Ekspresi Musik Tradisional

 Pesta Budaya Rondang Bittang

Pesta Rondang Bittang adalah suatu kegiatan yang bersifat massal serta tradisional pada suku Simalungun. Pesta Rondang Bittang merupakan penyampaian rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala keberhasilan hidup dalam satu tahun penuh. Pesta ini dilakukan pada saat bulan purnama di mana bintang-bintang turut menambah keindahan terang bulan. Perayaan ini merupakan sarana mempererat rasa kekeluargaan, melestarikan seni budaya bangsa sebagai peninggalan leluhur, kesempatan bersukaria di antara seluruh warga masyarakat dan pewarisan serta kesempatan mempelajari seni budaya bagi generasi muda dan remaja.

pretty tujuh

Menari massal [Dok. Pretty Manurung]

Di dalam acara ini banyak bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilkan, seperti Tortor Sombah yang disebut-sebut sebagai tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan untuk menyambut orang-orang yang dihormati. Jumlah penari dalam Tor Tor Sombah/sembah ini enam orang. Selain itu, terdapat Huda-huda atau Toping-toping yaitu tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh burung Enggang. Jenis tarian ini diiringi Gual Huda-huda, jumlah penarinya ada tiga orang. Ada lagi Taur-taur yakni duet tradisional Simalungun yang menggambarkan cinta yang berkomunikasi melalui lagu.

pretty lima

Tortor Sombah [Dok. Pretty Manurung]

Tidak hanya itu, ada berbagai macam lagi acara yang ditampilkan mulai dari menari Tortor (manortor), menyanyi (taur-taur), berbalas pantun (marumpasa) dengan diiringi musik tradisional seperti Gual, Sulim, Sordam, Tulila sampai olahraga ketangkasan tradisional.

***

Masyarakat suku Simalungun memiliki musik tradisional yang secara turun-temurun digunakan dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya. Musik tradisional Simalungun diwariskan turun-temurun secara lisan kepada generasi berikutnya.

Penggunaan Sarunei dalam ensambel gonrang sebagai musik pengiring tari-tarian yang ditampilkan dalam Pesta Rondang Bittang, misalnya,  dapat memberikan reaksi jasmani pada setiap penonton. Bunyi-bunyian Sarunei tersebut akan menjadi sumber komunikasi bagi masyarakat, baik yang muda maupun tua. Sehingga para penonton yang biasanya mayoritas muda-mudi berdatangan ke tempat tersebut untuk menonton, melihat, menari dan menggunakan kesempatan tersebut untuk saling berkomunikasi, berinteraksi bahkan mencari jodoh.

***

Berdasarkan pengklasifikasian/penggolongannya, maka alat-alat musik tradisional Simalungun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Klasifakasi/Golongan Idiofon

  1. Mongmongan, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai “pencu” (bossed gong). Ada dua jenis mongmongan: sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Fungsi mongmongan dipergunakan untuk memanggil massa di suatu kampung.
  2. Ogung, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai pencu (bossed gong). Ogung juga memiliki dua macam yaitu sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.
  3. Gerantung, adalah alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai kotak resonator (trough resonator). Kotak resonator ada yang terbuat dari kayu, ada yang langsung ditempatkan di atas lobang tanah sebagai resonatornya. Gerantung terdiri dari tujuh bilah dan mempunyai nada yang berbeda. Gerantung biasanya dimainkan sebagai hiburan ketika istirahat di ladang sebagai pelepas lelah dan sebagai bahan pelajaran untuk menabuh gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Aerofon

  1. Sarunei bolon, suatu alat musik yang mempunyai dua lidah (double reed) sebagai lobang hembusan yang dipergunakan sebagai pembawa melodi dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Badannya terbuat dari silastom, nalih-nya terbuat dari timah, tumpak bibir terbuat dari tempurung, lidah terbuat dari daun kelapa dan sigumbang terbuat dari bambu. Sarunei bolon mempunyai enam lobang di bagian atas dan satu lobang di bawah.
  2. Sarunei buluh, adalah suatu alat musik yang mempunyai lobang hembusan yang terdiri dari satu lidah (single reed) yang memukul badannya sendiri. Sarunei buluh yang terbuat dari bambu ini mempunyai tujuh lobang suara. Enam lobang berada di bagian atas dan sisanya di bagian bawah.

Klasifikasi/Golongan Membranofon

  1. Gonrang Sidua-dua, adalah gendang yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua. Badannya terbuat dari kayu Ampiwaras dan kulitnya terbuat dari kulit Kancil atau kulit Kambing. Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, oleh karena itu diberi nama gonrang sidua-dua.
  2. Gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon, adalah gendang yang terbuat dari kulit pada bagian atas sedangkan sebelah bawah ditutup dengan kayu. Gendang terdiri dari tujuh buah yang badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kerbau atau kambing. Gendang ini dipergunakan dalam seperangkat gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Kordofon

  1. Arbab, adalah alat musik yang tabung resonatornya terbuat dari labu atau tempurung; lehernya terbuat dari kayu atau bambu; lempeng atas terbuat dari kulit kancil atau kulit biawak; senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat dari ijuk enau yang masih muda.
  2. Husapi, adalah alat musik sejenis lute yang mempunyai leher, terbuat dari kayu dan mempunyai dua senar. Bagian badan dan lehernya dihiasi gambar ukiran wajah manusia.

***

Masyarakat Batak Simalungun merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur. Ucapan syukur mereka senantiasa dipanjatkan lewat upacara adat. Budaya para leluhur yang menjadi kebanggaan suku Simalungun salah satunya adalah pemakaian Ulos. Ulos yang disebut Hiou sarat ornamen. Secara legenda bagi masyarakat Simalungun, Ulos dianggap salah satu dari tiga sumber kehangatan manusia selain api dan matahari.

Sampai sekarang ini Pesta Rondang Bittang masih dilestarikan dan menjadi pesta tahunan bagi masyarakat Simalungun, Sumatera Utara.

pretty

Pemuda budaya [Dok. Pretty Manurung]

[Pretty  Manurung]

 

Menelusuri Jejak Leluhur: Kawasaran

Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara yang berasal dari Minahasa kini sedang mempelajari Tari Kawasaran sebagai salah satu upaya menelusuri jejak leluhur. Seperti kata pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; sambil menari kita bisa belajar sejarah juga bahasa Minahasa.

Menelusuri jejak leluhur, bagi BPAN, adalah satu gagasan untuk kembali kepada identitas budaya. Gagasan yang sudah berjalan ini dalam capaian sementara menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memiliki identitas atau jati diri: asal-usul lengkap dengan pranata sosial, kearifan lokal bahkan pengetahuan tradisional serta wilayah adat.

Fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir, perilaku masyarakat khususnya kaum muda cenderung tidak mengenal adat/budaya leluhurnya. Kemajuan masa yang pesat telah menjadi jiwa zamannya mereka di mana tradisi gadget, internet, hip hop dan

pemuda_adatSeorang penari Kawasaran mengangkat pedang perang.

seperangkat kecanggihan teknologi benar-benar bukan tradisi leluhur. Dampaknya adalah hilangnya identitas dan tidak ada pemaknaan terhadap tanah/wilayah adat. Sebuah kerugian luar biasa untuk kini dan nanti.

Kesadaran pentingnya identitas tersebut menjadi pengertian paling berharga bagi pemuda adat Minahasa. Selangkah demi selangkah, kami kembali mencari identitas kebanggaan kami yaitu menelusuri jejak leluhur. Saat ini kami mulai dengan belajar tari Kawasaran.

Arti Harafiah

Tari Kawasaran adalah tarian perang suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kawasaran berasal dari kata Kawak (lindung) dan Asaran (ikuti orang tua). Jadi, Kawasaran bermakna mengikuti ajaran leluhur, lalu melestarikan dan terutama untuk melindungi warisan turun-temurun tersebut. “Anggap torang pe ade ada orang mo serang kong torang mo lindungi (anggap adik kita akan diserang dan kita yang melindungi),” kata Tonaas Rinto Taroreh, pelaku ritual, pelatih tari Kawasaran.

prajurit_adatPemuda adat dari Tanah Batak dan Lombok berfose dengan penari Kawasaran.

Konon Masyarakat Adat Minahasa akan menggelar tarian ini ketika akan ataupun sesudah berperang. Tarian ini juga dipersembahkan pada upacara-upacara adat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang meninggal di medan perang. Kawasaran, di sisi lain, menggambarkan betapa semangat perjuangan itu harus tetap ada, terawat dan terpelihara.

Tata cara

Sebelum memulai tarian selalu ada tata cara yang wajib diperagakan. Para penari memberi hormat (sumigi) kepada lawan perang sebagai tanda penghormatan sekaligus nama baik. Jumlah penari selalu ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9. Biasanya penari terdiri dari sembilan orang seturut dengan makna sembilan sebagai angka keramat bagi orang Minahasa.

Selanjutnya terbagi tiga babak permainan dalam tarian ini pertama, Sumakalele (berlaga) di mana para penari akan beraksi saling menyerang laiknya dalam peperangan sungguhan; kedua, Kumoyak (bermain jiwa) menceritakan bagaimana menghibur jiwa dan menenangkan jiwa setelah ikut berperang; ketiga, Lalaya’an (kemenangan) dengan muka tersenyum sambil menari menandakan peperangan usai dan menang.

Perangkat  

Tambor, alat musik pukul dari kulit kambing/rusa,  adalah alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini disertai dengan aba-aba dari pemimpin tarian.

Mahkota_NedineNedine, penari perempuan.

Kostum yang digunakan terdiri dari kain tenun Minahasa untuk ikat pinggang, paruh burung Taong (simbol kebesaran), bulu ayam jantan, tengkorak monyet (simbol kehebatan prajurit perang yang berhasil membunuh musuh) dan baju kulit kayu. Warna kostum, merah, adalah simbol keberanian. Perlengkapan lainnya adalah pedang (santi), perisai (kelung), tombak (wengkow). 

Saat ini tarian Kawasaran digunakan dalam berbagai acara untuk mengusir dan membunuh roh jahat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kampung halaman agar tetap lestari, damai atau jauh dari niat jahat seperti halnya hantu bisnis.

Menjaga tanah Minahasa adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan yang tercermin dalam Kawasaran. Prinsip kesetaraan ini tampak pada praktiknya: penari terdiri dari perempuan dan laki-laki atau salah sebagian saja. Sembilan perempuan atau sembilan laki-laki. Ini pun menjadi alat perjuangan.

Pemuda_prajuritPenari laki-laki.

Bagi tou (orang) Minahasa, berperang adalah sesuatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani dan punya semangat perjuangan. Prajurit perang Minahasa disebut Waraney. Kini tou Minahasa tidak lagi berperang melalui kaki dan tangan manusia, tetapi dengan ‘otak’ (cara pandang).

Karena itu dalam melestarikan budaya, pemuda adat jangan jadi penonton tapi “aktor”. Zaman boleh berubah tapi pemuda adat kukuh mempertahankan identitasnya. Dengan adanya proses menelusuri jejak leluhur seperti ini, pemuda adat harus selalu berdiri kuat, memiliki semangat juang dan berani melawan penggusuran, pemetaan sepihak oleh negara, menolak hadirnya perusahaan tanpa persetujuan Masyarakat Adat. Singkatnya, mempertahankan wilayah adat warisan secara turun-temurun. “Sapa ley kal bukang torang?” (Siapa lagi kalau bukan kita?)

I YAYAT U SANTI (Angkatlah pedangmu!)

 

Nedine Helena Sulu

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish