PT Toba Pulp Lestari (d/h PT Inti Indorayon Utama), seperti yang disebut di laporan keuangannya tahun 2019—ini yang termutakhir yang diumumkannya ke publik—ternyata hanya menciptakan lapangan kerja bagi 691 orang sebagai karyawan dan 486 orang sebagai mitra kerja. Padahal, lahan yang dimanfaatkannya 270 ribu hektar.
Pendapatannya, menurut laporan keuangan itu, cuma Rp 2 triliun. Mereka rugi. Dengan begitu tak perlu bayar pajak. Malahan mereka masih punya utang pajak US$570 ribu.
Manipulasi laporan keuangan telah mereka lakukan. Demikian temuan sebuah konsorsium lembaga yang telah menyelidiki. Laporan mereka, Dugaan Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia, terbit pada November 2020.
Sudah sangat kecil sumbangannya ke negara, mengaku rugi pula! Padahal selama 33 tahun lebih telah melakukan banyak kejahatan, termasuk merusak lingkungan hidup dan mengusik ketenteraman orang Batak.
Manfaatnya bagi rakyat banyak tak seberapa dibanding mudharatnya. Jadi, sudah waktunya kegiatan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dihentikan di kitaran Kaldera Toba, kawasan yang telah dinyatakan Presiden Joko Widodo sebagai 1 dari 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Lagi pula, merupakan sebuah ironi besar kalau saja mereka masih terus menggagahi – menjarah wilayah yang telah berstatus taman dunia (geopark versi UNESCO) dan DPSP.
Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Sirait, dan kawan-kawan mereka di TIM 11 telah berjalan kaki dari Soposurung, Balige ke Jakarta (1.700- an km) untuk menuntut penutupan TPL. Tentu saja banyak orang Batak dan etnik lain yang mendukung perjuangan heroik mereka.
Dari Ketum BPAN, Kembali ke Kampung, Menggerakkan Kedaulatan Pangan, dan Jadi Pengurus BPD
Jhontoni Tarihoran dikenal orang sebagai tokoh pemuda adat yang intens berjuang untuk Masyarakat Adat. Ia adalah pemuda adat asal Tano Batak, dari Kampung Janji.
Tahun 2015-2018, ia menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Di BPAN, ia sekarang masih menjabat sebagai Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) utusan Region Sumatera. Saat menjadi Ketum BPAN, Jhon mencetuskan sebuah gerakan pemuda adat yang kini menjadi salah satu landasan para generasi muda adat menjaga wilayah adatnya yaitu Kembali Ke Kampung atau Gerakan Pulang Kampung (Homecoming Movement).
Jhontoni Tarihoran saat berfoto bersama pemudi-pemudi adat senusantara di Jambore Nasioan III BPAN
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketum BPAN, ia memutuskan Kembali ke Kampung, menghidupi program yang dicetuskannya. Ia ingin membuktikan sendiri bahwa tinggal di kampung menjadi hal yang luar biasa. Kembali ke kampung, menurutnya, bukan sekedar Kembali tinggal di kampung dan tidak berbuat apa-apa, namun Kembali ke kampung harus diikuti dengan upaya-upaya nyata untuk menjaga, membangun, dan mengurus kampung. Hal itu ia maknai dengan berbagai kegiatan.
Jhontoni Tarihoran
Di kampungnya, ia menjadi seorang petani dan aktif mengorganisir petani. Para petani di Janji meminta agar dirinya bersedia menjadi Ketua Kelompok Tani mereka. Jhon tidak menolak. Dia bekerja agar petani dapat mengakses dukungan pemerintah terkait tentang pertanian. Karena sebagai petani, sebelumnya Jhon dan warga lainnya kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Kini mereka tidak saja hanya mendapat pupuk subsidi, tetapi juga bibit dan alat-alat pertanian. Baru saja juga kelompok tani yang dia pimpin mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengerjakan pembangunan Prasarana Pertanian di desa dengan biaya ratusan juta rupiah. Jhon juga menggerakkan kedaulatan pangan di kampungnya. Jhon punya cerita menarik soal ini. Di akun media sosial miliknya, ia mengunggah foto-foto kegiatannya berkebun. ‘Tebang Sawit, Tanam Sawi’ menjadi unggahannya yang banyak menarik perhatian. Pohon sawit di kebun, ditebangnya dan ia tanami sayur sawi.
Sawit yang ditanami Sawi
Ia juga menanam banyak tanaman dan memelihara beberapa jenis hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah panen, hasilnya tidak ia nikmati sendiri, banyak pula yang ia bagikan untuk warga di kampungnya.
Sejak pandemi menerpa dunia awal tahun 2020 lalu, Jhon menjadikan ini sebagai jalan untuk menyatakan kedaulatan pangan Masyarakat Adat. Ia menunjukkan bahwa tinggal di kampung dan mengolah tanah adalah solusi di tengah pandemi. Jhon kemudian menghimpun Masyarakat Adat di kampungnya untuk menggerakkan kedaulatan pangan sebagai gerakan utama secara bersama. Mereka membentuk kelompok Kedaulatan Pangan dan Jhon lagi-lagi ditunjuk sebagai Ketua.
Jhontoni saat bekerja bersama Kelompok Kedaultan Pangan di Komunitasnya
Kembali dan mengurus kampung dipahami Jhon dengan berbagai cara. Itu yang sering ia katakan dalam berbagai kesempatan kepada sesama pemuda adat lain di forum-forum seperti seminar ataupun diskusi. Ia memang tidak hanya berteori tetapi langsung mempraktikkannya.
Di kampung, Jhon juga membantu mengadvokasi para Masyarakat Adat. Mulai dari hal kecil tapi penting. Misal, membantu mengurus adminsitrasi kependudukan, menyampaikan aspirasi Masyarakat Adat ke pemerintah di desa, dan lain sebagainya.
Selain kedaultan pangan dan advokasi Masyarakat Adat, masuk dalam ruang pengambilan keputusan dan merebut posisi dalam kepemerintahan, baik di tingkat desa sampai tingkat nasional, menjadi hal penting yang harus dilakukan sebagai bagian dari mengurus kampung. Hal itu pun dipraktikkannya.
Tahun 2018, ia maju dan menjadi Calon Anggota DPRD Toba Samosir periode 2019-2024. Tahun 2019, ia maju sebagai Calon Kepala Desa Lumban Rau Utara. Walapun belum terwujud menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten dan kepala Desa di Lumban Rau Utara, tidak membuatnya patah arang. Ia terus berusaha masuk ke semua lini pengambilan keputusan sebagai utusan politik dari pemuda adat dan Masyarakat Adat.
Terakhir, ia masuk dalam ruang pengambilan keputusan di desa. Ia maju dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lumban Rau Utara, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Upayanya ini berbuah manis. Ia berhasil masuk dalam struktur dengan menjadi Wakil Ketua BPD.
Menurut Jhon, ia merebut posisi pemerintahan di desa, khususnya BPD, dengan penuh pertarungan, karena ada upaya untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa. Baginya, ini harus dilawan.
“Karena menurut saya hal-hal aneh yang dipakai untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa sudah saatnya dilawan. Justru pemuda harus dilibatkan secara aktif. Kalau tidak maka pemuda itu sendiri yang harus memaksakan diri untuk terlibat. Sampai saat ini seringkali pemuda tidak dilihat sebagai kekuatan apalagi untuk menyumbangkan pemikiran demi kebaikan desa,” tutur Jhon.
Ditambahkannya, BPD memiliki tugas penting dalam pengawasan penyelenggaran dan pembangunan desa, sehingga menjadi bagian dari BPD adalah kesempatan untuk terlibat mengurus kampung.
“Menjadi BPD adalah satu kesempatan untuk boleh melibatkan diri lebih lagi untuk mengurus kampung ataupun desa. BPD memiliki tugas penting untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Maka pemuda harus merebut tugas tersebut demi kebaikan kampung dan keberpihakan pemerintah untuk kepentingan pemuda adat dan Masyarakat Adat itu sendiri. Pemuda harus merebut tanggung jawab dan kesempatan, mengurus kampung”.
Dalam tulisan ini, Jhon akan bercerita secara langsung, bagaimana proses dari awal sampai ia sukses menjadi bagian dari BPD. Ada banyak kisah sedih di dalamnya. Misalnya, diskriminasi dan upaya untuk membatasi pemuda untuk terlibat karena alasan lajang dan belum menikah. Namun, dari kisahnya ini juga, ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pelajaran tentang semangat, pantang menyerah, dan berjuang melawan diskriminasi menjadi BPD.
Berikut Jhon mengisahkannya:
——
“Awalnya saya tidak tertarik menjadi seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa. Karena sepanjang pengamatan saya di desa, tugas atau peran BPD itu sendiri hampir tidak terlihat. Walaupun saya tahu, bahwa tugasnya sangat penting dalam pengawasan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa. Saya juga melihat bahwa selama ini pada umumnya yang menjadi anggota BPD itu seringkali orang-orang tua ‘yang ditokohkan’, dan tentu saja hal seperti itu bukan bagian saya. Saya hanya seorang anak muda di desa yang selalu berupaya untuk terlibat dalam rapat-rapat di desa.
Pada 15 Februari 2021 saat penjaringan anggota BPD berlangsung, saya melihat panitia mensosialisasikan syarat-syarat untuk menjadi seorang anggota BPD. Pada saat yang bersamaan, salah seorang panitia mengatakan bahwa saya tidak bisa jadi anggota BPD, karena disebut anak muda yang belum menikah. Hal itu tentu berbeda dengan persyaratan yang termuat pada kertas yang ditempelkan panitia pada dinding warung kopi tempat kami ngobrol. Salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi menyebutkan: berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah dengan melampirkan foto copy KTP dan KK. Dari persyaratan tersebut berarti saya tentu bisa mencalonkan. Namun, pemerintah desa sebagaimana ditekankan panitia tersebut kesannya ‘dipaksakan’ membatasi atau meniadakan kesempatan untuk para pemuda/i di desa, seperti saya, untuk menjadi anggota BPD. Memang saya belum menikah, tapi umur saya sudah melampaui usia 20 tahun. Sebab peraturan itu mencantumkan kata ‘atau’ yang berarti adalah pilihan salah satunya.
Pada 20 Februari 2021, seperti biasa saya menghadiri undangan pemerintah desa tertanggal 15 Februari 2021 yang ditempelkan di dinding warung kopi tentang Musyawarah Dusun. Musyawarah kali ini dalam rangka pengisian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Saya hadir sebagai peserta yang pertama di tempat yang telah ditentukan mendahului pemerintah desa yang mengundang.
Sebelum musyawarah dimulai, Kepala Desa lebih awal bertanya tentang siapa saja yang bersedia untuk menjadi calon anggota BPD. Sementara yang hadir masih saya dan dua orang lainnya. Menjawab pertanyaan Kepala Desa tersebut, saya mengatakan bahwa yang menjadi calon adalah kami bertiga saja dulu. Kepala desa langsung menjawab kembali, yang menegaskan bahwa saya tidak bisa ikut untuk calon anggota BPD. Lagi-lagi karena persoalan status anak muda yang belum menikah. Saya kemudian mempersoalkan hal itu. Saya mempertanyakan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan oleh kepala desa dan sebelumnya oleh Panitia Penjaringan Anggota BPD. Langsung saja saya lihat Kepala Desa bertelepon dengan seseorang meminta penjelasan terkait dengan syarat tentang umur dan status pernikahan. Dari perbincangan yang saya dengar dia bertelepon dengan Sekretaris Camat.
Setelah melewati waktu yang ditentukan dan warga kemudian berdatangan untuk mengikuti musyawarah, diawali oleh Ketua Panitia Penjaringan Calon anggota BPD, musyawarah pun dimulai dengan menjelaskan maksud dan tujuan. Kemudian menjelaskan tentang kriteria calon anggota BPD. Dari yang saya tangkap tak banyak menjelaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD. Oleh karena itu setelah diberikan kesempatan kepada peserta yang hadir, saya menegaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD sebagaimana yang saya ketahui. Selain itu sedikit menyampaikan tentang pengamatan keberadaan BPD sebelumnya di desa, anggota BPD dan Kepala Desa tidak saling membawahi dalam tugas. BPD justru harus mengawasi kinerja kepala desa, dan harus mampu menetapkan peraturan desa secara bersama-sama dengan Kepala Desa. Tak seorang pun yang keberatan dengan hal-hal yang saya sampaikan.
Kemudian dalam musyawarah, beberapa orang langsung mengusulkan nama saya untuk menjadi utusan mereka di BPD. Peserta yang hadir saat itu pun menyetujui secara bersama-sama tanpa seorang pun yang menyampaikan keberatan ataupun pendapat lain. Salah seorang dari warga yang juga merupakan anggota BPD aktif menegaskan kembali tentang status pernikahan tidak menjadi masalah. Kali ini Kepala Desa menjawabnya bahwa hal tersebut tidak masalah dan bisa mencalonkan diri sebagai anggota BPD.
Setelah proses pemilihan di masing-masing dusun selesai dilakukan, Pemerintah Desa kemudian mengundang anggota BPD terpilih untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Pada saat pertemuan, panitia menjelaskan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan batas waktu yang ditentukan. Pertemuan yang dilakukan di Kantor Desa dihadiri Panitia Penjaringan Anggota BPD, Anggota BPD aktif dan Sekretaris Desa. Sementara Kepala Desa mengikuti pertemuan di tempat berbeda dengan Pemerintah Kabupaten.
Sekretaris desa menyampaikan ada pesan dari Kepala Desa agar berkordinasi dengan saya terkait dengan status pernikahan yang selama ini dipersoalkan. Melaui pesan WhatsApp yang dibacakan dan ditunjukkan, bahwa Kepala desa sedang bersama dengan Dinas PMD dan membicarakan hal tersebut, lagi-lagi mengatakan bahwa saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPD karena belum menikah. Tetap saja saya membantah dan menyarankan agar Kepala Desa dan Panitia membaca persyaratan dengan baik agar tidak salah menerjemahkan. Tetapi Kepala Desa dan Panitia tetap bersikukuh bahwa saya tidak memenuhi syarat karena belum menikah. Hal itu ditegaskan lagi oleh Kepala Desa. Saya dipanggil untuk membicarakan hal itu secara khusus. Saya disarankan agar memilih pengganti saya sendiri yang berasal dari keluarga untuk jadi anggota BPD. Saya tetap saja menolak. Saya membantah. Proses musyawah dusun sudah selesai, harusnya itu ditindaklanjuti untuk melengkapi berkas. Selain itu musyawarah dusun sebagai pengambil keputusan harusnya juga dihormati sebagaimana telah membuat hasil terpilihnya saya secara musyawarah mufakat. Sesungguhnya saya ‘ngotot’ mempertahankan pandangan, karena menurut saya, jelas saja kepala desa dan panitia tidak menginginkan generasi muda atau lajang menjadi bagian dari BPD. Hal ini menurut saya justru melecehkan anak-anak muda yang ingin memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara ini khususnya di desa.
Salah seorang panitia yang juga merupakan Perangkat Desa kembali menelepon saya mengatakan hal yang sama, bahwa seorang lajang tidak boleh menjadi anggota BPD. Bosan dengan hal itu, saya meminta agar dikirimkan saja semacam sms, pesan whatsapp atau surat agar saya tindak lanjuti kepada siapa yang mengatakan hal itu. Kemudian saya menerima pesan whatsaapp yang intinya bahwa ada seseorang dari DPMD-PA yang mengatakan bahwa “calon BPD tidak bisa lajang sesuai Perbup 3 Romawi 4”. Saya pun mempertanyakan hal itu kepada yang bersangkutan. Akan tetapi tidak mendapat jawaban yang jelas. Sehingga melalui seorang teman wartawan, saya dibantu untuk mempertanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PMD. Yang pada intinya Kepala Dinas mengatakan bahwa walaupun lajang kalau sudah melampui umur 20 tahun berhak menjadi anggota BPD”.
——
Walaupun telah terpilih sebagai anggota BPD, dalam proses Pemilihan Ketua BPD, Jhon tetap dijegal dengan alasan yang sama, masih muda. Jhon menuturkan bahwa Kepala Desa dan Panitia sulit menerima penjelasan darinya. Selain itu, melawan cara berpikir kolot seperti seorang yang masih lajang dan masih muda tidak layak menjadi pengurus desa, menjadi tantangan terbesar baginya.
“Tantangan terbesar adalah sulitnya kepala desa dan panitia menerima penjelasan dari saya sebagai pemuda terkait dengan persyaratan menjadi seorang anggota BPD. Kemudian melawan suatu cara berpikir yang kolot, yang membangun cara berpikir bahwa seorang lajang tidak layak menjadi pemimpin atau pengurus di desa seperti jadi seorang BPD. Sama halnya juga saat pemilihan ketua, alasan anggota BPD yang lain tidak memilih saya menjadi ketua adalah karena masih muda,” ungkap Jhon.
Kritik terhadap upaya dan pemahaman yang seperti ini menjadi masalah yang perlu dipecahkan dan dibongkar. Dalam visinya sebagai Calon Ketua BPD, Jhon mengusung gagasan bahwa pemuda mengurus kampung. Pemuda tidak boleh dipinggirkan dalam urusan desa dan urusan pemerintahan.
“Visi pemuda mengurus kampung untuk memastikan pembangunan desa transparan dan partisipatif. Tua dan muda, laki dan perempuan bersama-sama mengurus desa. Pemuda tidak boleh dibelakangkan dalam urusan desa, urusan pemerintahan. Pemuda harus mengawasi penggunaan uang miliaran rupiah yang dikucurkan setiap tahunnya ke desa”.
Belajar dari pengalamannya, Jhon mengajak semua pemuda-pemudi adat untuk terlibat dan merebut ruang pengambilan keputusan mulai dari tingkat desa. Ia juga meilhat bahwa suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan desa dan bahkan sering dipandang sebelah mata.
“Harus terlibat karena suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan di desa. Seringkali pemuda masih dilihat sebelah mata, sementara pada zaman saat ini pemuda lebih cepat beradaptasi dengan berbagai situasi, khususnya dalam penggunaan berbagai alat-alat yang dapat mengakses berbagai hal yang jauh dari desa. Pemuda tidak boleh dipandang rendah dalam urusan bernegara demikian juga dalam pengambilan keputusan pemuda harus dilibatkan karena masa yang akan datang adalah milik para generasi muda,” ucap Jhon.
Jhontoni saat berfoto bersama Wakil Bupati Toba Samosir di acara pelantikan BPD.
Setelah melalui proses perjuangan panjang, Jhontoni Tarihoran kemudian dilantik sebagai Wakil Ketua BPD pada hari Rabu, 23 Juni 2021 yang lalu berdasarkan Keputusan Bupati Toba yang dikeluarkan pada tanggal 31 Mei 2021.
Usai dilantik, ucapan selamat pun banyak berdatangan. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Jakob Siriongoringo, turut memberikan ucapan yang dimuat di media sosial BPAN seperti Halaman Facebook (fanpage), Instagram dan Twitter.
“Selamat atas dilantiknya Jhontoni Tarihoran (DePAN Sumatera), sebagai Wakil Ketua BPD Lumban Rau Utara, Kec. Nassau, Kab. Toba, Sumut. Pemuda Adat bangkit bersatu bergerak mengurus kampung, mengurus wilayah adat. Rebut, jaga, urus dan awasi. Pemuda Adat harus terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap Masyarakat Adat dalam semua tingkatan. Semoga amanah, Tuhan menyertai dan leluhur merestui. Horas, Horas, Horas!”
Kini Jhontoni sedang sibuk berjuang bersama Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Sumatera Utara dalam gerakan #TutupTPL. Ia aktif terlibat dan terus mengajak banyak orang untuk bersama-sama agar PT. Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup selama-lamanya.
Kamis, 29 April 2021, menjadi hari penting dan bersejarah bagi Hariyanto. Hari itu, ia dilantik dan resmi menjadi Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hariyanto adalah pemuda adat yang berasal dari komunitas adat Karang Bajo. Ia juga adalah Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Lombok Utara. Di hari pemilihan BPD di desanya, ia bersama 3 orang pemuda adat lain berjuang merebut ruang pengambilan keputusan di desa yakni BPD. Upaya ini adalah salah satu caranya untuk ber-BPAN dan berjuang untuk Masyarakat Adat di komunitasnya.
Pada awalnya, ia didorong oleh para anggota pemuda adat dan Masyarakat Adat di komunitasnya untuk maju. Lantas, ia bersama 3 orang pemuda adat maju dalam pemilihan BPD di desanya.
“Karena sistem pemilihannya menggunakan perwakilan wilayah, jadi ada 3 dapil dari 9 dusun. Satu dapil 3 dusun dan calon per dapil itu ada yang 3 dan 4. Di dapil saya, dapil satu, ada tiga calon yang dipilih oleh 3 dusun sebanyak 48 pemilih atau perwakilan dari ketiga dusun tersebut,” ujar Hariyanto.
Setelah melalui proses panjang, ia pun akhirnya terpilih sebagai Ketua BPD.
“Pemilihannya menggunakan sistem musyawarah perwakilan dan saya dipercaya oleh perwakilan dapil lalu lolos sebagai anggota. Dilanjutkan dengan proses musyawarah khusus anggota dan dipilih, lantas terpilih sebagai ketua.”
Menurutnya, selain untuk mendapatkan pengalaman, ia memutuskan untuk maju dalam pemilihan BPD agar suara Masyarakat Adat terakomodir dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan di desanya.
“Tujuan besarnya adalah agar Masyarakat Adat terakomodir dengan baik dalam peroses pembangunan desa yang sesuai dengan adat budaya kebiasaan Masyarakat Adat, khususunya untuk terlibat aktif dalam mengawasi kerja-kerja pemerintah desa. Dan yang terpenting pengalaman.”
Ketika maju sebagai calon ketua, ia membawa visi dan misi yang sudah tertuang dalam peraturan tentang BPD, namun filosofi hidup dari komunitas adatnya yakni ‘Pacu, Onyak, dan Amanah” (Onyak artinya: baik, utuh, bagus, dan amanah) menjadi pegangan baginya.
“Visi dan atau misi sudah terakomodir dalam peraturan tentang BPD dengan 3 fungsi utama, yaitu membahas dan menyepakati Perdes bersama Kepala Desa dan penyerap; mengelola dan menyampaikan aspirasi masyarakat; dan pengawasan terhadap kerja-kerja pemerintah desa, sehingga semua terkaver dalam peraturan tentang tugas dan fungsi BPD tersebut, hanya saja semangat yang saya pegang dalam menjalankan tugas dan fungsi tersebut tetap “pacu, onyak, dan amanah” pacu rajin, giat atau tekun”.
Maju sebagai Ketua BPD, menurutnya, merupakan sebuah langkah yang mesti dilakukan oleh para pemuda adat lain. Bagi Hariyanto, dengan terlibat dalam ruang pengambilan keputusan di desa, pemuda adat mampu mengintervensi keputusan pemerintah agar sejalan dan hamonis dengan kondisi di komunitas Masyarakat Adat.
“Pemuda adat harus terlibat, supaya mampu mengintervensi setiap keputusan-keputusan yang diterbitkan pemerintah desa agar dapat sejalan dan harmonis dengan situasi dan kondisi komunitas di kampung, karena pengambilan keputusan selama ini selalu hanya dari perspektif pemerintah. Nah, yang terdekat itu adalah desa dan ini dapat merespon kondisi Masyarakat Adat lebih cepat. Jadi, pemuda perlu hadir dan mengambil peran pada proses itu,” ungkapnya.
Pada 29 April 2021, Hariyanto dilantik sebagai Ketua BPD Desa Karang Bajo oleh Bupati Lombok Utara. Ia dilantik bersama beberapa pemuda adat yang masuk sebagai anggota BPD. Satu di antaranya menjabat sebagai sekretaris. Ia merupakan pemudi adat yang juga adalah Bendahara BPAN Paer Daya.
Aksi juang #TutupTPL yang digelorakan mulai dari Masyarakat Adat sampai masyarakat sipil lainnya di Sumatera Utara terus meluas. Semangat perjuangan mereka menjaga wilayah adat telah menyentuh dan menggerakkan empati banyak orang untuk berjuang bersama. Upaya mereka agar PT. Toba Pulp Lestari, Tbk ditutup selama-lamanya, terus mendapat dukungan. Salah satunya datang dari para pemuda-pemudi adat nusantara yang secara tegas menyatakan dukungan mereka agar PT. TPL ditutup.
Aksi dukungan dan solidaritas perjuagan dari generasi muda adat nusantara mewujud dalam berbagai bentuk. Ada yang mengganti foto profil dengan menggunakan bingkai foto ‘Relawan Aliansi Gerakan Aksi (GERAK) Tutup TPL’, membuat aksi-aksi di daerah masing-masing, dan banyak bentuk aksi lainnya.
Para pemuda-pemudi adat dari Tano Batak pun terus melakukan perjuangan. Sosial media menjadi medan tempurnya. Mereka memberikan banyak informasi penting terkait aktivitas TPL, Danau Toba, dan perjuangan Masyarakat Adat melawan TPL selama ini. Lasron Sinurat, salah satunya. Ia mengisi beranda Facebooknya dengan berbagai berita terkait pejuang-pejuang Masyarakat Adat yang melawan TPL (dulu Indorayon).
Menurut Lasron, TPL telah merampas sumber penghidupan dan tanah adat Masyarakat Adat di Tano Batak.
“TPL telah merampas sumber penghidupan Masyarakat Adat di Tano Batak. Tanah adat selain identitas juga sebagai alat produksi Masyarakat Adat di Tano Batak, yaitu sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah adat ini kerap diklaim sebagai lahan konsesi perusahaan, bahkan banyak tanah adat dikuasai perusahaan tanpa persetujuan ataupun tanpa sepengetahuan komunitas Masyarakat Adat, sehingga kerap memicu konflik tanah adat, seperti konflik Masyarakat Adat di Natumingka, Kabupaten Toba”.
Dikatakan Lasron, TPL tidak hanya merampas tanah adat namun juga melakukan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba.
“Selain itu, perusahaan ini telah mengakibatkan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba. Salah satu contoh yang terjadi terakhir ini adalah pemerintah dan salah satu perusahaan swasta bekerja sama melakukan rekayasa cuaca untuk mendatangkan hujan. Kondisi ini menjadi bukti bahwa perusahaan ini layak untuk ditutup demi perbaikan kehidupan masyarakat,” tutur Lasron.
Awal bulan Juni, jagad sosial media diramaikan oleh banyak pemuda-pemudi adat senusantara mengganti foto profil mereka dan membuat postingan di platform sosial media mereka dengan menggunakan hashtag #TutupTPL. Upaya ini dilakukan oleh para pemuda-pemudi adat, bukan hanya sekadar ikut-ikutan, tapi merupakan upaya konkrit untuk berjuang bersama Masyarakat Adat melawan TPL. Para pemuda adat dari Tano Batak dan Sumatera Utara terus memberikan informasi penting di sosial media dan informasi tersebut disebarluaskan oleh banyak pemuda adat senusantara.
Erlina Darakay, pemudi adat asal Maluku, turut menyatakan dukungan atas aksi #TutupTPL. Ia adalah Dewan Pemuda Adat Nusantara dari region Kepulauan Maluku. Menurutnya, apabila TPL dibiarkan beroperasi maka berakibat pada rusaknya eksosistem dan merugikan Masyarakat Adat setempat.
“Solidaritas aksi tutup TPL merupakan bentuk komitmen bersama AMAN dalam melindungi kelestarian alam. Alam merupakan tempat bagi Masyarakat Adat hidup. Jika TPL dibiarkan beroperasi maka akan terjadi kerusakan ekosistem dan akhirnya merugikan manusia, terutama Masyarakat Adat setempat. Kalau alam yang adalah rumah bagi Masyarakat Adat dihancurkan atau dirusak maka hancur pula kehidupan Masyarakat Adat”.
Ia mengajak para pemuda adat di Maluku dan seluruh Indonesia Timur untuk masuk dalam barisan perjuangan Masyarakat Adat mendesak TPL segera ditutup.
“Pemuda adat adalah generasi penerus Masyarakat Adat dan tongkat perjuangan Masyarakat Adat terletak pada anak muda, makanya anak muda harus menjadi garda terdepan untuk mempertahankan wilayah adat jangan sampai kita kehilangan jati diri sebagai Masyarakat Adat. Kesadaran yang dimiliki anak muda untuk menjaga wilayah adat/lingkungan adalah agar tetap lestari, dan biarkan Masyarakat Adat mengelola wilayah adat mereka sendiri. Masyarakat Adat akan merasa terancam jika TPL beroperasi. Maka itu harus ditutup,” tutur Darakay.
Senada dengan Erlina, Murniasih D. Rangka turut memberikan tanggapannya dan dukungannya terhadap aksi Tutup TPL.
“Salah satu cara dukungan kita yaitu post di media seperti Facebook, Instagram dengan tagar Tutup TPL. Saya sudah lakukan itu kemarin”.
Menurutnya, aksi Tutup TPL harus dilakukan karena TPL telah merusak dan menghancurkan hajat hidup orang banyak dan mencemari Danau Toba.
“Aksi tutup TPL memang harus dilakukan, baik itu oleh masyarakat sekitar Tano Batak maupun masyarakat luarnya. Karena TPL merupakan perusahaan yang sangat merusak dan menghancurkan hajat hidup masyarakat sekitar seperti tercemarnya Danau Toba. Seharusnya pemerintah juga merespon terkait hal ini jangan tutup mata. Sebagai pemuda adat, kita mendukung aksi tutup TPL ini sebagai bentuk solidaritas kita dari pemuda adat Kalimantan Tengah,” jelas Mumuy selaku Ketua Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Tengah.
Juan Ratu, pemuda adat dari Minahasa ikut memberikan dukungan dan desakan. Usai mengganti foto profil facebook sebagai rasa simpati dan solidaritas perjuangan bersama agar TPL ditutup, ia turut menyampaikan dukungan penuh supaya TPL ditutup. Baginya, aksi Tutup TPL adalah perjuangan bersama.
“Solidaritas untuk aksi tutup PT. TPL adalah bentuk perjuangan bersama, yang berdasarkan nilai luhuriah dari setiap Masyarakat Adat. Dalam beragam budayanya tetap bertumpu pada solidaritas dan gotong royong. Seperti di Minahasa, aksi solidaritas sering disebut Mapalus atau saling baku bantu.”
Selain sebagai pemuda adat yang aktif dalam ranah perjuangan Masyarakat Adat, Juan kini sedang menyelesaikan kuliah Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Ia juga saat ini sedang aktif membantu mengadvokasi perjuangan Masyarakat Adat di Minahasa. Dalam perspektif hukum, menurutnya, TPL harus ditutup karena tidak sesuai dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.
“PT. TPL harus ditutup karena tidak sesuai konstitusi negara Indonesia. TPL menjadi ancaman bagi kelestarian hutan, adat dan budaya Masyarakat Adat Batak. Eksploitasi wilayah adat adalah eksploitasi terhadap jati diri bangsa, karena Pancasila digali dari nilai yang dihidupi oleh Masyarakat Adat,” tegas Juan yang juga adalah Ketua DPD GMNI Sulawesi Utara.
Sucia L. Y. Taufik, pemudi adat dari Kasepuhan Bayah, Banten Kidul, selain memberikan dukungan agar TPl ditutup, ia turut mengapresiasi upaya para pemuda yang bergerak bersama berjuang mendesak TPL ditutup.
“Sebagai pemuda adat, saya turut bangga dan salut atas solidaritas dalam aksi Tutup TPL. Keterlibatan pemuda adat membuktikan bahwa kekuatan dan solidaritas Masyarakat Adat begitu erat, dan hal tersebut juga merupakan bukti kecintaan Masyrakat Adat terutama pemuda adat terhadap tanah kelahirannya,” tutup Lucia selaku Ketua Pengurus Daerah BPAN Banten Kidul.
Apabila TPL sudah ditutup, hal itu akan membuat Masyakarat Adat hidup lebih baik. Hal ini sudah dibuktikan dan ditegaskan berulang-ulang oleh Masyarakat Adat, termasuk Maruli, pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Sumut. Dituturkannya, Masyarakat Adat di komunitas adatnya baru saja panen dan akan panen lagi dalam waktu dekat. Lahan yang diolah mereka, dahulu diklaim sepihak dan ditanami eukaliptus oleh TPL. Namun, sejak 2016 lahan tersebut berhasil direbut kembali dan ditanami banyak tanaman pangan oleh Masyarakat Adat komuntasnya.
Walaupun sudah menikmati hasil yang melimpah dari lahan di wilayah adat mereka, menurut Maruli, Masyarakat Adat masih mendapatkan intimidasi dan ancaman dari TPL. Hal ini, menurutnya, menjadi alasan TPL harus segera ditutup.
“Menikmati hasil pertanian melimpah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dialami masyarakat Desa Tapian Nauli III. Ini adalah buah setelah tekad dari masyarakat atas wilayah adatnya melawan korporasi. Walaupun begitu, sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” kuncinya.
“Jadi tidak adalah ceritanya Masyarakat Adat akan susah jika TPL ditutup, justru perekonomian masyarakat akan semakin berkembang jika TPL ditutup,” ungkap Maruli Simanjutak.
Ia adalah pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut). Selain giat dalam perjuangan bersama pemuda dan Masyarakat Adat dalam aksi #TutupTPL, Maruli aktif dalam wilayah adatnya dengan memastikan kedaulatan pangan di komunitasnya. Ia juga membantu Masyarakat Adat dalam memasarkan hasil-hasil pertanian mereka. Salah satunya, hasil pertanian Eben Simanjutak.
Kamis, 17 Juni 2021, Eben Simanjutak salah satu warga Desa Tapian Nauli III begitu bahagia. Ia merupakan keturunan Ompu Niharbangan Pardede dari pihak boru. Usahanya mengelola tanah di wilayah adat Ompu Niharbangan Pardede berbuah manis. Di hari tersebut ia panen cabai dan kentang sekitar 1.200 kilogram yang kemudian dikirim dan dijual ke Siborongborong.
Lahan pertanian yang dikelola Eben Simanjutak di wilayah adatnya dahulu ditanami eukaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, sejak tahun 2000 Masyarakat Adat berjuang untuk merebut tanah adat tersebut.
“Lahan ini sebelumnya diklaim sepihak oleh Kehutanan dan memberikan izin konsesi ke PT. Toba Pulp Lestari, Tbk untuk ditanami eukaliptus. Mulai sekitar tahun 2000, masyarakat sudah berjuang untuk tanah ini. Namun perusahaan selalu menakut-nakuti masyarakat dengan menghadapkan aparat kepada kami. Banyak masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi oleh perusahaan. Namun masyarakat tidak pernah takut dan semangat perjuangan tidak pernah luntur. Karena memang tanah ini adalah tanah adat,” tutur Maruli.
Menurutnya, perjuangan panjang Masyarakat Adat di tempatnya tidak pernah padam sehingga upaya mereka pelan-pelan berujung keberhasilan. Tahun 2016 Masyarakat Adat berhasil melawan dan menjadikan wilayah adat tersebut sebagai lahan untuk bercocok tanam.
“Masyarakat Adat terus menerus berjuang dengan semangat yang tidak pernah luntur sehingga pada tahun 2016 Masyarakat Adat Turunan Ompu Niharbangan Pardede berhasil melawan koorporasi dan menjadikan lahan ini sebagai lahan untuk bercocok tanam,” ucapnya.
Ditambahkan Maruli, Masyarakat Adat yang ada di komunitasnya telah menikmati hasil pertanian yang melimpah sejak tahun 2016.
“Menikmati hasil pertanian melimpah seperti ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dilakukan masyarakat Desa Tapian Nauli III setelah masyarakat bertekad atas wilayah adatnya melawan korporasi. Namun sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” tambahnya.
Maruli mengatakan, walau di tengah perjuangan melawan intimidasi perusahaan, Masyarakat Adat di Desa Tapian Nauli III tetap semangat mengelola wilayah adatnya. Setelah panen cabai dan kentang, mereka sementara bersiap panen padi.
“Saat ini Desa Tapian Nauli III sedang menunggu masa panen padi gogo dengan benih sekitar 300 kaleng. Semoga alam semesta memberikan hasil yang baik,” tutupnya.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, tak lama setelah pandemi melanda dunia, menyerukan kepada seluruh Masyarakat Adat Nusantara agar melakukan karantina bermartabat disusul dengan program kedaulatan pangan sebagai respons terhadap situasi umum termasuk ancaman krisis pangan di mana negara berjarak teramat jauh dari komunitas adat dari segala aspek.
Kedaulatan pangan digerakkan oleh komunitas-komunitas termasuk perempuan dan pemuda adat. Ada yang berkebun palawija, ada yang berkebun jahe, sayur-sayuran, beternak dan sebagainya.
Wawan Dipkarso, pemuda adat asal komunitas Marga Rambang Kapak Tengah Suku III, Dusun I, Desa Pagar Agung, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan salah satunya. Ia bersama sekitar 30 orang dalam kelompoknya membudidayakan ikan seperti lele dan nila, di samping menyemai sayuran bahkan singkong.
Situasi masyarakat yang sudah mulai konsumtif dan semuanya serba instan, menurut Wawan, adalah alasan yang melatarbelakangi ia dan kelompoknya menggerakkan kedaulatan pangan di komunitasnya. Di samping itu, pandemi covid-19 yang melanda dunia menuntutnya sebagai generasi penerus untuk berpikir dan bertindak membantu komunitas adatnya agar tidak terancam krisis pangan.
Ia memaknai kedaulatan pangan yang sangat terikat kuat dengan tanah di mana segala kebutuhan bagi keberlagsungan hidup secara ekonomi, sosial, budaya dan politik itu berdiri kuat yang membuat Masyarakat Adat berdaulat. “Karena dengan mengolah tanah kita bisa menanam apa pun untuk dihasilkan dikonsumsi bahkan dijual,” katanya.
Sejak memulai program kedaulatan pangan, Wawan menuturkan, mereka sudah memanen ikan lele satu kali. Wawan dan kelompoknya menyiapkan 10 kolam ikan, dan panen perdana lele itu berasal dari tiga kolam. Setelah panen akan dilanjutkan kembali menebar bibit lele untuk proses keberlanjutan.
Panen lele / doc: Wawan Dipkarso
“Kurang lebih ada 40 kg lele yang kita panen. Hasilnya kita bagi ke sekitar 60-an orang meliputi: warga sekitar, angggota kelompok, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Daerah dan mahasiswa. Tiap orang mendapatkan empat ekor yang beratnya kira-kira 600 gram”, lanjutnya.
Sebagai pemuda adat, Wawan menggarsbawahi bahwa aksi kedaulatan pangan yang dia dan kelompoknya lakukan adalah aksi meneruskan praktik-praktik orang tua dan leluhurnya.
“Melalui kedaulatan pangan, kami ingin mengulang kembali kejayaan nenek moyang dulu, yaitu tidak tergantung dengan pasar. Kami ingin semuanya serba ada di wilayah adat kami sendiri. Kedaulatan pangan ini juga menjadi upaya edukasi dan ajakan supaya masyarakat sadar arti pentingnya tanah, apalagi tanah ulayat”, tutup Wawan.
Menjadi salah satu sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) atau organisasi para pemuda adat merupakan harapan bagi perkembangan dan pelestarian adat di komunitas Masyarakat Adat.
Generasi muda adat menjadi tonggak harapan Masyarakat Adat untuk mengembangkan wilayah adat termasuk melestarikan budaya.
Aku menjadi salah satu pemuda di komunitas adat Sidole yang pada tahun 2019 kemarin mendaftarkan diri menjadi anggota BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan BPAN maupun AMAN, merasa sangat terbantu untuk kembali mengenali adat istiadat di komunitasku, Kaili Lauje di Sidole.
Aku pun kemudian dikenalkan dengan pentingnya gerakan pulang kampung, tentang peranku yang akan sangat bermanfaat bagi kampungku jika aku kembali dibandingkan berada di rantau yang hanya menguntungkan diri sendiri. Ditambah lagi bertemu dan berbagi cerita dengan teman-teman dari berbagai penjuru nusantara dengan pengalaman dan pemahaman mereka terkait adat di komunitasnya membuatku malu pada diri sendiri yang sangat minim ilmu tentang wilayah tempatku dan leluhurku terlahir.
BPAN dengan gerakan pulang kampungnya berupaya menjaga pemuda juga Masyarakat Adat pada umumnya untuk tetap mencintai dan merasa bangga dengan budaya dan kearifan lokalnya sehingga ilmu yang diperolehnya dari sekolah ataupun perguruan tinggi dimanfaatkannya untuk pengembangan potensi di komunitasnya untuk kebermanfaatan Masyarakat Adat di wilayahnya.
Ibarat pohon, pemuda adat adalah batang pohon yang akan menyebarkan sari pati tanah yang telah diserap oleh akar (leluhur) pada ranting-ranting sehingga menumbuhkan dedaunan untuk foto sintesis yang kemudian akan memberikan keberlangsungan hidup pohon (kehidupan Masyarakat Adat) hingga menghasilkan buah. Pemuda adat haruslah mengupayakan segala cara dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya untuk mengembangkan potensi wilayahnya, menjaga, mendata dan mendokumentasikannya dengan memulainya dengan diskusi antarpemuda di kampungnya, berbagi ide dan gagasan untuk tujuan mengembangkan dan melestarikan nilai atau tatanan hidup Masyarakat Adat di komunitasnya.
Kehadiran pemuda adat diharapkan dapat menjadi penghubung masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Menjadi generasi yang bisa menggali potensi wilayah adat, mendata kearifan lokal termasuk sejarah, seni budaya juga ritual adat sehingga generasi mendatang masih bisa mengetahui dan mengenali kearifan lokalnya sehingga dengan bangga menampakkan keadatannya.
Adat menjadi hal yang sangat sakral bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang lebih dikenal dengan Masyarakat Adat. Keberadaan adat istiadat di era modern saat ini rentan karena telah banyak pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merecoki tatanan kehidupan dalam Masyarakat Adat. Sehingga tak jarang pemuda di suatu komunitas adat tidak lagi bangga dengan keadatannya dan lebih memilih mengikuti tren masa kini yang jauh dari adat dan bahkan ada yang sudah menyimpang dari adat kebiasaan Masyarakat Adat di wilayah adat tertentu.
Pemuda adat menjadi tali penghubung tatanan kehidupan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan yang berkeadatan.
Adat menjadi hal penting dan sangat dihormati oleh masyarakat di kampungku, namun belum banyak yang kuketahui terkait adat di komunitasku, itu pun hanya sebatas seremonial saja. Aku juga termasuk pemuda yang telah mengenyam pendidikan tinggi di kota dengan ilmu dan kehidupan kota yang cukup modern sehingga pandanganku tentang adat sedikitnya mulai teralihkan. Tapi terkait adab dan tata laku kesopanan tetaplah adat menjadi tumpuanku setelah agama. Aku sedikitnya telah mengabaikan adat di komunitasku.
Hingga sampai pada keikutsertaanku dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh BPAN dan AMAN aku dibuat sadar bahwa adat sangatlah penting dan menjadi hal pertama yang mengatur tatanan hidup masyarakat jauh sebelum agama hadir di tengah kehidupan masyarakat. Mendengar penjelasan dan pemaparan terkait hal itu aku seakan disegarkan kembali, hatiku terpanggil untuk mengenal kembali adat yang menjadi bagian dari diriku jauh sebelum aku sendiri mengenal diriku.
Dari semua itu muncullah tekad untuk pulang kampung dengan misi kembali mengenali dan mendokumentasikan segala hal yang menjadi identitasku, tentang wilayah adat, nomenklatur, tata pemerintahan, tata laku dan hukum adat yang sejak dulu telah dianut oleh masyarakat di kampungku jauh sebelum adanya agama dan hukum positif yang menurut pemaparan orang-orang tua menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dibanding hukum positif saat ini yang hanya membingungkan dan mudah diperjualbelikan oleh pemilik kuasa dan pemodal.
Sebaliknya, Masyarakat Adat selalu menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, mencintai alam semesta dan manfaatkannya dengan sangat baik. Berbeda dengan manusia modern yang hanya ingin menguntungkan diri dan kelompok dengan merusak alam (eksploitasi).
Banyak hal yang mesti dipikirkan oleh pemuda khususnya pemuda adat bagaimana menjaga eksistensi diri sebagai Masyarakat Adat yang beradab, mandiri dan bermartabat. Menjaga wilayah dan generasinya dari merusak ataupun dirusak oleh modernisasi yang sejatinya menghilangkan kesejatian diri sebagai manusia. Banyak perilaku masyarakat modern yang katanya maju, tapi lebih banyak merusak masyarakat juga alam. Modernisasi dalam hal positif tentulah tetap dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengenalkan kekayaan alam dan potensi wilayah adat untuk pengembangan Masyarakat Adat itu sendiri.
Menjadi pemuda adat adalah takdir, menjadi pemuda adat yang mau pulang kampung adalah pilihan. Aku memilih menjalani kehidupan sesuai takdirku dengan tetap menggunakan daya pikir dalam hal-hal yang masih bisa kupilih termasuk pulang kampung dan mengupayakan mengembangkan komunitasku, kembali mengenali jati diriku dan mengenalkannya kepada dunia tentang peradaban yang telah dibangun oleh tatanan adat, tentang pengelolaan wilayah yang mengutamakan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan sekitar dengan kearifan lokal yang ada, menjaga bahasa dan sejarah asal usul untuk nantinya diceritakan pada generasi mendatang sebagai penghubung generasi saat ini dan generasi mendatang.
Aku pun akan terus belajar dengan tetap mengingat untuk pulang kampung berbagi untuk bangkit dan bersatu mengurus wilayah adat untuk Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.
Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.
Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.
Merenungkan Musim
Akhir-akhir ini bumi semakin panas. Hujan tak menentu. Angin melanda seluruh pelosok Nusantara. Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.
Aku tahu bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah menggerogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menghancurkan lahan-lahan sayur.
Nasib-nasib mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghidupan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.
Kemarin aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang juga menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.
Apalagi setelah ini? Apalagi setelah ini?
Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik. Saya mencoba bertahan di antara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.
Tidak adil, sangat tidak adil.
Mengemban Tugas
Keluhan hutan rusak dan akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Dengan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, bencana-bencana itu menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.
Aku mengingat seorang Ketua Adat, dia berkata “Di mana pun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung? Apakah sulit sekali menahan diri dari kerakusan yang tak pernah berujung?
Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.
Mulai Perjalanan
Sore aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap dipanen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ‘ku ambil. Segar terlihat di mataku.
Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang panjang, cabe rawit, kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama di mataku. Cokelat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.
Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu aku masih bisa mandi di sungai, kini sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.
Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.
Aku tak pernah membayangkan ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.
BPAN – Komit memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, pemuda-pemudi adat dari komunitas adat di Tomohon mendeklarasikan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kota Tomohon.
Sebagai bukti komitmen menjaga tanah adat Tomohon, generasi muda adat Tomohon menggelar Pertemuan Daerah, di Aula Radio Kabar Baik, kelurahan Kakaskasen Dua, Kecamatan Tomohon Utara, Sabtu (5/6/2021).
Dalam Perda tersebut, para pemuda-pemudi adat se-Tomohon bermusyawarah untuk memilih kepengurusan PD BPAN Tomohon. Belarmino Lapong dipercayakan sebagai Ketua PD BPAN Tomohon, Anugrah Pandey sebagai Sekretaris, dan Kurnia Surentu sebagai Bendahara.
(Dari kiri ke kanan) Belarmino Lapong, Kurnia Surentu, dan Anugrah Pandey
Usai diberi mandat untuk menahkodai BPAN Tomohon, Belarmino Lapong mengatakan, akan berkomitmen untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat adat dan berjuang bersama menjadi kelung umbanua (pelindung negeri).
“Harapannya bersama BPAN Tomohon, dapat mengadvokasi kepentingan masyarakat adat di wilayah Tomohon, yang saat ini terkesan tersembunyi dan atau bisa jadi sengaja disembunyikan,” ujar Belarmino.
“Terkait hal itu, saya akan bergerak bersama-sama teman-teman yang sevisi di Tomohon. Menjadi kelung umbanua tou muung, mengawal, menyuarakan, serta mengeksekusi aspirasi masyarakat adat di wilayah kota Tomohon pada khususnya,” jelas Belar, sapaan akarabnya usai kagiatan tersebut.
Lapong menegaskan, ada satu pesan leluhur Minahasa yang menjadi landasannya sejauh ini untuk tetap berkomitmen menjaga jatidiri sebagai tou (orang) Minahasa.
“Ada satu nasehat para leluhur yang menjadi pegangan kami, yakni ‘Kita Tumete witu tete, tinetean ni matete’. Artinya, kita mengikuti jalan yang dilalui oleh para leluhur. Penyertaan Yang Maha Kuasa dan restu leluhur akan selalu ada dalam setiap jalan pergerakan BPAN Tomohon,” kunci Belar
Sedangkan Kalfein Wuisan yang mewaliki Ketua Umum BPAN, saat di wawancarai usai kegiatan, mengapresiasi semangat dari para pemuda adat Kota Tomohon.
“Pemuda- pemudi adat dari beberapa komunitas adat di Tomohon telah melakukan sebuah tonggak sejarah baru. Keputusan mereka untuk berkumpul, berkonsolidasi, bermusyarah, dan mendeklarasikan diri menjadi bagian dari perjuangan BPAN merupakan suatu hal luar biasa dalam konteks Tomohon sebagai daerah urban,” ucap Wuisan.
Kalfein Wuisan membuka kegiatan mewakili Ketua Umum BPAN
Menurutnya, gerakan pulang kampung merupakan langkah terbaik yang dipilih pemuda adat Tomohon. Sebab gerakan tersebut, sudah menjadi konsep BPAN di beberapa tahun terkhir.
“Gerakan Pulang Kampung menjadi salah satu hal penting yang dilakukan BPAN beberapa tahun terakhir. Gerakan ini mengajak para generasi muda adat untuk kembali ke kampung, menjaga dan membangun kampungnya,” kata Wuisan
“Gerakan pulang kampung yang digagas oleh BPAN, dilakukan para pemuda-pemudi adat di seleuruh Nusantara dalam banyak cara. Misalnya, membentuk Sekolah adat, memastikan kedaulatan pangan, mendokumentasikan kampung dan kebudayaannya, dan banyak hal lain,” jelas Wuisan, yang juga sebagai Skretariat Nasional, Koordinator Propaganda Media Pengurus Nasional BPAN.
Ia harap, berdirinya PD BPAN Tomohon dapat menjadi penggerak inspiratif, bagi pemuda Kota Tomohon untuk bersama menjaga dan membangun daerah tempat berlangsungnya lehidupan
“Semoga PD BPAN Tomohon menjadi penggerak dan inspirasi bagi banyak orang muda Tomohon untuk menjaga dan membangun Tanah ini,” tutup Wuisan.
Para pemateri Seminar
Sebelum kegiatan musyarawah, dilaksanakan seminar bertema ‘”Pemuda, Sekolah Adat & Upaya Menemukan Jalan Pulang”. Hadir sebagai pemateri. Dr. Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, M.Teol, Nadine Sulu, Kharisma Kurama. Turut hadir pula para Tetua Adat, Tonaas Rinto Taroreh selaku Penasehat PW BPAN Sulut, Ketua PW BPAN Sulut Allan Sumeleh, bung Jones Mait, S.H, Ketua KNPI Tomohon Kharlheinz Senduk, S.H, dan para pemuda-pemudi adat dari Minahasa.
Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.
Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.
Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.
Merenungkan Musim
Akhir-akhir ini bumi semakin panas,
Hujan tak menentu,
Angin melanda seluruh pelosok Nusantara.
Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.
Aku tau bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah mengrogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menhancurkan lahan-lahan sayur.
Nasib-nasib, mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghiudpan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.
Kemarin, aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.
Apalagi setelah ini, apalagi setelah ini?
Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik atau memburuk. Bertahan diantara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.
Tidak adil, sangat tidak adil.
Mengemban Tugas
Keluhan hutan rusak, akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Menggunakan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.
Aku mengingat kata Ketua Adat, dia berkata “Dimanapun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung. Apakah sulit sekali menahan diri untuk kerakusan yang tak pernah berujung?
Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.
Mulai Perjalanan
Sore, aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap di panen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ku ambil. Segar terlihat dimataku.
Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang Panjang, cabe rawit, Kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama dimataku. Coklat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan, mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.
Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu, aku masih bisa mandi di sungai. Kini, sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.
Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku. Tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing, hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.
Aku tak pernah membayangkan, ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.