HIMAS 2021: Kisah Resiliensi di Tengah Pandemi, Perlawanan untuk Bumi, Hingga Aksi Tutup TPL

“I Yayat U Santi,” ucap Rukka Sombolinggi dengan lantang.

Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) membuka sesi sambutannya pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2021 dengan mengucapkan kalimat tersebut.

Secara harafiah, I Yayat U Santi berarti “Angkat dan acung-acungkanlah pedang (mu)”.  Pekikan atau seruan khas ini berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Seruan ini banyak sekali dipekikkan dalam tarian Kawasaran. Seruan I Yayat U Santi memiliki fungsi dan arti yang penting bagi orang Minahasa. Seperti ditulis oleh budayawan Minahasa, Pdt. Dr. W.A. Roeroe dalam buku Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa, ungkapan ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia mengandung juga seruan supaya gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur. Seruan “I Yayat U Santi!” disambut dan harus dibalas dengan jawaban atau pekikan: ‘Uhuy’ yang berarti Setuju, demikian halnya ! Sorakan “Uhuuy!”, menurut Roeroe bermakna ‘Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita’.

Rikson Karundeng dan Nedine Sulu

Pekikan  Rukka itu langsung disambut dengan sorakan oleh dua pembawa acara HIMAS 2021, Rikson Karundeng dan Nedine Sulu yang berasal dari Minahasa.

“Uhuuy”.

Sebelum sambutan Sekjen AMAN, acara diawali dengan Ritual Hoho, dari Bawomataluo, Nias Selatan. Ritual ini biasanya dilaksanakan sebelum musyawarah komunitas dan hanya dilakukan tetua adat.

HIMAS di Tengah Pandemi

Peringatan HIMAS menjadi salah satu agenda besar yang selalu dilakukan AMAN setiap tahun. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan AMAN secara luring, namun karena pandemi covid-19 yang menyerang awal tahun 2020, HIMAS mulai dilaksanakan secara daring.

HIMAS 2021 diperingati AMAN bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada Senin, 9 Agustus 2021. Sejak tahun lalu hingga kini, HIMAS diselenggarakan secara daring, melalui Aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui akun Facebook dan Youtube milik AMAN. Peringatan HIMAS tahun ini diisi dengan sarasehan dan Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara, dengan tema: ‘Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi’.

Acara sarasehan membahas berbagai aspek tentang kebudayaan Masyarakat Adat dan hubungannya dengan upaya perlindungan bumi. Bagaimana kebudayaan Masyarakat Adat menjadi media perlawanan untuk melindungi wilayah adat dan alam semesta. Sementara, Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara menampilkan pertunjukan budaya dari berbagai komunitas adat di Nusantara, antara lain: seni tari perang dari berbagai wilayah, musik/nyanyian, silat, ritual-ritual, dll.

Sejarah Singkat HIMAS

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) atau International Day of the World’s Indigenous Peoples diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 9 Agustus.  HIMAS pertama kali ditetapkan oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 23 Desember 1994. Keputusan ini tertuang dalam Resolusi PBB No. 49/214. Tanggal 9 Agustus dipilih untuk mengingat pertemuan perdana Kelompok Kerja PBB tentang Masyarakat Adat di tahun 1982. Pertemuan ini dianggap bersejarah karena menjadi momentum internasional di mana isu mengenai Masyarakat Adat mulai dibahas secara serius dan terbuka. Kemudian buah lain dari perjuangan itu pada tanggal 13 September 2007, PBB mengesahkan deklarasi tentang Hak-hak Masyarakat Adat  atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, disingkat UNDRIP. Peringatan ini juga diperingati AMAN setiap tahunnya.

AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat terbesar di dunia yang terbentuk tahun 1999, secara rutin merayakan HIMAS setiap tahun. Seperti ditulis AMAN dalam pemberitaannya, HIMAS secara umum ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia. Perayaan HIMAS juga didedikasikan untuk mengingat pencapaian dan sumbangsih Masyarakat Adat untuk dunia yang lebih baik. Termasuk di soal pelestarian lingkungan dan warisan tradisi lokal yang memperkaya ilmu pengetahuan. Selain HIMAS, perayaan besar lain bagi Masyarakat Adat di nusantara yaitu Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) yang diperingati setiap tanggal 17 Maret. Waktu ini juga menjadi penanda hari lahirnya AMAN pada 17 Maret 1999.

Kebudayaan, Resiliensi di Tengah Pandemi, dan Tugas Menjaga Bumi

“I Yayat U Santi. Angkat Pedangmu dan maju berperang. Kita saat ini sedang dalam situasi perang. Perang melawan diri kita sendiri. Perang melawan penjajahan berupa perampasan willayah adat dan perang melawan penjajah yang merampas wilayah adat. Dan jangan lupa, perang melawan covid-19,” tutur Rukka Sombolinggi usai memekikkan salam khas dari Minahasa itu.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi

Ia hendak memberikan semangat kepada para hadirin. Penjelasannya itu juga sangat berkaitan erat dengan kata ‘perlawanan’ yang menjadi salah satu varibel tema HIMAS 2021.

Selaku Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, mengisi awal sambutannya dengan ungkapan empati atas gugurnya banyak orang, termasuk para tokoh-tokoh pejuang Masyarakat Adat, di tengah pandemi covid-19.

“Hari ini kedua kalinya, kita di seluruh dunia merayakan HIMAS, di tengah-tengah terpaan badai covid-19.  Kita terus mengirimkan doa untuk seluruh umat manusia, baik Masyarakat Adat maupun bukan. Kita kirimkan semangat. Kita kirimkan doa, bagi sahabat keluarga dan kerabat kita yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita. Secara khusus dalam beberapa bulan terakhir beberapa pemimpin AMAN pergi meninggalkan kita”.

Ia turut menjelaskan hubungan tema HIMAS 2021 secara global dan tema yang dipilih oleh AMAN.

“Tahun ini di internasional, temanya adalah Tidak Meninggalkan Siapa pun di Belakang: Masyarakat Adat dan Seruan untuk  Kontrak Sosial Baru. Di tingkat nasional kita memperdalam tema tersebut, dengan realitas dalam setahun teakhir di seluruh nusantara dengan tema: Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi, sebagai cermin dari situasi yang dialami oleh Masyarakat Adat di nusantara”.

Rukka Sombolinggi terlihat sangat bersemangat. Ia turut memberikan gambaran tentang kebudayaan dalam perspektif Masyarakat Adat.

“Bagi kita Masyarakat Adat, kebudayaan adalah jalan hidup, cara hidup, berdasarkan sistem dan nilai warisan leluhur yang mengatur hubungan kita dengan alam semesta sekitar kita, termasuk dengan manusia, bintang dan tumbuhan, hubungan kita dengan leluhur kita. Dan tentu saja hubungan kita dengan Sang Pencipta alam semesta,” jelas Rukka.

Ditambahkannya, dunia yang ada saat ini tidak lepas dari keberadaaan beragam kebudayaan Masyarakat Adat. Berbagai studi menujukkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga ekosistem terbaik yang tersisa di seluruh dunia.

“Demikian juga kita lihat selama pandemi ternyata kampung-kampung, wilayah-wilayah adat yang masih berdaulat atas wilayah adatnya adalah tempat yang paling berkecukupan. Sehingga kita mampu berbagi dengan sesama Masyarakat Adat maupun bukan. Ini semua menujukan bahwa kebudayaan yang kuat dan utuh, praktek-praktek termasuk musyawarah mufakat, itu menjamin keberlangsungan keberadaan dunia yang baik dan juga umat manusia”.

Sekjen AMAN melanjutkan bicara. Raut wajahnya mulai berubah. Matanya nampak memancarkan kesedihan saat ia mengungkap tantangan terbesar yang dihadapi Masyarakat Adat.

“Tantangan terbesar Masyarakat Adat menjaga bumi, menjaga manusia saat ini adalah justru paling banyak adalah kita sendiri, anak-anak adat. Banyak dari kita bangga menyandang nama adat kita. Pada saat yang sama kita menggadaikan diri, kita menjual wilayah adat kita. Dan dalam banyak hal kita dengan bangga menjadi perisai bagi penindas, menjadi benteng dari perampas wilayah adat. Ini adalah tantangan terbesar kita Masyarakat Adat.”

Ia menuturkan, covid-19 mengingatkan Masyarakat Adat untuk kembali ke akar, hidup lebih baik, dan merefleksikan perjalanan bukan hanya sebagai Masyarakat Adat tetapi juga sebagai bangsa Indonesia.

“Wilayah-wilayah adat yang tadi yang masih menjaga sistem unsur-unsur kebudayaannya, itu menjadi tempat yang paling aman. Ritual, ramuan-ramuan tradisonal, pangan yang cukup, musyawarah adat, tunduk kepada kepemimpinan para tetua dan pemimpin-pemimpin adat, itu yang membuat Masyarakat Adat selama setahun lebih bisa bertahan”.

Disampaikan Rukka, di sisi lain keunggulan tersebut menjadi sumber kerentanan Masyarakat Adat. Wilayah-wilayah yang dijaga Masyarakat Adat tetap tidak lepas dari ancaman, seperti perampasan wilayah adat. Ia kemudian menceritakan satu contoh kasus yang terjadi di Sakai, Riau. Di tengah pandemi covid-19, lahan yang mereka kelola dirusak. Belum lagi, masalah lain yang dialami Masyarakat Adat di tengah pandemi. Misal, ketiadaan  fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi Masyarakat Adat, menambah kerentanan menghadapi pandemi. Dalam kondisi tersebut, Masyarakat Adat tetap bertahan dengan pengobatan tradisional dan ritual.

“Namun di tengah situasi pandemi, di tengah ketiadaan fasilitas kesehatan dan infrastuktur transpotasi di wilayah adat, di tengah-tengah gempuran covid, kampung-kampung kita cukup ketat dengan ritual dan pengobatan tradisional. Dalam satu tahun terkahir saya banyak sekali mendengar ini. Ada kampung-kampung yang tidak punya pilihan lain selain pengobatan tradisonal dan ritual”.

Menurutnya, dalam menghadapi covid-19, pemerintah lemah dalam proses sosialisasi sampai ke kampung-kampung, khususnya bagi komunitas Masyarakat Adat.

Rukka melihat solusi lain untuk menghadapi pandemi. Baginya, berhenti untuk terus menyalahkan masyarakat dan melihat bagaimana kontribusi, bagaimana kekuatan masyarakat, bagaimana partispiasi Masyarakat Adat di dalam situasi terakhir ini, sesungguhnya adalah kekuatan. Gotong-royong sebagai warisan leluhur Masyarakat Adat menjadi kunci untuk tetap bertahan di tengah pandemi.

“Kita tidak boleh ingkar bahwa kita bertahan di kampung-kampung maupun di kota-kota, semuanya itu karena memang pertama daya tahan orang Indonesia yang luar biasa dan yang kedua karena gotong-royong. Ternyata salah satu budaya luhur warisan leluhur kita belum kita lupakan. Ternyata kita menemukan jalan kembali. Mengingat kembali praktek-praktek luhur leluhur kita yaitu praktek budaya gotong royong. Inilah yang membuat kita bertahan.“

Ia turut menyampaikan tantangan Masyarakat Adat menghadapi kontrak sosial baru. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, gempuran  revisi UU Minerba, dan adopsi UU Cipta Kerja digunakan sebagai instrumen hukum untuk merampas, meneguhkan perampasan, memperkukuh perampasan wilayah Adat yang sudah terjadi serta memberikan karpet merah kepada perusahaan untuk wilayah adat yang tersisa. Ditegaskannya, menjadi tangung jawab bersama untuk melakukan perlawanan terhadap hal tersebut.

“Untuk itu saya mengajak kita semua untuk berjuang mempertahankan tanah leluhur kita, bergotong-royong melawan covid-19, memperjuangkan sebuah kontrak sosial baru, untuk memastikan kita tidak terus-terus berada di belakang.  Kita menjadi sentral dari sebuah dunia dengan tatananan baru.”

Rukka Sombolinggi menutup sambutannya dengan menuturkan bahwa Masyarakat Adat memiliki lebih dari cukup sumber daya untuk ditawarkan kepada seluruh umat manusia. Tugas Masyarakat Adat dalam menjaga bumi tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua orang dan generasi selanjutnya.

“Masyarakat Adat punya lebih dari cukup untuk kita tawarkan kepada seluruh umat manusia. Itulah hari ini yang harus kita ingat dan terus kita kobarkan semangatnya, bahwa apa yang kita miliki, seluruh kebudayaan kita secara utuh bukan hanya untuk kita sendiri. Kita menjaga bumi bukan karena kita mau menikmatinya sendiri, (tapi) karena kita ingin mewariskannya kepada generasi-generasi  berikut dan juga berkontribusi besar terhadap umat manusia yang lain, baik Masyarakat Adat maupun bukan”.

Usai sesi sambutan Sekjen AMAN, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemdikbudristek, Hilmar Farid. Ia mengawali sambutannya dengan salam dan ucapan selamat HIMAS.

“Pertama tentu saya mengucapkan Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2021”.

Dirjen Kebudayaan, Kemdikbudristek: Belajar dari Masyarakat Adat

Hilmar Farid kemudian bicara soal pandemi covid-19 di Indonesia. Menurutnya, semua orang masih masih berjuang untuk vaksinasi, termasuk Masyarakat Adat, sebab dari informasi yang didapat, vaksinasi sangat tidak merata jangkauannya.

Ia juga menuturkan kebijakan baru dari direktoratnya. Bagi mereka yang tidak punya KTP bisa divaksin. Menurutnya, kebijakan sudah ada, tapi perlu dikawal di lapangan untuk memastikan bahwa itu memang bisa diakses oleh semua orang.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemendikbudristek, Hilmar Farid

“Dan khusus untuk Masyarakat Adat, saya kira situasi juga sangat bervariasi. Ada daerah-daerah yang memang masih terjaga dan terlindung dengan baik, situasinya mungkin relatif baik karena ada kedaulatan yang kuat. Sehingga Masyarakat Adat bisa menetapkan sejenis lock down di tingkat lokal. Aturan-aturan dipatuhi. Kita tahu di Sungai Utik, di Kanekes, dan sebagainya. Tapi sebagian lagi tidak atau tidak mengalami atau tidak punya kemewahan seperti itu”.

Dikatakannya, daerah Masyarakat Adat yang tidak lagi punya kemewahan seperti itu, karena sebagian dari lahan-lahan mereka sudah bersinggungan dengan tempat-tempat modern. Ada perkebunan, pertambangan, kota-kota, dan seterusnya. Sehingga irisan ini membatasi kemampuan Masyarakat Adat untuk menerapkan mekanisme kendali yang sesungguhnya ada, secara efektif.

Ditambahkannya, daerah Masyarakat Adat yang kedaulatannya tinggi, mereka memiliki mekanisme sendiri dan bahkan punya istilah untuk pandemi.

“Kita masih sibuk mengeja pandemi, mereka sebetulnya sudah punya istilah yang digunakan turun-termurun untuk memahami situasi seperti yang kita hadapai sekarang. Dan lebih penting dari konsep dan seterusnya itu adalah adanya ikatan sosial yang kuat. Adanya otoritas yang ditaati. Dan yang sangat mendasar, pemahaman bersama yang solid. Itu yang gak ada di perkotaan”.

Hilmar Farid menjelaskan, tantanan modern yang dibangun, seperti di perkotaan, sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi situasi seperti ini. Berbeda dengan Masyarakat Adat yang sudah punya mekanisme sendiri.

“Masyarakat Adat yang hidup turun-temurun, generasi per generasi mewariskan pengetahuannya terus menerus. Sudah punya mekanisme, sudah punya pengetahuan, sudah punya bekal untuk menghadapi semua. Dan ini yang dalam bahasa sekarang kita sebut sebagai resiliensi atau ketahanan. Dan saya kira penting sekali bagi kita untuk mendokumentasiksn pengetahuan dan praktek yang muncul di berbagai tempat yang tadi sudah disebutkan oleh kak Rukka juga”.

Upaya pendokumentasian penting, karena menurut Hilmar Farid, solusi pandemi tidak mungkin tunggal. Tidak ada satu solusi yang berlaku untuk semua. Konteks lokal sangatlah penting.

Ia kemudian lanjut bercerita soal keterhubungan rusaknya ekosistem, pandemi, dan dampaknya kini. Menurutnya, Masyarakat Adat, saat ini berada pada titik perjuangan yang sangat menentukan.

“Kita mesti menjadi bagian dari normal baru. Normal baru ini bersandar pada berbagai macam kearifan lokal yang kita kumpulkan, kita dokumentasikan, dan kita buktikan keampuhannya menghadapi situasi seperti yang kita alami sekarang ini”.

Hilmar Farid percaya bahwa normal baru bukan konsep abstrak yang disusun oleh para perencana yang jauh dari kenyataan. Tapi normal baru mesti disusun berdasarkan praktek dan pengalaman konkret yang ada di bawah.

“Normal baru ini dihidupi oleh filososi yang menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam. Normal baru ini tidak boleh tengelam lagi dalam kebodohan, keangkuhan, dan keserakahan manusia. Dan tidak ada tempat yang lebih baik, saya kira, mempelajari norma-norma dan nilai ini dari pada Masyarakat Adat yang sudah menghidupi tanah kita selama ribuan tahun. Dari sinilah kita bisa belajar untuk memikirkan tantanan normal baru di masa mendatang,” tutupnya.

Sebelum acara sarasehan dimulai, kegiatan HIMAS diisi dengan pemutaran video-video dari komunitas Adat anggota AMAN, salah satunya video tentang Tenun Ikat Pulau Timor.

Masyarakat Adat dan Peran Perlawanan untuk Bumi

Abdon Nababan, selaku Wakil Ketua DAMANNAS (Dewan AMAN Nasional), langsung mengambil alih acara. Ia dipercayakan untuk menjadi moderator dan memandu jalannya sarasehan.

“Tadi dari Ibu Sekjen sama Pak Dirjen sudah menjelaskan ke kita dengan bagus sekali bahwa kebudayaan Masyarakat Adat itu menjadi sangat penting. Pertama karena kebudayaan Masyarakat Adat itu dibangun dari suatu proses yang panjang. Proses yang sangat mendalam yang melahirkan suatu sistem yang bebeda di suatu Masyarakat Adat dengan Masyarakat Adat lainnya,” ungkap Abdon.

Abdon Nababan

Turut disampaikannya, dari apa yang ia dengar dari pembicara sebelumnya, Masyarakat Adat itu punya kesetiaan untuk menjaga kerterhubungannnya dengan lima hal. Pertama, Masyarakat Adat itu setia menjaga hubungannya dengan Sang Pencipta. Kedua, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungan dengan leluhurnya. Ketiga, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan alam semesta atau bentang alam di mana mereka hidup. Keempat, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan sesama manusia. Kelima, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungannya dengan makhluk lain (baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan).

Usai memberikan sedikit pengantar dan memperkenalkan para narasumber, Abdon Nababan memberikan kesempatan bicara kepada Mardiana Derendana sebagai pembicara pertama.

Mardiana Derendana adalah Perempuan Adat Dayak Ma’anyan, Kalimantan Tengah. Ia memulai dengan bercerita tentang adat dan hukum adat.

Mardiana Derendana

“Adat adalah suatu tata cara untuk berhungan antara sesama manusia, atau sesama mahluk hidup. Berhubungan denagn alam, berhubungan dengan roh atau dewa penjaga hutan, penjaga bumi, itu adalah ada aturan yang diatur di dalam adat. Di dalam adat itu ada hukum. Hukum adalah sesuatu yang ditindak oleh tokoh adat Masyarakat Adat maupun lembaga-lembaga adat terhadap para pelanggar-pelanggar adat di Masyarakat Adat”.

Ia kemudian menjelaskan alasan mereka menjaga alam dan filosofi hubungan Masyarakat Adat dan komunitasnya dengan bumi.

“Kami bangkit mempertahakan itu semua karena apa? Karena kita tahu Tuhan hanya satu kali menciptakan bumi ini. Bumi tidak akan bisa melahirkan bumi, apalagi seorang manusia. Seorang perempuan hanya bisa melahirkan anak-anak manusia.  Maka oleh sebab itu, bagi kami Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai, bumi adalah ibu kami, hutan adalah nafas dan sumber kehidupan kami. Air adalah darah kami”.

Ia bercerita, sejak tahun 2006, hak hidup mereka mulai dirampas. Oleh karena itu, mereka bangkit melawan.

“Kami bukan anti perusahaan. kami bukan anti pemerintahan. Yang kami anti adalah cara-cara perampasan hak hidup kami dengan pembabatan hutan. Pengrusakan lingkungan itu yang menyebabkan kami harus bangkit mempertahankan bumi dan kami komunitas perempuan adat yang peduli bumi, alam hutan, dan lingkungan. Kami komunitas Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai bangkit demi bumi”.

Usai ibu Mardiana bicara, moderator memberi kesempatan bicara kepada narasumber kedua, Tori Kalami.

Tori adalah tokoh adat dari Moi Kelim, Papua Barat.

“Pertama-tama, dari ufuk timur negeri ini, saya menyampaikan selamat ulang tahun kepada Masyarakat Adat sedunia walaupun kita belum diberikan ruang yang baik di negara ini, tetap kita optimis bahwa ulang tahun ini akan memberikan  pelajaran, memberikan modal, memberikan cita-cita yang baik untuk Masyarakat Adat di kemudian hari”.

Tori Kalami

Selanjutnya ia menyatakan keraguannya, terhadap statemen pentingnya ekosistem, pentingnya menjaga ekologi dan sebagainya yang sering disampaikan oleh menteri dan presiden dalam pidato kenegaraaan. Ia pesimis dengan pernyataan tersebut karena menurutnya, pernyataan itu adalah pernyataan panggung politik. Baginya itu hanya pernyataan biasa yang tidak bisa dipegang sebagai suatu kesepakan bersama antara Masyarakat Adat dan pemerintah atau negara.

“Kenapa demikian, karena banyak pernyataan politik di mimbar-mimbar resmi terkait pentingnya eksosistem, ekologi. Tapi pernyataan itu tidak bisa dipegang oleh Masyarakat Adat. Salah satunya adalah Undang Undang Masyarakat Adat yang didorong hari ini tidak sampai ke ujung, sampai ke titik. Itu menujukkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah kita, tidak serius menangani hal-hal yang substansinya, subjeknya adalah Masyarakat Adat itu sendiri yang hari ini kita bicarakan”.

Tori lebih lanjut menjelaskan yang terjadi di Papua Barat, terkait pemberitaan media tentang pencabutan ijin kelapa sawit. Dan hal lain, seperti moratorium sawit akan dicabut tahun ini. Menurutnya, ada kemungkinan terjadi pemutihan terhdap ijin-ijin yang bermasalah.

“Kalau terjadi pemutihan, maka kemudian ada ijin baru yang tanpa kompromi terhadap pemiiliknya yang ada di negerinya sendiri”.

Tori memulai perjuangannya dari Sorong, karena berdasarkan filosofi di Papua, Sorong adalah kepala. Pergerakannya dimulai dari kepala, sehinnga ekornya bisa mengikuti. Filososi itu menurutnya telah ia uji dengan regulasi.

“Membuktikan bahwa keseriusan negara, pemerintah itu ada di Undang Undang Masyarakat Adat, itu serius. Baru kita bilang pemerintah, negara serius. Kalau tidak ada Undang Undang, saya bilang, itu hanya kampanye politik secara pribadi untuk panggung politik, merebut panggung-panggung politik di Masyarakat Adat dan membuat beban-beban yang besar pada Masyarakat Adat”.

Secara pribadi, ia mengatakan sangat membela bumi, ketika ditanya soal itu.

“Saya secara pribadi sebagai anak muda menyatakan sangat sangat sangat membela bumi. Itu buktikan? Bisa dibuktikan”.

Ia kemudian lanjut menceritakan tentang pengalaman advokasi di lapangan dengan Masyarakat Adat.

“Kalau ada advokasi kita yang belum selesai, maka mungkin metodologi kita harus kita ubah, karena kita tidak bisa pakai metodologi yang sama di masalah yang sama. Mungkin ada metodologi lain. Itu pun kami lakukan di Papua Barat dan secara khusus di wilayah Moi, kami lakukan itu”.

Paska pencabutan ijin tahun 2020, Tori dan kawan-kawan generasi muda adat melihat ada ruang berbahaya. Mereka kemudian membuat peta wilayah adat. Ada 14 marga yang terlibat dalam pemetaan tersebut dan prosesnya tinggal menunggu pendemi selesai. Dari pengalaman itu, mereka kini diminta banyak pihak komunitas adat untuk membantu melakukan pemetaan wilayah adat.

Kesempatan bicara selajutnya diberikan kepada narasumber terakhir, Dolorosa Sinaga selaku akademisi dan seniman perupa.

Di awal bicaranya, ia mengantar publik pada pemahaman bahwa semua orang memiliki sejarah yang sama dan memiliki DNA keturunan Masyarakat Adat.

“Kesadaran utama yang saya mau bawa dalam pertemuan ini adalah bahwa kita semua yang hadir di sini memiliki sejarah yang sama. Kita semua yang hadir di sini memiliki DNA keturunan masyarakat tradisi dan Masyarakat Adat. Kita semua, tidak ada pengecualian”.

Dolorosa Sinaga

Kesamaan itulah yang, menurutnya, membuat semua orang penting untuk peduli kepada Masyarakat Adat, dan pada persoalan terkait nenek moyang, yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan banyak hal lain.

‘Mungkin kita tidak hidup dalam tradisi itu. Nenek moyang kita, iya. Warisan DNA itu ada di kita. Jadi kita semua di sini sama khlayak di luar acara ini memang punya kepentingan untuk peduli pada persoalan nenek moyang kita yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan segala macam.”

Alasan ini kemudian berkesimpulan bahwa Masyarakat Adat adalah fondasi dari identitas budaya bangsa.

“Kita bisa mengatakan bahwa, Masyarakat Adat itu adalah fondasi dari identitas budaya kita, budaya bangsa.

Sebagai seniman, ia melihat bahwa DNA kretifitas yang dimiliki orang saat ini diwariskan dari Masyarakat Adat.

“Masyarakat Adat itu memproduksi pengetahuan, memproduksi kecerdasan intelektual, dan Masyarakat Adat itu mewariskan DNA kreatif kepada kita. Kita memiliki daya kemampuan sebagai makhluk yang memiliki kreatifitas. Itu DNA yang diwariskan Masyarakat Adat kepada kita”.

Baginya peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit.

“Peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit. Tidak imajinatif dan tidak mengarang. Sangat konkrit”.

Ia kemudian memberikan ilustrasi hubungan kreatifitas dengan Masyarakat Adat. Ia mengambil contoh Picasso, seorang seniman kontemporer garda depan yang bermula di Paris, Eropa. Picasso, diceritakan Dolorosa, mendapatkan gagasan-gagasannya yang kontemporer dari Masyarakat Adat di Afrika.

“Semua itu menjadi inspirasi yang melihat peran dan kontribusi Masyarakat Adat pada dunia modern itu konkrit”.

Selain DNA kreatifitas, Masyarakat Adat juga memiliki DNA ketahanan.

“Kita memiliki DNA ketahanan. Karena Masyarakat Adat itu memiliki satu hal yang paling penting mereka kerjakan adalah they have the power to survive. Jadi itu ada di kita”.

Dengan hal ini, menurut Dolorosa, negara seharusnya punya daya tahan yang kuat.

“Negara ini seharusnya punya daya tahan yang kuat, bukan menghisap.”

Ia turut menjelaskan tentang perjuangan hak asasi manusia dan tentang tata kelola negara. Selanjutnya ia memberikan beberapa ilustrasi. Salah satu contohnya, di Papua.

“Di Timika itu, puncak gunung yang pernah ada di sana adalah tempat bersemayam leluhur kawan-kawan, saudara- saudara kita di Papua. Kemudian dia diterabas, hilang sampai dia tidak lagi terlihat jauh di dasar tanah sana. Dikerok habis. Apa yang terjadi? Tatanan spritual kawan-kawan di Papua hilang. Ini adalah sebuah bentuk genosida kultural”.

Berkaca dari contoh tersebut, ia menilai bahwa Masyarakat Adat dan masyarakat pada umumnya, harus berani mengkoreksi kekeliruan yang dilakukan oleh negara. Karena ini terkait kelangsungan hidup manusia dan kelangsungan bumi.

“Kita harus berani dan mampu mengkoreksi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan negara dalam menata seluruh pengetahuan, kelangsungan hidup dari Masyarakat Adat yang merupakan juga kelangsungan hidup kita. Terutama kelangsungan hidup bumi, tempat kita berpijak”.

Menurutnya, kemampuan Masyarakat Adat untuk melindungi, merawat, dan memelihara, tidak perlu diajarkan kepada mereka. Tidak perlu juga dibesar-besarkan. Masyarakat Adat tidak akan merusak kawasan lingkungan karena itu tempat mereka menggantungkan hidup.

“Mereka sendiri melindungi hutannya, melindungi sungainya, melindungi tetumbuhannya, karena apa? Karena hidupnya sangat terghantung dengan Mother Earth, dengan alamnya, dengan lingkungannya. Gak mungkin mereka merusak kawasan lingkungan di mana itu adalah tempat mereka mengantungkan hidupnya”.

Ia dengan jelas menggambarkan upaya perlindungan bumi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Namun di sisi lain, Masyarakat Adat tidak mendapatkan penghormatan dan jaminan dari negara. Ia kemudian menegaskan bahwa selama ini negara tidak menghormati Masyarakat Adat.

“Tapi kalau kita mau bicara soal perlindungan, negara itu, tidak bisa kita katakan, negara itu melindungi hidup Masyarakat Adat. No, no, no, no. Apakah pernah terbukti dia menjalankan kewajiban dan tugasnya melindungi Masyarakat Adat dalam ancaman perampasan tanah dan lain sebagainya? Tidak pernah terjadi. Karena yang merampas itu mereka. Bagaimana dia mau melindungi?”

Masyarakat Adat yang menghadapi banyak ancaman dalam hidupnya, bagi Dolorosa, negara seharusnya hadir dan melindungi.

“Ancaman sudah begitu banyak terjadi pada kehidupan Masyarakat Adat, di situlah sebetulnya negara harus datang memperlihatkan secara konkrit dia melindungi rakyatnya, melindungi kelangsungan hidup Masyarakat Adat”.

Di bagian akhir sesi bicaranya, Dolorosa Sinaga mengatakan bahwa hak asasi manusia tidak memerlukan perlindungan, tapi memerlukan penghormatan dan jaminan.

“Menghormati kemanusiaan dan menjamin kehidupan masyarakat, kehidupan warganya, kehidupan setiap individu maupuan kolektif bisa dilakukan di negara ini”.

Pernyataannya itu langsung disambut oleh Rukka Sombolinggi dan Abdon Nababan. Terjadilah percakapan yang menarik di antara mereka.

“Berharap negara melindungi, itu tidak benar. Yang melindungi adalah Masyarakat Adat,” sambung Rukka.

“Yes,” balas Dolorosa.

“Sebenarnya, konstruksi konstitusi kita juga udah benar begitu. Karena negara, sebenarnya disebut, negara mengakui dan menghormati,” timpal Abdon.

“Tetapi tidak terjadi. Penghormatan itu tidak ada,” tutur Dolorosa memotong ucapan Abdon.

“Kalau ada, gak ada AMAN. Kalau penghormatan itu ada, AMAN gak perlu ada”, sambung Dolorosa.

Mereka pun kemudian tertawa, sambil mengiyakan pernyataan Dolorosa.

“Mudahan-mudahan AMAN segera bisa menjadi sejarah,” balas Rukka sambil tertawa.

“Iya itu dia. Karena negaranya sudah mengakui dan menghormati,” pungkas Abdon.

Sesi pemaparan narasumber kemudian dilanjutkan dengan dialog bersama peserta. Ada beberapa peserta dari Masyarakat Adat yang bicara. Di momen ini, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat juga diberikan kesempatan menanggapi.

Sjamsul Hadi, SH, MM, selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, menjelaskan apa yang telah dilakukan mereka terkait pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Sjamsul Hadi

“Dalam hal ini direktorat KMA sangat mendukung untuk mengubah pola pandang. Walaupun kami dari sisi pemerintah, kami sudah memulai bergerak yaitu, Masyarakat Adat ini hendaknya kita pandang dan hormati yaitu sebagai subjek, bukan sebagai objek. Oleh karena itu, tiap-tiap upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan, salah satunya sepuluh objek pemajuan kebudayaan ini, bisa kembali, kita kembalikan. Dan Masyarakat Adatlah yang berhak untuk mengembangkannya”.

Ia juga menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa langkah terkait percepatan Undang Undang Masyarakat Adat.

Usai ditutup oleh moderator, sarasehan pun berakhir. Acara lantas berlanjut ke Panggung Budaya.

TUTUP TPL

Sebelum Panggung Budaya Masyarakat Adat dimulai, HIMAS 2021 kedatangan tamu spesial dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL). Togu Simorangkir, namanya.

Pada 14 Juni 2021, Togu Simorangkir dan beberapa orang yang menamakan diri TIM 11 AJAK Tutup TPL memulai aksi jalan kaki dari makam Sisingamangaraja XII di Toba, Sumatera Utara ke Istana Negara RI di Jakarta. TIM 11 merupakan singkatan dari “Tulus, Ikhlas, Militan”. Tim ini beranggotakan Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Christian Gultom, Irwandi Sirait, Ferry Sihombing, Ewin Hutabarat, Agustina Pandiangan, Yman Munthe, Lambok Siregar, Jevri Manik, dan anak Togu yang berumur 8 tahun, Bumi Simorangkir. Aksi mereka ini sempat menghebohkan dan menarik perhatian masyarakat luas, sehingga aksi Tutup TPL meluas dan mendapat banyak dukungan.

Rikson yang memandu acara, menjelaskan sedikit tentang perjuangan Togu Simorangkir dan kawan-kawannya dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL. Bincang santai pun tak terelakkan di antara keduanya.

“Mungkin bisa diceritakan sedikit, kenapa abang dan kawan-kawan melakukan itu?,” tanya Rikson.

“Jadi aksi jalan kaki atau AJAK TUTUP TPL dari Toba ke Jakarta itu, hasil dari reaksi terhadap kejadian tanggal 18 Mei 2021 yang bentrok antara Toba Pulp Lestari dengan Masyarakat Adat Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba”.

Togu lanjut bercerita.

“Jadi sebenarnya itu bentuk kemuakan dan kegeraman terhadap perusahaan yang sudah 34 tahun ada di Tano Batak, yang sudah memperkosa Tano Batak, yang sudah merusak lingkungannya, yang sudah merampas tanah adatnya. Ya, pada prinsipnya saat itu, selama ini sudah sering terjadi bentrokan-bentrokan, kriminalisasi Masyarakat Adat tapi berita itu tidak sampai. Paling tiga hari sudah hilang gitu. Tiga hari sudah hilang beritanya gitu. Waktu itu misinya hanya satu yaitu mau mencari perhatian publik dan memelihara berita tentang tutup TPL.  Jadi, kita perkirakan kemarin 45 hari, kita perkirakan, ya, selama 45 hari gaung tutup TPL itu akan terus terjaga”.

Togu Simorangkir

Togu mengakui, usaha mereka mendapatkan banyak dukungan masyarakat luas. Terlebih khusus dukungan Masyarakat Adat agar TPL ditutup.

“Kita ingin memberitahukan ke dunia, tidak hanya orang-orang Batak, tapi ke dunia dan itu kita mendapat dukungan yang luar biasa lho dari Masyarakat Adat. Ini sampai banyak sekali, testimoni-testimoni yang mengatakan dan mendukung Tutup TPL.”

Setelah melewati banyak tantangan dan rintangan, usaha Togu dan kawan-kawan pun berhasil. Jumat, 6 Agustus 2021, Togu bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

“Aktivis lingkungan Togu Simorangkir berjalan kaki dari Danau Toba, Sumatera Utara ke Jakarta sebagai bentuk aksi protes soal lingkungan di daerahnya. Sore tadi, saya menerimanya di istana. Saya juga sempat berbicara lewat video call dengan rekan dan keluarga Togu Simorangkir di Sumatera Utara. Kami sepakat bahwa kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab semua pihak, demi keberlanjutan kehidupan di masa mendatang,”. Begitu kata Presiden Joko Widodo, seperti ditulis di akun Facebook Presiden Joko Widodo yang bercentang biru. Sebuah video berjudul ‘Aspirasi dari Toba’ juga ada di dinding facebook itu.

Saat ini mereka terus menunggu hasil pertemuan dengan Presiden dan menurut Togu, ia dan aliansinya akan terus membuat strategi agar tanah adat dan hutan negara dikembalikan dan diperbaiki secara bersama-sama.

“Semoga aksi jalan kaki ini bisa menjadi inspirasi buat siapa pun yang ingin menyuarakan tanah-tanah adatnya. Yang pasti saya berharap dari aksi ini, banyak orang-orang yang tersesat di jalan yang benar. Mau memperjuangkan tanahnya, mau memperjuangkan tanah leluhurnya, tanpa embel-embel yang lain. Hanya ini tanah saya. Saya harus fight. Saya harus berjuang untuk bisa mempertahankan tanah sampai titik darah penghabisan. Siapkah kita?”

Togu mengakhiri sesi bicaranya dengan sebuah pertanyaan reflektif namun sangat penting dan menantang.

Cerita Togu langsung dilengkapi dengan pemutaran video dari grup musik Horja Bius, Jakarta. Gambar-gambar lingkungan yang rusak oleh TPL dan desakan masyarakat agar TPL ditutup menjadi isi video yang diputar. ‘Tutup TPL’ menjadi gagasan utama dan diucapkan lantang oleh si vokalis dalam lagu tersebut.

“Toba Lestari Tanpa TPL” menjadi lirik lagu yang diulang-ulang di video yang diputar selanjutnya. Di awal video, ditulis ‘AMAN Tano Batak’, sebagai pembuat video ini. Lirik lagunya sederhana dan sangat jelas dan konkrit pesannya.

Lagu lain tentang perjuangan untuk mendesak agar TPL ditutup, masih diputar. Di layar bagian atas layar tertulis, ‘Save Tao Toba (Lagu Tutup TPL) By Dompax Redflag’.  Lirik ‘Tutup TPL jika ingin Tobaku berseri kembali. Tutup TPL agar berarti untuk anak cucumu nanti. Tutup TPL. Jangan mau diadu domba lagi agar harga diri kita kembali lagi’ tertulis sebagai pesan utama lagu ini.

‘Tutup Toba Pulp Lestari Sekarang Juga’ menjadi lirik penutup lagu Dompax Redflag.

Arif Girsang, seniman sekaligus pejuang Masyarakat Adat Tano Batak ikut menghadirkan karyanya. Bak kesatria bergitar, Arif dalam video di lagunya, menyanyikan lirik-lirik sederhana namun menggigit.

Arif Girsang

Analogi dan perbandingan dalam liriknya, begitu jelas pesannya. Nuansa otokritik begitu terasa. Seperti pada lirik:

Wah, Batak itu harum

Tapi kampungnya bau karena TPL

dan,

Anak orang Batak banyak berpangkat jenderal
Tak satu pun menghalangi.

Pesan Tutup TPL sangat jelas dalam lagunya. Ia menyampaikan dalam liriknya, setelah TPL pergi akan ada banyak peluang dan orang tidak akan jadi pengganguran.

TPL Pergi, semakin banyak peluang

Ladang semakin luas, pencaharian bertambah.

Disampaikan Arif dalam lagunya, TPL Tutup berarti kedamaian bagi suku bangsa Batak.

Tutup TPL, mari pulihkan Tanah Batak

Tutup TPL, kedamaian bagi suku bangsa Batak.

Syair tersebut menjadi penutup lagu Arif Girsang.

Panggung Kebudayaan (Virtual) Masyarakat Adat, Sukses

Acara Panggung Budaya HIMAS 2021 begitu meriah. Video-video diputar. Tarian, musik, ritual, syair, tari, silat, dan video lain tentang kekayaan kebudayaan Masyarakat Adat diputar.

Peserta Panggung Budaya

Kolom chat aplikasi Zoom begitu ramai. Orang-orang saling memberi salam dan mengucapkan selamat HIMAS. Kekaguman dan apresiasi atas video yang sedang diputar juga dituliskan mereka di chat.

Selain berbagai penampilan video dari Masyarakat Adat, HIMAS 2021 diramaikan dengan pembagian door prize bagi 80 puluh orang yang beruntung.

Peringatan HIMAS 2021 selesai. Saresehan dan Panggung Budaya sukses. Bukti bahwa pandemi tidak membatasi Masyarakat Adat berkarya, bergembira, dan merayakan kehidupan.

Penulis: Kalfein Wuisan

Aksi #TutupTPL Meluas, Pemuda-pemudi Adat Senusantara Desak TPL Ditutup

Aksi juang #TutupTPL yang digelorakan mulai dari Masyarakat Adat sampai masyarakat sipil lainnya di Sumatera Utara terus meluas. Semangat perjuangan mereka menjaga wilayah adat telah menyentuh dan menggerakkan empati banyak orang untuk berjuang bersama. Upaya mereka agar PT. Toba Pulp Lestari, Tbk ditutup selama-lamanya, terus mendapat dukungan. Salah satunya datang dari para pemuda-pemudi adat nusantara yang secara tegas menyatakan dukungan mereka agar PT. TPL ditutup.

Aksi dukungan dan solidaritas perjuagan dari generasi muda adat nusantara mewujud dalam berbagai bentuk. Ada yang mengganti foto profil dengan menggunakan bingkai foto ‘Relawan Aliansi Gerakan Aksi (GERAK) Tutup TPL’, membuat aksi-aksi di daerah masing-masing, dan banyak bentuk aksi lainnya.

Para pemuda-pemudi adat dari Tano Batak pun terus melakukan perjuangan. Sosial media menjadi medan tempurnya. Mereka memberikan banyak informasi penting terkait aktivitas TPL, Danau Toba, dan perjuangan Masyarakat Adat melawan TPL selama ini. Lasron Sinurat, salah satunya. Ia mengisi beranda Facebooknya dengan berbagai berita terkait pejuang-pejuang Masyarakat Adat yang melawan TPL (dulu Indorayon).

Menurut Lasron, TPL telah merampas sumber penghidupan dan tanah adat Masyarakat Adat di Tano Batak.

“TPL telah merampas sumber penghidupan Masyarakat Adat di Tano Batak. Tanah adat selain identitas juga sebagai alat produksi Masyarakat Adat di Tano Batak, yaitu sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah adat ini kerap diklaim sebagai lahan konsesi perusahaan, bahkan banyak tanah adat dikuasai perusahaan tanpa persetujuan ataupun tanpa sepengetahuan komunitas Masyarakat Adat, sehingga kerap memicu konflik tanah adat, seperti konflik Masyarakat Adat di Natumingka, Kabupaten Toba”.

Dikatakan Lasron, TPL tidak hanya merampas tanah adat namun juga melakukan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba.

“Selain itu, perusahaan ini telah mengakibatkan pengrusakan alam di kawasan Danau Toba. Salah satu contoh yang terjadi terakhir ini adalah pemerintah dan salah satu perusahaan swasta bekerja sama melakukan rekayasa cuaca untuk mendatangkan hujan. Kondisi ini menjadi bukti bahwa perusahaan ini layak untuk ditutup demi perbaikan kehidupan masyarakat,” tutur Lasron.

Awal bulan Juni, jagad sosial media diramaikan oleh banyak pemuda-pemudi adat senusantara mengganti foto profil mereka dan membuat postingan di platform sosial media mereka dengan menggunakan hashtag #TutupTPL. Upaya ini dilakukan oleh para pemuda-pemudi adat, bukan hanya sekadar ikut-ikutan, tapi merupakan upaya konkrit untuk berjuang bersama Masyarakat Adat melawan TPL. Para pemuda adat dari Tano Batak dan Sumatera Utara terus memberikan informasi penting di sosial media dan informasi tersebut disebarluaskan oleh banyak pemuda adat senusantara.

Erlina Darakay, pemudi adat asal Maluku, turut menyatakan dukungan atas aksi #TutupTPL. Ia adalah Dewan Pemuda Adat Nusantara dari region Kepulauan Maluku. Menurutnya, apabila TPL dibiarkan beroperasi maka berakibat pada rusaknya eksosistem dan merugikan Masyarakat Adat setempat.

“Solidaritas aksi tutup TPL merupakan bentuk komitmen bersama AMAN dalam melindungi kelestarian alam. Alam merupakan tempat bagi Masyarakat Adat hidup.  Jika TPL dibiarkan beroperasi maka akan terjadi kerusakan ekosistem dan akhirnya merugikan manusia, terutama Masyarakat Adat setempat. Kalau alam yang adalah rumah bagi Masyarakat Adat dihancurkan atau dirusak maka hancur pula kehidupan Masyarakat Adat”.

Ia mengajak para pemuda adat di Maluku dan seluruh Indonesia Timur untuk masuk dalam barisan perjuangan Masyarakat Adat mendesak TPL segera ditutup.

“Pemuda adat adalah generasi penerus Masyarakat Adat dan tongkat perjuangan Masyarakat Adat terletak pada anak muda, makanya  anak muda harus menjadi garda terdepan untuk mempertahankan wilayah adat jangan sampai kita kehilangan jati diri sebagai Masyarakat Adat. Kesadaran yang dimiliki anak muda untuk menjaga wilayah adat/lingkungan adalah agar tetap lestari, dan biarkan Masyarakat Adat mengelola wilayah adat mereka sendiri. Masyarakat Adat akan merasa terancam jika TPL beroperasi. Maka itu harus ditutup,” tutur Darakay.

Senada dengan Erlina, Murniasih D. Rangka turut memberikan tanggapannya dan dukungannya terhadap aksi Tutup TPL.

“Salah satu cara dukungan kita yaitu post di media seperti Facebook, Instagram dengan tagar Tutup TPL. Saya sudah lakukan itu kemarin”.

Menurutnya, aksi Tutup TPL harus dilakukan karena TPL telah merusak dan menghancurkan hajat hidup orang banyak dan mencemari Danau Toba.

“Aksi tutup TPL memang harus dilakukan, baik itu oleh masyarakat sekitar Tano Batak maupun masyarakat luarnya. Karena TPL merupakan perusahaan yang sangat merusak dan menghancurkan hajat hidup masyarakat sekitar seperti tercemarnya Danau Toba. Seharusnya pemerintah juga merespon terkait hal ini jangan tutup mata. Sebagai pemuda adat, kita mendukung aksi tutup TPL ini sebagai bentuk solidaritas kita dari pemuda adat Kalimantan Tengah,” jelas Mumuy selaku Ketua Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Tengah.

Juan Ratu, pemuda adat dari Minahasa ikut memberikan dukungan dan desakan. Usai mengganti foto profil facebook sebagai rasa simpati dan solidaritas perjuangan bersama agar TPL ditutup, ia turut menyampaikan dukungan penuh supaya TPL ditutup. Baginya, aksi Tutup TPL adalah perjuangan bersama.

“Solidaritas untuk aksi tutup PT. TPL adalah bentuk perjuangan bersama, yang berdasarkan nilai luhuriah dari setiap Masyarakat Adat. Dalam beragam budayanya tetap bertumpu pada solidaritas dan gotong royong. Seperti di Minahasa, aksi solidaritas sering disebut Mapalus atau saling baku bantu.”

Selain sebagai pemuda adat yang aktif dalam ranah perjuangan Masyarakat Adat, Juan kini sedang menyelesaikan kuliah Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Ia juga saat ini sedang aktif membantu mengadvokasi perjuangan Masyarakat Adat di Minahasa. Dalam perspektif hukum, menurutnya, TPL harus ditutup karena tidak sesuai dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.

“PT. TPL harus ditutup karena tidak sesuai konstitusi negara Indonesia. TPL menjadi ancaman bagi kelestarian hutan, adat dan budaya Masyarakat Adat Batak. Eksploitasi wilayah adat adalah eksploitasi terhadap jati diri bangsa, karena Pancasila digali dari nilai yang dihidupi oleh Masyarakat Adat,” tegas Juan yang juga adalah Ketua DPD GMNI Sulawesi Utara.

Sucia L. Y. Taufik, pemudi adat dari Kasepuhan Bayah, Banten Kidul, selain memberikan dukungan agar TPl ditutup, ia turut mengapresiasi upaya para pemuda yang bergerak bersama berjuang mendesak TPL ditutup.

“Sebagai pemuda adat, saya turut bangga dan salut atas solidaritas dalam aksi Tutup TPL. Keterlibatan pemuda adat membuktikan bahwa kekuatan dan solidaritas Masyarakat Adat begitu erat, dan hal tersebut juga merupakan bukti kecintaan Masyrakat Adat terutama pemuda adat terhadap tanah kelahirannya,” tutup Lucia selaku Ketua Pengurus Daerah BPAN Banten Kidul.

Apabila TPL sudah ditutup, hal itu akan membuat Masyakarat Adat hidup lebih baik. Hal ini sudah dibuktikan dan ditegaskan berulang-ulang oleh Masyarakat Adat, termasuk Maruli, pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Sumut. Dituturkannya, Masyarakat Adat di komunitas adatnya baru saja panen dan akan panen lagi dalam waktu dekat. Lahan yang diolah mereka, dahulu diklaim sepihak dan ditanami eukaliptus oleh TPL. Namun, sejak 2016 lahan tersebut berhasil direbut kembali dan ditanami banyak tanaman pangan oleh Masyarakat Adat komuntasnya.

Walaupun sudah menikmati hasil yang melimpah dari lahan di wilayah adat mereka, menurut Maruli, Masyarakat Adat masih mendapatkan intimidasi dan ancaman dari TPL. Hal ini, menurutnya, menjadi alasan TPL harus segera ditutup.

“Menikmati hasil pertanian melimpah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dialami masyarakat Desa Tapian Nauli III. Ini adalah buah setelah tekad dari masyarakat atas wilayah adatnya melawan korporasi. Walaupun begitu, sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” kuncinya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Simanjutak: TPL Tutup, Ekonomi Masyarakat Adat Makin Berkembang

“Jadi tidak adalah ceritanya Masyarakat Adat akan susah jika TPL ditutup, justru perekonomian masyarakat akan semakin berkembang jika TPL ditutup,” ungkap Maruli Simanjutak.

Ia adalah pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut). Selain giat dalam perjuangan bersama pemuda dan Masyarakat Adat dalam aksi #TutupTPL, Maruli aktif dalam wilayah adatnya dengan memastikan kedaulatan pangan di komunitasnya. Ia juga membantu Masyarakat Adat dalam memasarkan hasil-hasil pertanian mereka. Salah satunya, hasil pertanian Eben Simanjutak.

Kamis, 17 Juni 2021, Eben Simanjutak salah satu warga Desa Tapian Nauli III begitu bahagia. Ia merupakan keturunan Ompu Niharbangan Pardede dari pihak boru. Usahanya mengelola tanah di wilayah adat Ompu Niharbangan Pardede berbuah manis. Di hari tersebut ia panen cabai dan kentang sekitar 1.200 kilogram yang kemudian dikirim dan dijual ke Siborongborong.

Lahan pertanian yang dikelola Eben Simanjutak di wilayah adatnya dahulu ditanami eukaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, sejak tahun 2000 Masyarakat Adat berjuang untuk merebut tanah adat tersebut.

“Lahan ini sebelumnya diklaim sepihak oleh Kehutanan dan memberikan izin konsesi ke PT. Toba Pulp Lestari, Tbk untuk ditanami eukaliptus. Mulai sekitar tahun 2000, masyarakat sudah berjuang untuk tanah ini. Namun perusahaan selalu menakut-nakuti masyarakat dengan menghadapkan aparat kepada kami. Banyak masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi oleh perusahaan. Namun masyarakat tidak pernah takut dan semangat perjuangan tidak pernah luntur. Karena memang tanah ini adalah tanah adat,” tutur Maruli.

Menurutnya, perjuangan panjang Masyarakat Adat di tempatnya tidak pernah padam sehingga upaya mereka pelan-pelan berujung keberhasilan. Tahun 2016 Masyarakat Adat berhasil melawan dan menjadikan wilayah adat tersebut sebagai lahan untuk bercocok tanam.

“Masyarakat Adat terus menerus berjuang dengan semangat yang tidak pernah luntur sehingga pada tahun 2016 Masyarakat Adat Turunan Ompu Niharbangan Pardede berhasil melawan koorporasi dan menjadikan lahan ini sebagai  lahan untuk bercocok tanam,” ucapnya.

Ditambahkan Maruli, Masyarakat Adat  yang ada di komunitasnya telah menikmati hasil pertanian yang melimpah sejak tahun 2016.

“Menikmati hasil pertanian melimpah seperti ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dilakukan masyarakat Desa Tapian Nauli III setelah masyarakat bertekad atas wilayah adatnya melawan korporasi. Namun sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” tambahnya.

Maruli mengatakan, walau di tengah perjuangan melawan intimidasi perusahaan, Masyarakat Adat di Desa Tapian Nauli III tetap semangat mengelola wilayah adatnya. Setelah panen cabai dan kentang, mereka sementara bersiap panen padi.

“Saat ini Desa Tapian Nauli III sedang menunggu masa panen padi gogo dengan benih sekitar 300 kaleng. Semoga alam semesta memberikan hasil yang baik,” tutupnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish