Sumembong dan Kedaulatan Pangan

bpan.aman.or.id – Ada banyak sekali kearifan di Minahasa yang digunakan untuk hidup dan terus hidup sebagai manusia. Baik dalam kegiatan di kampung, maupun kerja bersama di kebun.

Kearifan tersebut misalnya, Mapalus, Ru’kup, Sumembong, dan banyak lagi lainnya.

Pengetahuan tersebut merupakan warisan kehidupan para pendahulu Minahasa. Masing-masing kampung, punya kearifannya sendiri. Ini adalah produk kebudayaan Minahasa.

Beberapa hari lalu, bersama beberapa kawan, saya ikut Sumembong di kobong (kebun) pece alias sawah, milik Theo Rory. Kami bersama membantu memanen padi miliknya. Theo menggarap beberapa petak sawah. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Ia mengolah sawahnya secara mandiri. Mawuntul, itu namanya dalam bahasa Minahasa.

Mawuntul dalam bahasa Tontemboan Minahasa berarti mengolah atau mengusahakan sesuatu secara mandiri, tidak menyewa pekerja.

Sejak mengolah sawah dari proses Lemepo (membersihkan sawah untuk ditanami), Musew (menanam padi), merawatnya, sampai memanen diusahakannya sendiri.

Hanya di tahapan tertentu, ia dibantu oleh orang lain secara sukarela. Misalnya, seperti saat memanen padi. Ia dibantu oleh beberapa kawannya.

Upaya membantu secara sukarela ini, disebut Sumembong. Sumembong dari kata sembong. Artinya, bantu secara sukarela. Tradisi ini sudah lama hidup di Minahasa, terlebih di Ro’ong Wuwuk. Selain kerja di kebun, Sumembong juga kerap diterapkan di acara dan kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, ada peristiwa duka, pesta, atau membangun rumah dan pondok di kebun. Sumembong menjadi satu nadi dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa.

Bairis (memanen) padi dan Babanting (memisahkan padi dari batangnya dengan cara dipukulkan ke tempat kecil seperti meja) padi merupakan kegiatan yang kami lakukan di kebun Theo. Ini wujud dari Sumembong.

Selain berkebun sawah, Theo juga seorang petani cap tikus. Di sela-sela waktunya mengolah pohon aren, ia juga melakukan aktivitas berkebun lain. Ini memang menjadi ciri khas para petani di Minahasa. Mereka tidak hanya melakukan satu aktivitas berkebun.

Di tengah pandemi, orang-orang seperti Theo dan beberapa petani di kampung, membuktikan resiliensi terhadap situasi ini. Mengolah sawah dan tanah menjadi bukti kongkrit. Hasilnya, 13 karung padi yang dipanennya di musim tanam ini, menjadi salah satu bukti bahwa petani dan orang muda yang berkebun menjadi penjaga kedaulatan pangan. Pangan yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar mereka. Selebihnya bisa dijual atau diberikan kepada orang lain.

Sumembong dalam berkebun menjadi pernyataan sikap generasi muda hari ini. Ini juga bukti bahwa berkebun bukan “bahan jualan” untuk hidup, seperti yang dilakukan oknum untuk meraih simpati dan suara. Berkebun adalah upaya untuk terus hidup dan menjaga kehidupan terus berlangsung.

Ia adalah jati diri.

Penulis: Kalfein M. Wuisan

Omnibus Law Disahkan, Masyarakat Adat Berduka

“Mari sejenak seluruh rakyat Indonesia kita naikkan bendera setengah tiang sebagai simbol duka atas pengesahan UU Omnibus Cilaka. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat maka sekarang ini kita seperti anak kecil yang baru lahir. Tanpa sehelaipun pelindung dari serbuan investor yang akan menginvasi wilayah adat”.

Begitu paragraf pertama tulisan Rukka Sombolinggi di akun Facebook miliknya pada Senin (5/20/2020) malam. Ia nampak sedih. Itu tergambar dari ungkapan yang dia tulis tersebut.

Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tentu punya alasan yang kuat ketika menulis sebuah tulisan panjang di Facebook. Apalagi tulisannya itu dibuka dengan ungkapan duka.

Beberapa jam sebelum itu, ia berbicara di sebuah program berita di salah satu stasiun televisi Indonesia. Ia diundang berbicara mewakili Masyarakat Adat Nusantara merespon disahkannya Rancangan Undang Undang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Senin, 5 Oktober 2020 memang menjadi sebuah hari penting. Hari Berkabung bagi Masyarakat Adat. Tanggal ini menjadi penanda lahirnya sebuah UU baru yang penuh polemik. Walapun banyak mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, UU tetap disahkan. Hanya dua fraksi di DPR yang menolak Omnibus Law yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS. Sementara itu, 7 Fraksi lainnya mendukung. Fraksi tersebut yaitu Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN.

AMAN dalam banyak kesempatan, sejak awal terus menyatakan penolakan atas RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja.

Seperti dituliskan Rukka di paragaraf kedua di akun facebooknya, “UU Omnibus Cilaka memang sah tetapi tidak punya legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia”.

Rukka juga menggunakan tagar #MosiTidakPercaya dalam tulisanya tersebut.

Perempuan Adat asal Toraja ini juga menuliskan secara panjang soal Omnibus Law. Disampaikannya pula, ada dua hal terkait proses pembentukan Omnibus Law.  Pertama, tidak pernah ada konsultasi dengan gerakan Masyarakat Adat. Artinya melanggar hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi di dalam pembentukan hukum. Kedua, terkesan memanfaatkan situasi pandemik yang membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum

Omnibus Law ini juga bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM, serta anti demokrasi. Hal ini terlihat dari yaitu: pertama, RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan tradisinya. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat. Kedua, sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh RUU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.

Omnibus Law juga memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat. Gambarannya seperti berikut. Satu (1), memang ada klausul yang menyatakan bahwa izin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (KEMEN-LHK, KEMEN-ATR/BPN, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit belit, ego sektoral, dan saling mengeliminasi. Dua (2), Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (isu kelautan). Anehnya, RUU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administratif bagi pemanfaatan usaha di laut tanpa izin usaha (Pasal 16A).

Omnibus Law juga menjadi ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Di dalam Pasal 69, RUU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Artinya RUU Cipta kerja tidak dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Hadirnya Omnibus Law memberikan karpet merah kepada investasi. Hal ini terlihat dari, pertama, izin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke Masyarakat Adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi. Kedua, RUU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administratif kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin usaha (Pasal 82A). Dunia usaha yang melanggar Perizinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administratif.  Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin atau yang melakukan pelanggaran terhadap izin usahanya. Ketiga, pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat hanya diberikan sanksi administratif (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian.

Dituliskan Rukka pula bahwa Omnibus Law merupakan ancaman terhadap Perda Masyarakat Adat. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh RUU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alasan menghalangi investasi. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan izin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perizinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup. Kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan Perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung.

Di paragaraf akhir tulisannya, Rukka menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi Masyarakat Adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena RUU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan prizinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan Masyarakat Adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit-belit dan saling mengeliminasi. Selain itu, di tengah ketidakjelasan instrumen pengakuan Masyarakat Adat, maka penyederhanaan izin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.

Di akhir tulisan panjang tersebut, Rukka menyertakan tanda pagar #TolakOmnibusLaw dan #JegalSampaiBatal

Foto bendera AMAN yang dipasang setengah tiang, turut diunggah bersama tulisannya di Facebook.

Tulisan statusnya ini juga sudah dibagikan sebanyak 105 kali di Facebook.

Sebagai organisai sayap AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) lewat Ketua Umum Jakob Siringoringo juga ikut menyatakan sikap atas disahkannya RUU Cipta Kerja. Hal ini disampaikannya pula lewat unggahan di media sosial Facebook miliknya.


“Indonesia berduka. Kibarkan bendera setengah tiang. Tolak Omnibus Law!”

Gambar bendera BPAN yang dinaikkan setengah tiang dengan latar belakang warna hitam, turut diunggahnya. Gambar tersebut menjadi simbol duka, mosi tidak percaya, dan penolakan atas Omnibus Law.

Kecam Aksi Kekerasan kepada Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, Ketum BPAN Minta Presiden Bertindak

“BPAN Sumut siap mempertahankan tanah adat dari mafia tanah dan PTPN II”, teriak mereka dengan suara lantang. Suara mereka penuh semangat, menggebu-gebu khas orang muda.

Mereka adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sumatera Utara (BPAN Wil. Sumut).
Ungkapan perjungan tersebut diucapkan anggota BPAN Sumut di dalam video yang diunggah akun Instagram BPAN, @bpa_nusantara, pada hari Senin (28/09/2020).

Terdapat 11 orang, termasuk Ketua BPH AMAN Wilayah Sumut Ansyarudin di dalam rekaman video mengangkat tangan sambil dikepal. Suara mereka nampak garang, penuh amarah.

Video tersebut dibuat mereka sebagai respon atas upaya PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) berupaya mengokupasi wilayah adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, Kabupaten Langkat, Sumut, di hari yang sama.

Hari tersebut menjadi awal hari yang penuh pilu bagi Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak. Namun, duka mereka memuncak pada keesokan harinya, Selasa (29/09/2020). Pihak PTPN II, Tentara, Polisi, SPBUN, dan preman datang dengan buldoser ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap Masyarakat Adat setempat.

Kronologi Konflik dan Bentrok Berdarah

Menurut Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak, kronologi konflik di hari tersebut adalah seperti berikut. Sekitar pukul 03.00 Wib Selasa dini hari pihak PTPN II dikawal TNI sudah mempersiapkan alat berat untuk melakukan okupasi. Sementara, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak juga telah bersiaga menghadang terutama perempuan adat.

Pukul 06.30 Wib, sebuah mobil Innova melaju memasuki wilayah adat Kampong Durian Selemak dari arah belakang pintu gerbang yang berbatasan dengan Kampong Pertumbukan. Mobil tersebut ditumpangi Kasat Reskrim Polres Langkat. Seketika itu juga, para perempuan adat langsung menghadang mobil tersebut. Mereka bergandengan dan membacakan surat Yasin saat menghalangi mobil tersebut masuk ke wilayah adat.

Pukul 07.00, pihak PTPN II, tentara, polisi, SPBUN, dan preman datang dari arah depan membawa buldoser ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Warga Masyarakat Adat yang umumnya perempuan adat langsung menghadang. Namun, kekuatan pihak PTPN II lebih kuat. Bersama aparat tentara, intel polisi, SPBUN, dan preman yang dibawa, mereka kemudian melakukan tindakan kekerasan serta penganiayaan kepada para perempuan adat dengan cara ditendang, dipukul dan dilemparkan ke parit. Usai melakukan tindakan kekerasan tersebut, aparat TNI, Sekuriti, SPBUN, Preman menjarah buah jeruk tanaman milik Masyarakat Adat. Warga pun menangis. Mereka berteriak agar buah jeruk yang mereka punya, tidak dijarah atau dicuri. Namun pihak TNI dan sekuriti menendangi para perempuan adat. Pukul 08.45 WIB, sepuluh orang perempuan adat menghalangi alat berat dari pintu depan. Tiga orang membaringkan diri didepan alat berat. Ibu Ainun, Ibu Safrah, dan Nenek Pariah melakukan itu dengan maksud untuk menghalangi alat berat. Sekuriti PTPN II kemudian mengangkat 3 perempuan tersebut karena menghalangi alat berat. Mereka ditaruh di pinggir parit. Ibu Safrah mengalami memar pada perut atasnya karena disikut. Pada pukul 09.30, para perempuan adat dan satu orang anak kecil diungsikan karena menjadi korban kekerasan dan intimidasi serta mengalami trauma ketakutan. Pukul 10.00, para warga Masyarakat Adat dari kampong-kampong lain datang untuk membantu warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak. Kampong-kampong tersebut antara lain yaitu Kampong Secanggang, Kampong Selemak, Kampong Pertumbukan, Kampong Pante Gemih, Kampong Kwala Begumit, Kampong Batu Gajah, Kampong Manggusta, Kampong Menteng Tualang Pusu, Kampong Bandar Setia, Kampong Bandara Klippa, Kampong Tumpatan Nibung, Kampong Sintis, Kampong Tj. Mulia, Kampong Jati Rejo, dan Kampong Sampali.

Pukul 10.30, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu mendatangi lokasi yang mulai diokupasi oleh Pihak PTPN II bersama TNI, Polisi, SPBUN dan preman yang terus melakukan penjarahan buah jeruk milik warga Masyarakat Adat. Saat berdialog, terjadi dorong mendorong. Pihak PTPN II bersama tentara, polisi, SPBUN, dan preman mengintimidasi serta menendang para perempuan adat. Korban pun, berjatuhan dari pihak Masyarakat Adat.

Pukul 11.00, sebanyak 8 orang perempuan adat yang menjadi korban dilarikan ke puskesmas terdekat. Banyak perempuan adat mengalami kaki terkilir, kepala berdarah dan lebam akibat tendangan serta pukulan. Sementara pihak tentara, polisi, sekuriti , SPBUN, dan preman terus menjarah buah jeruk milik warga Masyarakat Adat. Mereka diteriaki oleh warga Masyarakat Adat, namun tidak diindahkan. Pukul 11.30, para pemimpin kampong melakukan diskusi dan berbagi tugas. Semua korban dibawa ke puskesmas. Ada juga yang melaporkan ke Polres, namun pihak Polres tidak mau menerima pengaduan warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

Pukul 12.00, Ketua BPH AMAN Sumut, Ketua Umum BPRPI, Dewan AMAN Wilayah Sumut, dan OKK AMAN Sumut, pergi ke DPRD Langkat untuk melaporkan kejadian okupasi pihak PTPN II di wilayah adat kampong durian selemak. Namun, utusan AMAN Sumut tidak bertemu pihak DPRD. Mereka lalu kembali ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Pukul 14.00, pihak PTPN II terus menggunakan buldoser dan menjarah buah jeruk warga Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak. Seluruh warga yang masih bertahan mencoba untuk melarang. Walapun begitu, pihak PTPN II tetap saja membuldoser dan menjarah buah jeruk warga.
Pukul 15.00, warga Masyarakat Adat kemudian berhadap-hadapan dengan pihak PTPN II bersama tentara, polisi, SPBUN dan preman. Adu argumen terjadi. Pihak warga Masyarakat Adat mempertanyakan kepada PTPN II untuk menunjukkan dokumen HGU-nya. Namun pihak PTPN II tidak bisa menunjukkan apa yang diminta warga. Pihak PTPN II malah memancing kemarahan dan berbicara rasis. Pukul 15.15, pimpinan warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang berada di barisan depan yaitu Ibu Riama S dan Saudara Midun ditendang dari belakang oleh Sekuriti PTPN II. Mereka diseret sampai ke parit. Aparat TNI kemudian melakukan penembakan senapan ke udara. Setelah suara tembakan apparat tersebut, pihak sekuriti PTPN I,I SPBUN, preman, polisi, dan TNI secara beringas dan membabi buta melakukan pemukulan dan intimidasi kepada warga Masyarakat Adat. Korban dari Masyarakat Adat kembali berjatuhan. Banyak yang dilemparkan ke parit-parit. Rusnan, seorang warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, dianiaya di semak-semak, di areal tanaman jeruk. Ia kemudian mengalami patah tangan.

Pukul 15.30, aparat TNI, polisi, security, SPBUN, dan preman menyerang serta menghancurkan sekretariat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Kampong Durian Selemak. TNI juga menembakkan senjata berulang-ulang, menganiaya Warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sehingga banyak yang mengalami luka-luka. Seperti Fauzi, mengalami koyak dan berdarah di bagian kepala. Ada juga warga yang telinganya mengeluarkan darah. Banyak warga adat lain, wajahnya lebam-lebam dipukuli dan ditendangi oleh aparat TNI, sekuriti, SPBUN dan preman PTPN II. Tindakan kesewenang-wenangan tersebut terjadi sampai sekitar pukul 17.00 Wib.

Adapun korban dari peristiwa tersebut yaitu 1 orang patah tangan dan dirawat di rumah sakit. Satu (1) orang kepala koyak 5 cm, lebam di kening, bibir pecah, dan giginya tanggal satu. Satu (1) orang mengalami benjol di bagian kepala dan kuping keluar darah. 30 orang perempuan adat mengalami kekerasan seperti lebam, kaki terkilir, sesak di dada dan sakit di bagian pinggang. 40 orang laki-laki mengalami luka lebam dan terkilir. 3 keluarga kehilangan rumah. 1 sekretariat, 1 musholla, dan 8 rumah habis dihancurkan. Pasca bentrok berdarah tersebut, sampai pukul 18.00, areal diokupasi pihak PTPN II seluas 6 hektar, terutama tanaman jeruk siap panen.

Penggusuran paksa ini tidak hanya mengakibatkan korban di pihak warga, tetapi juga menimbulkan korban materi dan hilangnya rasa aman pada Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, di tengah upaya mereka memastikan ketahanan pangan menghadapi pandemi COVID-19.

Selama wilayah adat di kuasai oleh PTPN II, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak mengalami kemiskinan. Akibat kondisi ini, para petua adat melakukan musyawarah adat. Hasil musyawarah, kemudian menyepakati bahwa semua warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak wajib melakukan reclaiming wilayah adat yang sudah ditelantarkan oleh pihak PTPN II.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Masyarakat Adat, Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, memiliki wilayah adat seluas 966 hektar. Wilayah adat yang telah dikelola secara produktif dan telah menghasilkan pendapatan bagi warga Masyarakat Adat yaitu seluas 189 hektar. Sisanya dikelola oleh PTPN II dan dijadikan pemukiman.

Tahun 2006 sampai tanggal 28 September 2020, Warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak berhasil menguasai tanah adat/ulayat. Tanah itu kemudian diolah dengan ditanami berbagai tanaman palawija, sayur-sayuran, kelapa sawit, dan buah-buahan. Selama pengelolaan wilayah adat, rata-rata satu orang kepala keluarga mengelola tanah adat seluas 12.5 Rante atau setara dengan 0,5 hektar (1/2 ha). Hasil pengelolaan tanah adat/ulayat membuat warga memiliki penghasilan rata-rata Rp2.500.000,00 per bulan. Pendapatan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, biaya pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sebanyak 20 kepala keluarga juga telah memiliki rumah tempat tinggal di tanah adat yang dibangun dari hasil perladangan.

Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (Ketum BPAN), Jakob Siringoringo menyampaikan sikapnya atas kejadian yang menimpa Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Langkat.

“Kejadian yang dialami Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, khususnya Kampong Durian Selemak adalah sebuah tindakan kejahatan luar biasa. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu adalah Masyarakat Adat yang sudah hidup turun-temurun di wilayah adatnya, mengelola titipan leluhur mereka yang kemudian diklaim PTPN II”, ucapnya.

Ia mengatakan bahwa BPAN sebagai organisasi pemuda adat nusantara mengecam dan mengutuk aksi kekerasan yang menimpa Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

“Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara mengutuk dan mengecam tindakan brutal dan kejam yang dilakukan PTPN II bersama aparat TNI, Polri, sekuriti hingga preman. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu bukan kriminal apalagi penjahat”.

Ia kemudian menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia agar turun tangan dan menghentikan tindakan tidak berprikemanusiaan ini.

“Saya menyerukan kepada Presiden Joko Widodo agar segera memerintahkan anak buahnya menghentikan tindakan tidak manusiawi ini. Buka data HGU PTPN 2, akui hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan RUU Masyarakat Adat”, tegas Jakob.

Bakobong, Kedaulatan Pangan, dan HTN

“Qta pe papa petani. Qta lei petani. Bangga noh”.

Ucap seorang kawan pemuda adat, Aldi Egeten.

Ia lantas melanjutkan aktivitasnya. Mengayun parang. Menebas rerumputan. Membuka lahan untuk diolah bersama-sama. Menujukkan bahwa kedaulatan pangan ada di tangan pemuda adat.

Aktivitas seperti menyiangi kebun, menanam, dan semua aktivitas bertani sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini pun bukan hal baru bagi sebagian kawan yang bekerja bersamanya.

Aktivitas”bakobong” atau berkebun, baginya dan teman-temannya tidak seperti sebagian tokoh publik ataupun oknum politisi yang menjadikannya sebagai bagian dari pencitraan politik. Oknum-oknum ini mempolitisasi ‘berkebun dan bertani’ hanya demi meraup suara, apalagi di musim pilkada seperti ini.

Tinggal di kampung menjadi sebuah kebanggaan. Menjaga kampung, mengolah tanah, menjadi anak petani, dan menjadi petani. Ini yang sebagian pemuda Ro’ong Wuwuk pahami. Mereka sudah sejak lama berkerja bersama. Mapalus dan Sumembong menjadi kearifan Minahasa yang menggerakkan mereka.

Terlahir dari keluarga petani dan besar sebagai petani, membuat mereka mampu mengerjakan banyak hal. Semua pengetahuan itu di dapatkan di kampung.

Beberapa dari mereka telah menamatkan pendidikan Strata Satu, lainnya menyelesaikan SMA. Status pendidikan, tidak membuat mereka kehilangan pijakan dengan tanah. Malah ini membuat ikatan dengan kampung menjadi kuat. Tesis mengenai “bersekolah memutuskan hubungan dengan kampung, dengan tanah” tidak berlaku di sini. Mungkin di tempat lain. Orang-orang ini sangat terbuka dengan modernitas, termasuk pendidikan modern dan update teknologi terbaru. Mereka bersekolah dan juga berkebun. Di sela-sela istirahat di kebun, mereka bermain game, bermedia sosial, dan berselancar di internet untuk membaca informasi serta pengetahuan tentang banyak hal. Semangat ini ada dalam spirit Mawale.
Mawale atau Kesadaran Kembali ke Kampung atau membangun rumah menjadi kesadaran dan ideologi kultural yang dihidupi. Bersekolah dan bekerja di luar kampung, membuat mereka mesti terus terhubung dengan kampung untuk mengisi dan melengkapi ‘sesuatu’ yang tidak lengkap di kehidupan mereka. Kesadaran ini juga makin dipertegas usai mereka berbagi bersama di Sekolah Mawale yang diadakan di Wuwuk tahun 2011.

Selama ini mereka hidup mengolah tanah dengan bertani secara individu maupun kolektif. Secara kolektif mereka bersama saling membantu. Baik bekerja bersama orang tua di kebun, maupun bekerja bersama dengan kawan mengolah tanah. Kekuatan kerja kolektif ini di Minahasa disebut Mapalus. Selain itu, kearifan lain yang digunakan yaitu Sumembong atau baku tulung, saling membantu tanpa pamrih.

Kesadaran kultural inilah yang dipahami dan dihidupi oleh Farino Regar, Valentino Rompas, Clief Rumengan Clief,, Harly Wuisan Iroth, Petra Rondonuwu, Lisah Rumengan, dan Aldi Egeten serta sebagian besar kawan orang muda di Ro’ong (kampung) Wuwuk. Mereka juga adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Pengurus Daerah (PD) Minahasa Selatan (Minsel). Bukti konkrit kesadaran kultural mereka yaitu mereka membuka Lahan Kebun yang baru untuk dikelola bersama.

Kamis, 24 September 2020 yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN), mereka jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menunjukkan kesadaran kulturalnya tentang bakobong. Upaya mereka ini, juga menjadi bagian dari perayaan HTN 2020 bersama seluruh petani, aktivis, LSM dan NGO di seluruh nusantara. Mereka memilih membuka lahan, memasak dan makan bersama kuliner Minahasa menjadi bentuk acara perayaan HTN.

Membuka Lahan Berkebun Bersama dan Memasak untuk Merayakan HTN 2020

Inong, begitu sapaan akrab Farino Regar. Rabu malam, 23 September 2020, ia dan beberapa kawan sudah berkumpul di rumah Allen Rompas. Malam itu seperti malam yang lain. Usai bekerja seharian di kebun dan kerja bangunan, mereka berkumpul. Berbincang, bercanda, melepas lelah sambil main game atau berselancar di internet menjadi aktivitas rutin tiap malam. Namun, di malam itu mereka berkumpul mendiskusikan agenda bersama pada keesokan harinya di momen HTN.

“Jadi bagaimana ?”, tanya Inong.

“Besok torang somo mulai babuka Kobong neh. Pas Kote Lei besok Hari Tani Nasional. Torang somo buka Allen pe Kobong, Kong Torang momasak kuliner Minahasa Kong makang bersama”, tutur Aldi Egeten, Ketua BPAN PD MINSEL.

Mereka sedang membicarakan upaya untuk mengolah kebun secara bersama sebagai bagian dari gerakan kedaulatan pangan masyarakat adat. HTN menjadi momentum yang tepat. Cocok dengan rencana mereka yang sudah lama. Walaupun, mereka juga selama ini sedang mengurus kebun masing-masing.

“Ok. Besok mulai pagi Jo”, sambung Allen.

Mereka mulai membagi tugas. Membahas secara mendalam apa yang akan dilaksanakan.

“Besok pagi, nanti qta Deng Kale yang pigi pasar. Mobabelanja voor mo masak. Tamang2 laeng basiap jo pigi kobong kamuka”, ucap Lisah. Ia perempuan muda Wuwuk yang sangat bersemangat dengan hal-hal seperti ini.

Malam semakin larut, menutup diksusi mereka. Besok hari ada aktivitas besar di momen penting yang harus mereka jalani.

Sebelum matahari naik tinggi, keesokan harinya, mereka sudah siap.
Usai berkumpul di rumah Allen mereka menuju kebun bersama. Hari itu, mereka meninggalkan pekerjaan pribadi dan memberikan waktu penuh untuk kerja bersama.

Kebun milik Allen adalah kebun pertama yang akan mereka olah bersama. Letaknya di ujung kampung. Sekitar 500 meter, di sebelah kiri jalan raya. Kebun tersebut di dalam bahasa Minahasa jenisnya ‘Katanaan(g)’. Di sana akan ditanam Jagung dan rempah-rempah.

Di hari tersebut, mereka membuka lahan secara bersama. Stelah itu, mereka memasak dan makan kuliner Minahasa bersama. Sambil merayakan HTN 2020.

Farino Regar sedang Memasak

Kebun kedua yang mereka garap merupakan kebun sawah. Di sana mereka akan memelihara ikan Pongkor atau ikan mas. Telaga yang mereka olah kembali sebelumnya sudah tidak diolah. Selain ikang Pongkor, mereka juga berencana menguatkan kedaulatan pangan dengan memelihara babi dan ayam.

Berkebun sudah menjadi aktivitas sehari-hari mereka. Itu telah dihidupi berpuluh tahun, sejak mereka kecil. Keluarga, orang tua, dan teman menjadi guru. Alam menjadi sumber belajar dan sumber kehidupan.

‘Membaca buku alam” menjadi salah satu landasan pengetahuan kultural mereka tentang bakobong dan tentang hidup di kekinian.

Rina dan Kisah Hari Pertama BBJJ

Rina sedang menakar Ciu ke botol ketika dia bersiap-siap untuk join zoom siang itu (Sabtu, 12/9/2020). Dia akan mengikuti pertemuan daring pertama Belajar Bersama Jarak Jauh (BBJJ) yang diselenggarakan Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN).

BBJJ adalah kegiatan belajar bersama yang diorganisir PN BPAN bekerja sama dengan LifeMosaic. Kegiatan ini melibatkan sesama pengurus BPAN, baik nasional, wilayah maupun daerah. BBJJ bertujuan untuk menguatkan semangat Gerakan Pulang Kampung para pemuda adat dalam memperkuat wilayah adat atau kampungnya.

Pada masa pandemi COVID-19, hampir seluruh pekerjaan dilakukan semua orang secara daring. Begitu juga BBJJ. Sesuai dengan namanya Belajar Jarak Jauh, kegiatan ini diadakan menggunakan aplikasi rapat daring yaitu zoom. Aplikasi yang saat ini sangat populer di seluruh dunia.

Kepopuleran zoom di seluruh dunia, tidak serta merta membuat Rina mudah mengaplikasikannya di komunitas adat atau tingkat kampung. Usai menyelesaikan kerja mengisi Ciu, ia harus berjuang ekstra dan bersabar karena sinyal internet yang buruk di komunitasnya.

“Lebih dari 10 kali saya coba masuk baru bisa join zoom. Itu pun berkali-kali ketendang setelahnya dan ulang lagi masuk,” kata Ketua BPAN Wilayah Kaltara yang bernama lengkap Katarina Megawati.

Hari itu adalah hari perdana pelaksanaan BBJJ marathon selama sebulan.

Di momen pembukaan, BBJJ mendapat kehormatan dengan hadirnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Kehadiran Sekjen sangat bermakna. Selain kesediaannya bergabung, ia juga mengantarkan sambutan yang semakin mengukuhkan semangat generasi muda adat, khususnya dalam kerangka gerakan pulang kampung.

Sekjen AMAN mengawali sambutannya dengan pemaparan pembentukan BPAN. Ia menjelaskan pesan kuat tentang pentingnya kehadiran pemuda adat sehingga diperhitungkan dalam posisi-posisi strategis dan pengambilan keputusan.

“BPAN dibentuk secara khusus untuk memastikan peran generasi muda di organisasi bisa dimaksimalkan dalam pengambilan keputusan. Sayangnya selama ini, kelompok pemuda masih dianggap kurang kompeten dalam pengambilan keputusan organisasi dianggap belum punya pengalaman, masih anak kemarin sore, tidak tahu apa-apa,” jelas Rukka.

Ia memuji kinerja BPAN sejauh ini. Ia turut berpesan bahwa BPAN harus kuat. Hal ini karena tugas besar yang harus diperjuangkan pemuda adat, baik di level organisasi, komunitas, sesama generasi pemuda, hingga menjadi penopang organisasi.

Sekjen perempuan pertama AMAN itu melanjutkan pandangannya tentang Gerakan Pulang Kampung yang menjadi ruh setiap program BPAN.

Baginya, gerakan pulang kampung adalah gagasan dan tindakan revolusioner.

“Saya tak menyangka bahwa gerakan pulang kampung ini justru menjadi jalan penuntun pulang. Awalnya saya menganggap biasa sebab berpikir apa mungkin anak-anak muda yang pikirannya sudah kekotaan akan mau bertahan pulang kampung,” katanya.

Ia mengapresiasi kegigihan dan upaya konkrit yang dilakukan BPAN.

“Kalian sangat gigih memperjuangkannya. Ini yang disebut militansi. Kalian melawan arus besar atau tantangan yang selama ini arahnya ke kota, tapi kalian justru membalik arah panahnya. Hasilnya terbukti. Misalnya, saat ini sudah ada 55 sekolah adat seluruh nusantara yang digagas pemudi-pemuda adat” jelas Sombolinggi.

Perempuan adat Toraya itu, mengakihiri sambutannya dengan menekankan penguatan gerakan pulang kampung sebagai jalan utama bagi perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara.

“Gerakan pulang kampung ini adalah penunjuk jalan pulang, tempat untuk pulang, dan tempat untuk bercermin,” tutupnya.

Rina adalah peserta BBJJ bersama 20 orang pengurus wilayah dan daerah BPAN, mulai dari Kepulauan Aru sampai Kepulauan Mentawai. Sama seperti Rina, beberapa peserta lainnya juga sangat terbatas sinyal internetnya.

Rina berasal dari komunitas adat Bulusu Rayo, Desa Kelising, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Dari salah satu sudut kampung di utara Kalimantan, Rina bersusah payah meraih kebersamaan dengan peserta lain di zoom.

Gerakan Kedaulatan Pangan dari Talang Mamak Simarantihan

bpan.aman.or.id – Di tengah ancaman krisis pangan, Pemuda Adat Talang Mamak Simarantihan sedang sibuk mengelola wilayah adat untuk memastikan kedaulatan pangan mereka tetap terjaga. Mereka menanam sayuran hingga umbi-umbian. Hasilnya sebagian dibagikan kepada warga kampung dan sebagian lainnya mereka jual ke pasar.

Dari penghasilan tersebut, mereka berhasil memasok kebutuhan pangan kampung sekaligus menciptakan kemandirian Pemuda Adat Talang Mamak Simarantihan.

Gerakan kedaulatan pangan yang digalakkan pemudi/a adat ini tidak terlepas dari dukungan penuh para Batin atau tetua adat. Para Batin memandatkan mereka untuk mengelola 1 hektar wilayah adat secara kolektif. Ada 10 Pemuda Adat yang mengelola ladang dengan beragam ide dan kreatifitas masing-masing. Salah satunya Iqbal.

Selain mengelola ladang, mereka juga membuat pondok sebagai tempat mereka melepas penat, bersenda gurau sekaligus sebagai tempat mereka berbual-bual (berdiskusi).

Sedang panen

 “Talang artinya ladang, Mamak artinya Ibu. Sejak dulu para tetua kami sudah berkebun. Tradisi itu yang kami rawat hingga saat ini. Mau covid ataupun tidak covid kami tetap berkebun,” ungkap Iqbal, Pemuda Adat Simarantihan, Desa Suo-Suo, Tebo, Jambi, Sabtu (12/9/2020)

Iqbal dengan riang berkebun bersama teman-temannya. Baginya, mengelola wilayah adat adalah ruang belajar yang menyenangkan. Ia dapat memahami sejarah leluhurnya hingga dapat menjadi sumber pendapatan ekonomi sehari-hari.

“Saya bisa belajar sekaligus mencari uang dengan berkebun. Wilayah adat adalah lapangan pekerjaan saya,” tambah Iqbal.

Pemuda Adat Talang Mamak Simarantihan membuktikan bahwa wilayah adat sebagai sentra produksi dan lumbung pangan mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adat dari ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19 bahkan menyelamatkan bangsa dan negara. Masyarakat Adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lain, bahkan ke kota-kota.

Sebelumnya, Wilayah Adat mereka terus dirampas oleh perusahaan sawit berskala besar. Apalagi hingga saat ini tak kunjung hadir peraturan daerah (perda) yang mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat Talang Mamak Simarantihan. Kondisi itu membuat perekonomian tak stabil, wilayah adat tempat mereka menggantungkan kehidupan dirampas secara sepihak oleh perusahaan.

Ladang yang baru dibersihkan

Hal tersebut berimplikasi terhadap banyak hal; selain dampak ekonomi, sebanyak 57 Pemuda Adat Talang Mamak Simarantihan berprofesi sebagai petani sawit karena kehilangan wilayah adatnya dan ada pula yang masih menganggur. Sebagian dari mereka memilih untuk meninggalkan kampung untuk memperbaiki taraf hidup di kota-kota besar.

Namun kini, gerakan kedaulatan pangan selain dapat memperkuat resiliensi kampung di tengah pandemi, juga dapat menjadi media konsolidasi untuk ‘memanggil kembali’ Pemuda Adat untuk pulang kampung mengurus dan mengelola wilayah adat serta dapat membuka lapangan pekerjaan bagi Pemuda Adat tanpa bergantung dengan kehadiran perusahaan.

Yayan Hidayat, pemuda adat Suo Suo, Tebo, Jambi

Maka’aruyen, Floit Dobol, dan Ber-Minahasa dari Rumah

Ia datang memakai Susu’unan dan berseragam SMP.

Waktu itu, ia sempat menjadi pusat perhatian saat tiba di kampus. Gayanya yang khas dan tidak biasa ini, membuat ia menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya.

Orang memakai Susu’unan atau ikat kepala khas Minahasa, sekarang ini, memang agak biasa terlihat di kampus. Apalagi di kampus yang memiliki Sanggar Seni Budaya. Mahasiswa, anggota sanggar, memakai ini saat ada kegiatan iven budaya di kampus. Namun apabila ada anak berseragam Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan memakai Susu’unan di kampus, itu menjadi hal menarik.

Anak SMP ini, namanya Joy Manuwu.

Saat tiba di kampus Fakultas Teknik (Fatek) Universitas Negeri Manado (UNIMA), Joy bersama kakaknya, Manuwu Rival. Mereka menyempatkan bertamu ke Sekretariat Sanggar Seni Budaya Manguni Fatek Unima, usai mengikuti lomba di Tondano. Pada 31 Oktober 2019, Joy mewakili sekolahnya mengikuti lomba bintang vokalia tingkat SMP se-Kabupaten Minahasa. Ia seorang siswa kelas 2 SMP Advent Tanawangko. Usianya masih 13 tahun.Hari itu Joy menjadi satu-satunya peserta lomba yang tampil beda. Selain cara berbusana yang khas, ia menjadi peserta penyanyi solo yang menampilkan musik tradisi Minahasa, Maka’aruyen. Ia bernyanyi sambil diiringi petikan khas Maka’aruyen. Lagu Opo Wananatase, dibawakannya sambil diiringi petikan Maka’aruyen oleh kakaknya. Sebenarnya, ia akan bernyanyi sekaligus bermain Maka’aruyen. Namun karena demam panggung, ia meminta Rival mengiringinya.

“Qt kw’ ja kase latih pa dia”, ucap kakaknya, Rival.

Rupanya, Rival menjadi sosok penting yang membuat Joy mencintai Maka’aruyen. Ia menjadi guru bagi adiknya. Mengenalkan sejak dini seni tradisi Minahasa, baik praktik maupun nilainya. Rival aktif belajar dan melanjutkan seni tradisi Maka’aruyen. Ia juga sering menampilkan Maka’aruyen dalam peribadatan gereja, bersama keluarganya. Selain aktif menggiatkan seni tradisi Maka’aruyen, Rival aktif menjadi pegiat budaya Minahasa. Ia juga seorang pemain Kawarasan.

Selain bernyanyi, Joy dalam lomba tersebut, sesekali melakukan hal yang juga kini menjadi ciri khas Maka’aruyen yaitu bersiul ganda (Floit Dobol). Floit Dobol adalah nada siulan beruntun yang terdengar harmoni. Bunyinya seperti kicauan burung yang sedang bernyanyi. Orang yang melakukan ini, menggunakan teknik tersendiri. Biasanya ia harus latihan selama beberapa waktu untuk menguasai teknik bersiul ini. Seorang, etnomusikolog asal Amerika, Palmer Keen, saat berkunjung dan meneliti tentang Kalelon Maka’aruyen di Minahasa, juga terpukau dengan teknik Floit Dobol. Setelah berkeliling dan melakukan penelitian tentang musik tradisi dan musik etnik di Nusantara, menurutnya, ia baru menjumpai hal seperti ini di Minahasa. Itu yang membuatnya makin tertarik dengan Maka’aruyen. Saat di Minahasa, ia begitu tertarik mendokumentasikan seniman Maka’aruyen yang bisa Floit Dobol.

Teknik floit dobol, dipelajari Joy dari kakaknya. Menurut Joy, tidak susah untuk melakukannya. Namun, menurutnya memang membutuhkan konsentrasi dan penghayatan yang tinggi saat bernyanyi, bermain Maka’aruyen, dan Bafloit Dobol di saat bersamaan.

Di sisi lain, ‌Rival Manuwu, kakaknya, punya pengalaman sendiri belajar teknik Floit Dobol. Menurutnya, teknik floit dobol Maka’aruyen merupakan gabungan dari teknik bersiul dengan posisi lidah ke bawah dan ke atas. Ternyata, Rival belum lama mempelajari teknik ini. Baru sekitar dua bulan, sejak Agustus 2019. Rival, mempelajari teknik ini dari orang Tincep, Sonder Minahasa.

Rival ternyata memang sangat cocok menjadi seorang guru. Buktinya, saat berdialog dengan anak-anak Sanggar Manguni Fatek, ia juga sempat berbagi beberapa teknik bermain Maka’aruyen dan Floit Dobol.

Semangat dan usahanya ini perlu ditiru banyak generasi muda Minahasa.

Memang, Maka’aruyen sendiri, perkembangannya dinamis. Awalnya ia adalah syair-syair doa. Syair tersebut juga ditampilkan dengan alat musik tradisional Minahasa yang disebut Swasa. Ia awalnya berada di dalam ruang yang terbatas, privat, dan sakral. Namun di kemudian hari ia bertransformasi dan menemukan titik temu dengan alat musik modern, gitar. Kalelon Maka’aruyen, menjadi penanda zaman dan penanda ingatan perjumpaan orang Minahasa dengan orang barat. Di kemudian hari ia juga dipadukan dengan alat musik lain, misal siulan, kolintang besi, dan lain sebagainya. Di era kekinian, Kalelon Maka’aruyen oleh para seniman dan budayawan Minahasa juga sering ditampilkan dan dipadukan dengan genre musik modern. Ia ditampilkan dan dikolaborasikan dengan musik Rap, Blues, Hip Rock, Reggae, dan lain sebagainya. Artinya, Kalelon Maka’aruyen terus bertransformasi dan berdialog dengan zaman dimana ia dihadirkan.

Di Minahasa sendiri, telah dan sedang terjadi kebangkitan kesadaran kultural yang banyak dipelopori oleh orang ‘muda’. Di kampung-kampung dan kampus-kampus, banyak bermunculan komunitas pegiat adat, seni budaya Minahasa. Salah satu contohnya yaitu semangat Mawale atau semangat kembali ke rumah, ke kampung. Ini termanifestasi dalam jaringan gerakan kebudayaan Mawale Movement.

Gerakan untuk menelusuri, mendokumentasikan, dan mengkaji seni tradisi Kalelon Maka’aruyen juga menjadi bagian dari gerakan ini. Maka di tahun 2011, muncul komunitas yang bernama Kalelon Maka’aruyen (Kama). Gerakan ini kemudian mengajak dan mempengaruhi banyak orang muda untuk menggali nilai-nilai tradisi Kalelon Maka’aruyen yang relevan dan bisa dikontekstualisasikan di hidup hari ini. Proses berpengetahuan dari pintu musik tradisi Maka’aruyen menjadi satu contoh. Masih banyak pintu dan cara lain untuk ber-Minahasa.

Pemuda adat, Joy dan Rival adalah salah satu contoh. Mereka menjadikan rumah sebagai ruang berpengetahuan. Menjadikan anggota keluarga sebagai guru dan teman belajar. Mereka menjadi bukti bahwa cara berpengetahuan ala Masyarakat Adat Minahasa masih efektif sampai hari ini. Pengetahuan keluarga atau berpengetahuan dari – di keluarga. Keluarga menjadi sekolah. Keluarga menjadi tempat belajar pertama seorang anak Minahasa. Sebelum, mungkin, ia mengecap pendidikan formal karena tuntutan. Nenek, Kakek, Ayah, Ibu, Kakak, Adik, dan orang di dalam rumah menjadi guru. Masyarakat, Kampung, dan alam semesta menjadi guru dan tempat belajar yang lebih luas. Cara berpengetahuan seperti ini memang mesti dilirik kembali. Ber-Minahasa dari rumah, dengan keluarga. Metode ini sangat cocok diterapkan, apalagi di masa pandemi seperti ini. Berpengetahuan dari rumah, dengan keluarga.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish