RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

 

Pemuda Adat – Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) pada Jumat – Sabtu (17-18/11/2017) menyelenggarakan Rapat Pengurus Nasional (RPN) IV di Kasepuhan Karang.

Persiapan Jambore Nasional (JamNas) menjadi agenda utama, selain membicarakan evaluasi penyelenggaraan organisasi. Jambore Nasional III direncanakan pada akhir Februari 2018. Sampai sejauh ini, persiapan serius mulai dari kesiapan tuan rumah, panitia, kepesertaan hingga pendanaan belum konkret.

Anton Suprianto, DePAN Region Sumatera, dalam rapat menyampaikan agar pembahasan fokus ke persiapan Jamnas. Meskipun mengiyakan pendapat Anton, Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan menambahkan perlunya refleksi kepengurusan selama tiga tahun terakhir.

Banyak perkembangan yang berhasil diraih PN periode 2015 – 2018, namun masih tak terhitung juga program yang belum terlaksana. Refleksi ini mengerucut pada arah komunikasi internal organisasi yang kurang maksimal melalui garis struktur organisasi.

Dari sini kemudian muncul usul untuk membawa diskusi perihal mencermati kembali struktur yang sekarang. Mengadopsi struktur model komunikasi langsung dari wilayah pengorganisasian ke PN sempat menjadi pembahasan alot. Pembahasan ini akan dibawa dan ditawarkan dalam siding-sidang JamNas III.

Mengingat persiapan JamNas masih belum “tancap gas”, RPN IV ini kemudian menyepakati struktur kepanitiaan sementara, khususnya dari Pengurus Nasional. Struktur ini masih akan dikonsultasikan ke AMAN sebagai organisasi induk.

“Karena masih dikonsultasikan dulu, sekarang kita hanya menetapkan ketua aja sama bendahara dulu,” kata Kristina Sisilia, DePAN Region Sulawesi sekaligus Koordinator DePAN.

 

RPN yang bertempat di Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten ini juga membicarakan refleksi, khususnya menyangkut tantangan-tantangan yang dihadapi. Dalam RPN ini dibahas persoalan-persoalan yang dihadapi PN khususnya pelaksana harian yakni Ketua Umum Jhontoni Tarihoran.

Terungkap dalam rapat ini bahwa kendala kebanyakan terjadi di tingkat wilayah dan daerah. Kepengurusan di tingkat wilayah mayoritas jalan di tempat. Sosialisasi atau pun daya jelajahnya belum begitu signifikan.

“Tantangan saat ini: iuran tidak berjalan, sosialisasi belum maksimal, kepengurusan belum berjalan juga. Data anggota pun sulit diperbaharui,” ujar Jhontoni.

RPN yang dilakukan dua kali setahun ini merupakan RPN terakhir di periode 2015 – 2018.

[Media BPAN]

Peringati Sumpah Pemuda, Pemuda Adat Sinjai Deklarasikan BPAN

Janji BPAN
 
Dengan bersaksi kepada Tuhan dan alam semesta
Dan dengan restu para leluhur Masyarakat Adat
 
Saya berjanji
Selalu teguh menjaga dan memelihara titipan leluhur saya
nilai-nilai dan sikap hidup yang luhur
perilaku yang arif
identitas budaya yang kokoh
hukum dan kelembagaan adat yang kuat
wilayah adat dan segala isinya yang lestari
  
Saya berjanji
Merasa senasib-sepenanggungan
dengan sesama Masyarakat Adat di mana pun
Setia membela hak-hak Masyarakat Adat
Menghormati Hak Azasi Manusia
Menjaga bumi
  
Saya berjanji
Mematuhi Statuta Barisan Pemuda Adat Nusantara
dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga AMAN
setia dengan kepemimpinan organisasi
mengabdi kepada cita-cita luhur
Gerakan Masyarakat Adat Nusantara
untuk mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat  
Semoga Tuhan dan para leluhur Masyarakat Adat menolong saya

 

Sinjai (28-29/10/2017) – Siapa yang tidak pernah mendengar Janji Pemuda Adat? Janji Pemuda Adat adalah janji kita sebagai pemuda adat untuk setia bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat. Janji ini sangat mengikat kita sebagai generasi penerus Masyarakat Adat. Di sana jugalah sikap kita sebagai pemuda adat tertera dalam membela Tanah Air kita, Tanah Air Nusantara.

Di seluruh Nusantara bergema Janji Pemuda Adat, seperti yang terbaru di Sinjai, Sulawesi Selatan. Janji Pemuda Adat di Sinjai kali ini dirangkaikan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober. Pemuda Adat yang juga pemuda Indonesia, khususnya Sinjai memperingati Hari Sumpah Pemuda se-Indonesia itu dengan mendeklarasikan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sinjai.

“Dengan membacakan Janji Pemuda Adat secara serentak, disaksikan pemangku adat dalam hal ini Kepala Desa Tompobulu Mahmuddin, deklarasi ini resmi dilakukan,” kata Wahyullah Ketua PD AMAN Sinjai.

Deklarasi pun berlangsung dengan pembentukan struktur Pengurus Daerah (PD) BPAN Sinjai. Indra Lesmana pemuda adat dari komunitas Karampuang mendapat mandat sebagai ketua, Muhammad Agus pemuda adat dari komunitas Turungan sebagai Sekretaris dan Arman pemuda adat dari komunitas Barambang sebagai Bendahara.

Deklarasi yang mengangkat tema “Pemuda Adat Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat” ini mendapat apresiasi penuh dari Mahmuddin. Ia bangga kepada para pemuda adat Sinjai yang memilih tindakan tepat sebagai refleksi nyata dari Sumpah Pemuda.

“Saya sangat apresiasi kegiatan ini. Dan saya harap dari tiga komunitas pemuda adat ini mampu bekerja sama dengan baik mengembangkan potensi yang ada. Apalagi ada aggaran desa yang bisa digunakan untuk pembinaan pemuda,” pungkasnya.

Deklrasi bersejarah ini diikuti para pemuda adat dari tiga komunitas adat di Sinjai: pemuda adat Turungan, Kec. Sinjai Barat, pemuda adat Karampuang, Kec. Bulupoddo dan pemuda adat Barambang, Kec. Sinjai Borong. Peserta yang berjumlah 50-an orang tersebut menjadi bukti betapa pemuda adat benar-benar garda terdepan dalam mengurus wilayah adat.

Marjuli, pengurus pemuda adat Karampuang menambahkan bahwa rencana tindak lanjut akan mengadakan kemah pemuda adat. Kemah ini, menurutnya, akan menjadi agenda terdekat untuk mengonsolidasi BPAN Daerah Sinjai.

“Ke depannya akan kita adakan lagi kemah pemuda adat. Selain belajar bersama, juga sekaligus pengukuhan pengurus. Apalagi teman-teman BPAN Pusat rencananya akan hadir nanti,” katanya.

 

[Burhanuddin]

Siaran Pers Peringatan Hari Tani Nasional 2017 Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

“Indonesia Darurat Agraria:
Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-konflik Agraria”

Memasuki 57 tahun paska diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 atau yang biasa diperingati sebagai Hari Tani Nasional, situasi agraria di tanah air belum sepenuhnya lepas dari corak feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Situasi di atas tentu menjadi anomali, sebab UUPA 1960 merupakan mandat konstitusi Negara dalam rangka pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berlandaskan keadilan sosial sebagai amanat pasal 33 UUD 1945.

Dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional.

Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 dan tidak bertanah. Per-Maret 2017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. (BPS, 2017). Situasi ini telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi yang terus membesar.

Meskipun beberapa kali menjadi program kerja para penguasa, faktanya reforma agraria yang sejati sesuai amanat UUPA 1960 tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Seperti halnya dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi-JK juga telah memasukkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita. Bahkan pada tahun 2016, Jokowi telah mengeluarkan Perpres No. 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia.

Namun begitu, memasuki tiga tahun pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Dari sisi kebijakan, walaupun sudah ada kemauan politik (political will), akan tetapi belumlah kuat. Indikasinya, Perpres Reforma Agraria sejauh ini masih belum ditandatangani. Sementara tuntutan untuk membentuk badan/lembaga otoritatif pelaksana reforma agraria malah dikerdilkan menjadi tim pelaksana reforma agraria yang berada di bawah Kementrian Kordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan dibagi ke dalam tiga Pokja yang diketuai oleh Kementrian LHK, Kementiran ATR//BPN, dan Kementrian Desa PDTT. Artinya reforma agraria hanya dimaknai sebagai persoalan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial.

Di sisi lain, terdapat beberapa kebijkan yang berpotensi membiaskan makna dari reforma agraria sejati. Misal, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) yang diatur melalui Permen LHK No. 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kemudian diperbaharui melalui Permen LHK No. 93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Masalahnya, perhutanan sosial hendak dipaksakan masuk ke dalam skema reforma
agraria. Perlu ditekankan, bawah reforma agraria dan perhutanan sosial mempunyai skema hukum yang berbeda dalam pelaksanaannya. Jika dalam reforma agraria salah satunya menguatkan secara legal formal hak atas tanah masyarakat, sebaliknya PS bisa menjadi kemunduran jikalau diterapkan pada wilayah yang sudah menjadi pemukiman, tanah pertanian dan fasilitas umum desa-desa. Mengapa demikian, mengingat adanya penegasan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara pada utusan MK 35, seharusnya masyarakat menegaskan hal tersebut bukan malah dipaksakan mengambil PS dengan kata lain mengakui status hutan negara di dalam wilayah adatnya. Melihat buruknya pengelolaan kawasan hutan selama ini oleh pemerintah, situasi ini berpotensi meneruskan konflik dan tumpang tindih klaim antara rakyat dengan pemerintah maupun korporasi swasta di wilayah kawasan hutan.

Situasi ini ditambah dengan keengganan KLHK untuk menerapkan skema reforma agraria di Jawa, Bali dan Lampung dengan alasan bahwa di tiga wilayah tersebut sudah kurang dari batas minimum 30 % kawasan hutan. Kebijakan ini dinilai sebagai standar ganda yang sedang ingin didorong pemerintah mengingat banyaknya izin-izin tambang, konsesi-konsesi perkebunan besar dan tanah-tanah terlantar Perhutani yang seharusnya ditertibkan malah dipertahankan.

Dari sisi pelaksanaan, tercatat redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah Negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Sementara redistribusi melalu pelepasan kawasan hutan masing urung terlaksanan sejauh ini. Justru legalisasi asset melalui proses sertifikasi yang menunjukkan kemajuan siginifikan yakni seluas 609.349 hektar hingga tahun 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu. Artinya kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah.

Di tengah mandeknya dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015 dan 2016). Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan/ditembak, dan 18 orang tewas. Angka ini jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pelaksanaan reforma agrarian di era pemerintahan saat ini.

Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari fenomena-fenomena perampasan lahan dan konflik agraria di atas. Laporan Solidaritas Perempuan tahun 2017 menunjukkan jumlah rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12 % dari 14,9 % pada tahun 2014. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga maupun ekonomi keluarga berdampak kepada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga.

Tidak hanya perempuan, situasi ini juga telah berdampak buruk kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Bukannya ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang lebih berkeadilan, mereka malah menjadi korban dari kebijakan maritime Jokowi-JK. Reklamasi, pertambangan, konservasi, dan pariwisata pesisir telah berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2016 mencatat lebih dari 107.000 KK nelayan telah merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Masih di tahun yang sama, pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di tanah air telah berkontribusi menghilangkan penghidupan masyarakat pesisir dan menghancurkan ekologi pesisir.

Dari jabaran-jabaran di atas, kami dari aliansi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) untuk Hari Tani Nasional 2017 (HTN 2017) menilai bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat agraria.
Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional tahun ini dan 57 tahun UUPA 1960, KNPA akan melakukan berbagai rangkaian kegiatan aksi di nasional dan daerah dalam rangka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan beragam persoalan agraria tersebut.

Selain melakukan konferensi pers yang dilaksanakan pada hari ini, Minggu, (24/9). Senin tanggal 25 September 2015, kami akan mendatangi MPR RI untuk menuntut agar legislatif turut melaksanakan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUPA No. 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria sebagaimana mandat konsitusi Negara, pasal 33 UUD 1945.

Selasa, tanggal 26 September 2017 dilanjutkan dengan mendatangi MK dan KPK untuk menuntut dua lembaga Negara tersebut agar segera melakukan penertiban terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional khususnya para petani serta menindak beragam tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor agraria, baik berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi dan pemberian izin-izin diluar prosedur yang dilakukan pemerintah beserta perusahaan.

Di berbagai daerah turut pula merayakan HTN 2017 dengan tema bersama Indonesi Darurat Agraria, menuntut adanya penyelesaian konflik agraria di daerah masing-masing. Sedangkan puncak rangkaian aksi HTN 2017 ini adalah aksi turun ke jalan dengan estimasi 7000 massa aksi yang terdiri dari organisasi gerakan rakyat (petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, buruh, mahasiswa) dan organisasi masyarakat sipil lainnya menuju Istana Negara menuntut pemerintah Jokowi-JK melaksanakan reforma agraria yang sejati, yakni reforma agraria yang berlandaskan TAP MPR No. IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945 sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Demiikian Siaran Pers ini, agar menjadi perhatian semua pihak

Jakarta, 24 September 2017

Hormat Kami,

 

A.n. Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)/Aliansi HTN 2017:

KPA – SPP – STI – SPM – IHCS – KIARA – SP – API – YLBHI – KNTI – SW – FPRS – Bina Desa – WALHI – KPBI – SPDD – SPI – KPOP – AMAN – BPAN – SPR Indonesia – SMI – PSHK – JKPP – ELSAM – AMANAT – LBH Jakarta – RMI – Yayasan Pusaka – SNI – KPRI – P3I – KSN – SPKS – SAINS – KontraS – LBH Bandung – TuK Indonesia – KRuHA – Perkumpulan Inisiatif – WALHI Jabar – SPRI – Gerbang Tani – HuMa – SP Jabotabek – P2B – Jakatani – STTB – JATAM – KPR – FIELD – KNPK – HMI Jabar – PPC – FPPB – STIP – PMII Kota Bandung – HITAMBARA – FPPMG – FARMACI – FPMR – YP2I – SPMN – PMII Jabar – AGRA

__________

Daftar Aliansi Hari Tani Nasional 2017
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Serikat Petani Pasundan (SPP)
3. Serikat Tani Indramayu (STI)
4. Serikat Petani Majalengka (SPM)
5. Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS)
6. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
7. Solidaritas Perempuan (SP)
8. Aliansi Petani Indonesia (API)
9. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
10. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
11. Sawit Watch (SW)
12. Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS)
13. Bina Desa
14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
15. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
16. Solidaritas Pemuda Desa untuk Demokrasi (SPDD)
17. Serikat Petani Indonesia (SPI)
18. Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP)
19. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
20. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
21. Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR)
22. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
23. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
24. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
25. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
26. Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (AMANAT)
27. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
28. Rimbawa Muda Indonesia (RMI)
29. Yayasan Pusaka
30. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
32. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
33. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
34. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
35. Sajogyo Institute (SAINS)
36. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
37. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
38. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
39. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
40. Perkumpulan Inisiatif
41. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar
42. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
43. Gerbang Tani
44. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
45. Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek
46. Persatuan Petani Banten (P2B)
47. Jaringan Kerja Tani (Jakatani)
48. Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB), Karawang
49. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
50. Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
51. Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
52. Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK)
53. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jabar
54. Paguyuban Petani Cianjur (PPC)
55. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
56. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
57. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung
58. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
59. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
60. Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI)
61. Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR)
62. Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I)
63. Serikat Pemuda Mahasiswa Nusantara (SPMN)
64. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jabar
65. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)

PERINGATAN SATU DEKADE DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK MASYARAKAT ADAT SEDUNIA

Setiap 9 Agustus masyarakat adat di seluruh dunia merayakan International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dan telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994. Tanggal 9 Agustus dipilih karena alasan historis, dimana tanggal tersebut merupakan hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat Sub-Komisi untuk Promosi dan Perlindungan HAM pada 1982.
Tahun ini, perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia lebih istimewa karena bertepatan dengan Peringatan Satu Dekade (10 tahun) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang telah dideklarasikan pada 13 September 2007; 10 tahun yang lalu. Indonesia, telah berpartisipasi aktif dan merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi tersebut.
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi tidak saja merupakan pernyataan bahwa Indonesia setuju terhadap Deklarasi tersebut tetapi juga berkonsekuensi pada adanya kewajiban hukum dan moral bagi negara untuk menindaklanjuti Deklarasi tersebut ke dalam hukum dan kebijakan nasional.
Setelah 10 tahun Deklarasi tersebut ditandatangani, kita perlu secara jujur menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia masih jauh dari harapan dalam mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Dengan tidak mengurangi penghargaan atas upaya dan capaian Pemerintah dalam 10 tahun terakhir, kita harus secara terbuka mengakui bahwa Pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat masih jalan di tempat. Putusan MK 35/2012 masih belum secara serius dijadikan sebagai acuan dari pembentukan hukum dan kebijakan dan program pemerintah. Sampai saat ini, Pemerintah baru mengembalikan 13.000 hektar hutan adat kepada masyarakat adat.
Di sisi pembentukan hukum, RUU Masyarakat Adat juga sampai saat ini belum dibahas. Begitu pula pembentukan hukum di daerah yang lamban. Sementara itu, kriminalisasi terhadap masyarakat adat jalan terus; 14 orang warga masyarakat adat Seko telah dihukum karena memprotes pembangunan PLTA di wilayah adatnya. Begitu pula Trisno, seorang masyarakat adat di Tana Bumbu Kalimantan Selatan dihukum dengan alasan ladangnya merupakan bagian dari kawasan hutan.

Satgas Masyarakat Adat sebagai lembaga trouble shooter terhadap mandegnya agenda-agenda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat saat ini masih belum ditetapkan.
Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden jusuf Kalla pada dasarnya memiliki prasyarat untuk menjadi pemimpin global pada isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pemerintah hanya perlu menjalankan secara konsisten 6 (enam) agenda Nawacita yang berkaitan dengan masyarakat adat, antara lain:
1. Mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang,
2. Meninjau ulang peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat khususnya tentang hak atas sumber agraria,
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/201,
4. Menyusun (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundangundangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini,
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekeria secara intens untuk mempersiaphan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan, dan
6. Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berialan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam urusan Masyarakat Adat jika Pemerintah mulai bekerja secara konsisten untuk mencapai enam komitmen Nawacita tersebut di atas.

Abdon Nababan Laureate of Magsaysay Award

Jakarta, Thursday, July 27, 2017 – The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Award Foundation has on Thursday (27/7) in Manila, the Philippines, made an announcement that Abdon Nababan has been selected as the laureate of the Ramon Magsaysay Award 2017 for the category of Asian Community Leadership.

The Indigenous Peoples Alliance of Nusantara (AMAN) has warmly welcomed that Ramon Magsaysay Award 2017 is awarded to Abdon Nababan. The so-called Asian Nobel Prize was officially announced on Thursday, July 27, 2017.

The Ramon Magsaysay Award made a statement that Nababan is a leader who can bring about changes. His courage and advocacy have become the voice and face for the Indigenous Peoples Alliance in Indonesia.

Nababan is the leader of the Indigenous Peoples’ struggle in Indonesia, even before the reform era. The five-yearly congress of the Indigenous Peoples Alliance of Nusantara appointed Nababan as a Secretary General to AMAN, in two consecutive periods, namely 2007-2012 and 2012-2017. Nababan now serves on the National Council of AMAN 2017-2022, representing the Sumatra regions.

“I am happy and proud as I represent tens of thousands of people who have been struggling with me over the last 24 years for the indigenous movement in Indonesia,” Nababan said. He claimed that he had no knowledge at all of who proposed his name and how the selection process of this Ramon Magsaysay Award was made.

During his leadership period, AMAN’s works could give positive contributions to the struggles for the Indigenous Peoples rights in this country. They are among others decision by the Constitutional Court No.35 / PUU-X / 2012 concerning Indigenous Forests, the inclusion of indigenous territories on the map as a thematic map by the Geospatial Information Agency, and the National Inquiries by the National Commission on Human Rights on violations against the Indigenous Peoples’ rights in the forest areas. AMAN has also actively encouraged and facilitated the Draft Law on Indigenous Peoples (RUU MA). The bill is now at the hand of the House of Representatives’ National Legislation Program for 2017.

Still, in his leadership period, AMAN ensured the inclusion of six points related to Indigenous Peoples in the Vision and Mission of President Joko Widodo (known as NAWACITA). The most obvious result is the handout of Decree on Recognition of Indigenous Forest to 9 Indigenous People by President Joko Widodo at the State Palace by the end of December 2016.

Rukka Sombolinggi, Secretary General to AMAN for the period of 2017-2022, said Nababan rightly deserves to be the laureate of this award. “Leading organization as big as AMAN through the transition period for changes from confrontational to engagement strategy could only be made possible by a visionary leader with a strong strategy for making a change, and Nababan has proven the quality of his leadership,” Rukka said on Thursday (27/07).

The Ramon Magsaysay Award is an annual award given to the inspiring leadership which can bring about change. Some of the laureates of the award were the 14th Dalai Lama in 1959, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) in 1993, and Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah Central Board) in 2008.

This annual award is awarded by the Philippines-based Ramon Magsaysay Foundation. This year’s award presentation ceremony is scheduled for August 31 in Manila.

Infokom AMAN

Terra Livre dan Solidaritas Global

Brasilia, Brazil (27 April 2017) – Saya, Devi Anggraini dan Jhontoni Tarihoran beruntung mewakili AMAN, Perempuan AMAN dan BPAN dalam Acampento Terra Livre (ATL), yakni pertemuan tahunan Masyarakat Adat se-Brazil, yang diadakan selama 1 minggu di Brasilia, di jantung ibukota Brazil. ATL kali ini adalah yang ke-14 kalinya dilaksanakan dan merupakan salah satu yang terbesar, dihadiri oleh 3.300 orang utusan Masyarakat Adat dari lima region besar di Brazil termasuk Amazon. Ribuan anggota komunitas, para tetua, perempuan, generasi muda, anak-anak hingga balita, datang menggunakan bus-bus antar region dan menginap di tenda-tenda yang disiapkan panitia atau yang dibawa sendiri oleh peserta.

Issue penting tahun ini adalah adanya upaya anggota Mahkamah Konstitusi di Brazil (yang juga berfungsi sebagai Mahkamah Agung), untuk melakukan amandemen Konstitusi Brazil, khususnya bagian yang mengakui hak-hak Masyarakat Adat. Di dalam Konstitusi Brazil, ada dua pasal yang secara khusus mengakui hak Masyarakat Adat dan cukup kuat, meskipun implementasinya masih sangat rendah. Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari dua Chamber (Kamar), terpecah. Sebagian mendukung amandemen, sebagian tidak. Masyarakat Adat menengarai ini akibat ulah para lobi-lobi dari proyek-proyek pembanguan raksasa di Brazil yang ingin mengambil alih wilayah-wilayah adat untuk bisnis, termasuk dalih sarana publik.

Lihat juga Brazil indigenous protest over land rights turns violent

Selasa kemarin 3-4000 orang (dengan para pendukung termasuk aktivis-aktivis gerakan sosial di Brazil), melakukan aksi demonstrasi di depan gedung parlemen Brazil yang berakibat bentrokan fisik. Polisi menembak gas air mata dan peluru karet, dibalas dengan desingan anak panah dari para warrior Masyarakat Adat. Empat orang sempat ditahan, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam aksi tersebut, Masyarakat Adat membawa banyak peti mati dan menaruhnya di depan gedung parlemen sebagai protes terhadap pembunuhan puluhan saudara-saudara mereka dalam setahun terakhir, karena mempertahankan wilayah adatnya. Masyarakat Adat menuntut “demarcação ja!” atau menuntut demarkasi dan pengakuan atas wilayah-wilayah adat.

Kami terlibat dalam beberapa diskusi, mendapat kesempatan memperkenalkan AMAN, PA serta BPAN. Dan mengenalkan “AHOY!” serta “HORAS!”

Beberapa hal menarik yang kami amati misalnya, setiap orang yang hadir, sangat bangga dan percaya diri dengan identitasnya sebagai Masyarakat Adat. Hampir semua mengecat tubuh (bagian dari tradisi) dan mengenakan berbagai ornamen bulu burung serta manik-manik. Wilayah yang cenderung panas membuat hampir tidak ada produk tenunan untuk pakaian, karena nyaris semua tidak berpakaian, namun bangga dengan body painting ciri khas mereka. Adat istiadat; tarian, lagu, musik, bahasa, seni perang, seni rupa mereka, masih sangat kental dan kuat. Adanya pemimpin-pemimpin perempuan yang kuat juga menjadi hal menarik lainnya. Buat saya, itu luar biasa. Di Latin Amerika yang kental budaya “laki-laki yang memimpin”, di sini perempuan berperan kuat, meskipun di komunitas-komunitas, perempuan adat masih memperjuangkan hak-haknya.

Masih ada dua hari pertemuan di mana masih akan didiskusikan isu-isu prioritas yang akan menjadi resolusi dan deklarasi penting dari Terra Livre tahun ini. Masih banyak yang mesti kami pelajari, bagaimana organisasi-organisasi di sini bekerja, bagaimana struktur dan keanggotaan, bagaimana sistem komunikasi dan koordinasi, bagaimana proses-proses pengambilan keputusan dll.

Baca juga Brazil indigenous groups clash with police in Brasilia

Yang jelas, persoalan di Brazil dan di Indonesia tiada beda. Perampasan wilayah adat untuk kepentingan bisnis, baik perkebunan, logging dan bendungan raksasa serta kriminalisasi terhadap anggota komunitas terjadi dimana-mana, bahkan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin perlawanan di kampung-kampung. Satukan semangat, bangun solidaritas global!

 

Mina Setra

Jaga dan Urus Wilayah Adat Malamoi

Sorong (2/10/2016) – AMAN Sorong Raya menggelar pelatihan kepada pemuda-pemudi adat Malamoi. Pelatihan yang dihelat selama seminggu ini bertajuk ‘membangkitkan keterpanggilan pemuda adat untuk mempertahankan dan mengurus wilayah adat’.

bapak-david-ulimpa

Kepala Kampung David Ulimpa

Kepala Kampung Siwis Distrik Klaso David Ulimpa menyambut baik pelatihan ini. Dalam sambutannya beliau menyatakan sangat mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut. “Saya selaku pemimpin kampung memberikan apresiasi kepada pemuda-pemudi adat Moi dari lima distrik dan dua lembah yaitu Wen-Nasi dan Wen-Klaso (bahasa Moi)  yang terlibat dalam pelatihan ini.

Dalam pelatihan ini Kepala Kampung Siwis David Ulimpa berpesan agar pemuda adat mau turun ke jalan. Berdemonstrasi. “Harapan saya selaku orang tua di mana kalau kita demo (aksi di jalan), anak-anak Moi harus bisa semua hadir. Yang kami, orang tua harapkan, kamu anak-anak mahasiswa itu mestinya datang mendukung kami orang tua yang sudah bodoh  seperti begini, tidak tau apa-apa ini,’’ nadanya menegangkan suasana.

Beliau juga mengkritik kekompakan pemuda adat Moi. Ia menyesalkan sikap anak-anak Moi yang belum bersatu dan kuat dengan pembuktian bergerak bersama para orangtua menolak perkebunan. “Kalian hadirlah supaya pemerintah itu bisa lihat wajah-wajah orang Moi itu seperti apa,” tambahnya.

Selain itu, Thomas Malak Ketua Adat Moi Kampung Siwis Distrik Klaso juga hadir dalam pembukaan pelatihan ini. Menurut Thomas, dari sisi adat, semua masyarakat adat Moi pada umumnya bahwa Klaben/Klaso  adalah tempat pendidikan adat (sekolah adat) bagi suku Moi pada zaman dulu.

bapak-thomas-malak

Ketua Adat Thomas Malak

Ia pun menceritakan pengalamannya pada waktu manajer  PT. Mega Mustika Plantation mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat di kampung Siwis. “Pada waktu itu saya orang tua adat yang memang benar-benar menolak PT. Mega Mustika Plantation, karena saya mengingat bahwa Klaben ini tempat pendidikan adat. Jadi hutan adatnya tidak bisa digusur atau dihilangkan oleh perusahan perkebunan sawit,” katanya.

Merujuk pada pelatihan pemuda adat Moi selama kurang lebih tujuh hari ternyata banyak hal yang muncul dari peserta terkait dengan krisis yang dirasakan langsung. Dua dari antara peserta pelatihan menceritakan pengalamannya hidup di sekitar konsesi sawit. Mereka adalah Feri Gilik dan Jhoni Kalasibin dari kampung yang sama: Malalilis.

lingkaran

Peserta sedang mempersentasikan hasil diskusi per kelompok

Feri Gilik mulai menceritakan kondisi yang mereka rasakan pada waktu pertama kali PT. Henrison Inti Persada (HIP) masuk di wilayah adat marga Gisim. Proses ini terus berjalan. Ada beberapa warga asal kampung Malalilis yang juga ikut bekerja di lahan perkebunan sawit milik PT. HIP.

Feri Gilik menuturkan, pada waktu itu manajer perkebunan sawit mulai merayu beberapa orang tua untuk menyerahkan lahannya. Warga menolak. Kali kedua perusahaan mencoba menaklukkan warga. Penduduk bergeming. Merasa kecewa, ketiga kalinya, perusahan mulai mengintimidasi dan memaksa negosiasi dengan warga pemilik hak ulayat. Berada dalam tekanan, warga akhirnya menyerahkan lahan tersebut kepada perusahan minyak mentah itu.

belajar-di-alam

Peserta pelatihan belajar di alam

Feri Gilik mengaku tidak tahu perusahaan memakai cara apa hingga para orangtua bisa menandatangani izin perkebunan tersebut. “Cuma  setahu saya pada waktu itu, uang sirih pinang untuk pembukaan lahan hanya lima juta rupiah (Rp 5.000.000) diserahkan kepada marga Gilik dan Do Kalasibin selaku pemilik hak ulayat,” kenangnya. 

Menurut Jhoni Kalasibin, perusahaan berjanji kepada pemilik hak ulayat akan  memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah. Namun, sampai sekarang tidak ada beasiswa yang diterima anak-anak sekolah. Pihak perusahaan juga berjanji akan membangun dua puluh buah rumah kepada pemilik hak ulayat, nyatanya yang dibangun hanya dua buah rumah. Satu untuk marga Gilik dan satu lagi bagi marga Do Kalasibin. Sedangkan delapan belas buah rumah lainnya sampai sekarang belum dibangun. “Itulah yang kami alami di kampung Malalilis,” ujar Feri Gilik kesal.

belajar-sama-sama

Metode lingkaran

Salah satu sesi yang menarik di kegiatan ini adalah menonton film. Film krisis yang terjadi di wilayah adat diputar dan ditonton bersama warga kampung Siwis. Film ini mempertontonkan bahwa krisis yang terjadi di wilayah adat juga dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat adat di belahan bumi ini.

“Kepemilikan tanah adat dan hak-hak di dalamnya harus kita pertahankan. Film tadi mengajak kita pulang dan merenungkan secara bersama-sama kehidupan kita saat ini seperti apa. Masa depan anak cucu kita nanti bagaimana. Karena yang kita lihat di film krisis tadi, bukan hanya di Papua saja terjadi krisis tetapi juga di mana-mana,” ujar kepala kampung.

Menurutnya film tersebut sangat tepat menjadi contoh bagi pemuda adat atau anak-anak Moi secara umum untuk kembali menjaga dan mengurus wilayah adat tanah Malamoi (Wen Nase dan Wen Klaso).

gambar-wilayah-kehidupan

Menggambar wilayah kehidupan

 

 

[Melianus Ulimpa]

 

 

 

BPAN Talang Mamak, Bergerak Meninggalkan Alasan Tak Produktif

Generasi muda adalah generasi emas yang memiliki sejuta bakat dan kemampuan. Selain kemampuan, terlebih lagi, memiliki semangat yang berkobar sebagaimana darahnya masih berada di fase didihnya. Penduduk di  Indonesia yang 250 juta jiwa itu sebagian besar adalah generasi muda. Bahkan dewasa ini Indonesia mengalami modus demografi.

Indonesia sebagai negara kepulauan, di tengah ketidakjelasan pemimpinnya, beruntung ada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pemuda dalam masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merupakan satu faktor penting dalam pergerakannya memperoleh perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Sebagai masyarakat adat yang memiliki kesamaan dalam perjuangan dan pergerakannya, maka kelompok mudanya juga turut dipersatukan dalam prinsip senasib sepenanggungan. Khusus kaum muda yang memiliki caranya sendiri dalam berekspresi ini kemudian dipersatukan dalam satu wadah yang disebut Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Dengan demikian, para pemuda ini menamakan diri sebagai pemuda adat.

Kini pemuda adat yang tergabung dalam wadah BPAN sudah tersebar di tujuh region di Indonesia. Ketujuh region dimaksud antara lain Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua. Salah satu yang terdapat di region Sumatera adalah Indragiri Hulu, Riau.

Bertanya dan Belajar Bersama

BPAN Indragiri Hulu atau yang akrab dikenal Talang Mamak dideklarasikan pada 27 Maret 2013. Sejak dideklarasikan, pemuda-pemuda adat Talang Mamak sangat antusias dalam mengurus kampung. Meskipun kerja-kerja mengurus wilayah adat seperti ini sudah jarang dilakukan oleh generasi muda sekarang; dan barangkali ini yang membedakan pemuda adat di Talang Mamak dan pemuda adat di wilayah lain.

Kaum muda kebanyakan lebih suka pergi ke kota. Kaum muda yang dimaksud di sini terutama yang berasal dari kampung atau yang BPAN sebut sebagai pemuda adat. Mereka terbius kehidupan urban yang memang jauh dari kebiasaan di kampungnya. Inilah kecenderungan orang muda dewasa ini sebagai efek dari pemikiran bahwa kesuksesan lebih masuk akal didapat di kota. Sebelumnya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan kota lebih menjanjikan daripada kehidupan di kampung. Hal ini ditambah lagi dengan anggapan bahwa masyarakat yang tinggal di kampung dianggap sebagai orang terbelakang, ketinggalan zaman, udik, dan sebagainya.

Kenyataan umum ini berbanding terbalik dengan pemuda adat Talang Mamak. Pemuda adat di Riau ini justru bangga dengan kampungnya. Mereka melangkah perlahan tetapi pasti, memiliki semangat untuk menjaga dan mengurus wilayah adat/kampungnya. Tentu saja satu dua orang ada yang tidak sejalan dengan mereka dengan menganggap bahwa kerja-kerja itu tidak mendatangkan hasil/materi bahkan merugi. Namun, pemuda adat wilayah Talang Mamak yang dari hari ke hari bertambah banyak justru semakin kuat dan berenergi mengurus wilayah adatnya.

Semangat yang luar biasa ini terwujud dari kerja-kerja sehari-hari mereka dalam menggali jejak leluhur. Mereka kini bergegas menggali pengetahuan tradisional yang secara umum berkaitan atau mendukung kehidupan alam dan kemanusiaan. Dengan antusias, para pemuda adat terus menggali sejarah asal-usul, wilayah adat dan segala pengetahuan yang bertautan atau berkelindan satu sama lain dalam kehidupan sosial masyarakat adat Talang Mamak.

Mereka bertanya ke sana kemari, misalnya kepada tetua adat. Selain itu mereka juga melakukan kegiatan bersama, misalnya, berkemah di hutan dan melalui kemah ini diharapkan mereka semakin dekat dengan alam dan leluhur. Karena itu, mereka semakin mendekati wilayah adatnya, adat-istiadatnya atau budayanya dan alamnya yang merupakan asal-usul alias jati dirinya sendiri.

Kerja-kerja ini menjadi bagian dari kesadaran pemuda adat untuk menjaga dan mempertahankan wilayah adat mereka. Hilangnya tanah—sebagaimana terjadi di wilayah lain—yang disebabkan oleh perusahaan dan atau klaim hutan negara oleh negara, membuat kaum muda adat ini semakin menyadari kepemilikan atau kedaulatan atas wilayah adat dan segala isinya.

Selain bertanya mengenai sejarah kampung dan berkemah, mereka juga sudah melakukan penanaman pohon yang melibatkan masyarakat, termasuk anak-anak sekolah. Mereka juga perlahan-lahan melakukan pendokumentasian atas kerja-kerja mereka, misalnya saat menggali sejarah asal-usul. Mereka menuliskannya dan kemudian mengambil foto-foto terkait.

Tak berhenti sampai di situ, perlahan-lahan mereka juga mempelajari seni budaya masyarakat Talang Mamak. Sebagai kaum muda, tentu saja seni budaya, misalnya musik, tari, silat, permainan tradisional dan seterusnya sangat dekat dan cocok. Sebagai pemuda adat yang bangga berbudaya, pemuda adat Talang Mamak sangat senang mengurus wilayah adat. Sebagaimana anak muda, kerja-kerja yang dilakukan pun sangat sederhana, yakni kreatif, attraktif, happy dan fun. 

Dalam kenyataannya, di atas semua itu, pemuda adat Talang Mamak memahami wadah BPAN adalah sebagai sesuatu yang sangat penting dan tepat. Bagi mereka, BPAN adalah wadah bersama dalam menyikapi kesamaan pengalaman dengan pemuda-pemuda adat lain se-nusantara. Inilah kerja-kerja semangat, bahagia dan kreatif yang dilakukan dengan senang hati dan mengalir bagai sungai. Juga didukung oleh para tetua adat yang memahami kegiatan-kegiatan di wilayah adat yang sarat kearifan ini.

Catatan Kecil

Pengalaman singkat dan sederhana dari Talang Mamak ini, betapa pun kecilnya, sangat berharga. Karena itulah sebuah catatan kecil dari daratan tengah Pulau Sumatera ini boleh dijadikan sebagai model atau pemicu bagi wilayah lain. Semangat membara menunjukkan kesungguhan dan keseriusan pemuda adat Talang Mamak. Tidak ada yang istimewa dari satu wilayah ke wilayah lain, namun semangat dan kerja keraslah yang memberikan perbedaan kemajuan dalam perjalanannya.

Di antara BPAN wilayah yang sudah ada di tujuh region, Talang Mamak hanyalah salah satu yang bisa kita lihat bergerak mengurus wilayah adat dengan semangat dan kerja nyata yang tidak diperumit oleh wacana dan pemikiran. Mereka yang berprinsip untuk menyelamatkan wilayah adat dari kemungkinan dihancurkan kebijakan kehutanan atau kapitalis pemangku kepentingan/keuntungan, bangkit dan bergerak tanpa banyak teori maupun alasan. Inilah sikap dan praktik yang muncul dari pemuda adat Talang Mamak. Dengan demikian, pemuda adat sudah selalu siap: bangkit, bersatu dan bergerak. Maju dan berekspresi.

 

 

[Jakob Siringoringo]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish