Jagung Bakar

Panen

Tadi siang aku bersama Bapak pergi ke kebun untuk mengambil jagung yang ditanam selama 3 bulan ini. Bapak memintaku untuk menyalakan api dari ranting dan pohon kering dekat gubuk. Aku menuruti perintah Bapak. Menyalakan api menggunakan korek kayu yang disimpan oleh Bapak dibalik pintu gubuk. 

Aku mengambil rumput kering untuk menyalakan api. Satu persatu ranting kecil aku taruh ke atas api. Asapnya membuat mataku pedih dan aku batuk-batuk juga kena asap. Bapak tertawa dari kejauhan, melihatku susah payah membuat api. Tak lama, ranting dan kayu kering terbakar dengan cepat. Aku segera mengabari Bapak apinya sudah bisa digunakan. 

Bapak memintaku untuk merebus air dan membuat kopi untuknya dan Pakde. Aku bertanya menggunakan air yang mana, Bapak menunjuk sungai kecil di ujung gang masuk kebun. “Kamu bisa ambil air di sana, airnya lebih enak daripada yang di gentong”. Aku berjalan membawa belanga yang sudah berwarna hitam. Mengambil air dan kemudian menggantungkan belangga yang dikaitkan dikawat sebagai pengganti kompor di kebun. 

Sambil menunggu air mendidih, aku membersihkan pinggiran gubuk. Kayu-kayu yang dibelah oleh Bapak aku tumpuk rapi agar bisa dibawa pulang nanti sore. Aku tali menggunakan pelepah daun kelapa yang ditipiskan oleh Pakde tadi. Ranting-ranting kecil tak lupa aku kumpulkan untuk digunakan membuat api saat di kebun. 

Bapak datang membawa 5 tongkol jagung yang baru ia panen. Dikupasnya jagung satu persatu dan ditaruh di pinggiran api. Aku menyeduh kopi sambil melihat Bapak membakar jagung. Sementara Pakde masih terus memanen jagung satu persatu sebelum jam 12 siang. 

“Hari Ini kamu mau bantu Bapak panen jagung atau mau memancing saja?” Kata Bapak. 

“Aku mau ikut panen saja Pak. Sore nanti mau nyarik kangkung buat Bude, soalnya tadi pagi Bude nitip untuk diambilkan kangkung dan terong”. Aku menjawab Bapak sambil mengaduk kopi. 

Kopi sudah jadi, aku memanggil Pakde untuk istirahat makan siang dan minum kopi. Pakde datang dengan keranjang besar berisi jagung. Rencananya nanti sore tengkulak akan datang dan membeli jagung Bapak. Aku menyuguhkan kopi ke Pakde. Kemudian mengambil jagung bakar untuk kusantap bersama teh manis hangat. Kami beristirahat bersama siang itu. 

Pukul 12.30, Ibu datang membawa pisang dan Ubi goreng. Ibu datang bersama Marni adik perempuanku. Ibu memintaku untuk membuka cemilannya dan segera disuguhkan ke Bapak dan Pakde. Hari Ini Marni ikut ke kebun karena hari Minggu. Dia datang untuk memancing ikan yang berada di sungai tempatku mengambil air. 

Hangat aku rasakan hari itu, saat kami semua berkumpul di kebun. Aku mengantar Marni ke sungai dan memasangkan kail pancing, “kamu diam di sini, kalau kailnya dimakan kayunya akan going-goyang. Segera tarik dan panggil aku ya. Aku mau bantu Bapak panen” kataku pada Marni agar tak merengek dan mengganggu kami panen. 

“Iya,” jawabnya sambil mengangguk. 

“Sekarang Marni ambil teh manis dan cemilan yang Ibu bawa, supaya gak bosan saat menunggu umpan dimakan ikan”. Marni segera berlari mengambil apa yang aku suruh tadi. Setelah dia datang, aku pergi meninggalkan Marni dan mengambil keranjang panen. Ku lihat Ibu sedang membersihkan jagung yang sudah dipanen oleh Bapak dan Pakde. 

Aku mulai masuk ke lajur tanaman jagung yang belum dipanen. Aku petik satu per satu dan dimasukan ke dalam keranjang. Keringatku mulai mengucur dengan pasti. Rupanya matahari cukup terik hari ini. Bapak dan Pakde tertawa melihatku, karena sudah lama aku tak ikut panen jagung. Ternyata tinggal di kota dan bersekolah membuatku kewalahan dan tak sekuat dulu. Aku tertawa malu dan belum penuh keranjangku sudah kubawa ke gubuk, karena tak sanggup dengan beratnya. 

Ibu menyuruhku istirahat. Aku tidak mau karena aku malu kepada Bapak yang dari tadi datang hanya beristirahat sekali. Ibu menyuruhku mengantarkan sebotol air putih Bapak karena tadi lupa. Aku kembali menggendong keranjang dan memberikan air putih pada Bapak. 

“Mbak, mbak,” panggil Marni. 

Aku segera menghampiri Marni dan kulihat dia tersenyum karena mendapatkan ikan gabus sebesar lengannya. “Aku dapat ikan Bu” Marni berlari cepat menghampiri Ibu untuk pamer. 

“Nanti kalau sampai rumah Ibu goreng ya, untuk makan malam kamu”. Aku mendengar percakapan Ibu dengan Marni. 

“Mbak, aku mau mancing lagi ya. Tolong pasangkan umpannya, biar aku tungguin”. Aku segera menuruti kemauan Marni. 

“Mar, nanti sambil mancing, aku minta tolong ya untuk ambilin kangkung dan terong buat Bude. Soalnya tadi Bude nitip buat dimasak nanti sore. Bisa kamu bantu aku?” Marni mengangguk setuju. Aku memberi marni contoh seperti apa yang harus dia ambil dan seberapa banyak terong yang harus dipetik. Aku kemudian melanjutkan panen jagung. 

Benih

“Pak, Bapak tolong sisakan beberapa pohon jagung ya, yang akan dijadikan bibit lagi buat tanam selanjutnya,” Ibu berteriak dari arah gubuk. “Iya Bu, tadi aku juga minta Mas Jamal untuk milih mana yang bagus buat bibit”. Teriak Bapak dari jauh.

Bapak dan Ibu memang selalu menggunakan bibit jagung yang mereka benihkan sendiri. Meski harganya lebih murah dipasaran. Bapak memilih untuk mempertahankan benih yang sudah turun temurun. Aku sering melihat Bapak ditawari oleh petugas pertanian untuk menanam jagung hibrida. Tapi Bapak menolak, karena ia tahu bibit itu tak bisa dibenihkan kembali. Benih akan merusak apa yang sudah diturunkan oleh keluarga Bapak. Buat Bapak tidak apa murah dijual jagungnya, selama tidak merusak kebunnya. Karena merawat akan lebih mudah dari mendapatkan kebun ini. 

Tumbuh

Sudah pukul 4 sore. Aku, Bapak dan Pakde kembali ke gubuk dengan keranjang penuh jagung. Ibu membuatkan kami teh manis. Lega sekali rasanya hari ini, walaupun badan pegal-pegal karena belum terbiasa. Aku menghampiri Marni, ternyata hari ini dia mendapatkan 2 ekor gabus yang besar. Kangkung dan Terong pun sudah dipetiknya, aku masukan ke dalam keranjang. 

Bu, tadi kenapa Bapak diminta untuk memilah benih, kan bisa beli Bu? Kulihat Pakde tertawa karena pertanyaanku. 

“Nur, benih itu harus dirawat bukan dibeli, coba sekarang kamu bandingkan Jagung Bakar yang kamu makan tadi, sama yang nanti kamu beli di warung Bu Simah. Pasti Beda” Kata Pakde. Aku kurang paham apa yang dibilang Pakde, kemudian aku meminta ibu menjelaskan maksud Pakde tadi. 

Kata Ibu, benih itu ibaratnya anak, anak yang harus dirawat. Anak yang akan meneruskan tradisi keluarga ini. Jadi kalau tidak dirawat dengan baik sudah pasti menghancurkan dunia ini. Begitu juga saat pemilihan benih. Ibu meminta Bapak untuk menggantung di genteng Gubuk, supaya kering dengan baik. Menghitung tanggalan yang cocok dan selalu mengganti tanamannya di kebun. Ibu juga menjelaskan dalam setahun tanamannya selalu diganti tiga jenis agar tanahnya tetap terawat dan tidak sakit. 

Ibu juga mengatakan, seluruh benih yang ada di kebun adalah hasil turun-temurun. Memang lebih bagus kalau benihnya beli. Tapi benih-benih itu tak bisa ditanam lagi. Artinya selama masih bertani kita akan terus membeli dan membeli. Padahal apa yang dibeli sudah dimiliki sejak lama. 

Bapak dan Ibu percaya, apa yang ditanam di kebun memiliki keterhubungan satu sama lain. Bapak juga tak pernah protes dan marah jika jagungnya rusak dimakan oleh burung atau hama. Buat Bapak itu berbagi rejeki, mereka butuh makanan dari kita, kita juga butuh bantuan dari mereka. Yang namanya kebun itu gak menghidupi satu keluarga saja, tapi hewan dan tumbuhan lain juga hidup. Artinya kita harus bisa berdampingan satu sama lain tanpa merusak. 

Aku mengangguk-angguk sambil makan jagung bakar dan mendengar penjelasan Bapak dan Ibu. Sementara Marni kulihat sibuk menangkap capung dengan getah dari pohon nangka yang ia bacok tadi siang. 

Jagung

Pukul 5 sore, tengkulak jagung datang membawa sepeda motor dengan keranjang besar di kanan dan kirinya. Dikeluarkan timbangan gantung untuk jagung-jagung yang sudah masuk ke karung. Tali timbangan di ikat di dahan pohon yang besar. Bapak membantu si tengkulak untuk menimbang. Setelah selesai ditimbang, si tengkulak segera memberikan uangnya. 

Aku dan Ibu membersihkan gubuk supaya besok tidak kotor. Kayu yang kutumpuk tadi segera aku naikan ke atas sepedaku. Aku diminta Ibu untuk pulang lebih dulu bersama Marni, karena harus mengantar kangkung dan terong pesenan Bude. 

Aku menaikkan Marni di atas kayu dengan lapis daun pisang. Marni tertawa, pulang membawa dua ekor ikan gabus dan tiga capung yang ia masukan ke dalam toples. Aku pamit untuk pulang. Mengayuh sepeda, melihat hamparan hijau kebun milik orang di kampungku. Lembayung sore tak kalah indah, berpamitan kepadaku dan Marni yang hendak pulang untuk berganti hari dengan malam. 

***

Penulis Yuyun Kurniasih

Foto utama: Jagung bakar, credit: tirto.id

Di Antara Musim Yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas,

Hujan tak menentu,

Angin melanda seluruh pelosok Nusantara.

Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.

Aku tau bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah mengrogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menhancurkan lahan-lahan sayur.

Nasib-nasib, mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghiudpan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin, aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.

Apalagi setelah ini, apalagi setelah ini?

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik atau memburuk.  Bertahan diantara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.

Tidak adil, sangat tidak adil.

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak, akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Menggunakan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.

Aku mengingat kata Ketua Adat, dia berkata “Dimanapun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung. Apakah sulit sekali menahan diri untuk kerakusan yang tak pernah berujung?

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.

Mulai Perjalanan

Sore, aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap di panen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ku ambil. Segar terlihat dimataku.

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang Panjang, cabe rawit, Kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama dimataku. Coklat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan, mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu, aku masih bisa mandi di sungai. Kini, sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku. Tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing, hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.

Aku tak pernah membayangkan, ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.

Penulis: Yuyun Kurniasih

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish