bpan.aman.or.id – Sebuah truk besar terparkir di kebun Komunitas Adat Sakai. Di sampingnya ada ribuan kilogram semangka yang menggunung. Beberapa pemuda pemudi dan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai nampak di sekitarnya.
Sabtu (6/12/2020) menjadi kali kedua truk tersebut datang. Ia dipakai untuk mengangkut hasil panen buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Sakai. Ini merupakan panen kedua.
Menanam semangka menjadi salah satu bagian dari program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Program ini dikelola secara bersama. Pemuda pemudi adat menjadi penggeraknya.
“Kami panen lagi”, ucap Ismail Dolek begitu bahagia.
Ismail adalah ketua kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia bergerak bersama anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai.
“Buah semangka ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Sakai, untuk menaikan ekonomi masyarakat adat dan meningkatkan sumber vitamin dan memperkuat daya tahan tubuh demi menghadapi masa covid19” tutur Ismail.
Panen pertama, mereka menghasilkan 4.298 kg semangka. Kini di panen kedua mereka menghasilkan 6.220 kg semangka.
Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.
Ismail dan kawan-kawan pemuda adat sedang bahagia. Ini adalah bahagia kedua. Bahagia mereka tentu masih akan berlanjut. Menikmati hasil usaha mengolah tanah. Membuktikan kedaulatan pangan Masyarakat Adat di tengah pandemi.
Ia lantas melanjutkan aktivitasnya. Mengayun parang. Menebas rerumputan. Membuka lahan untuk diolah bersama-sama. Menujukkan bahwa kedaulatan pangan ada di tangan pemuda adat.
Aktivitas seperti menyiangi kebun, menanam, dan semua aktivitas bertani sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini pun bukan hal baru bagi sebagian kawan yang bekerja bersamanya.
Aktivitas”bakobong” atau berkebun, baginya dan teman-temannya tidak seperti sebagian tokoh publik ataupun oknum politisi yang menjadikannya sebagai bagian dari pencitraan politik. Oknum-oknum ini mempolitisasi ‘berkebun dan bertani’ hanya demi meraup suara, apalagi di musim pilkada seperti ini.
Tinggal di kampung menjadi sebuah kebanggaan. Menjaga kampung, mengolah tanah, menjadi anak petani, dan menjadi petani. Ini yang sebagian pemuda Ro’ong Wuwuk pahami. Mereka sudah sejak lama berkerja bersama. Mapalus dan Sumembong menjadi kearifan Minahasa yang menggerakkan mereka.
Terlahir dari keluarga petani dan besar sebagai petani, membuat mereka mampu mengerjakan banyak hal. Semua pengetahuan itu di dapatkan di kampung.
Beberapa dari mereka telah menamatkan pendidikan Strata Satu, lainnya menyelesaikan SMA. Status pendidikan, tidak membuat mereka kehilangan pijakan dengan tanah. Malah ini membuat ikatan dengan kampung menjadi kuat. Tesis mengenai “bersekolah memutuskan hubungan dengan kampung, dengan tanah” tidak berlaku di sini. Mungkin di tempat lain. Orang-orang ini sangat terbuka dengan modernitas, termasuk pendidikan modern dan update teknologi terbaru. Mereka bersekolah dan juga berkebun. Di sela-sela istirahat di kebun, mereka bermain game, bermedia sosial, dan berselancar di internet untuk membaca informasi serta pengetahuan tentang banyak hal. Semangat ini ada dalam spirit Mawale. Mawale atau Kesadaran Kembali ke Kampung atau membangun rumah menjadi kesadaran dan ideologi kultural yang dihidupi. Bersekolah dan bekerja di luar kampung, membuat mereka mesti terus terhubung dengan kampung untuk mengisi dan melengkapi ‘sesuatu’ yang tidak lengkap di kehidupan mereka. Kesadaran ini juga makin dipertegas usai mereka berbagi bersama di Sekolah Mawale yang diadakan di Wuwuk tahun 2011.
Selama ini mereka hidup mengolah tanah dengan bertani secara individu maupun kolektif. Secara kolektif mereka bersama saling membantu. Baik bekerja bersama orang tua di kebun, maupun bekerja bersama dengan kawan mengolah tanah. Kekuatan kerja kolektif ini di Minahasa disebut Mapalus. Selain itu, kearifan lain yang digunakan yaitu Sumembong atau baku tulung, saling membantu tanpa pamrih.
Kesadaran kultural inilah yang dipahami dan dihidupi oleh Farino Regar, Valentino Rompas, Clief Rumengan Clief,, Harly Wuisan Iroth, Petra Rondonuwu, Lisah Rumengan, dan Aldi Egeten serta sebagian besar kawan orang muda di Ro’ong (kampung) Wuwuk. Mereka juga adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Pengurus Daerah (PD) Minahasa Selatan (Minsel). Bukti konkrit kesadaran kultural mereka yaitu mereka membuka Lahan Kebun yang baru untuk dikelola bersama.
Kamis, 24 September 2020 yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN), mereka jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menunjukkan kesadaran kulturalnya tentang bakobong. Upaya mereka ini, juga menjadi bagian dari perayaan HTN 2020 bersama seluruh petani, aktivis, LSM dan NGO di seluruh nusantara. Mereka memilih membuka lahan, memasak dan makan bersama kuliner Minahasa menjadi bentuk acara perayaan HTN.
Inong, begitu sapaan akrab Farino Regar. Rabu malam, 23 September 2020, ia dan beberapa kawan sudah berkumpul di rumah Allen Rompas. Malam itu seperti malam yang lain. Usai bekerja seharian di kebun dan kerja bangunan, mereka berkumpul. Berbincang, bercanda, melepas lelah sambil main game atau berselancar di internet menjadi aktivitas rutin tiap malam. Namun, di malam itu mereka berkumpul mendiskusikan agenda bersama pada keesokan harinya di momen HTN.
“Jadi bagaimana ?”, tanya Inong.
“Besok torang somo mulai babuka Kobong neh. Pas Kote Lei besok Hari Tani Nasional. Torang somo buka Allen pe Kobong, Kong Torang momasak kuliner Minahasa Kong makang bersama”, tutur Aldi Egeten, Ketua BPAN PD MINSEL.
Mereka sedang membicarakan upaya untuk mengolah kebun secara bersama sebagai bagian dari gerakan kedaulatan pangan masyarakat adat. HTN menjadi momentum yang tepat. Cocok dengan rencana mereka yang sudah lama. Walaupun, mereka juga selama ini sedang mengurus kebun masing-masing.
“Ok. Besok mulai pagi Jo”, sambung Allen.
Mereka mulai membagi tugas. Membahas secara mendalam apa yang akan dilaksanakan.
“Besok pagi, nanti qta Deng Kale yang pigi pasar. Mobabelanja voor mo masak. Tamang2 laeng basiap jo pigi kobong kamuka”, ucap Lisah. Ia perempuan muda Wuwuk yang sangat bersemangat dengan hal-hal seperti ini.
Malam semakin larut, menutup diksusi mereka. Besok hari ada aktivitas besar di momen penting yang harus mereka jalani.
Sebelum matahari naik tinggi, keesokan harinya, mereka sudah siap. Usai berkumpul di rumah Allen mereka menuju kebun bersama. Hari itu, mereka meninggalkan pekerjaan pribadi dan memberikan waktu penuh untuk kerja bersama.
Kebun milik Allen adalah kebun pertama yang akan mereka olah bersama. Letaknya di ujung kampung. Sekitar 500 meter, di sebelah kiri jalan raya. Kebun tersebut di dalam bahasa Minahasa jenisnya ‘Katanaan(g)’. Di sana akan ditanam Jagung dan rempah-rempah.
Di hari tersebut, mereka membuka lahan secara bersama. Stelah itu, mereka memasak dan makan kuliner Minahasa bersama. Sambil merayakan HTN 2020.
Kebun kedua yang mereka garap merupakan kebun sawah. Di sana mereka akan memelihara ikan Pongkor atau ikan mas. Telaga yang mereka olah kembali sebelumnya sudah tidak diolah. Selain ikang Pongkor, mereka juga berencana menguatkan kedaulatan pangan dengan memelihara babi dan ayam.
Berkebun sudah menjadi aktivitas sehari-hari mereka. Itu telah dihidupi berpuluh tahun, sejak mereka kecil. Keluarga, orang tua, dan teman menjadi guru. Alam menjadi sumber belajar dan sumber kehidupan.
‘Membaca buku alam” menjadi salah satu landasan pengetahuan kultural mereka tentang bakobong dan tentang hidup di kekinian.
bpan.aman.or.id – Pandemi COVID-19 menyebabkan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintahan dan non pemerintahan diliburkan dan diganti secara daring.
Anak-anak muda yang sedang kuliah di luar daerah atau bersekolah di luar komunitas terpaksa pulang kampung atau menetap di rumah saja. Gaya hidup anak-anak muda pun berubah drastis.
Termasuk saya juga kembali ke kampung untuk bertani dan beternak. Dan ini merupakan pekerjaan yang menyenangkan.
Sebelum wabah pandemi, saya banyak bekerja di luar komunitas untuk memperluas pengorganisiran dan pengorganisasian pemuda-pemudi adat.
Pandemi Cov-Sars 2 yang melanda dunia memang begitu memporakporandakan kehidupan rakyat. Ia menyebabkan 561.617 orang meninggal dunia (data per 13 Juli), hingga ancaman krisis pangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini akan berakhir.
Meskipun jarak Makassar ibukota Sulawesi Selatan ke komunitas adat Barambang Katute, Sinjai tempatku pulang kampung sekitar 220 kilometer, kami terus berusaha membangun solidaritas antarpetani dalam menjaga ketersediaan pangan.
Saat orang-orang di kota menyerukan di rumah saja, sebaliknya anak-anak muda di kampung justru turun bertani. Hal ini dikarenakan kampung atau komunitas-komunitas adat umumnya melakukan karantina bermartabat sesuai instruksi Sekjen AMAN. Karantina wilayah adat yang terjamin memastikan warga adat termasuk pemuda adat dapat turun ke sawah, ladang, hutan dan laut beraktivitas seperti biasa.
Karena itu, dengan bertani dan beternak para pemuda adat justru semakin solid dalam mengorganisir diri. Di bulan keempat pandemi ini, banyak hal yang dilakukan pemuda adat Barambang Katute untuk menjadi barisan terdepan perihal pangan di komunitas adat.
Membuat kebun kolektif
Dari sebuah lahan kosong seluas setengah hektar, kami membuat sebuah kemplok pertanian secara kolektif. Walaupun lahan seluas ini belum bisa menampung semua anak muda di komunitas adat Barambang Katute, tapi beberapa di antaranya sudah terlibat aktif dalam proses pengusahaannya.
Lahan kolektif ini dikelola 10 orang anak muda, lima di antaranya berasal dari komunitas adat Barambang Katute, termasuk saya. Di lahan setengah hektar, sejak awal Maret kami tanami berbagai tanaman jangka pendek, seperti cabai sebanyak 2.000 batang yang dalam waktu dekat akan mulai panen raya.
Kemudian sisa dari lahan kolektif yang dipinjam selama 10 bulan sejak Maret hingga Desember itu digunakan untuk menanam ubi jalar yang saat ini sedang berproses pengolahan tanahnya dan menuju masa tanam di pertengahan Juli yang kalau berproses dengan baik maka diprediksi akan panen antara September dan Oktober.
Membangun pusat pelatihan pertanian
Pembelajaran pertama yang dapat dipetik dari pandemi COVID-19 ini khususnya di anak-anak muda yaitu bahwa petani-petani di kampunglah yang paling berdaulat atas pangannya. Dari pembelajaran sesederhana itu tercipta kesadaran di kalangan anak muda bahwa sumber pengetahuan sesungguhnya ada di kampung apalagi tentang pertanian dan mengelola sumber daya alam.
Namun, karena para pemuda adat tidak terorganisir dengan baik, maka pengetahuan itu hilang digantikan dengan pengetahuan modern yang berbiaya mahal, tidak ramah lingkungan dan membuat mereka semakin jauh dari kampung.
Atas kondisi itulah, maka kami bersepuluh berpikir tentang metode pengorganisiran pengetahuan-pengetahuan lokal dan memproduksi ilmu kesadaran pulang kampung dengan kesadaran kolektif. Lantas alasan tersebut membuat kami berencana membangun pusat pelatihan pertanian. Adapun modelnya kelak, karena ini bagian dari rencana panjang anak-anak muda, akan dibangun dari hasil lahan kolektif. Setidaknya pendiskusian hingga pematangan rencana itu telah selesai di tingkatan anak muda.
Pertanian organik
Disadari atau tidak, pertanian kimia yang mahal, tidak ramah lingkungan dan tidak sehat itu telah menyusup hingga jauh sekali di komunitas adat. Untuk membuat warga komunitas adat secara umum ataupun petani menyadarinya bukanlah sebuah pekerjaan sehari dua hari, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Bagi pemuda adat yang memiliki semangat yang kuat, bukanlah alasan untuk menyerah begitu saja karena pekerjaan itu sangat mungkin dilakukan. Lewat inisiatif bertani secara kolektif tadi, perlahan-lahan semangat pertanian organik dapat dilaksanakan. Paling tidak sudah ada kami 10 pemuda adat yang mulai menerapkan.
Saya berharap, upaya itu kelak menjadi pemantik untuk anak muda lainnya ikut terlibat dan menerapkan pertanian organik. Searah dengan rencana pembangunan pusat pelatihan pertanian itu pula, maka akan dipadukan pertanian organik, pengetahuan Masyarakat Adat hingga pelestarian tanam herbal dan pengorganisasian anak-anak muda di tingkat tapak.
Dari perencanaan di atas baik yang sedang berjalan maupun masih dalam proses, sesungguhnya masih banyak lagi aktivitas yang kami lakukan secara sendiri-sendiri seperti menanam pisang, menanam padi, panen jagung, beternak sapi, menyadap aren, dan masih banyak lagi yang tidak kalah urgen untuk didiskusikan di lain kesempatan.
Semoga kelak kita bersama mencapai kedaulatan pangan kampung yang ramah lingkungan dan para pemuda adat sebangai benteng kedaulatannya.
Indra Congregations Piri , seorang pemuda adat asal kampung Ampreng, Minahasa, Sulawesi Utara. Sehari-hari ia menghabiskan waktu mengolah kebun bersama orangtuanya.
Sebagai anak petani ia bangga dan selalu membantu orang tua mengolah kebun.
Tomat dan Cabai merupakan komoditas yang ditanam di kebun mereka. Selain dua jenis tanaman itu, padi dan mentimun juga menjadi komoditas pilihan yang ditanam para petani di kampung Ampreng.
Di kebun tomat mereka, ada sebuah pondok. Di pondok tersebut ia dan teman-temannya sering berkumpul. Teman-temannya juga kebanyakan anak petani. Mereka sering berkumpul ketika waktu bekerja usai. Pondok di kebun menjadi salah satu tempat mereka berkumpul, selain di rumah Indra.
Indra dan teman-temannya memang aktif mengolah kebun. Baik kebun orang tua mereka, maupun kebun yang mereka kelola bersama.
Mereka menggunakan kearifan lokal Minahasa sebagai metode untuk mengolah kebun. Mapalus dan Ru’kup nama kearifan tersebut.
Metode Mapalus dapat terlihat dari upaya mereka saling membantu dan bekerja bersama. Baik saat mengolah kebun orang tua mereka, maupun kebun mereka bersama. Misalnya, apabila salah satu dari mereka membuka kebun atau saat panen di kebun orang tua mereka, para pemuda yang lain datang bersama bekerja, tanpa dibayar. Begitu juga, ketika tiba giliran anggota lain membuka kebun atau panen, orang yang sudah dibantu tersebut membalas dengan ikut mengolah kebun.
Mereka juga menggarap kebun secara bersama. Biasanya, itu kebun milik orang. Hasil dari kebun, kemudian dibagi sama rata kepada setiap yang terlibat dalam mengolah kebun.
Komoditas yang mereka tanam kebanyakan tomat dan cabai. Selain itu, mereka juga pernah menanam labu dan mentimun. Namun, karena area kebun tidak luas, kebanyakan yang ditanam hanya tomat dan cabai.
Tomat dipilih karena sangat bernilai ekonomis. Selain itu, tomat tidak perlu memerlukan lahan yang luas.
Di musim saat harganya baik, Tomat dan Cabai memang menjanjikan. Seperti yang dituturkan Deddy Milanno Sarayar, seorang pemuda Ampreng, sahabatnya Indra. Seperempat hektar kebun Tomat dapat menghasilkan, sekitar 400 kas/peti/bakul tomat. Beratnya sekitar 20kg. Sementara, saat ini harga per kas/peti/bakul, sekitar 400ribu. Sehingga hasil yang didapatkan dalam sekali mengolah 1/4 hektar kebun tomat, sekitar Rp.160.000.000. Setelah dipotong biaya produksi, maka hasil bersih yang didapatkan sekitar 150 juta rupiah. Dalam setahun, bisa maksimal 3 kali menanam tomat. Bisa dihitung keuntungannya.
Selain tomat, cabai juga menjadi pilihan. Seperempat hektar kebun cabai dapat menghasilkan sekitar 1.000kg. Saat ini harga cabai keriting mencapai Rp.50.000/kg. Sehingga, hasil yang didapatkan dari sekali mengolah kebun cabai, sekitar Rp.50.000.000.
Namun, ketika harga Tomat dan rica anjlok, petani mengalami kerugian. Bahkan tidak balik modal. Namun, mereka sadar bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko.
Upaya para pemuda kampung untuk berkebun yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan mengolah tanah supaya tidak ada lahan tidur. Ketika lahan diolah menjadi kebun, berarti proses kehidupan terus berlanjut. Menurut mereka, mengolah kebun berarti menjaga kehidupan. Mereka percaya bahwa tanah tempat mereka berpijak bisa memberikan kehidupan, di tengah gempuran modernisasi dan menurunnya niat orang untuk berkebun.