AMAN Indragiri Hulu Kukuhkan Kader Pemula Bersama BPAN Inhu

‘’Disirakan ke bumi dibindangkan ke langit’’ ucap Iskandar penuh semangat.

Ia memotivasi para Kader Pemula yang sedang mendengar sambutannya.

Pak Iskandar adalah seorang Batin atau Pemimpin Adat di Luak (komunitas adat) Penangki, salah satu komunitas adat anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Batin Iskandar, kini berusia 75 tahun. Selain sebagai Batin, ia juga adalah Ketua Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) Indragiri Hulu. Beliau sudah dua periode menjadi ketua DAMANDA. Ia juga merupakan salah satu pendiri AMAN pada tahun 1999.

Ucapannya itu, dalam Bahasa Talang Mamak, berarti memberitahukan kepada orang banyak, baik secara nyata maupun gaib, bahwa yang dilakukan sudah terlaksana atau sah. Ini disampaikannya saat memberi sambutan di acara Pelantikan Kader Pemula AMAN Daerah Indragiri Hulu.

Acara pelantikan Kader Pemula AMAN Daerah Indragiri Hulu dilaksanakan pada Minggu, 19 Juli 2020, di Komunitas Adat Suku Ampang Delapan. Hutan Adat Durian Sirawang, di dekat Makam Diah, menjadi lokasi diselenggarakannya acara bersejarah tersebut. Kegiatan ini merupakan puncak dari rangkaian acara yang sudah berlangsung sejak hari Sabtu, 18 Juli 2020.

Menurut, Jakob Siringoringo, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Kader Pemula merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang ada di komunitas adat anggota AMAN.

“Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikukuhkan sebagai Kader Pemula. Pertama, individu tersebut berasal dari komunitas adat anggota AMAN. Kedua, direkomendasi oleh komunitas, dilatih atau dipersiapkan oleh Pengurus Daerah dalam suatu rangkaian kegiatan Pendidikan Kader Pemula. Kemudian ketiga, setelah rangkaian Pendidikan Kader dipenuhi kemudian dilanjutkan dengan pengukuhan Kader Pemula AMAN”, ungkap Jakob.

Ditambahkannya pula, bahwa ada 4 kategori/macam Kader di AMAN.

“Kader Pemula itu sebenarnya urusan Pengurus Daerah, Kader Penggerak urusan Pengurus Wilayah, Kader Pemimpin urusan Pengurus Besar, sedangkan Kader Utama adalah dengan kriteria tertentu, misalnya, sudah terbukti selama 15 tahun secara terus menerus mendukung gerakan AMAN,” tambahnya.

Acara ini dihadiri oleh 13 orang yang akan dikukuhkan sebagai Kader Pemula AMAN. Sebagian di antaranya merupakan pemuda adat. Mereka ini merupakan penerus masa depan Masyarakat Adat. Selain itu, hadir juga para Batin, Pengurus AMAN Daerah Indragiri Hulu, Masyarakat Adat, dan para undangan. Ibu-ibu, perempuan adat, juga nampak hadir dan sibuk menyukseskan acara. Kegiatan ini, diselengarakan menggunakan tata cara dan kearifan lokal Masyarakat Adat setempat.

Sekitar pukul 10.00 WIB kegiatan pengukuhan dimulai. Ritual adat menjadi awal acara. Kebiasan memulai acara dengan ritual adat memang menjadi aspek penting dalam semua aktivitas Masyarakat Adat. Menurut Supriadi Tongka, pemuda adat anggota BPAN Indragiri Hulu, ritual tersebut namanya Pogi bapadah balik bakoba.

“Tujuan ritual ini yaitu untuk memberi tahu leluhur yang ada di hutan itu bahwa kita berkunjung dan melakukan kegiatan di hutan adat tersebut”, tutur Supriadi.

Usai ritual, acara kemudian dilanjutkan sesuai susunan yang sudah dibuat. Pembukaan acara, disampaikan oleh Bunitz Shaputra. Selanjutnya semua yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars AMAN. Setelah itu dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua DAMANDA dan Ketua BPH AMAN Indragiri Hulu.

Dalam sambutannya, Pak Iskandar, selaku Ketua DAMANDA memberikan nasehat dan pesan motivasi. Ia menyampaikan bahwa semangat juangnya masih menggebu-gebu seperti anak muda, meski usianya sudah lanjut. Ia masih tetap berkomitmen untuk berjuang mempertahankan wilayah adat meskipun banyak ancaman dari perusahaan dan preman bayaran. Oleh karena itu, ia menyampaikan kepada para Kader Pemula yang dikukuhkan bahwa yang dilakukan ini telah disirakan ke bumi dibindangkan ke langit. Ia juga berharap bahwa semangat mereka memperjuangkan wilayah adat, harus melebihi semangatnya.

”Jangan pernah menyerah memperjuangkaan wilayah adat, karena masa depan Talang Mamak ada pada tangan kalian”, tegas Batin Iskandar.

Di kesempatan yang sama, Gilung selaku Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Daerah Indragiri Hulu turut memberikan sambutannya. Ia berpesan kepada kader yang sudah dikukuhkan untuk lebih banyak berkerja di komunitas membantu Batinnya dalam mengurus adat, menggali sejarah, budaya, tradisi, dan kearifan lokal.

Sebelum acara puncak pengukuhan, Ketua DAMANDA Pak Iskandar, memberikan kartu kader kepada Kader Pemula yang ada. Dalam acara pengukuhan, para Kader Pemula mengucapkan Sumpah Adat sebagai ungkapan komitmen mereka menjadi kader AMAN dan menjadi penjaga adat budaya, serta ikut serta berjuang dalam perjuangan Masyarakat Adat. Pengukuhan ini dipimpin oleh Pak Irasan selaku Batin Talang Parit.

Mereka juga turut mengucapkan Janji AMAN sebagai ungkapan komitmen terhadap organisasi AMAN dan kesediannya untuk turut berjuang bersama AMAN. Ketua BPH AMAN Daerah Indragiri Hulu, Gilung, memimpin sesi ini.

Dalam kegiatan tersebut, turut hadir juga para anggota BPAN Daerah Indragiri Hulu. Salah satunya, Supriadi Tongka, pengurus BPAN Indragiri Hulu yang menangani Bidang Pengorganisasian. Ia menyampaikan bahwa dengan dikukuhkannya para Kader Pemula berarti bertambah lagi orang untuk berjuang bersama Masyarakat Adat. Menurutnya, ini berarti akan semakin banyak orang, terutama pemuda adat, yang akan berjuang bersama AMAN dan Masyarakat Adat, misalnya dengan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

“Sangat penting RUU Masyarakat Adat disahkan, karena undang-undang inilah yang akan melindungi Masyarakat Adat atas ancaman kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di pelosok nusantara ini. Belum lagi sikap pemerintah yang memberi karpet merah kepada investor. Karena itu, perlu ada undang-undang yang melindungi Masyarakat Adat atas hak-hak yang sudah melekat kepada Masyarakat Adat sejak dahulu”, jelasnya.

Acara pengukuhan Kader Pemula diakhiri dengan doa dan acara makan bersama. Lalu Sesi foto bersama menjadi acara yang paling akhir. *

 

Kalfein Wuisan

Pentingnya Jonga bagi Masyarakat Adat Hukaea Laea, Suku Moronene, Sulawesi Tenggara

bpan.aman.or.id – Jonga adalah rusa dalam bahasa Moronene. Dulu, satwa ini merupakan penghuni utama kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Setiap kali melintasi jalan poros di kawasan konservasi tersebut, perbatasan Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan, kita biasa melihat kawanan rusa memunculkan kepala mereka dari balik padang ilalang. Bahkan tidak jarang kawanan rusa ditemukan sedang bermain atau melintas di jalan.

Pada masa itu boleh dikatakan bahwa jonga merupakan primadona di wilayah adat Hukaea Laea, yang berada di dalam kawasan TNRAW.

Hampir di setiap rumah penduduk terdapat tanduk rusa yang menghiasi dinding rumahnya, sebab tanduk jonga merupakan hiasan terbaik kala itu bagi orang Moronene Hukaea Laea, Kabupaten Bomabana.

Bila mana ada tamu datang dari luar daerah, masyarakat seringkali memberi oleh-oleh tanduk jonga bahkan jonga yang masih hidup.

Saya masih ingat sewaktu kelas 4 SD tahun 2005 dan masih berumur 10 tahun, ayah mengajak saya naik gunung. Waktu itu ayah masih Pu’u Tobu (kepala kampung) Hukaea laea.

Suatu pagi, kami berangkat menuju kaki Gunung Taunaula yang berada di bagian barat wilayah adat Hukaea Laea untuk melihat cara memburu jonga seperti yang dilakukan oleh leluhur kami secara turun-temurun, dan masih kami pertahankan hingga saat ini.

Pada saat itu, saya melihat jonga begitu banyak sedang berjalan berkelompok di hamparan savana yang luas, sembari memakan alang-alang muda yang tumbuh di savana.

Jonga atau rusa bertanduk panjang

Tetapi seiring waktu terus berputar dan tahun demi tahun berlalu, keindahan yang terlihat hari itu, kini hanya menjadi kenangan. Itulah terakhir kalinya saya melihat jonga-jonga yang besar-besar dan bertanduk panjang sebanyak itu.

Sebab para pemburu liar datang dan menyusup ke wilayah adat kami, lalu menjarah semua hewan buruan yang ada, bahkan membakar alang-alang di savana yang luas itu.

Bukan itu saja, mereka juga sering kali merusak dan menebang tanaman obat yang ada di dalam hutan yang dibutuhkan oleh warga kampung untuk menyembuhkan orang yang sakit.

Sejak itu, habitat jonga pun terancam karena sering diburu secara liar dan serampangan. Populasi jonga nyaris punah di wilayah adat Masyarakat Adat Hukaea Laea. Padahal sudah bertahun-tahun para leluhur Suku Moronene mbue-mbue periou (orang dulu) menjaga kelestarian alam beserta satwa yang ada di dalamnya.

Karena alamlah yang memberi mereka kehidupan, maka pantas pula alam untuk dijaga, dan lindungi serta dilestarikan.

Mereka punya tata cara atau kearifan lokal yang harus dipatuhi. Contohnya mereka hanya membolehkan berburu pada waktu-waktu tertentu dan sangat melarang keras memburu jonga betina yang sedang bunting apalagi membunuhnya.

Tidak lupa pula, Masyarakat Adat mempunyai hukum adat yang wajib dipatuhi serta ditaati di kampung tersebut.

Ketika melanggar hukum adat tersebut, maka si pemburu akan diberikan sanksi sosial yang harus di patuhi. Contoh sanksinya yaitu minimal membersihkan seluruh balai adat atau membayar denda.

Ada yang menganggap bahwa sebagian besar jonga-jonga itu menghilang secara gaib. Ada juga yang menganggap jonga-jonga tersebut nekat menyeberang laut ke arah pulau Muna demi menjaga kelangsungan hidupnya.

Walaupun populasinya hampir punah, Masyarakat Adat masih tetap berburu. Sekalipun harus bermalam-malam tinggal di hutan, mereka akan lakoni demi mendapatkan jonga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Ketika hewan buruan yang diburu masih hidup, maka akan dijadikan hewan piaraan dan dirawat hingga beranak pinak.

 

Juminal Noviansyah, Pemuda Adat Moronene, anggota BPAN

Jalani Masa Pandemi, Pemuda Adat Rakyat Penunggu Bercocok Tanam dan Beternak

bpan.aman.or.id – Coronavirus disease atau yang biasa disebut COVID-19, menurut WHO, telah tersebar di 213 negara. Di Indonesia sendiri, pemerintah melalui gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 (Gugus Tugas Nasional) mencatat penambahan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 per 16 Juli mencapai 81.668 dan pasien meninggal sebanyak 3.873.

Hal tersebut menjadi konsen besar bangsa Indonesia karena permasalahan yang terus ditimbulkannya. Berbagai dampak terjadi mulai dari tingkat kematian meningkat, pemecatan pekerja, dan kesulitan ekonomi yang terjadi disemua kalangan mulai dari pengusaha kaya, sampai rakyat kecil, tidak terkecuali Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat dalam sejarah telah berulang kali mengalami wabah penyakit dalam skala besar yang mengakibatkan berkurangnya penduduk. Victoria Tauli-Corpuz, pelapor khusus PBB untuk isu-isu Masyarakat Adat menjelaskan “Masyarakat Adat termasuk di antara mereka yang sangat rentan terhadap COVID-19 karena berbagai faktor. Ketika mereka berada di daerah perkotaan beberapa dari mereka biasanya berada dalam perekonomian informal dan merupakan pekerja rumah tangga yang membuat mereka rentan terhadap dislokasi ekonomi dan infeksi.”

Meskipun demikian, Masyarakat Adat justru memperlihatkan berbagai keunggulan dalam menghadapi pandemi ini seperti dalam mengelola pangan, kesehatan dan peran sosial.

Banyak hal yang dilakukan oleh Masyarakat Adat khususnya kami pemuda adat dalam mengelola wilayah adat agar dapat bertahan di tengah wabah pandemi ini.

Berbagai kegiatan produktif dilakukan oleh pemuda adat. Contohnya kami pemuda adat Rakyat Penunggu Sumatera Utara. Untuk mengisi waktu kosong dimasa pandemi, kami memanfaatkan fasilitas yang tersedia seperti tanah yang ada lantas kami kelola dan tanami.

Angga

Salah satu dari kami yaitu Angga pemuda adat Kampong Bandar Setia selama pandemi ini menghabiskan waktu untuk beternak kambing. Saat ini puluhan kambing ternakannya sudah mulai besar-besar. Dalam beberapa bulan ke depan, ia sudah bisa panen, mulai dari susu sampai daging.

“Saya sendiri bahkan secara sambilan berternak kambing. Untuk beternak kambing cukup memanfaatkan rumput-rumput di sekitar sebagai pakannya dan mengangon kambing juga sebuah kegiatan agar tubuh bergerak. Jadi seperti berolahraga,” kata Angga.

Kami menanam bayam, kemangi dan ubi dan buah-buahan, serta juga beternak kambing. COVID-19 tidak mengurangi semangat pemuda adat untuk terus melakukan kegiatan yang positif sembari mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah.

 

Afni Afifah Harahap

Pemudi adat Rakyat Penunggu, Sampali & anggota BPAN Daerah Deli, Sumut

Pekik Sunyi Rusa Padang Ilalang

bpan.aman.or.id – Jika kita memandang ke arah selatan dari puncak bukit itu, maka kita akan melihat kelap kelip cahaya lampu dari sebuah kota. Jika ke arah utara, akan tampak siluet gunung-gunung tinggi yang puncaknya nyaris menyentuh awan. Begitulah pemandangan yang kami saksikan malam itu. Di tengah terpaan cahaya bulan purnama, dari puncak bukit Horouwe yang ditumbuhi banyak ilalang.

Saat itu kami bermil-mil jauhnya dari hiruk-pikuk kehidupan manusia. Di sana tak ada suara klakson kendaraan yang bersahutan di perempatan atau lalu-lalang kendaraan besar yang berat muatannya dapat menghancurkan jalan beraspal. Kami hanya ditemani langit malam dan suara siulan yang menyentuh gendang telinga ketika angin berembus. Selain itu hanya terdengar suara Berese ketika sedang menuturkan cerita-cerita.

Berese adalah seorang pemuda yang sangat suka bercerita. Dari bibirnya yang keunguan acap kali terdengar kisah-kisah. Padaku, ia telah meriwayatkan pengalamannya mengunjungi kota, dan tentang adiknya yang sedang bersekolah. Namun, tak sekalipun aku mendengarnya bercerita tentang seorang wanita yang menjadi pujaan hatinya. Aku pun tak ingin menanyakan perihal itu kepadanya.

Malam itu, ketika rembulan tepat berada di atas kepala kami berdua dan dingin udara tiba bersama angin yang berembus perlahan, aku melihat Berese memandang lekat ke arah ilalang yang berada di bawah bukit itu. Sesaat setelahnya, aku pun melakukan hal yang sama. Kemudian mataku segera melihat hamparan ilalang membentang dalam terpaan sinar cahaya rembulan.

Aku segera mematikan senter yang menjadi satu-satunya penerangan. Kami tak ada membuat api. Sebab sedikit saja kelalaian yang bisa kami lakukan, dapat berakibat buruk pada kawasan itu. Untuk makan kami membawa cukup perbekalan berupa sekantong roti dan sekaleng susu kental manis. Tak lupa pula sebotol air mineral dan setermos air panas untuk membuat kopi jika sewaktu-waktu kami membutuhkannya.

Tak lama setelah lampu senter itu padam dan hanya menyisakan cahaya rembulan sebagai penerangan kami satu-satunya, Berese terlihat mengangkat salah satu tangannya dan menunjuk ke arah hamparan ilalang itu seraya berucap, “Dahulu, ada seekor rusa yang terkapar tak berdaya di sana.”

Aku memandang ke arah yang ditunjukkan Berese dengan jarinya. Di kepalaku terbayang seekor rusa dengan bulu berwarna cokelat serta paduan bulu berwarna putih di bagian perutnya, sedang terbaring dalam keadaan tak bernyawa dan tanduknya tertancap di tanah.

Sesaat kemudian aku bertanya, “Kapan itu terjadi?”

Ia lalu menjawab, “Sekitar enam tahun yang lalu.”

Aku bergeming. Merasakan sepoi angin yang perlahan membelai wajahku, mengantar hawa dingin menyentuh kulitku. Di langit, bulan purnama terlihat utuh tanpa sehelai awan pun menghalangi sinarnya. Sementara di kejauhan, kelap-kelip lampu dari kota kecil itu masih terus bersinar.

Dan setelah beberapa saat terdiam menatap ilalang itu, Berese akhirnya berkata, “Ayahku menceritakan kisah itu padaku: tentang mengapa rusa itu bisa terkapar di sana.” Ia menghela napas, lalu kemudian melanjutkan, “Saat itu, wajah ayahku terlihat sangat ketakutan. Ia tak henti-hentinya berkata ‘ini pertanda buruk!’ Hingga aku, mau tak mau, akhirnya tertular akan rasa takut itu.”

Ayahnya menuturkan bahwa ketika sedang berada di dalam hutan, ia mendengar sebuah ledakan tak jauh dari tempatnya sedang mencari rotan. Saat itu praktik berburu hewan memang sangat gencar dilakukan di sekitar wilayah kampungnya. Motifnya pun beragam; dari sekadar untuk memuaskan hobi, dan bahkan untuk diperdagangkan.

Hampir setiap hari pada tahun-tahun itu, banyak orang dari luar kampung mereka yang datang untuk berburu rusa. Dan orang-orang itu melakukannya tanpa izin. Seakan penduduk kampung yang mendiami kawasan itu tak pernah berada di sana. “Padahal, mereka itu memiliki mata. Tapi mereka tidak ingin melihat dan lalu menghargai,” Berese menambahkan.

Suara senapan itu berhasil mengusik pekerjaan ayahnya. Dan setelah rotan yang ia butuhkan untuk membuat sebuah kursi dirasa cukup, ia lalu pergi untuk mencari tahu di mana sumber suara itu. Rotannya ia tinggalkan di tepi jalan yang akan dilaluinya ketika pulang.

Selama perjalanannya menyusuri hutan, ayah Berese tak mendengar suatu keributan apa pun. Ia berpikir, “Orang-orang itu mungkin telah menemukan apa yang mereka cari.” Namun setelah beberapa lama, ia kemudian mendapati sebuah mobil bak sedang terparkir dengan ranting-ranting pohon yang menyelimutinya. Dedaunan yang melekat di ranting itu terlihat layu. Dan jika tujuan orang-orang itu untuk meninggalkan jejak, ayah Berese berpendapat, “Lebih baik jika mereka mempelajari mantra untuk menghilangkan atau menyembunyikan sesuatu.”

Ayah Berese berhenti dan memperhatikan sesaat. Mobil itu berwarna hitam dengan roda besar yang dipenuhi lumpur pada setiap sisinya. Kedua kaca di pintunya tertutup rapat. Dan ia sama sekali tak mendapati nomor pada bagian platnya.

“Kapan mereka akan berhenti melakukannya?” Ayah Berese menggumam di dalam hatinya. Dan setelah merasa cukup melihat-lihat mobil itu, ia kembali menapaki jalan berbatu dan tanah yang berwarna merah seperti darah.

“O, ya.. Apa kau tahu kenapa tanah di sini berwarna merah?” Ucap Berese menyela ceritanya seraya melempar pandang kepadaku.

Aku menjawab hanya dengan menggelengkan kepala. Sikapnya kali ini membuat perasaanku sedikit dongkol.

“Menurut tradisi tutur tetua-tetua di kampungku, itu akibat darah yang dimuntahkan bidadari. Konon, bidadari itu menikah dengan seorang pemuda dari kampungku. Dan seiring berjalan waktu, ada saja yang tidak menyetujui hal itu. Kemudian, terjadilah apa yang menyebabkan bidadari itu memuntahkan darah,” ia menghela napas, “Darah itu jatuh di sekitar wilayah ini dan menyatu dengan tanahnya,” Berese lalu melanjutkan.

Sekali lagi aku mengangguk. Dan Berese kembali melanjutkan ceritanya.

Ayah Berese hampir melewati lokasi orang-orang itu jika saja salah satu dari mereka tidak menginjak ranting yang tergeletak di tanah. Ayah Berese tercengang. Ia hanya berjarak sepuluh langkah dari mereka. Lalu dengan megap-megap, ayah Berese berusaha secepat mungkin menemukan tempat persembunyian, berusaha sekeras mungkin agar tak menimbulkan suara dari setiap langkah kakinya.

Sebenarnya, ayah Berese bisa saja mendekati orang-orang itu tanpa bersembunyi atau menjaga jarak dengan mereka. Tapi keberaniannya, atau bahkan pikiran itu sendiri pun tidak pernah terlintas di kepalanya sejak ia mendengar suara letusan dari senjata itu. Ledakannya sangat nyaring, membuat seseorang yang mendengarnya akan bergidik.

Dari tempat persembunyiannya, ayah Berese dapat melihat beberapa orang di balik rimbun dedaunan sedang membidikkan moncong senapannya ke arah rusa berwarna cokelat yang sedang memakan dedaunan. Rusa itu berjarak tak begitu jauh dengan mereka semua. Sesaat kemudian, seseorang akhirnya menembakkan senjata itu.

Rusa yang sedang mencari makan itu lari terbirit-birit. Orang-orang yang menembakkan senjata terlihat saling menepukkan tangan mereka satu sama lain. Mereka terlihat gembira. Kemudian mereka segera berlari mengejar rusa.

Meski masih bisa menjauh dari para pemburu, sayangnya sang rusa sepertinya tak akan bisa selamat. Sebab sebuah peluru kaliber 6 mm berhasil menembus perutnya. Sementara ayah Berese yang bersembunyi di balik rumpun bambu berduri segera menyusul mereka semua dengan memilih jalan pintas,  lalu berlari menuju puncak sebuah bukit.

“O, ya! Apa kau tahu tentang bambu berduri? Atau setidaknya kau pernah melihatnya?” Ucap Berese penuh semangat. Dan tanpa menunggu jawabanku, ia lalu meneruskan kata-katanya.

“Bambu berduri adalah tanaman yang hanya tumbuh di kawasan kampung kami dan hanya bisa ditanam oleh turunan dari leluhur-leluhur kami. Tapi aku tidak tahu apakah dalam proses menanamnya memerlukan ritual atau tidak. Sebab saat ini, aku tidak pernah melihat orang-orang menanam bambu itu.”

“Tapi kau bisa melihatnya jika mau. Mereka tumbuh di tepian jalan yang kita akan lalui jika pulang nanti.”

Aku menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Menarik. Tapi bisakah kau ceritakan itu setelah kau menyelesaikan ceritamu yang awal?” Aku mendongkol.

Berese tertawa, “Maafkan aku… baiklah, aku akan melanjutkannya.”

Dari atas bukit, ayahnya melihat rusa yang tertembak itu sedang berlari menyusuri padang ilalang. Langkah rusa itu gontai dan beberapa kali menyebabkannya nyaris terjatuh. Orang-orang yang mengejarnya belum terlihat. “Mungkin mereka tersesat,” Berese menambahkan.

Beberapa waktu kemudian, rusa itu akhirnya terjatuh, tepat di tengah padang. Dan seiring pekiknya yang memilukan, seluruh tubuh rusa itu berubah warna menjadi putih. Perubahan itu terjadi pada bulunya, secara perlahan. Ayah Berese menyaksikan kejadian itu. Ia begitu kaget. Lalu beberapa saat kemudian air mata jatuh membasahi pipinya.

Ayah Berese segera berlari menuju kampung untuk mengabarkan kejadian itu. Langkahnya sangat cepat hingga terasa seperti melayang. Perjalanan menuju kampung yang harus dilalui selama tiga jam itu mendadak berubah menjadi begitu singkat. Jika tak salah mengira, ia tiba di kampung itu hanya dalam waktu lima belas menit. Seperti ada kekuatan lain yang membantunya saat sedang berlari.

Dan setelah seluruh warga kampung tiba di tempat kejadian, mereka tak lagi mendapati rusa putih itu tergeletak di sana. Ia menghilang dan hanya menyisakan capung yang beterbangan tepat di tempat rusa itu sebelumnya tergeletak. Mereka yang menyaksikannya segera mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.

Hal buruk terjadi kepada orang-orang yang membunuh rusa itu. Mereka tak lagi pernah terlihat sampai saat ini. Dan setelah beberapa bulan berlalu, keluarga mereka pun tak lagi mencari. Mobil yang mereka tinggalkan akhirnya dibakar hingga menyisakan rangka yang hangus. Mobil itu tak lagi bisa dikendarai bahkan berbulan-bulan setelah peristiwa itu berlalu. Tak satupun dari keluarga, teman, atau kerabat dari pemiliknya yang bisa membuka pintunya.

Setelah rusa itu mati, tak ada lagi yang pernah melihat seekor rusa pun di tempat itu. Konon, menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, seseorang pernah melihat seekor rusa putih sedang memimpin kawanan rusa lainnya menyeberangi lautan untuk pergi menuju entah ke mana.

“Kau tahu di mana ayahku melihat rusa, itu? Di sini, di atas bukit ini,” ucap Berese.

Seketika kami bergeming. Sepoi angin sekali lagi berembus mengantar hawa dingin hingga menyentuh kulit kami. Di langit, bulan purnama masih terlihat utuh tanpa sehelai awan pun menghalangi sinarnya. Sementara di kejauhan kelap-kelip lampu dari sebuah kota kecil masih terus bersinar.

 

Indonesia, 2020.

Muhammad Asri Agung

Penulis lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara 01 Juli 1996

Kedaulatan Pangan di Tangan Pemuda Adat

bpan.aman.or.id – Pandemi COVID-19 menyebabkan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintahan dan non pemerintahan diliburkan dan diganti secara daring.

Anak-anak muda yang sedang kuliah di luar daerah atau bersekolah di luar komunitas terpaksa pulang kampung atau menetap di rumah saja. Gaya hidup anak-anak muda pun berubah drastis.

Termasuk saya juga kembali ke kampung untuk bertani dan beternak. Dan ini merupakan pekerjaan yang menyenangkan.

Sebelum wabah pandemi, saya banyak bekerja di luar komunitas untuk memperluas pengorganisiran dan pengorganisasian pemuda-pemudi adat.

Pandemi Cov-Sars 2 yang melanda dunia memang begitu memporakporandakan kehidupan rakyat. Ia menyebabkan 561.617 orang meninggal dunia (data per 13 Juli), hingga ancaman krisis pangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini akan berakhir.

Meskipun jarak Makassar ibukota Sulawesi Selatan ke komunitas adat Barambang Katute, Sinjai tempatku pulang kampung sekitar 220 kilometer, kami terus berusaha membangun solidaritas antarpetani dalam menjaga ketersediaan pangan.

Saat orang-orang di kota menyerukan di rumah saja, sebaliknya anak-anak muda di kampung justru turun bertani. Hal ini dikarenakan kampung atau komunitas-komunitas adat umumnya melakukan karantina bermartabat sesuai instruksi Sekjen AMAN. Karantina wilayah adat yang terjamin memastikan warga adat termasuk pemuda adat dapat turun ke sawah, ladang, hutan dan laut beraktivitas seperti biasa.

Karena itu, dengan bertani dan beternak para pemuda adat justru semakin solid dalam mengorganisir diri. Di bulan keempat pandemi ini, banyak hal yang dilakukan pemuda adat Barambang Katute untuk menjadi barisan terdepan perihal pangan di komunitas adat.

Dok: Solihin
  1. Membuat kebun kolektif

Dari sebuah lahan kosong seluas setengah hektar, kami membuat sebuah kemplok pertanian secara kolektif. Walaupun lahan seluas ini belum bisa menampung semua anak muda di komunitas adat Barambang Katute, tapi beberapa di antaranya sudah terlibat aktif dalam proses pengusahaannya.

Lahan kolektif ini dikelola 10 orang anak muda, lima di antaranya berasal dari komunitas adat Barambang Katute, termasuk saya. Di lahan setengah hektar, sejak awal Maret kami tanami berbagai tanaman jangka pendek, seperti cabai sebanyak 2.000 batang yang dalam waktu dekat akan mulai panen raya.

Kemudian sisa dari lahan kolektif yang dipinjam selama 10 bulan sejak Maret hingga Desember itu digunakan untuk menanam ubi jalar yang saat ini sedang berproses pengolahan tanahnya dan menuju masa tanam di pertengahan Juli yang kalau berproses dengan baik maka diprediksi akan panen antara September dan Oktober.

  1. Membangun pusat pelatihan pertanian

Pembelajaran pertama yang dapat dipetik dari pandemi COVID-19 ini khususnya di anak-anak muda yaitu bahwa petani-petani di kampunglah yang paling berdaulat atas pangannya. Dari pembelajaran sesederhana itu tercipta kesadaran di kalangan anak muda bahwa sumber pengetahuan sesungguhnya ada di kampung apalagi tentang pertanian dan mengelola sumber daya alam.

Namun, karena para pemuda adat tidak terorganisir dengan baik, maka pengetahuan itu hilang digantikan dengan pengetahuan modern yang berbiaya mahal, tidak ramah lingkungan dan membuat mereka semakin jauh dari kampung.

Atas kondisi itulah, maka kami bersepuluh berpikir tentang metode pengorganisiran pengetahuan-pengetahuan lokal dan memproduksi ilmu kesadaran pulang kampung dengan kesadaran kolektif. Lantas alasan tersebut membuat kami berencana membangun pusat pelatihan pertanian. Adapun modelnya kelak, karena ini bagian dari rencana panjang anak-anak muda, akan dibangun dari hasil lahan kolektif. Setidaknya pendiskusian hingga pematangan rencana itu telah selesai di tingkatan anak muda.

Dok: Solihin
  1. Pertanian organik

Disadari atau tidak, pertanian kimia yang mahal, tidak ramah lingkungan dan tidak sehat itu telah menyusup hingga jauh sekali di komunitas adat. Untuk membuat warga komunitas adat secara umum ataupun petani menyadarinya bukanlah sebuah pekerjaan sehari dua hari, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Bagi pemuda adat yang memiliki semangat yang kuat, bukanlah alasan untuk menyerah begitu saja karena pekerjaan itu sangat mungkin dilakukan. Lewat inisiatif bertani secara kolektif tadi, perlahan-lahan semangat pertanian organik dapat dilaksanakan. Paling tidak sudah ada kami 10 pemuda adat yang mulai menerapkan.

Saya berharap, upaya itu kelak menjadi pemantik untuk anak muda lainnya ikut terlibat dan menerapkan pertanian organik. Searah dengan rencana pembangunan pusat pelatihan pertanian itu pula, maka akan dipadukan pertanian organik, pengetahuan Masyarakat Adat hingga pelestarian tanam herbal dan pengorganisasian anak-anak muda di tingkat tapak.

Dari perencanaan di atas baik yang sedang berjalan maupun masih dalam proses, sesungguhnya masih banyak lagi aktivitas yang kami lakukan secara sendiri-sendiri seperti menanam pisang, menanam padi, panen jagung, beternak sapi, menyadap aren, dan masih banyak lagi yang tidak kalah urgen untuk didiskusikan di lain kesempatan.

Semoga kelak kita bersama mencapai kedaulatan pangan kampung yang ramah lingkungan dan para pemuda adat sebangai benteng kedaulatannya.

~Solihin, pemuda adat Barambang Katute

Bagaimana Pemuda Adat Inhu Menangkal Ancaman Krisis Pangan

bpan.aman.or.id – Supriadi Tongka kerap kali memposting foto-foto aktivitas sehari-harinya ke Facebook. Pernah ia memposting foto-foto lagi memanen padi, menanam benih kacang sampai yang terbaru pisang.

Beberapa waktu lalu, ia juga menjadi salah satu pemantik dalam Webinar bertajuk Tetap Panen Dimasa Sulit di Wilayah Adat yang diselenggarakan Pengurus Nasional BPAN. Bersama Beldis Salestina, Jhontoni Tarihoran, Modesta Wisa dan Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, ia berbagi cerita tentang gerakan pulang kampung. Salah satu konteks konkret dibahas yaitu berkaitan dengan pangan terutama dimasa COVID-19.

Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Indragiri Hulu, Riau, di mana Supriadi menjadi ketua untuk periode 2016-2019, saat ini sedang mengolah lahan berbidang empat hektar dan sudah ditanami aneka macam tumbuhan pangan. Ada kacang panjang, sayuran, pisang hingga umbi-umbian.

Menurut Supriadi Tongka, saat ini pemuda adat Talang Mamak dipercaya para Batin (tetua adat) guna mengelola wilayah adat secara komunal. Komunal artinya dikelola dan dimiliki secara bersama. Lahan tersebut selain bertepatan dengan pangan yang sedang menjadi persoalan dunia, juga sejak awal diperuntukkan sebagai aksi konkret pemuda adat di mana mereka langsung terjun bertani untuk tujuan kemandirian ekonomi.

Melalui penanaman ini pula mereka menunjukkan bahwa pemuda adat selain berjaga atas wilayah adat dan seluruh hak-hak yang melekat di atas dan di bawahnya, juga sebagai bentuk kesadaran bahwa pemuda adat harus bisa mandiri bahkan suatu saat membuka lapangan kerja.

Suher, Ketua Daerah BPAN Inhu menambahkan bahwa para pemuda adat bercocok tanam di wilayah adat sebagai bukti bagaimana dalamnya makna wilayah adat bagi Masyarakat Adat. Sebab, katanya, perjuangan kita selama ini adalah jangka panjang yang menghidupi.

Selain itu, Suher juga menekankan bercocok tanam sangat dibutuhkan dalam jangka waktu pendek. Sebab kondisi ketahanan pangan dalam situasi sulit ini adalah hal utama untuk menyambung hidup.

Badan Pangan dan Agraria Dunia (FAO) pada April lalu mengingatkan dunia, khususnya negara anggotanya di mana Indonesia termasuk di dalamnya, bahwa ancaman krisis pangan mengintai dimasa pandemi COVID-19. Pemerintah Indonesia juga tampak menaruh perhatian serius pada peringatan tersebut.

Artinya ancaman krisis pangan bukan tidak mungkin terjadi. Dimasa sulit sekarang, pangan menjadi bagian tak terpisahkan yang menjadi pertaruhan harian sampai berbulan.

Masyarakat Adat Nusantara yang berjuang bersama di AMAN juga telah jauh-jauh hari memprediksi dan menyiapkan diri untuk ancaman itu. Sejak awal virus corona merebak di Indonesia, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi langsung mengeluarkan instruksi agar seluruh komunitas melakukan karantina wilayah bermartabat. Selain itu, dalam poin pentingnya juga diinstruksikan untuk mengecek dan mempersiapkan kebutuhan pangan.

Pemuda adat juga sadar betul bahwa kondisi sulit ini belum tahu kapan berkahir. Yang pasti pandemi terparah sejak Perang Dunia II ini tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Sampai sekarang pun vaksin virus ini belum ditemukan, sekalipun telah terjadi banyak hal, misalnya keluarnya wacana pemerintah untuk menyambut new normal serta yang terbaru munculnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengorbitkan kalung antivirus berbahan eukaliptus yang kontroversial.

Untuk itu pemuda adat nusantara dalam gerakan pulang kampung melanjutkan tindakan-tindakan konkretnya seperti menanam tanaman pangan.

Jakob Siringoringo

Buku “Menelusuri Jejak Leluhur” Karya BPAN


*MENELUSURI JEJAK LELUHUR*
————————-
• Judul Buku: MENELUSURI JEJAK LELUHUR
• Harga: –
• Penulis: BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA (BPAN)
• Penerbit:
• Tahun: 2017
• Sinopsis: Buku “Menulusuri Jejak Leluhur” merupakan buku antologi tulisan dari pemuda adat nusantara tentang adat tradisi dan kebudayaannya, terutama aspek yang menyangkut warisan leluhur.

Buku ‘Menulis Minahasa’ Karya Kalfein Wuisan


*MENULIS MINAHASA*
————————-
• Judul Buku: MENULIS MINAHASA
• Harga: –
• Penulis: Kalfein M. Wuisan
• Penerbit: Kumojoyo Press
• Tahun: 2015
• Sinopsis: Buku “Menulis Minahasa” berisi essai dan opini tentang kebudayaan Minahasa. Di dalamnya juga terdapat karya sastra berupa puisi dan beberapa reportase tentang aktivitas gerakan kebudayaan di Minahasa.

Mengolah Kebun, Menjaga Kehidupan

Indra Congregations Piri , seorang pemuda adat asal kampung Ampreng, Minahasa, Sulawesi Utara. Sehari-hari ia menghabiskan waktu mengolah kebun bersama orangtuanya.

Sebagai anak petani ia bangga dan selalu membantu orang tua mengolah kebun.

Indra Piri

Tomat dan Cabai merupakan komoditas yang ditanam di kebun mereka. Selain dua jenis tanaman itu, padi dan mentimun juga menjadi komoditas pilihan yang ditanam para petani di kampung Ampreng.

Di kebun tomat mereka, ada sebuah pondok. Di pondok tersebut ia dan teman-temannya sering berkumpul. Teman-temannya juga kebanyakan anak petani. Mereka sering berkumpul ketika waktu bekerja usai. Pondok di kebun menjadi salah satu tempat mereka berkumpul, selain di rumah Indra.

Indra dan kawan-kawannya sesama pemuda adat

Indra dan teman-temannya memang aktif mengolah kebun. Baik kebun orang tua mereka, maupun kebun yang mereka kelola bersama.

Mereka menggunakan kearifan lokal Minahasa sebagai metode untuk mengolah kebun. Mapalus dan Ru’kup nama kearifan tersebut.

Metode Mapalus dapat terlihat dari upaya mereka saling membantu dan bekerja bersama. Baik saat mengolah kebun orang tua mereka, maupun kebun mereka bersama. Misalnya, apabila salah satu dari mereka membuka kebun atau saat panen di kebun orang tua mereka, para pemuda yang lain datang bersama bekerja, tanpa dibayar. Begitu juga, ketika tiba giliran anggota lain membuka kebun atau panen, orang yang sudah dibantu tersebut membalas dengan ikut mengolah kebun.

Mereka juga menggarap kebun secara bersama. Biasanya, itu kebun milik orang. Hasil dari kebun, kemudian dibagi sama rata kepada setiap yang terlibat dalam mengolah kebun.

Komoditas yang mereka tanam kebanyakan tomat dan cabai. Selain itu, mereka juga pernah menanam labu dan mentimun. Namun, karena area kebun tidak luas, kebanyakan yang ditanam hanya tomat dan cabai.

Tomat dipilih karena sangat bernilai ekonomis. Selain itu, tomat tidak perlu memerlukan lahan yang luas.

Di musim saat harganya baik, Tomat dan Cabai memang menjanjikan. Seperti yang dituturkan Deddy Milanno Sarayar, seorang pemuda Ampreng, sahabatnya Indra. Seperempat hektar kebun Tomat dapat menghasilkan, sekitar 400 kas/peti/bakul tomat. Beratnya sekitar 20kg. Sementara, saat ini harga per kas/peti/bakul, sekitar 400ribu. Sehingga hasil yang didapatkan dalam sekali mengolah 1/4 hektar kebun tomat, sekitar Rp.160.000.000. Setelah dipotong biaya produksi, maka hasil bersih yang didapatkan sekitar 150 juta rupiah. Dalam setahun, bisa maksimal 3 kali menanam tomat. Bisa dihitung keuntungannya.

Selain tomat, cabai juga menjadi pilihan.
Seperempat hektar kebun cabai dapat menghasilkan sekitar 1.000kg. Saat ini harga cabai keriting mencapai Rp.50.000/kg. Sehingga, hasil yang didapatkan dari sekali mengolah kebun cabai, sekitar Rp.50.000.000.

Namun, ketika harga Tomat dan rica anjlok, petani mengalami kerugian.
Bahkan tidak balik modal. Namun, mereka sadar bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko.

Upaya para pemuda kampung untuk berkebun yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan mengolah tanah supaya tidak ada lahan tidur. Ketika lahan diolah menjadi kebun, berarti proses kehidupan terus berlanjut. Menurut mereka, mengolah kebun berarti menjaga kehidupan.
Mereka percaya bahwa tanah tempat mereka berpijak bisa memberikan kehidupan, di tengah gempuran modernisasi dan menurunnya niat orang untuk berkebun.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish