat.

***

Satu minggu lamanya saya di Bogor bersama 15 pemuda-pemudi adat mengikuti pelatihan dengan suguhan beberapa materi sebagai panduan pengetahuan pendokumentasian terhadap masyarakat adat. Dari kelimabelas peserta pelatihan, panitia menugaskan enam orang untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat Adat di tiga tempat. Sedangkan yang lainnya, tetap menulis di komunitas masing-masing.

Yosi dan Aang mengunjungi Masyarakat Adat Punan Dulau di Kalimantan Utara, Mursyid dan Hera ke Masyarakat Adat Nuaulu di Maluku, lalu saya sendiri dan Katharina ke Masyarakat Adat Suku Anak Rimba di Jambi. Sungguh menarik karena dengan pola penugasan seperti itu kami sama sekali belum tahu tentang masyarakat adat yang akan menjadi tempat live in, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang komunitas itu bermunculan dalam pikiran.

Sekjen AMAN, Abdon Nababan yang akrab kami sapa Bang Abdon, berkata pada suatu kesempatan: “Jangan percaya dengan apa yang dikatakan orang, tapi lihat dan rasakanlah sendiri!” Kalimat itu terus terngiang di benak saya.

Mendengar cerita tentang Suku Anak Dalam atau Orang Rimba seperti cerita dari teman saya, Dini, terbayang dalam pikiran saya situasi-situasi sulit yang akan saya alami jika nanti berada dalam komunitas mereka. Agresif, liar, tak bersahabat adalah bayang-bayang yang menghantui pikiran saya selama beberapa hari menjelang keberangkatan. Karena saya tidak begitu saja yakin dengan cerita-cerita negatif mengenai mereka, maka saya rajin mencari informasi dengan cara sering mengajak ngobrol orang-orang yang kemungkinan tahu mengenai Orang Rimba.

Saya bertanya lagi. Masa iya ada orang seperti itu? Agresif, liar, tak bersahabat.

Dalam usaha awal saya untuk mengetahui mereka, saya tidak mendapatkan informasi yang memuaskan. Akhirnya dengan cerita-cerita awal yang saya dapat baca sekilas bercampur dengan keingintahuan yang begitu besar, justru memunculkan semangat baru untuk melihat dan merasakan langsung seperti apa dan bagaimana rasanya berinteraksi dengan mereka.

Tanggal 25 November 2015, kami berangkat ke komunitas yang akan menjadi tempat tinggal sementara saya dan kawan lain selama beberapa waktu. Dari Rumah AMAN di Tebet, Jakarta Selatan, saya bersama Katharina, Hera, dan Mursyid menuju ke Bandara Sukarno-Hatta. Kami berpisah di bandara. Seperti yang sebelumnya saya katakan, masing-masing dari kami akan pecah menuju komunitas adat yang berbeda. Aku dan Kaharina terbang ke Jambi.

Penerbangan ke Jambi hanya memakan waktu satu jam. Setibanya di sana, kami dijemput oleh Dini bersama temannya yang bernama Bagas. Dari Bandara Sultan Thaha, kami langsung menuju ke rumah PW AMAN Jambi. Kami berkenalan dengan Datuk Usman Gumanti. Di rumahnya juga hadir Bang Heru selaku Ketua BPAN Jambi. Persinggahan yang tidak begitu lama di rumah Datuk Usman, saya manfaatkan untuk mendapatkan informasi lagi mengenai Suku Anak Rimba. Datuk banyak menyebut nama-nama Orang Rimba yang menjadi karibnya. Dari cerita itu, saya berkesimpulan bahwa Orang Rimba bisa menjalin keakraban dengan orang luar.

Berarti apa yang diceritakan teman saya tentang mereka tidak selalu benar. Rasa cemas saya sedikit terobati.

Pagi yang cerah tiba di tanggal 26 November 2015. Bersama dengan Ketua BPAN Jambi dan Dini, kami menuju ke Pau di Kabupaten Sarolangun menggunakan mobil sewaan. Kami sempat beriringan dengan Orang Rimba yang menggunakan kendaraan roda dua di perjalanan. Saya lihat mereka memanggul senjata dengan baju kumal tanpa alas kaki. Mereka singgah dekat sebuah pom bensin. Saya melihat melalui jendela mobil. Mereka tampak sedang berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Teman saya kemudian mengatakan kalau mereka sedang berkomunikasi untuk menunggu kami.

Pikiran buruk pun kembali muncul. Saya berpikir jangan-jangan benar apa yang Dini ceritakan. Kata Dini, penyambutan mereka dengan cara menembak atau membacok. Dalam hati aku berkata matilah aku jika begini. Namun tetap saja akal rasional saya mengatakan masa iya, sih, ada manusia segila itu.

Jam 12 siang kami sampai di Pau, tapi tidak langsung ke lokasi tempat Suku Anak Rimba. Kami beristirahat sejenak di rumah Dini karena dia menjanjikan akan menyuguhkan makanan khas Jambi: tempoyak. Rasanya aneh. Tempoyak dibuat dari durian yang diasamkan dan dicampur dengan daging ikan, biasanya patin.

Selesai makan, Bang Heru mengajak kami silaturahmi ke kuburan leluhurnya. Bentuk kuburnya panjang. Katanya, makam itu punya sejarah menarik dan tadinya akan menjadi bagian dari tulisan Dini. Tetapi di musim batu akik, nisannya malah hilang, sehingga Dini kebingungan untuk menulis dokumentasi mengenai kuburan itu.

Jam 3 sore kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Ujung Kutai, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Nangkus, Ketua PD AMAN Sarolangun, mengarahkan kami agar berkomunikasi dengan orang yang diminta untuk menjemput kami di simpang Pau di mana kami melanjutkan perjalanan dengan ojek ke Air Hitam selama dua jam. Sesampainya di lokasi kami sudah ditunggu oleh Jenang di depan kantor Dinas Kehutanan. Menurut beliau, setiap orang yang ingin masuk ke wilayah pengembaraan Suku Anak Rimba—sekarang menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas—harus minta izin kepada pihak Dinas Kehutanan. Sebelumnya, Nangkus bilang tidak perlu minta izin. Namun, Jenang khawatir: “Takutnya kalian dicegat, jadi aku menunggu di situ.”

Untuk beberapa saat kami bincang di depan kantor Dinas kehutanan. Jenang kemudian meminta kepada anak muda yang menjemput kami supaya ke aula pertemuan. Dalam pikiran saya, aula pertemuan adalah sebuah bangunan gedung sebagaimana layaknya aula pada umumnya. Namun ceritanya sangat berbeda jika itu adalah aula milik Orang Rimba yang beratap dan tidak berdinding. Lantainya pun penuh dengan lumpur yang telah mengering dengan debu dan dedaunan yang juga kering. Lokasinya terpisah dari rumah permukiman yang dibangun oleh Dinas Sosial untuk Orang Rimba.

Jenang memberitahu: “Kalian istirahat dan tidur dulu di sini karena malam ini tidak bisa masuk hutan.”

Saya sungguh kaget dan ingin menangis. Tikar tidak ada. Lantai begitu kotor dan gelap gulita karena tidak ada aliran listrik. Nyamuk pun banyak. Kembali saya berpikir kalau di tempat ini kita harus istirahat dan tidur dengan kondisi yang begitu buruk, lalu bagaimana nantinya jika sudah berada dalam hutan. Untunglah anak muda yang mengantar kami mencarikan tikar pinjaman untuk dijadikan alas tidur malam itu. Saya mempunyai suatu kesan pertama yang berbeda dalam lokasi Orang Rimba.

Hari Jumat tanggal 27 November 2015, tepatnya jam setengah dua malam, saya bersama Katharina dan Tumenggung Betaring masuk Hutan. Satu jam lebih kami berjalan kaki menyusuri hutan hingga tiba di tempat kelompok Tumenggung membuat rumah untuk tempat tinggal sementara. Mereka menyebut rumah dengan detano. Ada dua rumah  di tempat itu. Kedatangan kami menjadi bagian dari kelompok mereka, sehingga rumah bertambah menjadi tiga. Dua hari setelah itu, bertambah lagi menjadi empat karena anak laki-laki Tumenggung juga ada.

***

Empat hari saya jalani hidup dalam hutan bersama Tumenggung. Setiap malam saya manfaatkan waktu untuk diskusi dengannya mengenai kehidupan mereka, tentang sejarah asal-usul, tata kelola wilayah, aturan hidup, perekonomian, serta berbagai ritual. Siangnya kami jalan menyusuri hutan dan berjumpa dengan kelompok lain sambil bercerita tentang bagaimana mereka menjalin hubungan tak terpisahkan dengan hutan  yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Hutan yang penuh dengan kekayaan flora dan fauna dari Bukit Duabelas. Kami biasa menempuh jarak 10 km.

Dengan berjalan menyusuri hutan, saya menyaksikan sendiri aktivitas kehidupan Orang Rimba yang berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka meletakkan hasil pekerjaan mereka itu di pinggir jalan begitu saja. Tidak ada yang hilang atau rusak. Ini menegaskan bagaimana mereka memegang teguh nilai-nilai adat dan menerapkannya dalam kehidupan untuk menjaga interaksi sosial tetap kuat. Aturan adat yang menjunjung tinggi nilai moral, seperti kejujuran dan kepercayaan, yang telah menjadi panduan kehidupan mereka sehari hari.

Saya bertemu mereka dan kami saling melempar senyum ketika berpapasan. Seketika prasangka yang sempat mengendap dalam benak saya tentang mereka yang agresif, liar, dan tidak bersahabat, gugur dan berganti sebaliknya. Bang Abdon benar. Cerita orang (tentang masyarakat adat) tidak bisa dipercaya sebagai sebuah kebenaran sebelum melihat dan merasakan sendiri.

Manusia tidak akan mengerti arti kenyamanan jika tidak pernah merasakan kesusahan. Dengan mencicipi kehidupan rimba, afirmasi dari kalimat yang sempat dilontarkan Bang Abdon itu semakin terasa dan punya makna. Saya menyadari kedewasaan ditempa bukan karena bebasnya kita dari persoalan hidup, tetapi dari banyaknya persoalan yang kita hadapi. Kehidupan yang saya nikmati sesaat di alam bebas Hutan Bukit Duabelas sudah pasti berbeda. Ketika saya berada dalam pergaulan masyarakat umum yang relatif modern dan mapan dengan segala hal yang gemerlap, kemudian ada yang berubah saat saya merasakan kehidupan yang berbeda dengan tidur di hutan. Tidur bernaung tenda tanpa dinding yang menahan dinginnya angin malam. Rajin mendonorkan darah untuk nyamuk. Tak lupa kenikmatan mi instan dengan nasi.

Pada perjalanan ini saya menjalin persahabatan dengan sesama manusia dan alam. Saya mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan untuk belajar dan memperkaya makna kehidupan. Sebuah refleksi yang hadir tentang kehidupan di dalam rimba.

***

-Ali Syamsul-

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish