PERINGATAN SATU DEKADE DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK MASYARAKAT ADAT SEDUNIA

Setiap 9 Agustus masyarakat adat di seluruh dunia merayakan International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dan telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994. Tanggal 9 Agustus dipilih karena alasan historis, dimana tanggal tersebut merupakan hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat Sub-Komisi untuk Promosi dan Perlindungan HAM pada 1982.
Tahun ini, perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia lebih istimewa karena bertepatan dengan Peringatan Satu Dekade (10 tahun) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang telah dideklarasikan pada 13 September 2007; 10 tahun yang lalu. Indonesia, telah berpartisipasi aktif dan merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi tersebut.
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi tidak saja merupakan pernyataan bahwa Indonesia setuju terhadap Deklarasi tersebut tetapi juga berkonsekuensi pada adanya kewajiban hukum dan moral bagi negara untuk menindaklanjuti Deklarasi tersebut ke dalam hukum dan kebijakan nasional.
Setelah 10 tahun Deklarasi tersebut ditandatangani, kita perlu secara jujur menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia masih jauh dari harapan dalam mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Dengan tidak mengurangi penghargaan atas upaya dan capaian Pemerintah dalam 10 tahun terakhir, kita harus secara terbuka mengakui bahwa Pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat masih jalan di tempat. Putusan MK 35/2012 masih belum secara serius dijadikan sebagai acuan dari pembentukan hukum dan kebijakan dan program pemerintah. Sampai saat ini, Pemerintah baru mengembalikan 13.000 hektar hutan adat kepada masyarakat adat.
Di sisi pembentukan hukum, RUU Masyarakat Adat juga sampai saat ini belum dibahas. Begitu pula pembentukan hukum di daerah yang lamban. Sementara itu, kriminalisasi terhadap masyarakat adat jalan terus; 14 orang warga masyarakat adat Seko telah dihukum karena memprotes pembangunan PLTA di wilayah adatnya. Begitu pula Trisno, seorang masyarakat adat di Tana Bumbu Kalimantan Selatan dihukum dengan alasan ladangnya merupakan bagian dari kawasan hutan.

Satgas Masyarakat Adat sebagai lembaga trouble shooter terhadap mandegnya agenda-agenda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat saat ini masih belum ditetapkan.
Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden jusuf Kalla pada dasarnya memiliki prasyarat untuk menjadi pemimpin global pada isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pemerintah hanya perlu menjalankan secara konsisten 6 (enam) agenda Nawacita yang berkaitan dengan masyarakat adat, antara lain:
1. Mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang,
2. Meninjau ulang peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat khususnya tentang hak atas sumber agraria,
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/201,
4. Menyusun (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundangundangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini,
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekeria secara intens untuk mempersiaphan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan, dan
6. Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berialan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam urusan Masyarakat Adat jika Pemerintah mulai bekerja secara konsisten untuk mencapai enam komitmen Nawacita tersebut di atas.

Jambore Wilayah BPAN Sulut

Lotta, 1 Juni 2017—BPAN Sulawesi Utara mengadakan Jambore Wilayah II. Jambore tersebut menandai berakhirnya masa kepengurusan Eurene Christi Mamahit sebagai ketua BPH. Christi melaporkan perkembangan organisasi selama tiga tahun kepemimpinannya. Selanjutnya acara masuk ke penyusunan program dan rekomendasi. Hal terakhir adalah musyawarah mufakat untuk memilih ketua berikutnya.

Musyawarah berlangsung di bekas kampung tua, persis di belakang waruga. Pemilihan tak berlangsung lama, berebut suara dan apalagi tegang. Semua menyepakati satu orang yang bersedia untuk meneruskan estafet kepemimpinan. Tidak ada sanggahan, semua menerima dengan lapang dada.

Mereka berprinsip bahwa dalam sistem kepengurusan yang mereka terapkan secara praktik di BPAN Sulut adalah tidak ada pemimpin tunggal yang memiliki keistimewaan. Semua sama, semua pemimpin, semua anggota. Prinsip itu mereka namakan mawale artinya gotong royong. Pemimpin atau ketua hanya persyaratan secara birokratis saja. Pada dasarnya semualah yang bekerja, sama-sama bergerak, saling mendukung dan saling belajar.

Proses musyawarah tersebut menyepakati satu nama sebagai Ketua BPAN Sulut periode 2017-2020: Allan Sumeleh. Pria bertubuh gempal, berambut belah tengah tersebut kemudian didampingi penasihat: Matulandik Supit, tetua sekaligus mantan Ketua BPH AMAN Sulut, Tonaas Rinto Tarore, dan Rivo Gosal Ketua BPH AMAN Sulut.

 

 

 

 

 

[Jakob Siringoringo]

Terra Livre dan Solidaritas Global

Brasilia, Brazil (27 April 2017) – Saya, Devi Anggraini dan Jhontoni Tarihoran beruntung mewakili AMAN, Perempuan AMAN dan BPAN dalam Acampento Terra Livre (ATL), yakni pertemuan tahunan Masyarakat Adat se-Brazil, yang diadakan selama 1 minggu di Brasilia, di jantung ibukota Brazil. ATL kali ini adalah yang ke-14 kalinya dilaksanakan dan merupakan salah satu yang terbesar, dihadiri oleh 3.300 orang utusan Masyarakat Adat dari lima region besar di Brazil termasuk Amazon. Ribuan anggota komunitas, para tetua, perempuan, generasi muda, anak-anak hingga balita, datang menggunakan bus-bus antar region dan menginap di tenda-tenda yang disiapkan panitia atau yang dibawa sendiri oleh peserta.

Issue penting tahun ini adalah adanya upaya anggota Mahkamah Konstitusi di Brazil (yang juga berfungsi sebagai Mahkamah Agung), untuk melakukan amandemen Konstitusi Brazil, khususnya bagian yang mengakui hak-hak Masyarakat Adat. Di dalam Konstitusi Brazil, ada dua pasal yang secara khusus mengakui hak Masyarakat Adat dan cukup kuat, meskipun implementasinya masih sangat rendah. Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari dua Chamber (Kamar), terpecah. Sebagian mendukung amandemen, sebagian tidak. Masyarakat Adat menengarai ini akibat ulah para lobi-lobi dari proyek-proyek pembanguan raksasa di Brazil yang ingin mengambil alih wilayah-wilayah adat untuk bisnis, termasuk dalih sarana publik.

Lihat juga Brazil indigenous protest over land rights turns violent

Selasa kemarin 3-4000 orang (dengan para pendukung termasuk aktivis-aktivis gerakan sosial di Brazil), melakukan aksi demonstrasi di depan gedung parlemen Brazil yang berakibat bentrokan fisik. Polisi menembak gas air mata dan peluru karet, dibalas dengan desingan anak panah dari para warrior Masyarakat Adat. Empat orang sempat ditahan, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam aksi tersebut, Masyarakat Adat membawa banyak peti mati dan menaruhnya di depan gedung parlemen sebagai protes terhadap pembunuhan puluhan saudara-saudara mereka dalam setahun terakhir, karena mempertahankan wilayah adatnya. Masyarakat Adat menuntut “demarcação ja!” atau menuntut demarkasi dan pengakuan atas wilayah-wilayah adat.

Kami terlibat dalam beberapa diskusi, mendapat kesempatan memperkenalkan AMAN, PA serta BPAN. Dan mengenalkan “AHOY!” serta “HORAS!”

Beberapa hal menarik yang kami amati misalnya, setiap orang yang hadir, sangat bangga dan percaya diri dengan identitasnya sebagai Masyarakat Adat. Hampir semua mengecat tubuh (bagian dari tradisi) dan mengenakan berbagai ornamen bulu burung serta manik-manik. Wilayah yang cenderung panas membuat hampir tidak ada produk tenunan untuk pakaian, karena nyaris semua tidak berpakaian, namun bangga dengan body painting ciri khas mereka. Adat istiadat; tarian, lagu, musik, bahasa, seni perang, seni rupa mereka, masih sangat kental dan kuat. Adanya pemimpin-pemimpin perempuan yang kuat juga menjadi hal menarik lainnya. Buat saya, itu luar biasa. Di Latin Amerika yang kental budaya “laki-laki yang memimpin”, di sini perempuan berperan kuat, meskipun di komunitas-komunitas, perempuan adat masih memperjuangkan hak-haknya.

Masih ada dua hari pertemuan di mana masih akan didiskusikan isu-isu prioritas yang akan menjadi resolusi dan deklarasi penting dari Terra Livre tahun ini. Masih banyak yang mesti kami pelajari, bagaimana organisasi-organisasi di sini bekerja, bagaimana struktur dan keanggotaan, bagaimana sistem komunikasi dan koordinasi, bagaimana proses-proses pengambilan keputusan dll.

Baca juga Brazil indigenous groups clash with police in Brasilia

Yang jelas, persoalan di Brazil dan di Indonesia tiada beda. Perampasan wilayah adat untuk kepentingan bisnis, baik perkebunan, logging dan bendungan raksasa serta kriminalisasi terhadap anggota komunitas terjadi dimana-mana, bahkan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin perlawanan di kampung-kampung. Satukan semangat, bangun solidaritas global!

 

Mina Setra

Pemuda Adat Peringati Hari Bumi

Masyarakat Adat Penjaga Bumi

 

Hidup kami masyarakat adat dan wilayah adat yang kami miliki merupakan satu kesatuan, yang berhubungan satu sama lainnya. Agar hidup tetap hidup kami harus membangun dan menjaga hubungan yang baik dengan wilayah adat dimana kami berada. Karena wilayah adat adalah ruang hidup di dalamnya ada sejarah, budaya, adat-istiadat, tradisi lisan, tulisan, kepercayaan, kesenian, sumber-sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri. Semuanya itu harus itu dihormati, dilestarikan, dipertahankan dan diperjuangkan serta dikembangkan secara berkelanjutan karena hidup masa lalu, saat ini dan mendatang.  

 

Sebagai pemuda-pemudi adat, kami bersaksi:

  1. Bahwa di dalam wilayah adat itu ada kelembagaan adat yang mampu secara kolektif menjaga keutuhan wilayah adat, layanan alam dan harmoni di dalam masyarakat adat, termasuk dengan aturan-aturan dan hukum-hukum adat.
  2. Bahwa wilayah adat dan segala layanan alam yang diberikan telah dikelola, dilindungi dan dilestarikan oleh leluhur kami sepanjang masa. Para leluhur telah mengembangkan dan memperkaya tata kelola adat yang mengatur penggunaan tanah dan sumber daya didalamnya untuk memastikan kesinambungan mata pencaharian yang dapat dilanjutkan ke generasi masa akan datang. Nenek moyang kami telah mendorong keadilan dan kesamaan untuk kepentingan bersama dan mereka telah mengabdikan hidup mereka untuk mempertahankan wilayah adat. Maka kami yakin bahwa wilayah adat adalah pinjaman dari generasi yang akan datang.
  3. Bahwa perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi atas masyarakat adat, dan cara bagaimana penyelenggara negara dan undang-undang negara mendiskriminasi masyarakat adat, sesungguhnya telah membuat kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan masyarakat adat memburuk dan semakin terpuruk, serta menyebabkan krisis multi-dimensi dewasa ini.
  4. Bahwa tidak adanya pengakuan yang tegas dan perlindungan yang nyata oleh pemerintah bahwa wilayah adat adalah miliknya masyarakat adat mengakibatkan rentetan kejadian lain yang membuat masyarakat adat itu selalu menjadi korban.
  5. Bahwa kemelut ini diperparah oleh kearifan-kearifan lokal yang semakin dilupakan akibat dari perubahan sosial budaya yang sangat cepat termasuk merebaknya budaya konsumtif yang diperkenalkan pasar kepada masyarakat adat itu sendiri. Dari generasi ke generasi terasa kearifan lokal semakin tidak lagi dipelihara, padahal kearifan lokal tersebut dapat menjamin hidup masyarakat adat lebih nyaman dari generasi ke generasi.
  6. Bahwa banyak perempuan adat masih mengalami kekerasan di wilayah adatnya maupun diskriminasi di ruang publik. Hal itu telah menyulitkan diri mereka. Membatasi mereka untuk ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan publik maupun pengambilan keputusan dalam masyarakat adat bukanlah kebiasaan yang patut dilanjutkan.
  7. Bahwa perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan bencana alam termasuk yang menghilangkan tanaman-tanaman dan berbagai layanan alam yang menajdi sumber-sumber pemenuhan ekonomi masyarakat adat. Cara masyarakat adat menyesuaikan diri pada iklim yang berubah tidak secepat perubahan iklim yang drastis itu.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=sgDqDJwQXP0[/embedyt]

Sebagai pemuda-pemudi adat kami menyerukan:

  1. Kembalikan wilayah adat warisan leluhur kami.
  2. Berikan perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adat melalui pembentukan hukum dan kebijakan di berbagai tingkatan.
  3. Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang untuk mempertahankan wilayah adat.
  4. Jika ingin bumi ini tetap layak huni pada saat ini dan masa yang akan datang, dukunglah masyarakat adat untuk mengelola dan menjaga wilayah adat sesuai dengan pengetahuan masyarakat adat itu sendiri.
  5. Menghormati dan melindungi wilayah adat artinya melindungi masyarakat adat serta menjaga bumi untuk semua mahluk.
  6. Pemuda-pemudi adat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas wilayah adat serta diberikan ruang khusus untuk mendorong keterlibatan pemuda dalam pengambilan keputusan serta transfer pengetahuan dari para tetua kepada generasi muda.
  7. Pertahankan keutuhan dan kelestarian wilayah adat dari segala bentuk pengambilalihan dan penguasaan oleh pihak dalam maupun luar mana pun.

[Jhontoni Tarihoran]

Wujud Implementasi Reforma Agraria

Secara garis besar ada dua model reforma agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu Redistribusi Tanah dan Perhutanan Sosial. Namun demikian reforma agraria yang dimaksud bukanlah hanya urusan pemerintah semata. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan reforma agraria sangat penting.

Hal itu disampaikan Budiman Sudjatmiko dalam diskusi Reforma Agraria; Kepentingan Kesejahteraan Rakyat dan Kedaulatan Bangsa pada kegiatan Desiminasi pengetahuan dan diskusi reguler PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman, Jumat, 31 Maret 2017 di Lantai II Sekretariat PB HMI Jalan Sultan Agung No. 25 A Jakarta Selatan.

“Reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi tanah. Bukan juga sekadar persoalan mengatasi kesenjangan ekonomi apalagi sekadar mengatasi kemiskinan. Jauh lebih penting adalah reforma agraria punya tujuan yang transformatif untuk melahirkan, mengubah kaum tani yang lapar tanah menjadi pekerja dan enterprenuer dari tanah itu sendiri,” tegas Budiman.

Sementara itu menurut Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran yang turut memberi tanggapan dalam pertemuan ini menyatakan bahwa konflik tanah masih banyak terjadi di wilayah-wilayah adat. Masalah tata batas kepemilikan tanah masih menjadi polemik di lapangan.

“Tanah-tanah mana yang akan dibagikan pemerintah terkait dengan reforma agraria? Karena kita ketahui saat ini masih banyak persoalan tentang batas kepemilikan dan penguasaan akan tanah. Sehingga banyak terjadi konflik secara khusus di wilayah-wilayah adat,” katanya.

Hingga saat ini konflik pertanahan masih saja terjadi di berbagai penjuru nusantara. Konflik yang berkepanjangan membuat tidak adanya kepastian bagi masyarakat yang selalu berhubungan dengan pemenuhan hidupnya. Penataan batas-batas kepemilikan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi masyarakat atas wilayah berpotensi menimbulkan konflik. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab ketimpangan atas kepemilikan atau pengelolaan tanah yang menyebabkan kemiskinan.

Budiman, anggota DPR RI Komisi II itu menambahkan bahwa yang namanya konflik tanah jauh lebih pelik. Perjuangan atas tanah tak jarang sampai berdarah-darah. Tanah adalah alat produksi paling dasar, terutama bagi masyarakat adat dan atau petani.

“Di mana-mana yang namanya konflik tanah itu jauh lebih berdarah. Reforma agraria berbicara soal teritori, spasial dari kacamata kaum yang paling tidak mendapatkan apa-apa selama ribuan tahun ini. Di sinilah konteksnya, di sinilah revolusionernya, di sinilah progresifnya, di sinilah transformatifnya kalau itu diserahkan,” tegasnya.

Narasumber dari Kantor Staf Presiden (KSP) Roysepta Abimanyu mengatakan bahwa dalam pelaksanaan reforma agraria, negara tidak akan mengambil lahan yang tidak bermasalah secara administrasi. Dengan demikian pemetaan sangat penting untuk menghindari saling klaim atas kepemilikan tanah.

“Dalam penerapan reforma agraria, negara tidak akan mengambil tanah-tanah HGU, Izin dan lain-lain yang tidak bermasalah secara administrasi. Tanah yang menjadi objek reforma agraria adalah tanah dengan HGU/HGB yang telah habis, tanah timbul, tanah terlantar, HGU melampaui batas legal. Maka pemetaan menjadi salah satu yang utama untuk memastikan bahwa lahan tidak ada lagi saling klaim,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Eko Cahyono menghawatirkan reforma agraria yang mau dipraktikkan tersebut. Ia juga menegaskan bahwa saat ini reforma agaria tidak ramah investasi. Hal itu disampaikan menyikapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang akan melaksanakan seminar dengan judul Agraria yang Ramah Investasi.

“Reforma agaria juga bukan soal tanah, namun tentang ruang hidup,” ujarnya.

Lebih lanjut dia tegaskan kalau reforma agraria itu amat konstitusional dan warisan founding fathers. Kita sudahilah bicara agraria melulu soal tanah. Tidak pernah merujuk agraria itu hanya sekadar tanah, reforma agraria juga bicara soal lingkungan hidup”.

Diskusi difasilitasi Mahyudin Rumata dan dimoderatori Departemen Bidang Agraria dan Kemaritiman PB HMI Dipo Suryo Wijoyo. Diskusi berlangsung dari pukul 14:00 sampai 17:30.

 

 

Jakob Siringoringo

Mandiri Secara Ekonomi: Mencari “Kayu Bakar” yang Pas

Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) telah berjalan empat tahun. Organisasi sayap AMAN ini dalam perjalanannya telah mengalami peningkatan pesat pada periode kepemimpinan yang kedua (2015-2018). Sekalipun demikian, organisasi yang baru seumur jagung dalam dinamika di dalamnya belum menunjukkan grafik naik turun yang tajam sebagai pertanda tingginya konstelasi pemikiran dan kerja-kerjanya. Artinya, isinya secara ideologis masih tergolong mendatar.

Salah satu yang paling penting menurut penulis untuk memulai langkah penuh emosi dan pertaruhan adalah dengan mencari energi sendiri untuk menghidupi organisasi ini secara mandiri. Sampai sekarang roda pergerakan di organisasi ini masih dihidupkan dengan pelumas dari donor. Keberlangsungan ini sampai sekarang tidak bisa dipungkiri akan berlanjut. Namun demikian, sudah saatnya untuk memikirkan nasib sendiri dengan cara sendiri atau bergotong royong, bukan dengan pertolongan hibah para donor. Dengan kata lain, pemahaman atau ideologi yang kuat sudah harus melekat dalam diri pemuda adat sejak dini.

Pemahaman bersama akan kemandirian ekonomi inilah yang segera harus ditindaklanjuti, mengingat konsep atau pemikiran yang sudah mengarah ke sana akan semakin kuat. Diperkuat jika masih lemah. Kedua-duanya memang masih menjadi kendala. Karena itu memperkuat yang sudah ada dan menguatkan atau mengangkat yang masih lemah, harus ditunaikan. Satu demi satu, sudah harus ditapaki sejak sekarang.

Gagasan untuk menyalakan api di dapur sendiri ini tidak perlu lagi membutuhkan pengalaman orang lain untuk hanya sekadar studi banding. Ia harus sudah dilaksanakan, setidaknya di tataran sesama pemuda adat di seluruh wilayah didiskusikan. Dengan kata lain, mimpi meniup asap sendiri sudah harus menjadi “konsumsi” sehari-hari para pemuda adat di wilayah. Dengan harapan dari diskusi yang menjadi konsumsi harian itu, para pemuda adat bisa mengeksekusi pembentukan dapur sendiri.

Konsep lumbung

Salah satu yang menurut hemat penulis bisa ditiru dalam mengepulkan asap di dapur sendiri adalah lumbung ala masyarakat adat Ciptagelar, Banten. Mereka setiap tahun selalu membuat lumbung padi yang dinamakan Leuit. Leuit-leuit ini dibangun setiap menjelang panen. Artinya panen baru akan selalu disimpan di leuit. Dengan artian bahwa setiap tahun ada saja leuit yang penuh dan harus dibangun baru untuk menampung panen yang baru datang. Ini menjadi ketahanan pangan yang berjangka waktu panjang. Dari sisi ketahanan ini, mereka bisa menjalankan roda gerakan kehidupannya sehari-hari. Mereka hidup sederhana tanpa kekurangan khususnya dalam hal pangan.

Untuk kepentingan pesta, ritual dan sebagainya yang sifatnya umum bisa memanfaatkan lumbung ini sebagai penggerak dapurnya. Segala keperluan yang membutuhkan materi bisa dipasok oleh lumbung, meskipun di komunitas ini materi lain juga memadai jumlahnya. Artinya tidak banyak barang keperluan untuk pesta yang harus didapat melalui pertukaran materi bernilai tukar. Namun, jika misalnya materi yang ada di hutan atau ladang belum bisa dipanen, maka untuk mendapatkan penggantinya tentu saja lumbung bisa menjadi pilihan untuk menyelesaikan urusan dimaksud.

Singkatnya, roda ekonomi yang dibangun secara bergotong royong ini menjadi bukti bahwa dapur masing-masing rumah tangga bisa mengepul secara berkelanjutan tanpa kesulitan. Konsep lumbung demikian sejatinya bisa pula diterapkan ke konsep ekonomi yang akan didirikan oleh pemuda adat.

Prinsip ekonomi sendiri

Silakan dengan metode atau prinsip ekonomi yang terdapat di daerah masing-masing. Ya, berangkat menurut kearifan lokal tiap komunitas atau wilayah. Hal mana setiap masyarakat adat per wilayah pada dasarnya punya konsep ekonomi untuk survive. Hal itu terbukti dengan bertahannya komunitas tersebut melewati rintangan dari zaman ke zaman. Rerata komunitas pemuda adat punya kearifan tersebut.

Sayangnya konsep pelembagaan ekonomi seperti dewasa ini terjadi memang sudah lebih sering atau akrab dengan nama koperasi. Di mana-mana koperasi menjadi nama lembaga ekonomi yang banyak diketahui masyarakat, baik di kota maupun di kampung. Menurut penulis, koperasi pada dasarnya adalah menyamakan atau tindakan peng-homogen-an terhadap prinsip ekonomi yang dijalankan tiap-tiap komunitas adat di nusantara.

Karena itu, pemuda adat sejatinya memiliki dan bisa bergerak untuk mewujudkan kemandirian ekonomi di pos masing-masing untuk menjawab tantangan yang tak pernah berhenti arusnya. Sudah saatnya pemuda adat bangkit bergerak mengurus wilayah adat dan membangun dapur ekonomi sendiri. Melalui pemikiran ini, maka dibutuhkan gagasan kreatifitas untuk mengolah setiap potensi ekonomi yang ada di sekitarnya. Tindakan ini merupakan terobosan yang akan memakan dan menguras tenaga dan pikiran dan terlebih konsistensi dan jiwa militansi.

Dalam pada itu, pemuda adat tentulah wajib memiliki kepribadian yang militan. Esok atau lusa kehidupan organisasi tidak boleh bergantung terus kepada pihak yang “berbaik hati” memberi dukungan. Kemandirian ekonomi bukan hanya sekadar bisa menjalankan roda ekonomi sendiri tanpa butuh bantuan pihak mana pun, namun ia lebih kepada jati diri sendiri. Nilai dan kehormatan kita sebagai pemuda adat akan dirujuk dan diketahui oleh orang jika memiliki jiwa militan yang berakar pada ekonomi mandiri yang kukuh.

Beberapa konsep lain yang bisa diteladani juga untuk memperkuat ekonomi komunitas bisa kita tabung dulu. Silakan mencari dan mempelajarinya masing-masing. Setiap kebutuhan kita yang bersumber pada teladan yang teruji, layak dipedomani. Pandangan umum sebagai pemuda adat yang tangguh haruslah ditunjukkan dengan kemnadirian. Penggalangan materi dan tenaga secara bersama juga, itu lebih baik dilakukan daripada menunggu kue ajaib datang dari pihak ketiga. Karena itu kesadaran akan pentingnya mandiri secara ekonomi ini tidak cukup hanya memandang dari kepentingan keuntungan atau jenis usaha yang mau digeluti. Maka penulis berkhayal tema umum dari konsep ekonomi yang kita bangun di sini adalah ekonomi militansi.

Jadi jelas arah dan tujuan yang digapai di depan. Jelas pula tenaga dan pemahaman yang diperjuangkan bersama dalam gagasan ini. Sehingga pentingnya asap dapur sendiri mengepul tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab kitalah yang berkeinginan untuk mandiri. Kitalah yang bercita-cita menjadi pemuda adat yang bergerak mengurus wilayah adat sendiri, bukan orang lain, bukan pendamping apalagi donor. Jangan mau jadi kaki tangan donor, seberapa baiknya pun sang donor menyumbangkan kekayaannya.

Refleksi kita untuk kemandirian ekonomi ini sebenarnya cukup bercermin pada komunitas kita terdahulu. Mari kita membaca sejarah betapa nenek moyang kita mampu membangun kehidupan sendiri tanpa menjadi peminta-minta pada pihak luar.

 

[Jakob Siringoringo]

Supriadi Ditetapkan menjadi Ketua BPAN Daerah Inhu 2016-2019

Sabtu, 09 Oktober 2016 bertempat di komunitas Sipang, Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu – Riau, Supriadi dipilih dan ditetapkan menjadi ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Indragiri Hulu, Riau. Pemilihan dilakukan secara musyawarah mufakat dalam rangkaian kegiatan Jambore Daerah II BPAN Inhu yang diikuti oleh utusan pemuda adat yang berasal dari sepuluh komunitas adat yang berada di daerah Indragiri Hulu khususnya Talang Mamak. Kesepuluh komunitas itu adalah Talang Parit, Sungai Limau, Kedabu, Durian Cacar, Duapuluh Patar, Sungai Jirak, Pembumbung, Pejangki, Anak Talang dan Cenaku Kecil.

ketua-bpan-daerah-inhu-2016-2019-supriadi-tongka

Ketua BPAN Daerah Inhu 2016-2019 Supriadi Tongka

Supriadi ditetapkan menjadi Ketua BPAN Daerah Indragiri Hulu untuk meneruskan perjuangan yang telah dilakukan bersama kepengurusan periode 2016-2019 yang dipimpin oleh Nurbayus. Selain penetapan pengurus dalam kegiatan yang dilakukan selama tiga hari itu BPAN Daerah Inhu juga telah menetapkan program kerja selama tiga tahun. Hal ini juga berdasarkan refleksi dari perjalanan penyelenggaraan organisasi tiga tahun sebelumnya serta perjuangan pemuda adat saat ini khususnya di Talang Mamak.

pemuda-adat-inhu-makan-bersama

Pemuda Adat Inhu makan bersama dengan alas daun pisang.

Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoan mengatakan “pemilihan dan penetapan pengurus di tingkat daerah merupakan salah satu tugas Jambore Daerah yang harus dilakukan sesuai dengan Statuta BPAN untuk mencapai Visi BPAN: generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat. Sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dengan semangat muda kita harus memperkuat perjuangan yang terus dilakukan AMAN untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di seluruh penjuru nusantara ini.” Sembari memberikan bendera BPAN sebagai simbol perjuangan yang harus terus dikibarkan, Jhontoni Tarihoran juga mengatakan “perjuangan ini harus kita lakukan secara bersama-sama. Tidak hanya kita pertanggungjawabkan kepada organisasi saja tetapi juga kepada leluhur kita yang telah menitipkan wilayah adat serta kepada kehidupan generasi mendatang.”

lingkaran

Berdiri melingkar

“Ada banyak pekerjaan yang telah kita tetapkan untuk tiga tahun ini, saya bersedia menjadi Ketua karena teman-teman telah memilih dan akan bersedia bersama-sama untuk melakukannya. Kegiatan selama ini telah kita lakukan bersama-sama seperti pemetaan, penelusuran sejarah dan aksi penolakan perusahaan yang merusak wilayah adat kita” kata Supriadi sesaat setelah dikukuhkan menjadi Ketua Daerah Indragiri Hulu periode 2016-2019 oleh Ketum BPAN.

 

Sedangkan Ketua BPH AMAN Daerah Inhu, Abu Sanar dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan bangganya atas keterlibatan pemuda adat dalam perjuangan masyarakat adat di Daerah Inhu. “Kita layak bersyukur karena pada awalnya hanya beberapa orang saja pemuda yang terlibat dalam perjuangan bersama saya dan teman-teman. Saat ini kita terus bertambah jumlahnya di berbagai komunitas. Hal inilah yang harus terus kita bangkitkan setelah pengurus yang baru telah ditetapkan. Saya juga bangga atas dorongan dari Pengurus Nasional BPAN melalui kehadiran saudara Jhontoni Tarihoran yang sudah kedua kalinya untuk membangkitkan semangat pemuda di Daerah Inhu untuk mengurus wilayah adat” katanya.

 

Sementara Ketua AMAN Wilayah Riau Juindra mengharapkan agar Ketua yang baru ditetapkan perlu dukungan dan kerjasama dari anggota serta organisasi induk dalam menjalankan program yang telah ditetapkan bersama-sama. ”Selama tiga hari ini kita telah belajar dan menetapkan program BPAN periode 2016-2019. Seperti yang dikatakan Supriadi selaku Ketua, kita harus bersama-sama untuk melaksanakan program dan rekomendasi-rekomendasi yang muncul dalam pertemuan ini. Dia sendiri tidak akan kuat tanpa dukungan dari kita” tutupnya. ***

Media BPAN

 

Toni Syamsul Pimpin Baralosa Periode 2016-2019

Lombok (3/10/2016) – Bertempat di Komunitas Krama Adat Sembalun Bumbung, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat, Barisan Pemuda Adat Lombok Sumbawa (Baralosa) melaksanakan Jambore Wilayah II. Baralosa sebagai wadah perjuangan pemuda adat di Nusa Tenggara Barat dideklarasikan pada 24 Oktober 2011 dan bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Jambore wilayah ini dimulai di Bale Geleng, Komunitas Kemangkuan Tanaq Sembahulun yang diawali dengan doa bersama dan sambutan-sambutan dari Ketua BPH AMAN Wilayah Nusa Tenggara Barat, Ketum Umum BPAN Jhontoni Tarihoran dan Dewan AMAN Nasional Kamardi, S.H., sekaligus membuka Jamwil II Baralosa. Acara pembukaan dihadiri oleh Pengurus AMAN Wilayah Nusa Tenggara Barat dan utusan pemuda adat dari berbagai daerah: Mataram, Lombok Tengah, Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Bima dan Dompu.

Para pemuda adat Lombok tengah mengucapkan janji pemuda adat

Para pemuda adat Lombok tengah mengucapkan janji pemuda adat

Setelah pembukaan, kegiatan kemudian dilanjutkan di Patra Guru suatu tempat yang merupakan situs ritual komunitas Krama Adat Sembalun Bumbung. Di tempat ini Baralosa melakukan diskusi sekitar dua hari dengan mendirikan tenda. Jambore menjadi ruang refleksi bagi Baralosa atas perjalanannya sebagai suatu organisasi pemuda adat.  

Peserta berbagi informasi atas situasi atau persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat adat di berbagai daerah. Demikian juga dengan berbagai masalah organisasi di tingkat wilayah, daerah dan kampung yang menjadi pembahasan pada kegiatan jambore. Pembahasan dan penetapan keputusan-keputusan pada Jamwil II Baralosa NTB kali ini dilakukan dengan metode partisipatif yaitu metode ‘warung kopi’.

Pemilihan Ketua Baralosa masa bakti 2016-2019 disepakati tidak akan menggunakan metode voting. Namun dalam proses penetapan ketua dari dua orang calon sempat terjadi perdebatan antara peserta. Perdebatan itu pun mengarah ke penetapan ketua agar dilakukan secara voting. Kepada dua calon pun diberikan waktu khusus untuk berdiskusi memutuskan salah seorang di antaranya untuk ditetapkan mejadi ketua, akan tetapi hal itu pun tidak menjadi jalan keluar. Sebelumnya bakal calon ketua yang diusulkan oleh peserta terdiri dari tiga orang yaitu: Suniardi dari Sembalun daerah Lombok Timur, Lalu Kusuma Jayadi dari Lombok Tengah dan Toni Syamsul Hidayat dari Lombok Utara. Namun Suniardi tidak bersedia untuk menjadi calon ketua, sehingga yang menjadi calon terdiri dari Lalu dan Toni. Hingga menjelang pukul 17:00 mufakat antara semua peserta dan kedua calon tercapai dengan menetapkan Toni Syamsul Hidayat sebagai ketua PW Baralosa Nusa Tenggara Barat masa bakti 2016-2019. Sebelumnya Baralosa dipimpin oleh pejabat Ketua Syahadatul Khair setelah Raden Saepudin meninggal dunia pada tahun 2014 yang lalu.

Sebelum acara penutupan, pelantikan dan pengukuhan Ketua terpilih Toni Syamsul Hidayat dilakukan oleh Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran dan disaksikan peserta jambore. Kemudian kegiatan ditutup secara resmi oleh Dewan Pemuda Adat Nusantara region Bali-Nusa Tenggara (Bali-Nusra) Mohamad Kesumajayadi. ***

[Media BPAN]

BPAN Gelar Pelatihan Kepemimpinan Generasi Penerus

bpan.aman.or.id – Sungai Utik kembali menjadi tempat penyelenggaraan pelatihan yang sudah dimulai sejak 2014. Tiga kali berturut-turut pelatihan ini diadakan di komunitas Dayak Iban itu.

Tahun 2016 terdapat 24 peserta yang mengikuti pelatihan ini dari berbagai wilayah adat: Tano Batak (Sumut), Talang Mamak (Riau), Jambi, Palembang, Banyuwangi (Jawa Timur), Semunying (Kalimantan Barat), Sungai Utik (Kalimantan Barat), Pulan (Kalimantan Barat), Kalimantan Selatan, Punan (Kalimantan Utara), Paser (Kalimantan Timur), Ranowangko (Sulawesi Utara), Sulawesi Tengah, Flores (NTT), Molo (NTT), Halmahera (Maluku Utara), dan Moi (Papua Barat).

Para peserta: pemuda yang bertekad baja untuk mengurus dan memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran perusahaan yang semakin menggila. Semua peserta diberangkat dan dipertemukan oleh perasaan senasib sepenanggungan. Keadaan wilayah adat yang menggawat dan menimbulkan krisis menjadi titik semangat perjuangan mereka untuk mengikuti pelatihan berdurasi tiga minggu.

Hadir beberapa fasilitator dalam pelatihan ini antara lain Serge Marti – Simon Pabaras – Eny Setyaningsih dari LifeMosaic, Mina Susana Setra dari AMAN, Jhontoni dari PN BPAN, Muhamad Yusuf dan Ahmad Mursidi atau yang akrab disapa Tole dari Taring Padi (seniman), Sandrayati Fay (musisi), Olvy Tumbelaka – Nedine Helena Sulu – Herkulanus Edmundus – Melianus Ulimpa (peserta 2015) dan Noer Fauzi Rachman (Kantor Staf Kepresidenan/KSP).

Seluruh peserta dan fasilitator tinggal bersama di Rumah Panjang atau Rumah Betang atau dikenal juga dalam bahasa setempat Rumah Panjai. Rumah Panjai yang berjumlah 28 bilik atau 28 pintu menjadi tempat bermain, belajar, tidur dan segalanya. Peserta yang ada pun diacak penempatannya dalam berbagai bilik, sehingga tidak semua bilik terisi penuh oleh peserta atau fasilitator.

Hening

Alam Sungai Utik nan indah untuk tempat bermain dan belajar memang tiada taranya. Tidak ada keributan ataupun usikan yang memungkinkan timbulnya ketidaknyamanan selama pelatihan. Semua peserta mendapati dirinya dalam kehangatan dan kebahagiaan yang sudah sulit dijumpai di tempat lain.

Kuatnya tradisi menjadi satu hal yang mengikat dan menciptakan seluruh suasana nyaman dan tenang yang kami alami. Tradisi adat yang kuat itu berjalan biasa, mengalir, bukan dibuat-buat saat kami datang. Itu merupakan kebiasaan mereka sejak dahulu sehingga kehidupan masyarakat kampung tertata rapi dan bebas dalam aturan main adat yang mereka sepakati dan praktikkan terus-menerus.

Hening di sini yang paling penting bukan saja tidak banyak suara bising seperti dari kendaraan roda dua, tiga, empat bahkan lebih atau suara riuh masyarakat. Hening dalam arti mendalam adalah tidak ada satu pun perusahaan perampas tanah atau hutan di sepanjang wilayah adat Sungai Utik. Inilah kenyataan yang membanggakan sebab sangat jarang sekali terdapat wilayah adat yang jauh dari taring korporasi perusak lingkungan dan kehidupan.

Masyarakat adat Sungai Utik benar-benar tidak mau menerima perusahaan yang datang ke wilayah adat mereka. Kegigihan dan keteguhan menolak “pembangunan” tersebut sungguh kenyataan yang terbukti, meskipun seolah dalam mimpi. Kesadaran mereka akan begitu berharganya hutan, ladang, sungai dan segala yang ada di wilayah adatnya membuat mereka tidak bisa disentuh oleh rencana-rencana jahat.

“Kami dibilang kolot. Tidak mau pembangunan, ketinggalan zaman dan bodoh oleh masyarakat adat tetangga. Begitu pun orang-orang Pontianak (ibukota Kalimantan Barat),” cerita Rengga pemilik bilik dua.

Masyarakat adat Sungai Utik dicap tidak mengikuti perkembangan zaman. Terisolasi dalam keterbelakangan seperti setia dalam penggunaan pelita, walau belakangan sudah masuk solar panel, listrik bersumberkan cahaya matahari. Lebih jauh bahkan dalam Oktober nanti, listrik negara akan mulai masuk. Namun itu semua adalah jenis kebutuhan yang bukan pertanda kemajuan. Itu sebabnya orang Sungai Utik tidak ambil pusing soal kedatangan listrik yang bagi masyarakat di luar Sungai Utik, itu merupakan suatu anugerah zaman. Dengan kata lain rencana kedatangan PLN ke Sungai Utik bukanlah atas permohonan yang memelas sehingga pemerintah akan memasukkan listrik. Kebijakan tersebut bagi masyarakat adat Sungai Utik tidak memengaruhi kebiasaan atau kebudayaan mereka sebagai orang yang pantang berjabat tangan dengan korporasi yang bersifat eksploitatif.

Pelatihan

Selama pelatihan, seluruh peserta selalu terlibat aktif. Dengan beragam metode yang disajikan fasilitator, ya sangat memperkaya bekal peserta untuk menjadi fasilitator di komunitasnya masing-masing. Metode partisipatif dan berbentuk lingkaran selalu menjadi ruang yang diciptakan untuk memulai dan melanjutkan setiap kegiatan. Efektifitas lingkaran tentu sangat terasa sekali bagi seluruh peserta dalam mengikuti pelatihan yang dinikmati dengan serius, santai, dan selesai itu.

Menurut Ibu Viktoria Mael, peserta asal Nusa Tenggara Timur, jenis pelatihan ini berbeda sekali dengan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelatihan ini mengantarkan peserta pada tingkat partisipasi yang maksimal sehingga setiap sesi yang memunculkan pembahasan atau masalah yang harus dihadapi selalu dipecahkan secara bersama-sama. Dalam duduk melingkar diibaratkan bahwa semua orang setara, sehingga tidak ada yang mendominasi atau malah menguasai kegiatan.

“Jadi, menurut saya ini adalah pelatihan yang sangat bagus. Sebelumnya saya bekerja di birokrasi dan mendapat pelatihan namun bentuknya hanya searah. Bahkan kita tidak punya waktu untuk menyatakan pendapat. Kita selalu hanya jadi pendengar,” tuturnya dengan wajah mengkerut seakan kesal dengan pengalaman di birokrasi.

Berbeda dengan Ibu Viktoria atau yang biasa disapa Ibu Viki itu, Jafri pemuda adat dari Talang Mamak menyampaikan bahwa pelatihan dengan bercermin pada metode-metode yang digunakan sudah pernah ia ketahui. Hal itu ia dapat dengan turut mempraktikkan beberapa metode dalam pelatihan ini secara langsung di Talang Mamak bersama dengan Eny dan Simon dari LifeMosaic.

“Namun ada beberapa yang menurutku itu sangat bagus. Misalnya, selain metode baru, kehidupan masyarakat di sini itu sangat perlu diteladani,” kata pemuda yang lihai berpantun ini.

Pelatihan ini memang berbeda dengan yang umum dikenal di mana-mana. Meskipun ada banyak pelatihan yang mungkin sudah merubah caranya dalam menyajikan metode-metodenya, yang pasti ini adalah salah satu yang baru dalam gerakan masyarakat adat khususnya. Berikut perlu disampaikan bentuknya yang sudah bergeser dari pelatihan biasa, sekalipun sudah ditonjolkan beberapa di paragraf sebelumnya.

Metode lingkaran

Sejak awal seluruh peserta tiba di Rumah Panjai, Sungai Utik, duduk melingkar sempurna telah diperagakan. Seterusnya setiap ada pembicaraan atau setiap masuk sesi, duduk melingkar dan kadang berdiri sebelum memulai, misalnya sekadar bernyanyi untuk memompa semangat, selalu dilakukan dengan melingkar penuh. Dengan demikian dalam duduk melakukan sesi, semua peserta maupun fasilitator yang memfasilitasi berada dalam keliling cincin.

Falsafah lingkaran sangat sederhana. Setiap orang berada dalam posisi yang sama. Secara fisik, semua orang bisa bertatap muka dan karena itu tidak ada yang membelakangi maupun yang dibelakangi. Tambahan lagi, posisi melingkar ini mempersembahkan pemaknaan bahwa kesetaraanlah yang diutamakan, sehingga semua orang bebas berpendapat. Tidak peduli benar atau salah. Sebab semua orang adalah guru. Satu dengan yang lain bisa menyampaikan pendapat, juga mendengar apa pesan orang lain.

Duduk melingkar ini sudah dipraktikkan cukup banyak oleh masyarakat adat di Filipina. Di negeri bekas sekutu Amerika itu sekarang telah ada pendidikan adat yang jenjangnya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Metode belajar dan berdiskusi yang selalu mereka gunakan adalah dengan duduk melingkar atau berdiri melingkar.

Demikianlah metode ini dalam setiap sesi selalu dipergunakan. Untuk menggali pendapat pun dilakukan mengalir secara melingkar sehingga tidak pernah terjadi dominasi satu atau dua orang yang sudah tahu atau sok tahu atas suatu pemahaman. Semua turut menyumbang pendapat, sekalipun tidak relevan dengan topik atau pertanyaan yang diajukan bersama.

Terkait lingkaran lagi, satu metode yang diperlukan dan dipergunakan untuk memfasilitasi peserta untuk berkontemplasi terkait dirinya masing-masing dengan wilayah adatnya yaitu Lingkaran Jiwa. Metode ini merangkai setiap jiwa yang saling mendapat pengalaman betapa wilayah adatnya semakin terancam oleh rakusnya penguasa dan pengusaha. Juga sebagai keterhubungan antara satu dengan yang lain dalam skopnya memperjuangkan wilayah adat yang sebab dan penyebabnya tidak berbeda jauh.

Dalam sesi ini, siapa saja dituntut untuk hening dan memikirkan nasib masa depan di wilayah adat masing-masing. Kompleksitas persoalan yang telah dimulai penjahat sejak masa lalu dan berlangsung terus di masa kini direnungkan untuk kemudian dipikirkan bagaimana supaya semakin marak orang menyadari betapa pentingnya menjaga bumi, salah satunya lewat masyarakat adat, untuk membayangkan masa depan yang berhasil tanpa kerakusan kekuasaan.

Dalam praktik bermeditasi sederhana ini, disajikan batu, ranting, bakul kosong, dan daun-daunan sebagai simbol empat hal yang bisa mewakili perasaan setiap orang akan apa yang terjadi atas wilayah adatnya. Batu merupakan simbol ketakutan atas apa yang telah terjadi di wilayah adat, namun sekaligus juga simbol kekuatan atau keteguhan yang mana ketakutan jika semakin lama mengendap akan mengeras menjadi kekukuhan dalam setiap orang. Ranting merupakan simbol kemarahan atas segala kerusakan dan perusakan yang terus terjadi di wilayah adat. Di mana penguasa dan selingkuhannya: pengusaha, selalu menaburkan kebencian terhadap alam dan kepada manusia. Mereka tak henti-hentinya merusak hutan, merampas tanah dan akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat adat pemilik tanah itu. Bakul kosong yaitu simbol perasaan yang kosong. Kecut. Terkadang perasaan masyarakat adat sudah kosong sebab segala sesuatunya memang sudah dirampas oleh negara dan korporasi yang terus merajalela. Daun-daunan menjadi simbol kelemahan, keragu-raguan. Di titik ini siapa saja yang berjuang bersama masyarakat adat atau yang mempertahankan tanahnya dari ancaman bertubi-tubi penakluk dengan ganasnya sangat terasa bisa melumpuhkan kekuatan. Siapa saja peserta diperbolehkan untuk menyampaikan isi hatinya dalam Lingkaran Jiwa dengan memegang simbol-simbol yang mewakili kemarahan, ketakutan, kekosongan, bahkan keraguannya. Dan setiap siapa saja yang sudah selesai menumpahkan kegeramannya, dan kembali ke barisan cincin, peserta lainnya merangkul dan menguatkan dan meneguhkan dengan mengucapkan kata-kata “aku bersamamu” secara serempak.

Barangkali ada penjelasan lain yang belum tertuang dalam paragraf di atas. Akan tetapi, Lingkaran Jiwa merupakan suatu metode mendasar yang dibutuhkan dan diperlukan untuk menyentuh hati siapa saja yang benar-benar mau memperjuangkan hak-hak atas wilayah adatnya. Dengan demikian, metode ini bisa dikatakan salah satu metode yang sangat berharga.

Panen

Salah satu yang menarik dari pelatihan ini adalah peniadaan notulensi. Notulensi atau mencatat setiap sesi yang dilewati ke dalam catatan bundel dianggap tidak relevan lagi. Satu alasan yang paling sering diucapkan mengapa notulensi ditiadakan adalah kurang berfungsinya catatan setelah serangkaian pelatihan selesai diadakan. Catatan yang membundel dikatakan hanya menjadi dokumentasi yang tidak bermanfaat sebab selesai kegiatan, catatan itu akan tenggelam menjadi bundel, tidak akan tersentuh oleh peserta atau siapa saja. Sebab jika sudah dicatat hingga menghabiskan sebuah buku atau lebih ditulis tebal, orang akan malas membaca atau membukanya.

Karena itu, panen adalah solusi alternatif yang dimanfaatkan dalam pelatihan ini. Panen ialah penjabaran dan pemahaman ulang atas sesi yang telah dilewati sehari sebelumnya. Jadi setiap pagi sebelum sesi baru dimulai, selalu disajikan terlebih dahulu panen dari sesi-sesi di hari sebelumnya. Selain panen harian, terdapat juga panen raya. Panen raya yaitu panen atas semua atau ¾ jalannya kegiatan sebelum diakhiri dengan panen raya yang kali kedua dengan merangkum keseleruhan proses sejak awal sampai akhir segala sesi.

Panen ini sendiri memiliki kelebihan atau keunikan tersendiri. Panen harian misalnya disajikan dengan berbagai cara yang menarik, attraktif dan sekaligus padat atau langsung pada intinya. Adapun beberapa cara yang dilakukan dalam panen ini di antaranya model: talk show, live report/laporan reporter secara langsung di lapangan, puisi, lagu/bernyanyi, pantun, teatrikal, drama, gambar poster, pantomim, diorama, presentase/pemaparan, komedian.

Semua model panen tersebut dipraktikkan, sehingga dengan melihat jenis-jenis tersebut setiap peserta bisa memilah satu atau dua cara yang menarik yang bisa dipraktikkan di wilayah adatnya masing-masing. Juga jika memungkinkan semua model tersebut pun akan dimainkan bahkan lebih. Tergantung kreativitas si fasilitator yang akan memfasilitasi pertemuan tentang membicarakan masalah di wilayah adat masing-masing. Dengan demikian, siapa saja yang tergabung dalam pembicaraan tersebut diharapkan bisa menangkap dengan lebih mudah, ringan, tidak membosankan apalagi membuat ngantuk. Sebab masyarakat adat/pemuda adat yang akan difasilitasi di wilayah/komunitas tentu tidak semua orang kekotaan atau sekolahan yang terbiasa disuapi dengan metode pembelajaran yang selalu bergantung pada catatan kaku minus atraksi.

Dengan kata lain, metode panen ini sebenarnya lebih menekankan pada kebutuhan masyarakat yang lebih terbiasa menangkap pesan dengan: mendengar dan melihat. Masyarakat yang lebih condong visual atau audio akan sangat mudah didekati dibandingkan dengan memaksakan mereka mengikuti pendekatan tertulis. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut tradisi lisan jelas lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan lewat audio visual, yang sifatnya lebih menghibur—dengan catatan isi atau esensi yang hendak disampaikan tidak hilang atau bahkan tidak ada.

Menonton film

Metode lain yang terdapat dalam pelatihan ini adalah menonton film. Terdapat beberapa film yang diputar sesuai tema sesi yang bergulir. Mulai dari film tentang krisis di wilayah adat, misalnya film “di Balik Kertas”. Selain itu film mengenai pendidikan yang memenjarakan manusia di masa lalu bahkan membuat masyarakat adat jadi robot yang tidak tahu apa-apa dan ditarik ke kota untuk kepentingan sekolah. Sementara tanah adat beserta potensi sumber daya yang ada di dalamnya dihisap sampai habis. Pendidikan Barat yang ditunjukkan menyatakan bahwa masyarakat di kampung itu primitif, karena itu harus diajarkan pendidikan modern yang merupakan milik Barat dan jelas tujuannya untuk mengeksploitasi.

Film lain yang menginspirasi juga ditayangkan. Beberapa film yang ada diputar menurut alur sejarah, bagaimana terjadi datangnya krisis, hilangnya tanah, lalu kini perampasan tanah malah tambah marak di mana-mana. Namun di ujung sesi menonton film, disajikan pula film yang menginspirasi di mana harapan-harapan atau upaya untuk terus menjaga semangat perjuangan ditunjukkan dengan melihat perkembangan perjuangan di belahan benua lain. Film yang menantang di mana diceritakan bahwa masyarakat adat harus punya impian di masa depan yang disebut Rencana Kehidupan atau dalam bahasa Spanyol disebut Plan de Vida.

Selain metode yang akan menjadi bekal calon fasilitator, diskusi seputar krisis yang muncul di lapangan adalah satu hal pokok yang dilakukan dalam pelatihan ini. Membuka ruang untuk memahami bersama kondisi masyarakat adat dan wilayah adat berserta isinya juga keadaan atau perkembangan terkini yang mana orang-orang dari wilayah adat sendiri abai bahkan apatis akan apa yang terjadi di wilayah adatnya, merupakan hal esensial. Di sini pulalah dibahas hal itu sedemikian rupa sehingga peserta bisa memahami arah kejadian yang sudah lama menimpa masyarakat adat di wilayah adatnya dan perubahan tak kunjung ada. Dengan diskusi yang membicarakan itu pula, peserta memetik pelajaran betapa pembodohanlah selama ini yang telah menjadi badai besar melanda kampung.

Dalam hal ini pembahasan yang dibuka adalah melalui pendidikan. Terdapat pendidikan konvensional yang mana arahnya selalu meringankan langkah si pemuda adat untuk meninggalkan kampung. Untuk ini, Noer Fauzi Rachman atau biasa disapa bang Oji menyebut fenomena ini dengan “Ilmu Pergi”. Akhirnya pemuda adat kerap kali memunggungi wilayah adat, tanah kelahiran atau kampung halaman sendiri dan bersusah payah bergerak cepat ke kota. Itulah pendidikan konvensional yang dipraktikkan terus-menerus sejak masa dini, SD, SMP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Tidak ada pendidikan yang membuat masyarakat untuk kritis berpikir. Inilah pendidikan yang merupakan kepanjangan dari sistem pendidikan Barat di masa kolonial atau jauh sebelumnya. Sistem pendidikan ini oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan asal Recipe-Brazil, disebut dengan sistem pendidikan gaya bank. Menabung terus-menerus.

Terkait itu, pendidikan populer atau pendidikan yang membebaskan merupakan berita lain dari sisi pendidikan konvensional yang dibahas. Pendidikan yang membebaskan ini dibahas dengan menyertakan materi bacaan yang wajib dibaca dan dibahas per kelompok. Kemudian dipanen dengan menarik satu kata atau kalimat terkait apa yang dipahami dari bacaan tersebut. Selanjutnya disambung dengan menjembatinya melalui lagu “Semua Orang Itu Guru”. Lagu ini merupakan cerminan dari pendidikan yang membebaskan terutama dari gagasan Paulo Freire. Lagu tersebut pun dibedah dengan menarik inti-inti dari setiap baris lagu.

Terbitan, Poster, Lagu

Hal lain yaitu membuat terbitan sendiri sebagai alat perjuangan yang bisa disebarkan secara luas. Terbitan ini merepresentasikan dokumentasi tertulis yang bisa digarap sederhana, murah, cepat dan menjadi corong perlawanan yang muncul langsung dari masyarakat adat itu sendiri. Pengerjaannya pun asyik dan dilakukan bergotong royong.

Isi terbitan misalnya disepakati cukup: puisi, komik dan tulisan bebas. Lalu untuk memulainya maka dipilih topik yang sesuai dengan persoalan yang tengah dialami atau dihadapi. Setelah selesai proses penulisan atau pembuatan gambar/komik, maka dilanjut ke proses lay out atau tata letak. Untuk mengakhiri, maka tulisan atau komik diurut dan ditempel membentuk buku.

Poster adalah cara lain yang turut dipelajari dalam pelatihan ini. Poster atau seni gambar merupakan jenis perlawanan lainnya yang diekspresikan lewat seni. Untuk mencipta karya ini, langkah awal tetap sama yaitu menentukan tema yang akan menjadi acuan seluruh gambar yang akan dilukis.

Lagu juga menjadi satu alat yang bisa dijadikan alat perlawanan. Banyak lagu yang dicipta sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan sosial. Terkhusus dalam pelatihan ini, seluruh peserta dilibatkan untuk mencipta lagu. Proses ini dilakukan dengan menemukan lirik lagu secara gotong royong. Langkah berikutnya, Tole dan Sandrayati berkolaborasi untuk menemukan nadanya. Begitulah lagu diciptakan bersama dan dinyanyikan juga secara bersama sebagai wujud perlawanan masyarakat adat.

Di atas semuanya itu satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam setiap aksi adalah dokumentasi. Dokumentasi sangat penting untuk menunjukkan kepada audiens atau target sasaran. “Suatu kali kami mengadakan aksi menolak pabrik PLTU Batang. Setelah membuat poster, replika ikan, mengorganisir massa, dan lain-lain, hal terakhir adalah dokumentasi. Selain foto, kami buatkan juga videonya. Video ini kami sebarkan seluas-luasnya agar pesan masyarakat Batang sampai ke target,” kisah M. Yusuf atau biasa disapa Mas Ucup.

Meditasi

Keterpanggilan pemuda untuk mengurus wilayah adat tidaklah cukup hanya melalui pembicaraan teoritis. Setelah melewati beragam metode yang dipraktikkan langsung dalam pelatihan ini, pemuda adat juga diajak untuk mengenal tanah secara emosional dari jarak sangat dekat. Teknik ini merupakan penghayatan penuh terhadap alam.

Proses ini dilakukan dengan bermeditasi di hutan selama satu malam penuh. Jadi setiap peserta dengan masing-masing satu pondok kecil akan menjalani meditasi. Selama satu malam penuh tersebut benar-benar menjadi penghayatan mendalam terhadap alam dengan segala isinya. Dengan caranya masing-masing setiap peserta mendapat pengalaman unik.

Namun, pada dasarnya meditasi ini diperuntukkan demi mengenal alam lebih intim. Sekaligus juga untuk merefleksikan kondisi bumi yang semakin hancur dirusak oleh perusahaan ganas atau manusia serakah yang hanya mementingkan isi perut sendiri dan kelompoknya. Dengan kata lain, metode ini merupakan penajaman kepekaan terhadap penting dan sangat berharganya alam terkhusus tanah di wilayah adat. ᴥᴥᴥ

[Jakob Siringoringo]

Jambore II BPAN Palangka Raya

Walau pun terkesan klasik, namun  Ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat adat telah berdampak buruk bagi kaum mudanya. Banyak pemuda adat yang kemudian menjadi buruh di tanahnya sendiri karena sumber daya alamnya telah dieksploitasi secara massif oleh beragam perusahaan tambang maupun perkebunan skala besar.  Pada titik inilah, BPAN sebagai organisasi menjadi wadah kaderisasi dan perjuangan masyarakat adat di lini pemuda khususnya di Kota Palangka Raya.

Meneruskan mandat pengembangan BPAN di setiap daerah, maka Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Kota Palangka Raya melakukan Jambore Daerah II dengan konsep “Kemah Pemuda Adat” selama tiga hari yaitu dari tanggal 22 s/d 24 Juli 2016 di Bumi Perkemahan Kambariat Tuah Pahoe, Kereng Bangkirai Palangka Raya yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan pemuda adat yang ada di Kota Palangka Raya berjumlah 12 orang. Kegiatan Jambore Daerah ini merupakan mekanisme tertinggi dalam organisasi sebagai metode pengambilan keputusan terkait pergantian pengurus organisasi. Ajang ini  digunakan sebagai momen pemilihan pengurus organisasi di mana terpilih secara aklamasi untuk kali keduanya Murniasih sebagai Ketua BPAN Kota Palangkara periode 2016-2019.

Sebelum pelantikan ketua daerah dilakukan, selama 3 hari peserta diajak melakukan serangkaian kegiatan, mulai dari seremoni, diskusi terbuka, mengenal budaya, menelusuri wilayah adat, dan merumuskan program kerja organisasi.

Jamda II Palangka Raya b

Foto bersama

Bangunan program kerja BPAN Kota Palangka Raya yang berhasil dirumuskan tersebut dialaskan dari persoalan-persoalan nyata yang dirasakan oleh para pemuda adat, seperti rapuhnya rasa persaudaraan di tingkat pemuda adat Kota Palangka Raya, sikap acuh tak acuh yang marak terjadi di kalangan pemuda adat Kota Palangka Raya dan  malu menggunakan bahasa lokal dalam percakapan sehari-hari, dan lain-lain. Berdasarkan persoalan ini maka pemuda adat perlu membangun rasa kolektivitas dan kepercayaan diri untuk berpijak pada kebudayaannya dan sikap pergaulan yang merujuk pada integritas masyarakat adat secara umum.  Selain itu, peningkatan kapasitas dalam hal pengkaderan keanggotaan dan penguatan kelembagaan/ organisasi juga penting untuk dilakukan  oleh BPAN Kota Palangka Raya

Pertemuan ini juga berhasil merumuskan Program Kerja BPAN Kota Palangka Raya. “Selain merumuskan program kerja, lewat pertemuan ini kita harus memberikan sebuah pikiran rekomendasi terkait perjuangan masyarakat adat,” kata Ketua PW BPAN Kalteng Kesyadi Antang.

Menurut Kesyadi saat ini dan seterusnya mendesak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mengesahkan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak  Masyarakat Adat, membentuk instansi/badan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Selain itu juga mendesak Pemerintah Kota Palangka Raya membuat regulasi dalam bentuk Perda (peraturan daerah) untuk memperkuat dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 supaya hak-hak masyarakat adat semakin jelas dan bertambah kuat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah adatnya masing-masing.

[BPAN]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish