“Mari sejenak seluruh rakyat Indonesia kita naikkan bendera setengah tiang sebagai simbol duka atas pengesahan UU Omnibus Cilaka. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat maka sekarang ini kita seperti anak kecil yang baru lahir. Tanpa sehelaipun pelindung dari serbuan investor yang akan menginvasi wilayah adat”.
Begitu paragraf pertama tulisan Rukka Sombolinggi di akun Facebook miliknya pada Senin (5/20/2020) malam. Ia nampak sedih. Itu tergambar dari ungkapan yang dia tulis tersebut.
Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tentu punya alasan yang kuat ketika menulis sebuah tulisan panjang di Facebook. Apalagi tulisannya itu dibuka dengan ungkapan duka.
Beberapa jam sebelum itu, ia berbicara di sebuah program berita di salah satu stasiun televisi Indonesia. Ia diundang berbicara mewakili Masyarakat Adat Nusantara merespon disahkannya Rancangan Undang Undang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Senin, 5 Oktober 2020 memang menjadi sebuah hari penting. Hari Berkabung bagi Masyarakat Adat. Tanggal ini menjadi penanda lahirnya sebuah UU baru yang penuh polemik. Walapun banyak mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, UU tetap disahkan. Hanya dua fraksi di DPR yang menolak Omnibus Law yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS. Sementara itu, 7 Fraksi lainnya mendukung. Fraksi tersebut yaitu Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN.
AMAN dalam banyak kesempatan, sejak awal terus menyatakan penolakan atas RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja.
Seperti dituliskan Rukka di paragaraf kedua di akun facebooknya, “UU Omnibus Cilaka memang sah tetapi tidak punya legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia”.
Rukka juga menggunakan tagar #MosiTidakPercaya dalam tulisanya tersebut.
Perempuan Adat asal Toraja ini juga menuliskan secara panjang soal Omnibus Law. Disampaikannya pula, ada dua hal terkait proses pembentukan Omnibus Law. Pertama, tidak pernah ada konsultasi dengan gerakan Masyarakat Adat. Artinya melanggar hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi di dalam pembentukan hukum. Kedua, terkesan memanfaatkan situasi pandemik yang membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum
Omnibus Law ini juga bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM, serta anti demokrasi. Hal ini terlihat dari yaitu: pertama, RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan tradisinya. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat. Kedua, sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh RUU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.
Omnibus Law juga memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat. Gambarannya seperti berikut. Satu (1), memang ada klausul yang menyatakan bahwa izin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (KEMEN-LHK, KEMEN-ATR/BPN, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit belit, ego sektoral, dan saling mengeliminasi. Dua (2), Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (isu kelautan). Anehnya, RUU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administratif bagi pemanfaatan usaha di laut tanpa izin usaha (Pasal 16A).
Omnibus Law juga menjadi ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Di dalam Pasal 69, RUU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Artinya RUU Cipta kerja tidak dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.
Hadirnya Omnibus Law memberikan karpet merah kepada investasi. Hal ini terlihat dari, pertama, izin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke Masyarakat Adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi. Kedua, RUU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administratif kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin usaha (Pasal 82A). Dunia usaha yang melanggar Perizinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administratif. Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin atau yang melakukan pelanggaran terhadap izin usahanya. Ketiga, pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat hanya diberikan sanksi administratif (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian.
Dituliskan Rukka pula bahwa Omnibus Law merupakan ancaman terhadap Perda Masyarakat Adat. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh RUU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alasan menghalangi investasi. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan izin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perizinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup. Kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan Perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung.
Di paragaraf akhir tulisannya, Rukka menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi Masyarakat Adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena RUU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan prizinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan Masyarakat Adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit-belit dan saling mengeliminasi. Selain itu, di tengah ketidakjelasan instrumen pengakuan Masyarakat Adat, maka penyederhanaan izin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
Di akhir tulisan panjang tersebut, Rukka menyertakan tanda pagar #TolakOmnibusLaw dan #JegalSampaiBatal
Foto bendera AMAN yang dipasang setengah tiang, turut diunggah bersama tulisannya di Facebook.
Tulisan statusnya ini juga sudah dibagikan sebanyak 105 kali di Facebook.
Sebagai organisai sayap AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) lewat Ketua Umum Jakob Siringoringo juga ikut menyatakan sikap atas disahkannya RUU Cipta Kerja. Hal ini disampaikannya pula lewat unggahan di media sosial Facebook miliknya.
“Indonesia berduka. Kibarkan bendera setengah tiang. Tolak Omnibus Law!”
Gambar bendera BPAN yang dinaikkan setengah tiang dengan latar belakang warna hitam, turut diunggahnya. Gambar tersebut menjadi simbol duka, mosi tidak percaya, dan penolakan atas Omnibus Law.