Kisah Kedaulatan Pangan Osing: Panen Pertama Untuk Tetua

Mbah Wari adalah Pemangku Adat Wadon asal Komunitas Adat Osing Cungking yang mengurusi makanan untuk ritual dan segala perlengkapanya. Rabu, 31 Maret 2021 ia dikunjungi oleh pemuda-pemudi adat, perempuan adat, dan Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi. Mereka membawakannya kangkung segar yang baru dipanen. Kangkung tersebut merupakan tanaman hasil panen perdana program kedaulatan pangan yang mereka kelola.

Mbah Wari menerima kangkung yang diserahkan oleh Venedio N. Ardisa

Program kedaulatan pangan ini sudah dilakukan sejak bulan November 2020. Dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Komunitas Adat Osing Kenjo, Cungking, Andong, Mondoluko, dan Pesinauan Sekolah Adat Osing. Anggota BPAN dari Komunitas Adat Osing Kemiren, Andong, Mondoluko, Bakungan, Cungking, Kenjo bersama dengan pengurus Sekolah Adat ‘Pesinauan’ Osing menjadi pelaksana kegiatan.

Program kedaulatan pangan yang mereka lakukan mencakup penanaman pangan lokal, peternakan, dan perikanan. Tujuan utamanya untuk memperkuat lumbung pangan masyarakat adat.

“Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperkuat lumbung pangan Masyarakat Adat, serta untuk memastikan ketersediaan pangan dan air bersih yang cukup di wilayah adat. Melalui penanaman tanaman pangan lokal, peternakan, dan perikanan,” ujar Venedio Nala Ardisa. Ia adalah pemuda adat Osing. Dalam struktur kepengurusan BPAN Daerah Osing, ia menjabat sebagai Sekretaris.

“Jadi panen pertama kita bagikan kepada ketua adat dan kepala desa sekitar sekolah adat,” tutur Venedio.

Di grup aplikasi Whatsapp (WA) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Venedio membagikan beberapa kegiatan kedaulatan pangan mereka. Dari foto yang diunggahnya, ia dan orang-orang di foto tersebut nampak bahagia. Mereka berpose sambil memegang kangkung dengan senyum penuh rasa gembira. Hari dimana ia membagikan foto tersebut, rupanya menjadi hari penuh sukacita bagi Komunitas Adat Osing. Hari itu, mereka panen perdana sayur kangkung.

Kangkung yang baru dipanen disiapkan untuk dibagikan oleh pemuda-pemudi adat, perempuan adat, dan Sekolah Adat Pesinauan Osing

Kankung yang dipanen, mereka bagikan kepada para Tetua Adat di Osing dan beberapa Kepala Desa di sekitarnya. Pembagian kangkung ini pun mereka abadikan dalam foto yang dibagikan oleh Venedio di grup WA BPAN.

Venedio kemudia menjelaskan orang-orang yang ada di dalam foto yang mendapat kehormatan menerima hasil panen perdana mereka.

“Untuk yang difoto itu ada Ketua Adat Komunitas Adat Osing Kemiren, Bapak Suhaimi. DAMANDA PD AMAN Osing dari Komunitas Adat Osing Olehsari, Bapak Sunardi. Kepala Desa Kemiren, Bapak Mohamad Arifin. Istri Kepala Desa Olehsari, Pemangku Adat Wadon Komunitas Adat Osing Cungking, Mbah Wari, dan Mak Sus salah satu Perempuan Adat Komunitas Adat Osing Kemiren yang  mengajarkan kami terkait kegiatan bercocok tanam di kegiatan ini,” paparnya.

Ditambahkan Venedio, kankung yang mereka tanam juga dipanen untuk dimakan bersama, setelah kegiatan rutin Komunitas Adat Osing Cungking.

“Jadi di Komunitas Adat Osing Cungking kita rutin nyapu setiap kamis di pesarean Buyut Cungking, leluhur yang dituakan di Cungking. Jadi hasil panenya bisa dimasak dan  dimakan di hari kamis setelah nyapu,” ucapnya.

Kedaulatan pangan menjadi salah satu aspek penting dari masyarakat adat. Salah satunya bercocok tanam. Ini yang kemudian disadari oleh pemuda-pemudi adat Osing untuk dipelajari dan dilakukan sendiri oleh mereka.

“Kegiatan ini kami laksanakan karena pemuda dan pemudi perlu belajar bercocok tanam agar ketika orang tua kita sudah tiada kita sudah mahir untuk membudidayakan tanaman serta mengajarkan pola tanam tradisional,” ungkap Venedio.

Penulis: Kalfein Wuisan

Peparian: Motor Kedaulatan Pangan Talang Mamak

Sepenggal Cerita dari Panen Padi Masyarakat Adat Anak Talang

Para pemudi adat nampak riang. Di wajah mereka terpancar rasa bahagia. Mereka berdiri di antara padi yang sudah menguning. Tangan mereka, sibuk memetik tangkai-tangkai padi yang berisi.

Begitupula para ibu, para perempuan adat yang bersama mereka. Di tangan mereka ada tuai (alat untuk memanen padi). Mereka sibuk menuai padi, sambil mengajarkan pengetahuan itu kepada para anak perempuan yang ikut panen. Tradisi tranfer pengetahuan ini merupakan khas Masyarakat Adat Talang Mamak. Panen, belajar, dan bergembira, itu yang melekat di diri mereka. Hari itu, Minggu (14/02/2021), kebahagiaan mereka begitu terasa.

Mentari terik pun tak mampu membendung sukacita mereka dalam menikmati berkat, hasil mengolah tanah leluhur Talang Mamak. Mereka menuai padi dengan penuh gembira sambil menaikkan syukur kepada Sang Pencipta.

Sudah dua minggu lebih, sejak awal Ferbuari, Masyarakat Adat Anak Talang, Suku Talang Mamak melaksanakan panen Padi. Tradisi ini dalam bahasa Talang Mamak disebut ‘Menuai’. Tradisi menuai merupakan proses panen padi secara tradisional. Para pemuda dan pemudi adat menjadi orang yang paling berperan di dalam tradisi menuai.

Masyarakat Adat Talang Mamak memang sangat berhubungan erat dengan ladang. Dalam bahasa Talang Mamak, talang berarti ladang.

Menurut Supriadi Tongka, menanam padi merupakan bagian dari sejarah Talang Mamak.

 “Talang artinya ladang. Selain itu, padi juga digunakan untuk ritual adat serta memenuhi kebutuhan pangan orang Talang Mamak. Karena itu, Masyarakat Adat Talang Mamak tidak bisa dipisahkan dari berladang menanam padi”, ungkap pemuda adat Talang Mamak ini.

Supriadi Tongka

Di tengah kesibukannya sewaktu menjabat sebagai Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Indragiri Hulu periode 2016-2019, Supriadi juga sibuk berladang. Usai menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua, ia semakin fokus berladang. Ladangnya, ia tanami sekitar 3.000 pohon pisang dari berbagai jenis. Selain itu, ada juga tanaman obat-obatan seperti kunyit, jahe, dan lain sebagainya.

Kini, ia sedang menikmati panen padi di ladang keluarga mereka. Selain anggota keluarga, para pemudi, perempuan adat, dan masyarakat yang berladang di sekitar ladang mereka datang membantu memanen padi. Kerja saling bantu-membantu ini dalam bahasa Talang Mamak disebut Peparian.

“Kata Peparian ini digunakan dalam hal gotong royong, bantu-membantu. Misalnya, hari ini panen di ladang saya. Selesai ladang saya, baru bantu panen di ladang yang lain. Tapi kalo misalnya membuat rumah, hanya satu rumah saja dikerjakan, itu tetap disebut gotong royong bukan peparian,” tutur Supriadi.

Peparian menjadi motor penggerak aktivitas kedaulatan pangan Masyarakat Adat Talang Mamak. Peparian menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat Talang Mamak.

Peparian saat Menuai

Di musim panen ini, ladang milik keluarganya merupakan salah satu dari beberapa ladang yang diusahakan oleh Masyarakat Adat Anak Talang. Luas ladang yang digarap oleh satu kepala keluarga kurang lebih setengah hektar. Sementara itu, ada sekitar 15 keluarga yang berladang atau berbanjar (berkelompok) di dekat ladangnya.

Proses menugal (menanam) sampai pemanenan masih dilakukan dengan cara tradisional dan melalui ritual. Ladang biasanya digarap sendiri-sendiri oleh masing-masing keluarga. Tapi, pada waktu tertentu, misalnya saat Menuai, mereka bekerja bersama, Peparian. Proses menugal sampai menuai membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.

Padi yang mereka tanam umumnya merupakan padi lokal. Padi ini sudah ditanam secara turun-temurun. Dalam bahasa Talang Mamak nama-nama padi tersebut yakni Padi Gading Godang (besar), Padi Sabak, Padi Anak Jalai, dan padi Alus (kecil).

Dijelaskan Supriadi, tujuan menanam padi, selain memenuhi kebutuhan pokok, juga untuk menjaga tradisi dari leluhur. Padi juga digunakan orang Talang Mamak untuk ritual.

“Hasil dari panen untuk kebutuhan pokok serta untuk ritual setelah panen yang disebut orang Anak Talang ‘membuat ubat ikut taun kepalo taun’,” jelasnya.

Panen menjadi proses yang paling ditunggu setelah melewati berbagai tantangan sejak proses menanam. Di Talang Mamak sendiri, cuaca dan gangguan binatang liar dan hama tanaman menjadi tantangan terbesar dalam berladang. Misal, seperti yang dialami Supriadi.

“Tantangan-tantangan yang kami hadapi antara lain seperti serangga, burung, dan yang paling mengancam adalah tidak menentunya musim kemarau dan penghujan yang berdampak pada hasil panen,” imbuhnya.

Bagi Supriadi dan seluruh Masyarakat Adat yang berladang, tantangan-tantangan seperti itu biasa terjadi. Namun, tidak menuyurutkan niat ataupun semangat mereka untuk berladang karena ladang adalah identitas orang Talang Mamak.

DI tengah pandemi Covid-19, berladang padi menjadi bagian dari upaya kedaulatan pangan Masyarakat Adat Talang Mamak. Menurut Supriadi, dengan berladang menanam padi, kebutuhan pangan mereka dapat teratasi. Selain itu, berladang menjadi usaha untuk mempertahankan tradisi leluhur supaya tidak hilang.

“Ini bagian dari kedaulatan pangan karena dengan berladang dapat membantu kita keluar dari krisis pangan. Apalagi situasi Covid-19 yang melanda dunia ini. Dan yang terpenting kita bisa berdalulat atas pangan tanpa diatur oleh pihak luar”, tutupnya.

Berladang menjadi senjata, menjadi metode Masyarakat Adat Talang Mamak menjaga wilayah adatnya, menjaga identitasnya. Berladang adalah identitas mereka. ‘Talang’ berarti ‘ladang’.

Penulis: Kalfein Wuisan

Panen Buung di Batin Beringin Sakai

“Sudah 1 minggu masyarakat adat Batin Beringin Sakai dan pemuda-pemudi adat Batin Beringin Sakai panen padi Bang,” tutur Ismail Dolek. Ia begitu riang. Kegembiraannya meluap karena padi mereka sudah dipanen.

Ismail adalah ketua kelompok program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia dan pemuda adat Sakai mulai menikmati hasil program kedaulatan pangan yang mereka mulai sejak 1 Agustus 2020.

Ismail Dolek

Menurut Ismail, program kedaulatan pangan ini bertujuan untuk menaikan ekonomi Masyarakat Adat Sakai. Selain itu, di masa pandemi ini, tanaman yang mereka tanam menjadi sumber vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh.

Semangka yang ditanam sebagai bagian dari Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat Sakai

Bulan Desember 2020, ia dan para pemuda-pemudi adat Sakai yang tergabung dalam kelompok kedaulatan pangan, melaksanakan panen terakhir buah semangka.

Kini, 2 bulan sejak panen semangka terakhir, padi yang ditanam pada bulan Oktober 2020, sudah dipanen. Sabtu, 6 Ferbuari 2021, tepat seminggu mereka bergotong royong memanen padi di wilayah adat Batin Beringin Sakai/Suluk Bongkal.

“Kami bergotong royong, bekerja. Di sini bergotong royong, namanya Besolak”, ucap Dolek.

Menurutnya, Besolak menjadi seperti jantung dalam program kedaulatan pangan Sakai. Ia menjadi motor yang menggerakkan kerja bersama Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai.

Setiap hari, sebelum matahari naik tinggi, mereka sudah bekerja. Riang dan gembira menjadi suasana yang mereka rasakan setiap hari. Semua orang turut terlibat. Ketua Adat Batin Beringin Sakai, pemuda-pemuda adat, dan juga Masyarakat Adat Batin Beringin turut hadir.

Proses panen, diawali dengan ritual. Selanjutnya, mereka mulai mengayun sabit, hingga senja menjelang.

Menurut Ismail, padi yang mereka tanam merupakan padi lokal Sakai.

“Padi yang kami panen, dalam bahasa Sakai disebut padi Buung”, tambah Ismail.

Dalam panen padi kali ini, mereka mendapatkan sekitar 1000 kaleng padi dari lahan seluas 10 hektar. Padi yang dipanen, sebagian dikonsumsi oleh komunitas, sebagian dibagikan untuk anggota komunitas, dan sisanya dijual untuk modal tanam berikut.

Selain padi, Ismail dan para pemuda adat Sakai juga menanam jagung, cabe rawit, dan kacang tanah sebagai bagian dari program kedaulatan pangan.

Sekali lagi, Ismail dan pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, menujukan resiliensi Masyarakat Adat menghadapi pandemi covid-19.

Penulis: Kalfein Wuisan

Cerita Kedaulatan Pangan dari Flores

bpan.aman.or.id – Adrianus Lawe nampak sibuk. Hari itu, Jumat (11/12/2020), menjadi begitu penting. Ia dan anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Flores Bagian Timur (FBT) memulai lagi satu program baru dalam gerakan kedaulatan pangan. Beternak babi.

Di hari itu pula, belasan ekor babi langsung disalurkan ke anggota BPAN FBT dan kelompok kedaulatan pangan.

“Dalam program gerakan kedalautan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat, BPAN FBT memiliki  dua usulan kegiatan yaitu ternak babi dan kebun sayur. Berkaitan dengan ternak babi, BPAN sudah menyalurkannya ke 30 anggota”, tutur Adrianus selaku Ketua BPAN FBT.

Menurutnya, BPAN FBT menyiapkan 15 ekor babi berumur 1 tahun untuk diternak. Babi-babi tersebut kemudian dibagikan ke anggota BPAN FBT untuk dipelihara. Setiap dua orang anggota berkewajiban memelihara 1 ekor babi.

“Semua anggota hadir di sekretariat bersama, kemudian kita bagikan ke 30 orang itu. Sebetulnya kita punya kandang kelompok, hanya saja kondisi kandang yang tidak menjamin di musim hujan, makanya kita serahkan ke anggota dulu, dua orang 1 babi,” ujar Adrianus.

Ternak babi dipilih karena beberapa alasan. Pertama, ternak babi memiliki nilai ekonomis tinggi. Kedua, babi merupakan jenis binatang yang sangat dibutuhkan dalam ritual adat PATIEA (acara syukuran atas panen dan pengantaran arwah leluhur). Ritual ini diadakan setiap tahun dan biasanya kebutuhan akan ternak bisa mencapai 5-6 ribu ekor.

Adrianus menjelaskan bahwa selain beternak babi, BPAN FBT sudah membuka kebun sayur dan kebun padi seluas 1 ha. Ini untuk membantu pemuda adat dalam mempertahankan pangan lokal di komunitas adat Natargahar (Nian Ue Wari Tana Kera Pu).  

Program kedaulatan pangan ini melibatkan anggota BPAN FBT dan komunitas Masyarakat Adat yang ada di Flores yaitu komunitas adat Natargahar dan komunitas Natarmage. Di dalam komunitas meilputi Tana puan (penguasa wilayah adat), kepala-kepala suku, pemangku adat, pelaksana, dan warga adat yang tergabung dalam kelompok ternak maupun kelompok non ternak.

“Program kedaulatan pangan ini melibatkan 30 orang anggota BPAN FBT, 87 orang Masyarakat Adat Komunitas Natargahar, dan 505 Masyarakat Adat Komunitas Natarmage,” ucapnya.

Andrianus juga menjelaskan proses memulai gerakan kedaulatan pangan bersama BPAN FBT. Ada beberapa tahap yang mereka lakukan. Tahapan ini merupakan pokok gerakan kedaulatan pangan.

“Program kedalautan pangan ini bisa berjalan, dimulai dengan pertemuan pengurus BPAN, kemudian merencanakan untuk musyawarah adat/ pertemuan kampung, penggalian profil komunitas, pembuatan peta sketsa wilayah adat di komunitas adat Natargahar dan komunitas adat Natarmage,” jelas Andrianus.

Adrianus rupanya sadar betul tentang pentingnya kedaulatan pangan Masyarakat Adat, bahkan dimasa pandemi seperti ini. Kedaulatan pangan menjadi cara untuk meningkatkan ekonomi dan mempertahkan pangan lokal.

“Program kedalautan pangan ini sangat penting karena dapat membantu masyarakat dalam memperthankan pangan lokal dan meningkatkan ekonomi Masyarakat Adat dan terkhusus pemuda adat di situasi pandemi Covid-19,” ungkap Adrianus.

Sebagai pemuda adat, Adrianus sadar bahwa kedaulatan pangan menjadi bukti konkrit keterhubungan Masyarakat Adat dengan wilayah adatnya. Gerakan kedaulatan pangan menjadi cari yang efektif mendekatkan pemuda adat dengan wilayah adatnya.

“Kedaulatan pangan menjadi pemantik bagi pemuda adat untuk kembali ke kampung mengurus kebun, mengurus mata air, mengurus hutan adat, mengurus semua sumber daya yang di titipkan leluhur dalam kesatuan wilayah adat”, tegasnya.

Ditambahkannya, ke depan BPAN FBT akan melakukan sosialisasi ke semua komunitas di Flores Bagian Timur yang meliputi Kabupaten Sikka, Flores Timur, Lembata, dan Alor. Tujuannya supaya program kedaulatan pangan betul-betul dirasakan oleh semua masyarakat di komunitas adat masing-masing.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish