Membangun Rencana Kehidupan untuk Keberlangsungan Hidup Masyarakat Adat

Tanjung Gusta (17/3)—Masyarakat Adat Misak berjuang untuk bertahan hidup dari ambang kehancuran. Sebelumnya mereka telah dihancurkan penjajahan Spanyol. Sejarah mereka dihilangkan, kebudayaan mereka dihancurkan bahkan bahasa mereka kini umumnya Spanyol. Padahal mereka memiliki bahasa ibu sendiri.

Demikian disampaikan Jeremias saat jadi pembicara melalui video call dalam sarasehan #RencanaKehidupanWilayahAdat (16/3). “Namun kini kami perlahan-lahan menggali sejarah leluhur atau asal-usul kami. Semuanya kami gali dan kini kami menggagas sebuah pola baru yang kami sebut Plan de Vida (Rencana Kehdidupan),” katanya.

Hal serupa juga disampaikan seorang pemuda adat dari Talang Mamak, Ratna. “Karena wilayah adat hampir habis, maka Masyarakat Adat juga nantinya akan habis. Anak cucu kami tidak akan tahu berbahasa ibu, berpakaian adat, hukum adat, pohon-pohon endemik dan lainnya,” jelasnya.

Selain Jeremias Tunubala dan Liliana Mueles, tim fasilitator juga menghadirkan narasumber Himyul Wahyu Ketua BPH AMAN Kampar Riau; perwakilan Lembaga Adat Serampas, Ishak Pendi dan perwakilan Masyarakat Adat Talang Mamak, Riau.

Di tengah-tengah masyarakat adat nusantara sendiri “virus” Plan de Vida telah mulai ditularkan. Di antaranya saat ini dimulai di komunitas adat Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau. Bahkan sudah berlangsung satu tahun.

Mereka mengemasnya dalam bentuk Pohon Rencana Hidup Talang Mamak. Rencana Kehidupan mereka dilambangkan dengan akar menjalar ke zaman dahulu, ke sejarah mereka sebagai masyarakat adat Talang Mamak. Istilahnya batang pohon yang kuat menjadi Jati diri, Penentuan Nasib Sendiri Masyarakat Adat Talang Mamak,  Berdaulat, Wilayah Adat, dan Lembaga Adat.

Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Hutan, Budaya, Komunikasi dan Hukum Adat terangkum dalam dahan Pohon. Dilengkapi daun-daun yang rimbun, guna berlindung: air bersih, sistem pengangkutan, pekerjaan, tempat belajar, bahasa ibu, obat-obat herbal, pohon, hutan keramat, lagu, musik, makanan tradisional, gawai gadang, tawa orang tua-anak dan lain-lain.

Sarasehan yang dimoderatori Modesta Wisa, anggota DePAN (Dewan Pemuda Adat Nusantara) Region Kalimantan itu turut difasilitasi Serge Marti, Eny Setyaningsih dan Simon Pabaras dari LifeMosaic.

Selain sarasehan Rencana Kehiudupan Wilayah Adat terdapat delapan lainnya di hari kedua, Kamis (16/03), Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMANV). Tema-tema sarasehan tersebut adalah Kepemimpinan Generasi Penerus Masyarakat Adat,  Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Adat, Spritualitas dan Kebudayaan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana, Disabilitas di Tengah-tengah Masyarakat Adat, Menggugat Posisi Perempuan Adat dalam Negara dan Masyarakat Adat, Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019, serta Pembangunan Infrastruktur.

Akhir dari acara sarasehan Rencana Kehidupan Wilayah Adat, tim fasilitator dan tim panen mengajak para peserta bernyanyi bersama.

 

Fernando Manurung

Jhontoni: Sebagai Wujud Kebhinnekaan, Masyarakat Adat Harus Dilindungi dan Diakui Negara

Jakarta (04/04)—Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan baik sumber daya alam maupun kebudayaan. Kekayaan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang paling dicari sejak dulu. Dengan kekayaannya, sejatinya Indonesia mampu menjadi negara yang lebih baik dari saat ini jika kekayaan alam berupa tambang, hasil hutan dan kebudayaannya dikelola dengan baik.

Di era globalisasi saat ini, identitas suatu bangsa sangat rentan untuk disabotase, sehingga masyarakat dalam suatu wilayah kehilangan identitasnya yang berakibat pada berubahnya tingkah laku, cara pandang dan bahkan sampai hilangnya adat-istiadat tertentu karena dipandang sudah usang.

Berdasarkan hal itu, beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (#BPAN) Jhontoni Tarihoran untuk mengobrol bersama. Dalam kesempatan tersebut, ia memberikan penjelasan mengenai masyarakat adat yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya.

Berikut hasil obrolan selengkapnya:

Bung, apa yang dimaksud dengan masyarakat adat?

Masyarakat Adat memiliki defenisi: masyarakat yang menempati wilayah tertentu secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan sebagai komunitas adat.

Hukum adat? Apakah benar hukum adat memiliki posisi hukum yang lebih tinggi dari hukum nasional kita?

Sedangkan hukum adat adalah hukum yang ditetapkan oleh komunitas-komunitas adat untuk mengatur interaksi kehidupan dalam suatu wilayah adat, dan sebagai masyarakat adat yang secara turun-temurun hidup dalam suatu wilayah hukum itulah menjadi acuan dalam interaksi dengan sesama dan juga interaksi manusia dengan wilayahnya. Hukum adat sebagai kesepakatan atas suatu wilayah adat telah lebih dulu diterapkan sebelum hukum lainnya datang kemudian. Bahkan mungkin saja para pendiri bangsa mengadopsi hukum adat cikal bakal hukum nasional.

Soal posisi tinggi-rendah tentu setiap hukum memiliki posisi masing-masing.

Bagaimana seharusnya posisi masyarakat adat dalam pandangan hukum nasional?

Seharusnya ada implementasi hukum yang jelas dan tegas melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Sebagai warga negara, masyarakat adat harus diakui dan dilindungi karena berdirinya negara ini juga bagian perjuangan masyarakat adat di seluruh penjuru nusantara.

Apa keinginan/cita-cita dari kawan-kawan dalam memperjuangkan UU Masyarakat Adat?

Keinginan kami, masyarakat adat diakui dan dilindungi dengan Undang-Undang agar masyarakat adat Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pada 16 Mei 2013 telah membacakan keputusan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bersama dua komunitas masyarakat adat (Kasepuhan Cisitu, Banten dan Kenegerian Kuntu, Riau—red) yang tertuang dalam putusan No. 35/PUU-X/2012. Namun sampai saat ini belum ada regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang implementatif.

Apakah jika masyarakat adat diakui secara hukum tidak akan menimbulkan semacam negara dalam negara?

Ada negara dalam negara, tentu tidak. Justru ketika masyarakat adat diakui dengan Undang-Undang, itu akan menjadikan bukti bahwa masyarakat adat tidak terpisahkan dari negara ini. Kami masyarakat adat adalah pilar kebhinnekaan dengan keberagaman membangun persatuan demi kedaulatan, kemandirian, martabat masyarakat adat dan negara Indonesia. Karena jika berbicara soal persatuan, kita harus menghormati keberagaman. Jika semuanya sama itu menghilangkan semangat kebhinnekaan kita.

Apa pendapat Bung Jhon mengenai masyarakat adat itu diasumsikan terbelakang secara peradaban?

Mengenai ada pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat adat itu terbelakang adalah stigma yang dialamatkan untuk kami. Masyarakat adat itu justru maju, karena dengan pengetahuannya menjamin akan kehidupan yang akan datang. Tidak menumbalkan segala sesuatu untuk kebutuhan dan kehidupan sesaat atau sekarang saja. Jadi terkait terbelakang atau tidaknya masyarakat adat, itu harus dilihat dari perspektif yang mana.

Terakhir, terkait perjuangan masyarakat adat yang diasumsikan seolah ingin mengembalikan era feodalisme?

Oh, itu tidak benar. Karena feodalisme merupakan musuh masyarakat adat itu sendiri.

 

Arif Hidayatullah

Sekretaris Jenderal Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

 

Pembangunan JLW Hancurkan Hutan Adat Moi Maya

Sejumlah massa yang tergabung seperti masyarakat adat Moi Maya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pemuda Gema Maya, Pemuda Adat Moi Maya serta relawan dan simpatisan masyarakat adat mendatangi kantor bupati Raja Ampat, mendemo Bupati Abdul Faris, S.E., Rabu (29/03) lalu di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat.

Mereka menuntut pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat agar segera bertanggung jawab atas kasus JLW yang dibangun pemerintah daerah bekerja sama dengan PT. Klanafat Putra pada 2013 hingga 2016 yang menghabiskan APBD dan APBN sebanyak 22 Miliar Rupiah.

Dalam aksi tersebut #DewanAMANNasionalLudiaMantasan mengatakan bahwa dirinya sangat kesal dengan sistem pembangunan yang dijalankan pemerintah daerah.

“Pembangunan JLW (Jalan Lingkar Waigeored) itu menghancurkan  hutan adat. Situs budaya kami pun hilang. Tempat keramat tempat tinggal roh leluhur nenek moyang kami pun kena dampak dari pembongkaran jalan tersebut,” orasinya.

Masyarakat juga menilai banyak terjadi penyimpangan di tubuh pemerintahan Kabupaten Raja Ampat. “Banyak sekali korupsi yang terjadi di Kabupaten Raja Ampat. Oleh sebab itu kami masyarakat adat meminta Bupati Abdul Faris agar segera menjawab aspirasi kami,” tegas Yoel Ulimpa pemuda adat Moi Kelim, Malamoi.

Demikian pula salah satu kasus berat yang juga menjadi isu penting bagi masyarakat adat Moi Maya yaitu mengenai kerusakan terumbu karang.

“Kami selaku masyarakat adat pemilik hak ulayat meminta kepada pemerintah pusat, dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, pihak Kapal “MV Coledonian Sky“ dan pemerintah kabupaten Raja Ampat harus bertanggung jawab atas kerusakan terumbu karang di pulau Manswar seluas 13.522 meter persegi yang ditabrak kapal pesiar asal Inggris,MV Coledonian Sky, pada 04 Maret lalu,” tegas Ketua Dewan Adat Moi Maya Yulex Ansan.

Padahal menurut seorang pemuda asal Moi Maya, masyarakat adat selalu berpegang pada UU yang berlaku, misalnya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya dalam pasal 1 ayat 2. Selain itu juga ada UU No. 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem.

Menyikapi pemasalaan kerusakan lingkungan perampasan hak-hak masyarakat hukum adat,  dan dampak sosial di wilayah Kabupaten Raja Ampat akibat pambangunan JLW dan kerusakan terumbu karang, masyarakat adat Moi Maya Raja Ampat menyatakan sikapnya sebagai berikut:

 

  1. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menghentikan setiap pembangunan yang merusak ruang-ruang hidup masyarakat adat.
  2. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menghentikan pemberian izin baru kepada kapal pesiar yang mengantar wisatawan tanpa izin pemerintah pusat dan pencabutan izin kepada kapal pesiar yang sudah tak berlaku.
  3. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus menyelesaikan semua konflik yang terjadi terhadap masyarakat adat dari segala aspek pembangunan yang merugikan masyarakat adat secara adil dan bijaksana.
  4. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus membuat peraturan daerah (Perda) sesuai dengan pola/tata kelola hidup dan kearifan lokal masyarakat adat.
  5. Pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat harus membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat adat.
  6. Polda Papua Barat segera tuntaskan kasus korupsi JLW dalam anggaran APBN 2013, 2014 dan 2016.
  7. Berikan ganti rugi terhadap masyarakat adat sebesar 50% dari uang tunai sebesar 20 Miliar berdasar luasan terumbu karang yang rusak 13.522 meter persegi guna penanaman ulang terumbu karang.

 

Achel Ulimpa

Pemuda Adat Harus Melawan

Serlin Mobalen pemuda adat Malamoi, Papua Barat mengungkapkan perasaannya soal wilayah dan masa depan masyarakat adat mereka. Ia mengatakan itu dalam sesi wawancara khusus kemaren pagi di sela-sela acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (#KMANV) berlangsung.

Menurutnya sebagai pemuda adat patut besar untuk menjaga dan mempertahankan wilayah adat dari perusahaan apa pun yang datang ingin merampas hak-hak masyarakat adat. Sejak ia mengenal AMAN hingga hari ini di kampung terus-menerus mengajak pemuda adat untuk sama-sama berjuang di tanah leluhurnya.

Gagah, tegas dan tak sedikit pun canggung saat diwawancara, berhadapan dengan kamera, diminta menjawab lima pertanyaan yang memang sudah disiapkan penanya, cuaca panas Tanjung Gusta yang panas tak satu pun di antaranya membuatnya gugup.

Selalu senyum, tenang dan setia menunggu pertanyaan-pertanyaan dari Ajeng—kru INFIS. Serlin tak sekalipun kelihatan bimbang atau goyang. Ia tenang dan berkali-kali mengucapkan bahwa perannya di komunitas adatnya adalah mengajak para pemuda adat untuk sama-sama menyadari persoalan yang datang ke hadapan mereka. 

Serlin seperti pemuda adat lainnya, menunjukkan ketegasan sikap pemuda adat yang berdiri kukuh dan taat pada prinsip.

[Jakob Siringoringo]

 

 

Murder of Berta Cáceres Remains Unresolved

Indigenous leaders and Latin American environmentalists continue to be killed

A year ago, Berta Cáceres, Honduran indigenous environmentalist leader was killed by gunmen hired by dark powers who sought to curb the resistance of the indigenous leader and Honduras social organizations to the construction of the Agua Zarca hydroelectric dam on the Gualcarque River, vital for the survival of indigenous peoples and local communities.

 

This murder raised a wave of international outrage and has become a symbol of the resistance against projects that threaten the environment and human rights, whether hydroelectric, mining, infrastructure, agribusiness, illegal deforestation, among others.

 

In last January, in Tegucigalpa, capital of Honduras, Global Witness presented a report that shows connections between political elites, powerful businessmen and criminal organizations, and links them to the wave of violence against environmental indigenous leaders.

 

Behind the Agua Zarca project is Desarrollos Energeticos SA (Desa),  information published by the newspaper The Guardian shows that the board of directors of this company includes politicians, military and businessmen; including a high military intelligence rank – whom Berta had denounced for offering her a bribe to stop resistance – a former justice minister, as well as a manager of one of the richest banks in Central America[1].

 

A year after the death of Berta Cáceres, the intellectual authors of the killing remain unidentified. What the Honduran government has managed to do is to approve a package of legal norms that reinforce the repression against social movements and which introduce the possibility of applying the figure of terrorism to social movements.

The Civic Council of Popular and Indigenous Organizations of Honduras (COPINH) has denounced the approval of these laws in order to persecute and criminalize the social movements. This comes just as social organizations prepare several actions to demand justice for the murdered Berta Caceres.

 

Another emblematic case is the kill of Isidro Baldenegro, Rarámuri indigenous leader, who had been fighting illegal loggers for decades in the Sierra Madre of Mexico. He was murdered in the remote community of Coloradas de la Virgen, “heart of a fight of more than 30 years against the illegal loggers of the forest”, in the State of Chihuahua, Mexico.

 

Berta Cáceres and Isidro Baldenegro fights were recognized with the Goldman Prize; their death reflects the deadly reality that latin american indigenous leaders are facing while protecting the environment and their peoples rights. In 2015, 50 people were killed in Colombia, 26 in Peru and 12 in Guatemala, 10 in Honduras and 8 in Honduras, according to Global Witness.

[1] https://www.theguardian.com/world/2017/jan/31/honduras-environmental-activists-global-witness-violence-berta-caceres

By Fabio Víquez

Sekolah Adat Koha: Protes atas Pendidikan Formal

Kala para pemuda kebanyakan larut dengan budaya populer, Nedine Helena Sulu (31) malah asyik menggali tradisi leluhur. Mahasiswi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Manado (Unima) itu bahkan mendirikan Sekolah Adat Koha sejak April 2016.

Puluhan anak muda berusia antara 18-30 tahun berkumpul di salah satu area perkebunan Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka berkumpul untuk belajar sambil duduk melingkar mengelilingi sebuah batu besar dan menikmati singkong, pisang dan jagung rebus, dabu-dabu roa dan buah langsat. 

“Ini salah satu kegiatan belajar di Sekolah Adat Koha. Ini juga bentuk inisiatif untuk menelusuri jejak leluhur, mempelajarinya, sekaligus mewarisi kearifan lokal leluhur Minahasa,” tutur Nedine, Kamis, 16 Februari 2017.

Dia berpendapat, di era kecanggihan teknologi, pemuda setempat justru semakin tercabut dari akar budaya lokal. Padahal, budaya memberi identitas pada mereka. 

“Leluhur kita melalui tradisinya sebenarnya mengajarkan kita bagaimana mengelola lingkungan, hutan, untuk kelangsungan hidup,” ujar Nedine.

Nedine mengungkapkan, di sekolah itu para pemuda mempelajari asal-usul suku Minahasa, pengetahuan obat-obatan tradisional, pangan lokal, cara bertani, lagu, tarian seperti kawasaran dan bahasa daerah.

Lihat juga: Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran 

“Karena kita tahu, dalam pendidikan formal di sekolah para pelajar tidak mendapatkan pengetahuan mereka tentang hal-hal ini semua. Sekolah adat ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang kurang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal,” ujar Nedine yang juga merupakan Ketua Pemuda Gereja di kampungnya ini.

Silabus dan metode pembelajaran dalam Sekolah Adat Koha Ini juga tergolong unik.

“Saya lebih banyak memberikan pengantar, lalu peserta menemukan langsung di lapangan. Setelah itu kita diskusikan dengan para tetua adat, atau ahli sejarah dan budaya,” kata Nedine.

Semangat musyawarah yang kental juga terbawa saat penentuan waktu dan tempat belajar para anggota. Pasalnya, mereka punya kesibukan masing-masing.

“Puluhan anak muda ini rata-rata sudah bekerja, atau sementara kuliah. Sehingga memang kita atur bersama jadwal sekolah,” ujar dia.

Sekolah Adat Koha memang menyasar anak muda sebagai target utama. Pertimbangannya, mereka dinilai paling rawan digilas modernisasi. “Kalau anak-anak, pendidikan informal di rumah masih cukup kuat,” kata perempuan yang juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara ini.  

Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Sekolah Adat Koha adalah menggelar kegiatan permainan tradisional dan ziarah kultura, akhir Januari lalu di hutan sekitar Desa Koha.  

Kegiatan diawali dengan ziarah kultura ke beberapa situs sejarah seperti waruga (kuburan kuno) para pendiri kampung, batu ‘pasela’ atau batu pendirian kampung, dan situs sejarah jejak kaki Siow Kurur (jejak kaki raksasa di batu).

lihat juga: Ziarah Kultura 

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai permainan tradisional sembari mempraktikkannya langsung. Permainan diharapkan bisa kembali membangkitkan kepedulian masyarakat Minahasa atas budayanya sendiri.

“Tambah lagi kurangnya akses buku, guna melihat tulisan dokumentasi budaya Minahasa. Dengan ziarah kultura, kita akan belajar dan mengetahuinya banyak karena berkunjung pada situs budayanya langsung, untuk mendapatkan ingatan terkait tempat-tempat itu,” tutur Nedine.

Tak hanya itu, mereka juga mendokumentasikan situs budaya serta permainan tradisional daam bentuk catatan-catatan. “Ini penting agar nilai adat tidak dilupakan,” ujar Nedine.

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Utara, Eirene Christi Mamahit menyampaikan, pentingnya permainan tradisional mengajarkan seorang anak makna sebuah kebersamaan, interaksi dan bersosialisasi. 

“Seperti permainan benteng dulu itu memiliki makna. Ini mengartikan seseorang harus mampu mempertahankan wilayahnya dan kawan-kawannya jangan sampai direbut. Untuk menyerang harus juga memberdayakan kemampuan teman-teman yang ada,” ujar Eirene.

Sementara, terkait ziarah kultura yang telah dilaksanakan, dipandang sebagai wadah mempelajari nilai-nilai kebaikan yang diwariskan para leluhur Minahasa. Salah satunya tentang pentingnya pohon dan hutan.

“Hutan adalah denyut nadi kehidupan, pohon harus dilestarikan, mata air harus dijaga,” papar dia.

Menjalankan aktivitas belajar di lapangan yang banyak bersentuhan dengan pohon, hutan, batu serta benda-benda purbakala, termasuk ritualnya, menjadi tantangan tersendiri. Tantangan itu terutama datang dari pemuka agama yang menilai aktivitas anak-anak muda ini sebagai sesuatu yang sesat. 

“Kami sempat dibilang menyembah berhala. Sempat juga ada larangan bagi anak muda untuk mengikuti sekolah adat itu,” tutur Nedine.

Lihat juga: Ritual Pemuda Adat Tonsea …

Memanfaatkan kapasitasnya sebagai Ketua Pemuda Gereja di Desa Koha yang setiap pekan bisa berdiri di mimbar gereja, Nedine mengambil momen itu untuk menjelaskan kepada jemaat bagaimana pentingnya mengetahui dan lestarikan budaya leluhur yang masih kontekstual dengan perkembangan jaman. 

“Leluhur kita memang belum mengenal Tuhan, tapi mereka mengenal Opo Empung. Sosok yang punya kuasa, yang mengajarkan perdamaian bagi manusia. Ini substansinya, meski cara leluhur dulu bukan pergi ke gereja untuk bersembahyang,” ujar Nedine.

Hampir setahun sekolah adat ini berjalan, Nedine mulai berjejaring dengan sekolah adat di daerah lain termasuk di luar negeri yakni Filipina. “Kami ada 10 komunitas di Indonesia. Di Sulawesi Utara hanya ada satu di Desa Koha ini,” ujar dia.

Sementara dalam hubungannya dengan pemerintah, dia mengaku saat ini pemerintah desa dan kecamatan yang awalnya belum tahu kini mulai memberikan dukungan.

“Sedangkan dalam skala nasional, beberapa kali saya juga menghadiri workshop di Kemdikbud untuk membahas keberadaan sekolah adat ini,” tutur Nedine.

Apapun yang nanti bakal jadi kebijakan Kemdikbud, Nedine tak ambil pusing. Dia akan tetap jalan dengan Sekolah Adat Koha. 

“Apalagi, memang spirit pendirian sekolah ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang banyak abai terhadap nilai budaya dan kearifan lokal,” ucap Nedine.

Sumber:http://m.liputan6.com/regional/read/2863237/sekolah-adat-koha-protes-cerdas-pemudi-minahasa?utm_source=Mobile&utm_medium=facebook&utm_campaign=Share_Top

 

Burhan

Dua kursi panjang membentuk sudut 90 derajat di teras Footprint. Sebuah meja bundar berdiri di antaranya. Rumah itu tidak ditempati, melainkan disewakan untuk tempat pelatihan. Pekarangan di depan teras terlihat aneka bunga, di antaranya kamboja, sehingga rumah ini terkesan berhantu.

Saya dan Burhan, demikian nama Burhanuddin dipanggil, duduk di masing-masing kursi. Di meja, dua gelas kopi terhidang. Gadget kami juga letak di atasnya. Laptop tepat di depanku.

Burhan membaca buku Menelusuri Jejak Leluhur. Buku tersebut menceritakan pemuda adat yang kembali ke kampung pascapelatihan pendokumentasian, November 2015. Buku yang bercerita langsung soal kehidupan masyarakat adat, yang berpesan bahwa anggapan miring terhadap mereka perlu diluruskan.

“Bacalah pengantar Jhontoni,” saranku.

Dia pun membaca pengantar dua setengah halaman tersebut. Cerita kami berlangsung setelah ia melahap pengantar itu, Rabu (25/1).

Pemuda Turungan Baji, Sinjai Barat, Sulawesi Selatan merupakan satu dari 12 peserta pelatihan pendokumentasian bertema “Melestarikan Mahakarya Leluhur” di Bogor 23 – 26 Januari. Baginya ketidakadilan harus terus dilawan. Gelora perlawanan harus terus diperluas khususnya kepada sesama pemuda adat.

“Saya gelisah jika ketidakadilan terjadi pada rakyat,” katanya.

Sejak mahasiswa, pria yang hobi membaca itu sudah memiliki kepekaan terhadap gerakan sosial. Ia kerap kali ikut serta aksi demonstrasi mahasiswa di kampus. Sebagai mahasiswa tingkat satu, setidaknya dalam dua dekade terakhir, seseorang langsung ikut berdemonstrasi sudah hal yang tak lazim.

Mahasiswa semester sembilan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sinjai ini menunjukkan kepekaan sosialnya dengan mengikuti aksi-aksi di kampus dan di daerahnya secara lebih luas. Bukan hanya itu, ia juga menyuarakan kegelisahannya dengan membaca dan menulis.

 

 

Rambut gondrongnya diikat. Lekuk wajahnya tegas, meskipun kulitnya kecoklatan tua. Bicaranya santai, tapi lugas. Ia duduk menyilangkan kakinya, mengenakan baju pantai, dan selalu tersenyum. Senyumnya mengembang menunjukkan persahabatan saat membicaraan perjuangan.

Anak kedua dari tiga bersaudara selalu antusias berdiskusi soal perjuangan. Bertemu dengan BPAN, baginya seperti menemukan keluarga baru dalam urusan melawan ketidakadilan. Seperti istilah di organisasi pemuda adat senusantara itu, pejuang-pejuang adat yang senasib sepenanggungan tidak pernah sendirian. Saling terhubung dalam lingkaran.

Pada 2013 mandor kehutanan melaporkan ayahnya ke kepolisian. Ia disangka merambah hutan jati di hutan produksi terbatas di kebunnya sendiri. Namun dengan alasan kebunnya masuk kawasan hutan negara berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan, ayahnya tak pernah menyangka kalau pohon yang ditanamnya kelak akan menjebloskannya ke penjara.

Bahtiar, ayahnya, dijerat UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 Juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Awal penahanannya sejak 13 Oktober 2014, menjalani penahanan selama 114 hari, lalu Maret 2015 ditangguhkan sembari mengikuti proses persidangan hingga banding. Tapi ia tetap kalah. Akhirnya pada 1 April 2016 Bahtiar kembali ditahan sampai 25 Desember 2016.

 Sejak itu, pemuda adat Turungan makin memantapkan niatnya untuk terus berjuang di garis rakyat. Pilihannya itu didukung sepenuhnya oleh sang bapak.

“Jangan pikirkan aku, meskipun dijerujikan. pertahankan perjuangan,” pesan si ayah.

 

Sesekali pandangannya menatap jauh ke depan. Sejenak ia membayangkan masa tiga tahun lalu. Semangatnya meneruskan perjuangan mendapat tentangan dari masyarakat sekampungnya. Masyarakat meragukan kerja-kerja ayahnya dan diteruskan pula oleh Burhan, oleh sebab si bapak ditangkap. Imej masuk penjara ini sempat membuyarkan keyakinan orang-orang sekampung.

Dalam pelatihan community organizer pada 2014, pengagum Soekarno Presiden I RI, bertemu AMAN. Baginya semboyan AMAN sangat sejalan dengan visi perjuangannya. Semboyan tersebut membuatnya makin kukuh dan tak sekalipun ragu berjuang bersama masyarakat adat.

“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara,” bunyi semboyan AMAN.

Bagi masyarakat awam di luar masyarakat adat yang terorganisir bersama AMAN, semboyan tersebut kerap dinilai bertentangan dengan negara. Berbeda halnya dengan pemuda satu ini. Ia malah menariknya ke dalam keteguhan perjuangan. Menurutnya semboyan tersebut tidak bernada sinis dan sempit, tapi tegas dan menyampaikan kenyataan.

Untuk melanjutkan pesan si bapak sejak 2014, ia mulai mendiskusikan gerakan anak-anak muda di kampungnya. Ia menyampaikan fakta-fakta persoalan yang terjadi kepada masyarakat di kampungnya. Sialnya bukan dukungan yang datang, ia malah dijauhi. Tanpa putus asa, ia terus mengorganisir pemuda adat. Andi Imran, bersedia menjadi teman senasib sepenanggungannya.

Sejak itu pengorganisasian pemuda adat di Turungan Baji, berada di tangan dua oknum revolusioner ini. Mereka selalu sama. Belakangan mereka menyediakan sekretariat guna menjadi tempat para pemuda adat berdiskusi. Di teras kecil itulah mereka berdialektika, termasuk menjawab pertanyaan pemuda setempat soal: untuk apa berorganisasi, cari kerjalah yang penting!

Saat ini Burhan telah mengorganisir belasan pemuda adat Turungan. Mereka mencetak kaos sebagai penanda bersama dengan membuat simbol BPAN.

“Segeralah bicarakan ke teman-teman tentang pendeklarasian BPAN Daerah Turungan,” kataku.

“Siap bung”.

 

Punya waktu setengah jam tak memuaskan untuk bercerita lebih panjang. Oya terakhir, apa makna wilayah adat bagi bung, tanyaku.

“Tanpa wilayah adat kita tak bisa hidup”.

Kemudian: “Wilayah adat itu nyawa kita. Segalanya”.

Urusan mempertahankan kearifan leluhur, pengetahuan, hukum-hukum adat hanya bisa terjaga jika wilayah masyarakat adat tidak diratakan jadi perkebunan sawit, eukaliptus dan sebagainya. Seiring menjaga iklim, maka wilayah adat adalah satu syarat mutlak yang harus dilestarikan. Laiknya cita-cita Soekarno untuk menjaga hutan, pun impian Burhan sama. Mengakui hak-hak masyarakat adat menjadi kunci.

~Jakob Siringoringo

Ziarah Kultura

oleh Nedine Helena Sulu

Torang ini sapa….? 
Torang ini darimana….?
Kong mo kamana…?

Itu bahasa Manado melayu loh teman-teman… artinya : Kita ini siapa…? Kita ini darimana…? Dan mau kemana…?
Pertanyaan diatas adalah sebuah pertanyaan yang gampang dan mudah bahasanya sehingga cepat saja kita mengerti. Hanya untuk menemukan jawabannya menurutku tidak secepat otakku mengerti maksudnya, tidak seperti yang kubayangkan ! Ya, benar… perlu waktu, butuh perjalanan, harus sabar untuk menemukan jawabannya. Karena ini pertanyaan bukan tentang namaku, alamatku, dan mau jalan-jalan kemana. Tapi ini soal jatidiri, soal identitas sebagai manusia ciptaan-Nya.

Menjelang 13 Januari 2017 

Dua hari yang lalu saya memposting pamflet di fb dan instagram. Isinya begini : Menelusuri jejak leluhur. Tampa : Koha. Jam : 1 siang. Kegiatan : ziarah kultura & permainan tradisional. Pelaksana : BPAN Sulut & Sekolah adat Koha. Pake gambar orang lagi duduk diatas batu dibawah pohon. Pamflet yang singkat padat dan jelas. Dan… Oh ya, pamflet ini dibuat oleh Kalfein Wuisan. Pegiat budaya dari Wuwuk, komunitas yang jauhnya sekitar 40km dari komunitasku (Koha). 
Dia punya talenta, alat, dan niat. Makase banya Kals ! 

Sesaat diposting (saya tak tau kata lain posting) respon cepat skali datang. ketum BPAN : Mantap, semangat dst. Itu pujian dan doa menurutku. Mauliate ketua Jhon, selalu mendukung dan bersama kami. Top !
Selanjutnya disebar-sebarkan oleh kawan-kawan. Terus-terus menyebar dan semakin banyak orang yang tahu kegiatan ini. Ini yang kusuka dari medsos atau sosmed lebih khusus fb. Cukup kuota 1000 kb untuk menyampaikan kebanyak orang kebanyak tempat. Murah toh ? Bukannya pelit tapi kreatif haha…!
Era gadget ini memang mendekatkan yang jauh.

Ziarah kultura 
Jam satu siang teman-teman sudah berkumpul. Kami mulai diskusi kira-kira dimana lagi ada situs, selain situs yang akan kami kunjungi. 
Sambil makan kue natal, minum, duduk di lantai cerita terus mengalir. Satu-satu teman berdatangan. Tanpa menunggu lama kami langsung bergegas menuju Waruga. Waruga adalah kubur orang Minahasa dulu. (Foto, terlampir). Jasad diletakkan dalam posisi duduk. Namun sekitar abad 18 muncul penyakit kolera dan virusnya diduga berasal dari Waruga. Belanda waktu itu kemudian tidak lagi memperbolehkan kubur sistem Waruga. Ditambah lagi Kristen masuk dan penguburan langsung dengan tanah.

 
Waruga yang kami kunjungi kali ini adalah Waruga dari Dotu Dotu (leluhur) kampung kami, Koha. Dotu Rambing (lelaki) dan Doty Manarinsing (perempuan). Mereka katanya pendiri kampung. Dalam otakku : mendirikan rumah aja susah apalagi kampung. Sungguh hebat mereka ini!

Lalu kami mengunjungi Watu Pasela. Batu penanda pendirian kampung. Dimana ada batu itu disitulah kampung itu berdiri. Ada pula Watu Patar (baca: rata) dibatu itu terdapat tanda kaki kiri Siow Kurur. Leluhur Minahasa yang terkenal tinggi dan besar. Siow (9) kurur (lutut).

Selanjutnya kami mengambil foto bersama, saya pun tak mau ketinggalan ambil foto sebagai dokumentasi pribadi.
Saya tertarik dengan kata-kata seorang keluargaku. “Kalau saja zaman dulu sudah ada hardisk dan kamera pasti nenek moyang kita akan mendokumentasikan semua aktivitas mereka.” Hahaha… keren dia!

Untuk itulah kami melakukan ziarah kultura, mengunjungi situs-situs sejarah yang menjadi bukti peradaban Minahasa dulu. Menggali kembali cerita masa lalu (sejarah) yang hampir hilang. Sekolah-sekolah formal yang sekarang menjadi tempat menemukan ilmu dan pengetahuan tidak menyajikan cerita masa lalu. Khususnya cerita masa lalu kampung-kampung kami. Saya orang Minahasa justru akan lebih fasih menceritakan legenda Danau Toba, Tangkuban Perahu dan Candi Borobudur ketimbang Waruga. Anehkan? Ah, kami tidak mau keanehan itu menjadi panjang. Makanya kami berbuat sesuatu: ziarah kultura. Berkunjung, belajar dan berencana.

Kami juga datang sebagai tanda syukur dan penghormatan atas apa yang sudah leluhur-leluhur lakukan. Tapi kegelisahan seketika muncul. Waruga ini berada diarea galian C. Bagaimana nasib mereka nanti ya…?!

Permainan tradisional

Matahari mulai meninggalkan kami. Langit biru berangsur menjadi hitam. Tapi semangat masih menyala diantara kami. Bagaimana tidak? Pisang goreng plus dabu-dabu (sambal) tersaji untuk kami. Nikmat sekali hidup ini kawan!

(…tumbu-tumbu blanga// blanga minya rom// rom cakalele tom tom tom// buka satu dibawah…) ini lirik yang dinyanyikan saat bermain ‘tumbu-tumbu blanga’. Sebuah permainan tradisional yang kami punya, (Foto, terlampir). Mungkin saja ditempatmu ada hanya penyebutannya yang beda. Tapi, saya belum akan membahas dan mengurai apa saja permainan tradisional yang ada. Akan ada waktu lain untuk itu. 

Yang penting dibahas adalah dampak!

Permainan tradisional atau permainan rakyat membawa banyak pelajaran. Termasuk akan dihajar orang tua karena selesai bermain pasti baju penuh noda dan flek yang paling buruk itu sobek. Hahaha… tenang ya ma, anakmu bukan nakal tapi kreatif. Pelajaran lainnya adalah kebersamaan. Kita akan lebih sering terhubung dengan orang lain. Selalu ada interaksi. Sehingga hubungan kita dengan sesama terpupuk lewat permainan. Namun modernisasi memangkas itu. Berbagai macam rupa permainan modern masuk. Apalagi dipermudah dengan menjangkau lewat HP. Permainan modern membatasi kita terhubung dengan orang lain. Kita jadi memiliki dunia sendiri (aku & gadgetku ). Orang-orang jadi sulit berinteraksi dengan yang lainnya. Orangtua tidak marah-marah lagi soal baju kotor tapi marah karena malas belajar, mata akan rusak dan duit belanja beralih slot ke duit pulsa. 
Individualisme! Apakah itu maksud dan tujuan permainan modern? Tapi permainan modern saat ini sangat menarik hati banyak orang. Permainan tradisional hanya sebatas bernostalgia saja.

Tidak pernah ada kemenangan dalam individualisme. Tidak ada kekuatan yang kuat dalam sendiri. Tapi dalam bersama, kekuatan itu kuat. kita akan menang dua kali. Menang atas diri sendiri dan menang atas musuh.

Jeffar, kau….
“Kalo menulis usahakan jangan mengulang kata penghubung yang sama ya…” sambil menengok kami peserta pelatihan pendokumentasian Nov’ 2015 lalu. Sejak itulah saya mengenalnya: Jeffar Lumban Gaol. Rambut gondrong ubanan diikat, kacamata stenga tiang, blue jeans, kaos putih dan laptop. Begitu kira-kira sosoknya.

Ini nostalgia dan kenangan teman-teman. Karena dia sudah pergi menghadap Tuhannya. Dia sudah mengakhiri pertandingannya dengan baik didunia fana ini. Padahal saya belum melunaskan hutang sama beliau. Bukan hutang duit. Tapi tulisan singkatku yang sempat menjadi perdebatan waktu itu ‘Petani cap tikus’. Setiap ditagih saya menjawab : iya bang… saya akan buat tapi butuh waktu karena itu harus dibuat ‘benar’. Saya tidak mau menulis hanya untuk prestasi dan prestise. Kita sedang memutuskan rantai panjang teks pembodohan sejarah toh hehehe… “yaa.. ditunggu ya” sahutnya, sambil melinting.

Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.
Bang Jeffar kau sudah menjadi guruku… ini tulisanku yang lugu kupersembahkan untukmu. Semoga ini bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya mampu menginspirasi. Oh ya bang aku suka status facebookmu tahun 2015 itu : “Ya Tuhan.. semoga saya tidak bertemu kendaraan yang nyalakan lampu sein kanan lalu belok kiri.” ^_^

Selamat jalan bang Jeffar…!
Penyair Minahasa bilang begini : “Inilah kehidupan. Yang dikejar akan ditinggalkan dan yang diraih akan dilepaskan.” (Altje W)

Guru sudah pergi. Ilmu telah ditinggalkan. Mari berjalan bersama kawan. Ayo kita telusur siapa dan darimana kita, dan akan kemana. 
Jika ini jalan, ini adalah jalan sunyi, maka perlu keberanian untuk tetap berjalan. Jika ini arus, kita sedang melawan arus yang deras, butuh komitmen kuat agar tidak hanyut oleh arus. Jika ini peperangan, kita tidak lagi berperang melawan senjata laras panjang tapi kita sedang melawan cara berpikir. Salam!

IMG_4773

IMG_4772

IMG_4771

 

IMG_4768

BPAN Persatukan Pemuda Adat Moi Maya

Dewan pemuda adat region papua gelar kegiatan konsolidasi pembentukan kordinator pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara, Salawati 26 Desember tahun lalu. Dalam pembentukan tersebut banyak pemangku adat ikut terlibat dalam diskusi bersama para generasi muda adat Moi Maya.

Semangat konsolidasi pembentukan ini dilandasi dengan melihat situasi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dan pemuda adat. Bertalian erat dengan itu, konsolidasi ini juga beralaskan visi BPAN yakni Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Dewan pemuda adat nusantara region Papua—penulis sendiri—mengatakan bahwa Barisan Pemuda Adat Nusatara (BPAN) adalah organisasi yang mewadahi perjuangan bagi gerakan pemuda adat se-nusantara. Saat ini BPAN tersebar di tujuh region: Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera; serta telah berkibar di 17 wilayah: Tano Batak, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Baralosa NTB, Tana Luwu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara untuk  kembali ke kampung mengurus wilayah adat, dalam rangka mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat adat  pada masa mendatang.

Tujuan lain: meningkatkan pemahaman pemuda-pemudi adat Moi Maya tentang situasi dan gerakan masyarakat adat, membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya, membangun kepengurusan organisasi pemuda adat di tingkat kampung, daerah, dan wilayah;  membangkitkan rasa senasib sepenanggungan atau solidaritas di antara pemuda-pemudi adat di daerah kepulauwan Salawati kecil (Moi Maya).

Laurens Dumur, ketua adat kampung Samate, sangat responsif pada kegiatan pembentukan kordinator muda distrik Salawati utara. “Kami selaku orang tua mengharapkan kepada kalian sebagai generasi penerus perjuangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusatara agar lambat atau cepat harus membuat kepengurusan di tangkat distrik dan kampung suku besar  Moi Maya Kepulauan Raja Ampat,” katanya di hadapan para pemuda adat.

Dengan penuh keyakinan Laurens Dumur mengungkapkan bahwa dirinya berterima kasih  karena kepada anak-anak muda yang sudah menceritatakan dengan jelas bahwa AMAN adalah organisasi kultur yang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat adat nusantara secara umum dan lebih khusus bagi suku besar Moi Maya Kepulauan Raja Ampat.

Beliau pun menceritakan kembali sejarah perjalanan mereka: ada beberapa marga-marga yang dulu sudah ada di kepulauan Salawati ini, tapi sekarang satu marga sudah punah, yaitu marga Buklis. Sedangkan yang masih ada adalah marga Mobalen Malayabuk, Moicu, Demur, Klagilik, Parajau Klasin Moi Filik dan marga  Klapai. Marga-marga ini di bagi juga berdasarkan suku besar Parajau.

Dalam kenyataannya perkembangan di pulau Salawati ini sudah banyak perubahan yang terjadi. Perubahan datang dari ‘luar’ masuk lewat jalur pemeritah, misalnya pembangunan secara fisik. Tampak saat ini seperti transmigarasi dan ilegal logging oleh PT. Hanurata. “Proyek-proyek ini turun kemudian menghacurkan ruang-ruang hidup kami  suku Maya yang tinggal di Kepulauan Salawati,” kenang Laurens.

Beliau menuturkan bahwa perusahaan dan pemerintah datang membodohi pemilik hak ulayat mereka hanya memperkaya dirinya. Sementara masyarakat adat hidup dalam tangisan. Harapan kami selaku orang tua, katanya lebih lanjut, kepada anak-anak  muda Moi agar terlibat dalam kepengurusan AMAN. Selain itu pemuda adat tolong juga membantu orang tua untuk sama-sama memperjuangkan dan terus melindungi pulau Salawati dari rencana tata ruang pemerintah yang turun dan menghancurkan ruang hidup kita, lanjutnya.

img_20161223_223458

img_20161223_223439

img_20161223_184744

** Melianus “Achel” Ulimpa

 

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish