Pertahankan Tradisi, Masyarakat Adat Hukaea Laea Adakan Ritual Pesta Panen

bpan.aman.or.id – Pada tanggal 31 Oktober hingga 1 November 2020, Masyarakat Adat Hukaea Laea melaksanakan kegiatan tahunan, yaitu pesta panen serta ritual-ritual adat yang masih dipertahankan sejak dulu.

Adapun dua ritual adat yang digelar dalam pesta panen ini: pertama, ritual “Mewusoi”. Ritual ini dipimpin oleh Kumpuko (pawang padi). Ritual Mewusoi ini dilakukan untuk mengucap syukur terhadap sang pencipta dan kepada leluhur atas melimpahnya hasil panen pae/padi Masyarakat Adat Hukaea Laea.

Ritual kedua ialah ritual Mo’oli. Ritual ini dipimpin oleh “Miano Motua Kampo” (orang yang dituakan di kampung). Ritual Mo’oli adalah ritual yang tujuannya meminta izin kepada sang leluhur agar bisa membuka lahan baru untuk dipergunakan bersawah atau berladang.

“Kedua ritual di atas dilakukan setiap tahun ketika menutup tahun panen dan menghadapi awal tahun menanam,” ujar Mansur Lababa, kepala kampung.

Selain ritual, pada rangkaian kegiatan pesta panen ini juga ditampilkan tradisi asli Suku Moronene oleh Masyarakat Adat Hukaea Laea. Contohnya tarian Momani, tarian Mompesara, permainan tradisional gasing, masakan tradisional hingga cerita-cerita rakyat yang dikisahkan langsung oleh Bapak Mansur Lababa selaku Puu Tobu (kepala kampung) Hukaea Laea.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh Wakil Bupati Bombana, Johan Salim, Ketua DPRD Bombana, Arsyad, S.Pd., Wakil Ketua DPRD Bombana Ardi, TVRI Sultra, serta seluruh Masyarakat Adat Hukaea Laea.

Penulis: Juminal Nopiansyah, pemuda adat Moronene

Pentingnya Jonga bagi Masyarakat Adat Hukaea Laea, Suku Moronene, Sulawesi Tenggara

bpan.aman.or.id – Jonga adalah rusa dalam bahasa Moronene. Dulu, satwa ini merupakan penghuni utama kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Setiap kali melintasi jalan poros di kawasan konservasi tersebut, perbatasan Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan, kita biasa melihat kawanan rusa memunculkan kepala mereka dari balik padang ilalang. Bahkan tidak jarang kawanan rusa ditemukan sedang bermain atau melintas di jalan.

Pada masa itu boleh dikatakan bahwa jonga merupakan primadona di wilayah adat Hukaea Laea, yang berada di dalam kawasan TNRAW.

Hampir di setiap rumah penduduk terdapat tanduk rusa yang menghiasi dinding rumahnya, sebab tanduk jonga merupakan hiasan terbaik kala itu bagi orang Moronene Hukaea Laea, Kabupaten Bomabana.

Bila mana ada tamu datang dari luar daerah, masyarakat seringkali memberi oleh-oleh tanduk jonga bahkan jonga yang masih hidup.

Saya masih ingat sewaktu kelas 4 SD tahun 2005 dan masih berumur 10 tahun, ayah mengajak saya naik gunung. Waktu itu ayah masih Pu’u Tobu (kepala kampung) Hukaea laea.

Suatu pagi, kami berangkat menuju kaki Gunung Taunaula yang berada di bagian barat wilayah adat Hukaea Laea untuk melihat cara memburu jonga seperti yang dilakukan oleh leluhur kami secara turun-temurun, dan masih kami pertahankan hingga saat ini.

Pada saat itu, saya melihat jonga begitu banyak sedang berjalan berkelompok di hamparan savana yang luas, sembari memakan alang-alang muda yang tumbuh di savana.

Jonga atau rusa bertanduk panjang

Tetapi seiring waktu terus berputar dan tahun demi tahun berlalu, keindahan yang terlihat hari itu, kini hanya menjadi kenangan. Itulah terakhir kalinya saya melihat jonga-jonga yang besar-besar dan bertanduk panjang sebanyak itu.

Sebab para pemburu liar datang dan menyusup ke wilayah adat kami, lalu menjarah semua hewan buruan yang ada, bahkan membakar alang-alang di savana yang luas itu.

Bukan itu saja, mereka juga sering kali merusak dan menebang tanaman obat yang ada di dalam hutan yang dibutuhkan oleh warga kampung untuk menyembuhkan orang yang sakit.

Sejak itu, habitat jonga pun terancam karena sering diburu secara liar dan serampangan. Populasi jonga nyaris punah di wilayah adat Masyarakat Adat Hukaea Laea. Padahal sudah bertahun-tahun para leluhur Suku Moronene mbue-mbue periou (orang dulu) menjaga kelestarian alam beserta satwa yang ada di dalamnya.

Karena alamlah yang memberi mereka kehidupan, maka pantas pula alam untuk dijaga, dan lindungi serta dilestarikan.

Mereka punya tata cara atau kearifan lokal yang harus dipatuhi. Contohnya mereka hanya membolehkan berburu pada waktu-waktu tertentu dan sangat melarang keras memburu jonga betina yang sedang bunting apalagi membunuhnya.

Tidak lupa pula, Masyarakat Adat mempunyai hukum adat yang wajib dipatuhi serta ditaati di kampung tersebut.

Ketika melanggar hukum adat tersebut, maka si pemburu akan diberikan sanksi sosial yang harus di patuhi. Contoh sanksinya yaitu minimal membersihkan seluruh balai adat atau membayar denda.

Ada yang menganggap bahwa sebagian besar jonga-jonga itu menghilang secara gaib. Ada juga yang menganggap jonga-jonga tersebut nekat menyeberang laut ke arah pulau Muna demi menjaga kelangsungan hidupnya.

Walaupun populasinya hampir punah, Masyarakat Adat masih tetap berburu. Sekalipun harus bermalam-malam tinggal di hutan, mereka akan lakoni demi mendapatkan jonga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Ketika hewan buruan yang diburu masih hidup, maka akan dijadikan hewan piaraan dan dirawat hingga beranak pinak.

 

Juminal Noviansyah, Pemuda Adat Moronene, anggota BPAN

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish