RUU Masyarakat Adat Tak Berbelit

RUU Masyarakat Adat merupakan Rancangan Undang-Undang yang memang disiapkan oleh masyarakat adat untuk menjadi satu payung hukum tersendiri sebagai satu cara untuk mempercepat kesejahteraan sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. RUU ini dari sisi substansi akan menjadi UU yang paling ringkas, tidak berbelit-belit seperti yang lain.

Hal itu disampaikan Direktur Advokasi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Erasmus Cahyadi ketika AMAN melakukan audiensi ke Fraksi Partai Demokrat, Rabu (26/10) di Senayan, Jakarta. RUU ini hanya terdiri dari 14 bab dan 48 pasal. Kemudian terdapat dua bab kunci yaitu mengenai Tata Cara Pendaftaran Masyarakat Adat dan terkait Resolusi Konflik.

Dalam audiensi yang diterima langsung oleh Edhie Baskoro Yudhoyono, M. Sc. alias Ibas itu, Eras menyampaikan beberapa poin penting terkait perlunya RUU ini disahkan secepatnya. Salah satu poin penting yang disampaikan yakni bahwa UU Masyarakat Adat ini nantinya perlu memerintahkan UU sektoral lain agar menyesuaikan diri terhadap UU ini.

“Pengalaman di lapangan, kami sudah mendorong proses Perda Masyarakat Adat di lima provinsi dan 55 kabupaten, namun kerap menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan kebijakan nasional yang berbelit-belit,” ujarnya.

Sebenarnya di negara hukum ini, ada banyak UU atau peraturan yang sifatnya multisektor, namun tak satu pun yang secara khusus dan tegas melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Yance Arizona dari Epistema Institute menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang serius memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Senada dengan Yance, Deputi II PB AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa proses politik di DPR RI belum memastikan RUU Masyarakat Adat sebagai bahasan yang urgen.

Sejak 2014, AMAN telah mengajukan draft Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, baik kepada DPR maupun Presiden RI. Namun masih gagal masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Setahun berselang (2015), AMAN lanjut mendorong RUU Masyarakat Adat untuk kemudian ditetapkan menjadi UU Masyarakat Adat. Kali ini, DPR dan pemerintah tetap setia untuk mengulur-ulur waktu. Tak berhenti sampai di situ, organisasi masyarakat adat itu kembali mendesak DPR RI agar memasukkan RUU Masyarakat Adat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Miris, DPR masih seperti biasa tuli mendengar aspirasi rakyat. Di sisi lain, AMAN mencoba masuk melalui jalur eksekutif. Hasilnya: nihil.

Perjuangan meski panjang, tapi sifatnya tetap sama: pantang mundur apalagi padam. Masyarakat adat melalui AMAN terus mendesak DPR dan Pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Salah satunya lewat pendekatan persuasif kepada fraksi-fraksi di DPR RI.

Di akhir audiensi, Ibas mengutarakan akan tetap konsisten mendukung RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan.

[Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat: Gerakan Kolektiva Terperlu Penopang Indonesia

Jakarta – Pemilik pertama nusantara ini adalah lembaga-lembaga adat. Adapun lembaga-lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat adat yang sudah ada di nusantara, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Demikian penjelasan Prof. Thamrin Amal Tomagola dalam orasi ilmiahnya pada acara Simposium Masyarakat Adat dalam memperingati tiga tahun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 di Aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Senin (16/5/2016).

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu menyebutkan terdapat lima lembaga dominan yang ada di negara Indonesia. Pertama, lembaga-lembaga adat yakni yang sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia sekaligus yang merupakan pemilik nusantara. Kedua, lembaga-lembaga agama. Lembaga-lembaga agama tersebut merujuk pada agama alam atau agama leluhur dan agama impor.

“Sedihnya, negara Indonesia justru hanya mengakui agama-agama impor. Agama leluhur, untuk sekadar dicantumkan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun bukan main susahnya,” ujarnya.

Ketiga, lembaga negara. Keempat lembaga-lembaga bisnis dan kelima, lembaga-lembaga civil society. Menurutnya, lembaga-lembaga pertama dan kedua sudah sulit dipisahkan. Keduanya sudah saling berkelindan, saling terikat. Hal ini misalnya yang paling kentara bisa dilihat di Sumatera Barat dan Aceh. Jadi sudah saling menyatu.

Sementara itu, lembaga yang berada di urutan ketiga dan keempat juga sudah bersekutu. Lembaga bisnis dan negara sudah “tidur seranjang”. Seperti umum terjadi bahwa negara menyediakan ruang selapang-lapangnya kepada korporasi untuk berinvestasi. Misalnya sebuah perusahaan A hendak membangun suatu usaha di sekitar hutan, maka negara menyediakan regulasi yang diperuntukkan mengamankan jalannya investasi, tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat di sekitar hutan. Ini yang disebut kong kali kong. Setubuh untuk merampas tanah, seringnya tanah adat, untuk dijadikan lokasi perkebunan atau industri dan sebagainya.

“Saat ini kedaulatan berada di tangan modal dan pemodal,” tambahnya.

Selanjutnya, dalam orasi ilmiahnya, ia menutup, “Jika Negara Tidak Mengakui Masyarakat Adat, Masyarakat Adat Tidak Mengakui Negara”.

[Jakob Siringoringo]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish