Kasepuhan Karang Inspirasi Baru Usia 26 Tahunku
Pemuda Adat – Embun pagi menyelimuti perjalanan panjangku saat itu, tepat hari kamis 16 November 2017 dan seiring perjalanan itu terhentak ternyata hari ini usiaku bertambah satu tahun dan masa hidupku semakin berkurang. Perjalanan panjang dimulai dari langkah kakiku ketika turun dari rumah pada pukul 05.00 dengan perjalanan menuju bandara Supadio. Sepuluh menit sebelum keberangkatan dimulai, namaku sudah dipanggil petugas bandara untuk segera memasuki pesawat dan alhasil aku harus lari dengan kecepatan maksimal yang kumiliki.
Setiba di Jakarta aku harus kembali melanjutkan perjalanan dari bandara Soekarno Hatta menuju stasiun Tanah Abang dan bergeser dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Rangkasbitung dengan waktu tempuh kurang lebih dua jam, dan akhirnya pukul16.00 aku tiba di stasiun Rangkasbitung itu. Beberapa jam istirahat sembari menunggu beberapa temanku yang masih di kereta belakang.
Dengan perasaan gembira dan penuh semangat jam terus berputar saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Aku dipertemukan dengan teman-teman Nusantara-ku, dan aku bersama teman-teman Nusantara-ku melanjutkkan perjalanan ke Komunitas Adat Kasepuhan Karang dengan menggunakan bis mini, tepat pada pukul 22.00 aku dan teman-teman tiba. Suhu udara sangat dingin beda dengan suhu udara di Kalimantan.
Agenda hari pertama aku dan teman-teman adalah untuk melakukan Rapat Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (RPN BPAN) di mana BPAN merupakan organisasi sayap AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang fokus dengan isu-isu pemuda adat yang ada di Indonesia. BPAN sendiri tersebar di 18 Pengurus Wilayah dan 34 Pengurus Daerah yang beranggotakan 874 anggota di seluruh Indoesia.
Kegiatan RPN dimulai pada pukul 10.00 di ruang Rapat Kantor Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak Banten. Rapat Pengurus Nasional hari ini merupakan RPN terakhir untuk menuju Jambore Nasional BPAN 2018. RPN terakhir ini berbeda dengan RPN sebelumnya, di mana kali ini dalam rapat aku dan teman-temanku fokus melakukan refleksi organisasi dan persiapan menuju jambore nasional 2018.
Dengan Wajah penuh keseriusan saat itu, rapat kami mulai, RPN ini dihadiri Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran, Koordinator Dewan Pemuda Adat Nusantara Kristina Sisilia Boka DePAN Region Sulawesi, Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Kalimantan (Modesta Wisa), Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Papua (Melianus Ulimpa), Dewan Pemuda Adat Region Jawa (Moh Jumri), Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Sumatera (Anton Suprianto) dan Dewan Pemuda Adat Region Bali-Nusra (Muhamad Kusumayadi), Derlin salu (Bendahara BPAN), Jakob Siringoringo (Staf Komisi 1 Pengorganisasian) dan Andi Gustaf Lekto (Staf Komisi 2 Media Propaganda, advokasi dan Partisipasi Politik).
Setelah melakukan proses refleksi RPN menghasilkan usulan-usulan yang akan masuk didraf untuk menuju Jamnas 2018. Hasil Rapat Pengurus Nasional juga membentuk panitia nasional dengan dibagi menjadi Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana. Waktu terus berputar jam menunjukkan 19.00, dengan tampak muka lusuh serta bercampur aduk perasaan karena kami berpikir semakin banyak lagi PR yang akan dipersiapkan.
Aku dan teman-teman bersepakat untuk mengakhiri RPN, dan kami kembali ke rumah rumah warga di mana tempat kami menginap. Kurang lebih 10 menit menggunakan motor menuju rumah warga, aku dan teman-temanku menikmati angin malam yang begitu segar dengan ditambah bunyi kincir angin yang terus melaju berputar, membuat proses perjuangan untuk terus berlanjut dan tak boleh dihentikan.
Hari kedua kami disuguhi dengan tawaran untuk pergi ke ‘Leuweng Adat’di mana Leuweng adat adalah Hutan Adat yang diperjuangkan oleh masyarakat Kasepuhan Karang dari status taman Nasional Halimun Salak yang kemudian dikembalikan oleh Presiden Jokowi melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tepat pada Desember 2016 yang lalu, dengan luas 486 Ha hutan adat yang dikembalikan saat itu. cerita proses perjuangan masyarakat Kasepuhan Karang ini, diwakili oleh Pak Jaro Wahid yang merupakan Kepala Desa Jagaraksa dan merupakan penggerak dari proses perjuangan masyarakat di Kasepuhan Karang.
Pendidikan Politik Generasi Penerus Masyarakat Adat dengan Tema’ Yang Muda Yang Berpolitik’ segera dimulai, dengan dibuka melalui permainan yang saya fasilitasi dan kemudian menyanyikan Mars BPAN, lagu “Tanah Ini Milik Kita” yang difasilitasi Melianus Ulimpa serta Kristina Sisilia atau biasa saya panggil kak Sisi. Lingkaran pun kami bentuk, di mana kami pun berdiri di tanah yang sengaja dibangun dengan konsep melingkar.
Mengapa melingkar? Bukan kotak-kotak atau segitiga atau seperti baris berbaris. Melingkar kami maknakan merupakan dari kesetaraan bahwa yang berkumpul di sini adalah sama, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Dengan metode lingkaran kita bisa melihat satu sama lainnya, dengan lingkaran pula tidak akan ada penyusup yang bisa masuk. Dengan diberikan anak tangga yang melambangkan bahwa yang ada di bawah bisa menjadi penopang untuk bergerak, dalam proses perjuangan. Diskusi pun dimulai dengan dihadiri para pemuda adat dari Kasepuhan Karang kurang lebih 20 orang kami yang berkumpul pada saat itu.
Dengan saling bersapa bertatap muka, dan bercerita bersama, Engkos pemuda adat Kasepuhan Karang yang menggerakkan teman-temannya untuk mulai memikirkan wilayah adat mereka. Engkos bercerita bagaimana mereka melakukan banyak hal setelah hutan adat mereka dikembalikan. Mulai dari kembali menanam pohon yang mereka sebut adopsi pohon yang hingga saat ini yang sudah tertanam sebanyak kurang lebih 2700 pohon.
Mendengar cerita engkos kami semua terdiam, dan merasa terkagum-kagum dengan perjuangan masyarakat Kasepuhan Karang. Tutur Engkos awalnya tanah ini adalah milik semua masyarakat, dengan mudah untuk menanam buah-buahan dan hasil alam lainnya. Tapi pada 1987 Perhutani masuk dengan mulai menanam pohon-pohon meranti, dengan konsep tanam tebang. Alhasil masyarakat kasepuhan yang bertani pula harus membagi hasil tani mereka dengan Perhutani.
Strategi perjuangan ini mulai dipikirkan Pak Jaro Wahid yang merupakan putra Kasepuhan Karang. Awalnya ia berpikir strategi yang dilakukannya adalah dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa, karena proses kebijakan terendah ada di desa, tuturnya. Maka ia pertama mencalon jadi kepala desa, ia kalah dengan selisih 25 suara pada waktu itu. Akhirnya Pak Jaro wahid mendapat bisikan dari kakeknya, kamu tidak akan bisa menjadi kepala desa, kalau kamu tidak membuat desa sendiri. Pak Jaro Wahid dengan perjalanan panjang melengkapi banyak persyarakat adaministrasi. Ia pun berhasil mendirikan desa yang sekarang dinamakan Desa Jagaraksa, Pak Jarowahid kemudian terpilih menjadi kepala desa. Tahun 2007 Perhutani berubah menjadi Taman Nasional Halimun Salak.
Dengan menjadi Taman Nasional semakin membuat masyarakat sengsara, ada petani yang mengambil buah di kebunnya harus dikejar-kejar oleh petugas Polisi Kehutanan, ada pula yang ditangkap aparat kepolisian. Banyak lagi masyarakat yang diintimidasi. Melihat situasi itu Pak Jaro wahid berfikir, Taman Nasional ini harus dilawan, dengan mengembalikan tanah ini menjadi tanah adat.
Salah satu syarat harus memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat, akhirnya kepala desa ini berinisiatif pergi ke rumah rumah warga untuk meminta dukungan bagaiamana jika Taman Nasional ini harus kita kembalikan mejadi hutan adat. Masyarakat pun bersepakat, dan akhirnya Pak Jaro Wahid menemui pejabat di Kabupaten Banten Kidul untuk membicarakan Perda Masyarakat Adat. Tidak hanya itu perjuangan Pak Jaro harus menginap di pendopo bupati Banten Kidul selama berhari-hari hanya untuk meminta tanda tangan pengesahan Perda tersebut. Terbitlah Perda Adat nomor 8 tahun 2015.
Kemudian dengan semangat yang menyala-nyala Pak Jaro wahid mendaftarkan Hutan Adat mereka pada tanggal 5 Oktober 2015 di KLHK sesuai dengan Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2015. Persyaratan tersebut mencakup Surat Pernyataan permohonan hutan adat, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat. Hasilnya pada 30 Desember 2016 Presiden Jokowi resmi memberikan pengakuan hutan adat kepada masyarakat di Kasepuan Karang Lebak Banten, seluas 486 ha. Begitu tuturan Pak Jaro wahid selama diskusi di tempat yang sejuk itu.
Mengapa Pendidikan Politik itu memilih tema “yang muda yang berpolitik”, Jhontoni Tarihoran menuturkan ruang-ruang pemuda adat untuk memenangkan pertarungan itu saat penting, dengan politik yang dilakukan generasi muda bisa merebut ruang yang ada, seperti halnya yang Pak Jaro wahid lakukan di kampungnya, untuk menjaga wilayah adatnya, ia kemudian bertarung untuk menjadi kepala desa. Bagaimana strategi generasi muda dalam menjaga wilayah adat, karena generasi muda merupakan garda perjuangan terdepan untuk gerakan Masyarakat Adat.
Waktu terus berputar tak terasa sudah pukul 15.00, kami pun siap-siap meninggalkan Leuweng Adat dan kembali melanjutkan perjalanan ke Jakarta, dengan berat hati rasanya, karena harus meninggalkan tempat yang indah ini, tempat di mana kita harus pergi ke sini lagi, dengan mimpi yang dibawa setelah pulang dari sini.
[Modesta Wisa]