Bahagia Kedua Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – Sebuah truk besar terparkir di kebun Komunitas Adat Sakai. Di sampingnya ada ribuan kilogram semangka yang menggunung. Beberapa pemuda pemudi dan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai nampak di sekitarnya.

Sabtu (6/12/2020) menjadi kali kedua truk tersebut datang. Ia dipakai untuk mengangkut hasil panen buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Sakai. Ini merupakan panen kedua.

Menanam semangka menjadi salah satu bagian dari program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Program ini dikelola secara bersama. Pemuda pemudi adat menjadi penggeraknya.

“Kami panen lagi”, ucap Ismail Dolek begitu bahagia.

Ismail adalah ketua kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia bergerak bersama anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai.

“Buah semangka ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Sakai, untuk menaikan ekonomi masyarakat adat dan meningkatkan sumber vitamin dan memperkuat daya tahan tubuh demi menghadapi masa covid19” tutur Ismail.

Panen pertama, mereka menghasilkan 4.298 kg semangka. Kini di panen kedua mereka menghasilkan 6.220 kg semangka.

Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.

Ismail dan kawan-kawan pemuda adat sedang bahagia. Ini adalah bahagia kedua. Bahagia mereka tentu masih akan berlanjut. Menikmati hasil usaha mengolah tanah. Membuktikan kedaulatan pangan Masyarakat Adat di tengah pandemi.

Penulis: Kalfein Wuisan

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun: Manifesto Perjuangan Masyarakat Adat

bpan.aman.or.id – Junaedi, berhasil mewujudkan mimpi itu. Mimpi yang selama ini diperjuangkannya bersama para pemuda-pemudi adat anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sembalun. Hari Minggu, 6 Desember 2020, mimpi itu termanifestasi menjadi Sekolah Adat (SA) Laskar Lembah Rinjani Sembalun.

Hari itu, angin dari gunung Rinjani berhembus lembut. Ia membawa restu dari Sang Pencipta, alam semesta dan leluhur Masyarakat Adat Sembalun ke komunitas adat Kemangkuan Adaq Tanaq di lembah Rinjani.  Di sana sudah berkumpul para pemuda adat Sembalun anggota BPAN dan para tetua adat Komunitas Kemangkuan Adaq Tanag. Hadir juga Ketua DAMANWIL NTB, PPMAN, PN DePAN Region Bali Nusra, Ketua DAMANDA Sembalun, Ketua BPH AMAN Daerah Sembalun, Ketua BPAN Daerah Sembalun, tokoh pemuda, dan pengurus BPAN Sembalun. Mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mendeklarasikan wadah berpengetahuan ala Masyarakat Adat Sembalun. Wadah itu diberi nama ‘Sekolah Adat Laskar Lembah Rinjani’.

“Laskar artinya pasukan. Lembah Rinjani adalah bumi Sembalun. Jadi Laskar Lembah Rinjani artinya pasukan bumi Sembahulun. Diharapkan dari sekolah adat, lahir para pasukan pembela tanah leluhurnya nanti di lembah Rinjani ini”, tutur Junaedi selaku Ketua BPAN Daerah Sembalun.

Menurut Junaedi, SA Lakar Lembah Rinjani Sembalun sudah lama diimpikan. Ide ini juga sudah dibahas secara mendalam dan menjadi hasil Kemah Pemuda Adat BPAN Sembalun pada 21 Juni 2020 silam. Sejak itu hinga bulan Desember 2020, Junaedi dan kawan-kawan sudah memulai aktivitas sebagai sekolah adat. Usaha mendirikan dan menjalankan sekolah adat itu kemudian mencapai puncak saat pendeklarasiannya.

“Kami pemuda adat menginisiasi perlawanan dengan mencetak generasi penerus Masyarakat Adat lewat sekolah adat. Diadakanlah musyawarah pertama kali dengan melibatkan para tetua adat pada tanggal 21 Juni 2020 dan didaftar anak-anak Masyarakat Adat sebagai murid-murid. Diadakan pelajaran-pelajaran adat untuk memperkenalkan tentang sekolah adat. Setelah sekolah adat beberapa bulan berjalan, maka diadakan musyawarah yang ke-2 pada tanggal 06 Desember 2020 sekaligus launching sekolah adat” jelasnya.

Junaedi juga menuturkan bahwa gagasan mengenai sekolah adat ini berawal dari keprihatinan generasi penerus Masyarakat Adat yang hampir tidak ada lagi. Belum lagi masalah terkait wilayah adat yang sudah diklaim oleh oknum-oknum. Bahkan soal lain seperti bentrok antara Masyarakat Adat dengan pemerintah dan PT (perusahaan).

“Sekolah adat adalah salah satu langkah perjuangan Masyarakat Adat untuk menjaga wilayah adat, tengah menanamkan jiwa adat sejak dini pada anak-anak adat untuk mereka mengenal jati diri mereka sebagai generasi penerus adat,” tegas Junaedi.

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun diresmikan oleh Dr. R. L. A. Rahman Sembahulun selaku Ketua DAMANWIL NTB, Lalu Kesumajayadi, S.Pd selaku DePAN Region Bali Nusra, dan Junaedi, S.H selaku Ketua BPAN Sembalun. Mereka bertiga menandatangani surat peresmian SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun.

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun menjadi manifesto perjuangan pemuda adat dan Masyarakat Adat daerah Sembalun untuk menjaga wilayah adatnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Sisingamangaraja Pejuang Masyarakat Adat

bpan.aman.or.id – Catatan penting ini sedianya akan dimuat dalam Majalah Tapian sepuluh tahun yang lewat. Sayang, hasil wawancara ini tak pernah dimuat karena majalahnya kadung tutup. Penulisnya, Jeffar Lumban Gaol lantas mengunggahnya di akun facebooknya pada 1 Desember 2011.

Wawancara ini menjadi pertemuan awal keduanya, sang narasumber dan pewawancara. Kelak, si pewawancara merapat ke Pengurus Besar AMAN bersama-sama dengan Abdon Nababan dan kolega di barisan gerakan Masyarakat Adat.

Hari ini (2 Desember 2020), kami dari BPAN mendapat pesan WhatsApp langsung dari Abdon Nababan, sosok yang jadi narasumber yang berbagi soal link tulisan ini di facebook. Kami lantas berinisiatif untuk meminta izin Abdon untuk memuatnya di website BPAN untuk keperluan edukasi. Bagi kami, isi wawancara ini sangat berkorelasi dengan gerakan pulang kampung yang kini kami jalankan.

Jeffar sendiri menutup usia pada Januari 2017. Selain musisi legend, pencipta lagu Blues untuk Munir itu juga adalah penulis. Selama di AMAN, dia telah menghidupkan jurnalisme warga di mana para pemuda adat umumnya sangat aktif mengirimkan berita-berita komunitas untuk dimuat di Majalah Gaung AMAN maupun di Gaung Online.

Wawancara ini adalah salah satu tulisannya yang menurut kami paling menyimpan makna mendalam bagi anak-anak muda dan perjuangan Masyarakat Adat umumnya.

–Wawancara dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2007-2017 Abadon Nababan 8 Agustus 2010 —

“Sisingamangaraja adalah pahlawan Masyarakat Adat, dan orang batak yang ada di Jakarta ini bukan lagi bagian dari Masyarakat Adat”. Mari kita simak ulasan Sekjen AMAN tersebut di bawah ini:

Tanya: pertama, apa yang jadi tujuan serta cita-cita berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini? Kedua, kita sepakat bahwa Masyarakat Adat tidak eksis lagi dan terpinggirkan di negeri ini. Contohnya masyarakat etnik Batak itu kan mendua, pada satu sisi mereka masih melakukan peradatan lahir, kawin, dan meninggal. Namun pada sisi lain mereka tak lagi menjalankan hukum adatnya. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana AMAN memetakannya?

Abdon Nababan: Yang pertama mungkin situasi kita setelah berinteraksi dengan dunia luar, akibatnya secara pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan, baik kedaulatan individu maupun kedaulatan masing-masing orang. Kedaulatan kelompok sebagai Masyarakat Adat misalnya atau sebagai huta atau horja bius kalau di orang Batak. Itu masalah utama saat dan hal itu kemudian berimplikasi pada kedaulatan negara, kedaulatan bangsa Indonesia. Jadi, krisis yang kita hadapi saat ini adalah krisis kedaulatan.

Kenapa krisis-krisis kedaulatan itu menjadi sedemikian penting untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara? Karena memang secara keseluruhan kita sudah pada posisi dan menganggap yang kita punya itu adalah buruk, sedangkan yang orang lain punya adalah baik. Karena itu kita berlomba-lomba menjadi ‘orang lain’.

Kita tidak memperkuat diri menjadi diri sendiri. Sistem pengetahuan yang ada di Masyarakat Adat dan telah berkembang ribuan tahun bisa dengan gampang kita buang dan kita kemudian mencari pengetahuan-pengetahuan baru, lalu meninggalkan pengetahuan-pengetahuan yang kita anggap tidak relevan sesuai dengan pandangan pihak yang kita anggap sebagai benar itu. Jadi pertarungannya di situ, kalau kita lihat hampir seluruh kekayaan kita itu sebenarnya kita gadaikan. Kita tukar dengan punya orang lain dan kita anggap itu menjadi punya kita, nah itu persoalannya.

Kalau dalam konteks berdirinya AMAN, tentu karena gerakan Masyarakat Adat ini dimulai dari persoalan-persoalan riil di komunitas-komunitas adat. Jadi kalau gerakan Masyarakat Adat sudah dimulai sebelum Indonesia itu ada, gerakannya lebih pada perlawanan terhadap sistem kepercayaan, sistem keyakinan; ya sistem pengetahuan dari luar. Itulah kenapa misalnya, Sisingamangaraja X melawan Islamisasi. Dia melawan pemaksaan nilai, dia melawan pemaksaan sistem keyakinan dan itu pun terulang ketika kristenisasi yang mengakibatkan meletusnya perlawanan Sisingamangaraja XII.

Di Pulau Jawa, terjadi perlawanan Masyarakat Adat Baduy terhadap sistem negara pada masa itu. Di Jawa Tengah, kita menemukan Masyarakat Adat Sedulur Sikep, di Jawa Timur kita menemukan kelompok Masyarakat Adat Osing atau Tengger. Ini adalah perlawanan-perlawanan Masyarakat Adat.

Di tanah Batak masih tersisa perlawanan itu, kita sebut dengan Parmalim. Itu adalah bentuk-bentuk perlawanan yang muncul sebelum Indonesia merdeka, pada masa sebelum maupun masa kolonial. Nah artinya, pada waktu itu persoalan Masyarakat Adat adalah pada persoalan pemaksaan nilai-nilai.

Pada masa orde baru, persoalan nilai-nilai itu dianggap tidak masalah lagi, karena kita sudah mengadopsi lima agama besar, agama impor. Agama-agama asli tak kita anggap sebagai agama lagi dan tidak diadministrasikan oleh negara sebagai bagian dari diri kita. Setelah orde baru, dalam perjalanannya kemudian muncul lagi perlawanan dari Masyarakat Adat dan itu terjadi di mana-mana. Ini semua terjadi akibat penjajahan terhadap Masyarakat Adat dengan sifatnya yang berobah jadi material, bukan lagi nilai.

Dengan sistem konsesi HPH di kehutanan, wilayah-wilayah adat yang masih memiliki hutan kemudian dikonsesikan oleh pemerintah sebagai lahan HPH, perusahaan-perusahaan dari Jakarta atau luar negeri. Tanah-tanah dikonsesikan jadi HGU perusahaan perkebunan. Kalau di sana ada daerah tambang, wilayah yang kaya mineral, maka diserahkanlah wilayah itu sebagai kuasa pertambangan perusahaan-perusahaan tambang multi nasional. Perlawanannya jadi lebih kongkret, karena menyangkut keberlanjutan secara langsung kehidupan Masyarakat Adat. Inilah yang terjadi.

Penulis

Sebenarnya perjuangan Masyarakat Adat setelah Indonesia berdiri adalah kelanjutan perjuangan Masyarakat Adat sebelum masa kolonial, cuma topik perkaranya sekarang berbeda. Kalau topik perkara sebelum masa kolonial adalah berhadapan dengan masuknya agama-agama baru, agama impor, lantas semasa kolonial, dia lebih berhadapan demi material, karena kolonial Belanda harus mengamankan daerah-daerah untuk memenuhi komoditi perdagangan, komoditi ekspor.

Oleh karena itu, kolonial Belanda lewat VOC bekerjasama dengan kesultanan dan kerajaan-kerajaan pada masa itu. Sebelum era kolonial sebenarnya sudah ada negara, negara kuno yaitu kerajaan dan kesultanan. Kerajaan dan kesultanan ini juga menjajah Masyarakat Adat. Karena itu, bagi AMAN ini sangat jelas, yang namanya kerajaan dan kesultanan dari masa lalu bukan Masyarakat Adat. Entitas mereka adalah negara pada masa itu.

Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat dalam konteks gerakan Masyarakat Adat Nusantara, yang kita bicarakan adalah sistem-sistem sosial, sistem-sistem kultur yang hidup dan berkembang bersama tanahnya, bersama wilayahnya. Kalau di Batak, kebudayaan yang tumbuh di atas bona pasogit, bukan kebudayaan Batak yang tumbuh di atas persekutuan marga-marga yang ada di Jakarta ini. Jadi kalau kita bicara kebudayaan dalam konteks Masyarakat Adat, maka kita sedang bicara budaya bersama tanah di mana budaya itu tumbuh. Karena itu, orang Batak yang ada di Jakarta yang sudah tak terikat lagi dengan bona pasogit dengan tanah leluhurnya, kita tidak menyebutnya sebagai Masyarakat Adat, karena hak dan kewajiban, ikatan-ikatan si orang Batak yang ada di Jakarta tersebut dengan tanahnya sudah tidak ada.

Pendefinisian itu penting, sebab kalau tidak ada pendefinisian itu, kemudian gerakannya bisa kehilangan identitas di dalam pertarungan politik dan ekonomi, pertarungan nilai dan segala macam. Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat, enggak bisa dipisahkan antara identitas budaya. Yang di dalamnya kita menyebut ada bahasa, ada spiritualitas. Ada sikap dan perilaku yang membedakan antara satu kelompok dengan identitas tertentu dengan kelompok lain yang namanya wilayah adat. Wilayah hidup dari Masyarakat Adat itulah yang dalam bahasa Batak kita sebut sebagai bona pasogit.

Jadi yang pertama, orang Batak tanpa bona pasogit atau tanpa ikatan dengan bona pasogit enggak pantas dia menyebut dirinya sebagai bagian dari Masyarakat Adat, tapi dia tetap orang Batak. Di situ etnisitas yang bekerja. Kedua, terdapat perbedaan antara orang Batak dari sisi etnisitas dengan orang Batak sebagai satu sistem sosial yang terikat dengan bona pasogit tanah adatnya. Ketiga, yang diwarisi Masyarakat Adat dari leluhurnya serta yang dipertahankan itu adalah pengetahuan. Jadi, kalau sistem pengetahuan pada masyarakat itu sudah bukan lagi pengetahuan yang berdasarkan pada kearifan dan pengetahuan leluhurnya, tapi sudah mengandalkan pengetahuan barat misalnya atau pengetahuan Cina atau pengetahuan Arab jika mereka memeluk agama Islam. Mana ikatannya dengan leluhur? Itu bukan Masyarakat Adat. Sekarang dalam diskursus ilmiah, diterjemahkan jadi kearifan lokal atau kearifan tradisional. Kearifan lokal dan kearifan tradisional itu juga mengakar pada tanahnya. Baru yang keempat kita bicara tentang pranata, baik hukum maupun kelembagaan. Kalau di Batak kita bicara tentang; huta, bius, horja.

Kalau di Batak itu, kita menyebut tentang pengaturan hidup bersama, maka kita bicara tentang marga, kita bicara interaksi antarmarga lewat perkawinan, baru bicara tentang teritori, yaitu huta dan bius tadi. Persoalannya sekarang di mana posisi kita?!

Persoalannya adalah kepercayaan kita bukan lagi Batak, tapi sudah jadi agama lain. Otomatis teritorial adat kita yaitu huta dan bius itu hilang. Yang tinggal hanyalah kekerabatan, geneologis lewat marga dan perkawinan. Itulah yang disebut Dalihan Na Tolu. Tapi Dalihan Na Tolu bukanlah suhi niampang naopat yang sebenarnya dalam konteks Masyarakat Adat tadi. Dalam konteks itulah sebenarnya, orang Batak harus mengapresiasi Parmalim karena mereka kemudian menyelamatkan salah satu warisan dari leluhur kita. Yang disebut Parmalim itu ya Ugamo Malim. Artinya, dengan adanya Permalim, mereka menyediakan kita jalan kembali kalau suatu saat kita tersesat, karena dunia ini semakin enggak jelas dan sedang mengalami multi krisis pula.

Tapi kalau soal teritorial, kita mau kembali ke mana? Karena kalau kita lihat sekarang di tanah Batak, di manakah kita bisa melihat bius bekerja sebagai pranata sosial? Sebagai sistem pengaturan hidup bersama, sudah susah. Sebenarnya sekarang saya sangat khawatir dengan kondisi orang Batak, karena untuk sistem kepengurusan hidup bersamanya, kita enggak punya jalan pulang. Nah, disitulah kenapa gerakan Masyarakat Adat itu bisa juga ditanggap di wilayah timur Indonesia. Karena relatif memori kolektif dari sistem tersebut di sana masih bekerja dibanding dengan daerah wilayah barat Indonesia.

Jadi jika kita bicara tentang memori kolektif tentang sistem adat Batak, ya kita harus bicara dengan orang tua-tua yang umurnya di atas 70-an. Kalau saya jadi pembaca setia tulisan Monang Naipospos, sebenarnya konteks di situ karena saya sedang menemukan jalan pulang. Karena kita tahu krisis global akan mendera kita, yaitu krisis pangan, krisis ekologi, krisis energi, dan krisis identitas. Kemudian muaranya semua ini adalah konflik, ke mana orang Batak akan kembali. Itu pertanyaan terbesar sebenarnya.

Penulis: Jeffar Lumban Gaol

Kedaulatan Pangan di Tangan Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – Hari Minggu (29/11/2020), Ismail Dolek bergembira. Begitu juga para temannya, sesama pemuda adat Sakai. Hal ini karena buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, siap dipanen. Hari tersebut menjadi awal keberhasilan program kedaulatan yang mereka lakukan.

Ismail adalah ketua kelompok program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia juga anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Ia dan pemuda adat Sakai mulai menikmati hasil program kedaulatan pangan yang mereka mulai sejak 1 Agustus 2020.

Menurut Ismail, program kedaulatan pangan ini bertujuan untuk menaikan ekonomi Masyarakat Adat Sakai. Selain itu, di masa pandemi ini, tanaman yang mereka tanam menjadi sumber vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh.

Buah semangka menjadi tanaman pertama yang dipanen. Semangka tersebut ditanam di lahan BPAN Batin Beringin Sakai.  Jumlah semangka yang mereka tanam sebanyak 2.500 batang dari dua jenis varietas semangka. Jumlah sebanyak ini menghasilkan 4.298 kilogram semangka dalam panen perdana.

“Yang baru dipanen cuma semangka, tapi masih ada lagi cabe, jagung, dan pisang” ucap Ismail.

Sebagian hasil panen perdana semangka ini akan dijual. Sebagiannya lagi akan dibagikan kepada Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai.

Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.

Bagi Ismail kedaulatan pangan sangat penting untuk Masyarakat Adat dan pemuda adat. Menurutnya, kedaulatan pangan komunitasnya ada di tangan pemuda adat Sakai. Ia kemudian mengajak seluruh pemuda adat untuk pulang kampung dan membangun kampungnya.

“Pesan saya bagi seluruh pemuda-pemuda adat Nusantara, pulanglah ke kampung halaman masing-masing. Bangunlah kampungmu. Majukanlah wilayah adatmu. Gerakkanlah masyarakat adatmu dan gunakanlah segenap kemampuanmu  untuk sukumu, untuk budayamu, untuk masyakarat adat dan pertahankanlah peninggalan leluhurmu”, tutupnya.

Ismail dan pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, menjadi bukti resiliensi Masyarakat Adat di tengah pandemi covid-19. Mereka memastikan pangan tetap tersedia. Kedaulatan pangan ada di tangan mereka. Begitu juga masa depan Masyarakat Adat Sakai.

Penulis: Kalfein Wuisan

16 TUNTUTAN RESOLUSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA HASIL RAKERNAS AMAN VI

Pada tanggal 17 – 19 November 2020 secara virtual telah dilaksanakan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Keenam (RAKERNAS AMAN VI) yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari Sumatera hingga Papua mulai dari Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Besar AMAN beserta Organisasi Sayap, Badan Otonom dan peninjau dari berbagai institusi pemerintah dan organisasi non-pemerintah.

Lebih dari delapan bulan kita dilanda krisis Pandemi Covid-19. Banyak aspek dari kehidupan kita berubah secara drastis, mulai dari menjaga jarak fisik, perubahan budaya dan kebiasaan hingga fenomena peralihan aktivitas sosial ke dunia digital. Pandemi memang sekaligus menjadi penanda perubahan sosial secara cepat.

Dalam hal lain, wabah virus Covid 19 juga menjadi ujian bagi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Kita dapat melihat bagaimana pemerintah Indonesia terjebak dalam kebingungan antara mendahulukan aspek kesehatan atau ekonomi yang hari ini digempur dengan resesi di berbagai sektor. Investasi dan korporasi besar yang selama ini mengeksploitasi sebagian kekayaan sumber daya alam ternyata gagal menjadi tameng dan penyelamat masyarakat dari ancaman krisis sosial dan ekonomi.

Bagi Masyarakat Adat, Covid-19 justru menegaskan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan Masyarakat Adat adalah benar dan baik. Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, kehidupan baru dimana kita harus hidup terus menjaga Ibu Bumi dan adil dengan sesama manusia. Masyarakat Adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan, telah terbukti mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adatnya, bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan. Masyarakat Adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lainnya, bahkan ke kota-kota.

Kami sungguh menghargai isyarat-isyarat penghormatan terhadap Masyarakat Adat yang ditunjukan tokoh-tokoh politik termasuk Presiden Republik Indonesia yang dalam perayaan-perayaan hari kemerdekaan selalu mengenakan pakaian adat bahkan fasih menyampaikan salam-salam adat. Tetapi kami harus menyampaikan bahwa penghormatan tersebut masih sebatas simbol. Penghormtan sejati kepada Masyarakat Adat baru akan tercapai apabila tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat benar-benar dihentikan. Penghormatan sejati terhadap Masyarakat Adat baru akan terjadi apabila negara melalui hukum dan kebijakannya berhenti memfasilitasi usaha-usaha yang merampas dan merusak kehidupan Masyarakat Adat, merusak masa depan, dan merusak bumi.

Oleh sebab itu, kami sebagai Masyarakat Adat menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa cita-cita Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat masih belum menapak bumi, bagai panggang jauh dari api. Bahkan, perjuangan Masyarakat Adat untuk menggapai cita-cita itu semakin menemukan tantangan maha berat. Pengingkaran dan kekerasan demi kekerasan terhadap Masyarakat Adat, kriminalisasi peladang hingga pengabaian masih terlalu sering dipertontonkan oleh ragam kebijakan baik di tingkat daerah hingga pusat. Kehadiran negara justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan Masyarakat Adat.

Tantangan demi tantangan tersebut tidak membuat semangat kami surut. Di tingkat kampung/desa kami saksikan agenda perubahan secara perlahan mulai tampak. Meskipun di tingkat nasional, ada beragam tantangan baru yang muncul mulai dari pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (CILAKA) hingga mangkraknya pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI. Situasi ini penting kita sikapi dengan gerakan politik yang massif dan terkonsolidasi.

Sudah saatnya negara bersama seluruh warga negara dan warga dunia untuk bersama-sama berpikir dan bersama sama mengambil tindakan nyata untuk mengubah politik ekonomi nasional dan global yang sudah tidak mampu lagi membawa kita pada kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Terhadap berbagai situasi tersebut di atas RAKERNAS AMAN VI menyampaikan resolusi sebagai berikut:

  1. Kami mendesak Presiden dan DPR RI mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM yang menjadi panduan bagi negara-negara berdaulat. Lebih dari itu, secara prosedur UU tersebut disusun tanpa partisipasi yang penuh dan efektif dari seluruh elemen rakyat termasuk Masyarakat Adat. UU tersebut akan menjadi basis legal dalam tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Bahkan UU ini akan meninggalkan jejak kelam bagi lingkungan hidup dan keberlangsungan generasi yang akan datang.
  2. Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat, yang menyediakan suatu prosedur sederhana, murah, dan punya legitimasi dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas wilayah adatnya beserta hak asal-usul atau hak-hak tradisional lainnya.
  3. Kami mendesak Pemerintah untuk mempercepat perlindungan hak kekayaan intelektual Masyarakat Adat, mengakui hak masyarakat Adat atas agama leluhur serta memastikan negara mempercepat pelayanan administrasi dan kependudukan bagi para penganut agama leluhur.
  4. Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk segera membentuk kebijakan daerah pengakuan Masyarakat Adat beserta hak asal-usulnya termasuk hak atas wilayah adatnya. Bagi daerah, provinsi/kabupaten/kota, yang sudah mempunyai produk hukum Masyarakat Adat (Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan-Peraturan Bupati/Wali Kota maupun Peraturan Gubernur) kami mendesak untuk segera diimplementasikan.
  5. Kami mendesak pemerintah, terutama KLHK beserta jajarannya untuk MENGHENTIKAN Penetapan Kawasan Hutan “Negaraisasi Wilayah Adat” dan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial yang mencakup skema HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan dan mencabut semua perizinan perhutanan sosial yang terbit di atas Wilayah Adat. Sebaliknya Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan pengakuan wilayah adat.
  6. Kami mendesak POLRI dan TNI untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, para pembela Masyarakat Adat yang berjuang mempertahankan haknya. Sebaliknya POLRI dan TNI harus mengutamakan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, secara khusus perempuan dan anak. Selanjutnya kami mendesak agar Institusi POLRI dan TNI menindak tegas anggotanya yang melakukan tindakan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat.
  7. Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap perempuan dengan menetapkan kembali RUU Penghentian Kekerasan Seksual (PKS) dalam Prolegnas dan memastikan pengesahannya pada tahun 2021.
  8. Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melindungi praktek-praktek pertanian tradisional Masyarakat Adat, demi menjamin kedaulatan pangan baik di komunitas adat yang juga merupakan dasar dari tercapainya kedaulatan pangan nasional, terutama ditengah pandemi Covid 19. Selanjutnya Pemerintah harus mengambil langkah-langkah progressif untuk mengakui dan mempromosikan praktek dan pengembangan model ekonomi Masyarakat Adat yang bersifat lokal dan berkelanjutan, yang selama ini telah terbukti memastikan kemandirian komunitas-komunitas adat.
  9. Kami mendesak Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mencabut semua izin investasi pertambangan, energi, perkebunan, hutan tanaman industri, hak pengelolaan hutan, pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan ijin usaha lainnya yang merampas hak-hak Masyarakat Adat dan merusak lingkungan hidup.
  10. Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan implementasi perlindungan terhadap hak penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia.
  11. Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk memasukkan Peta Wilayah Adat ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang dan mencabut atau mengubah seluruh peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang yang tidak mengakomodir wilayah-wilayah adat baik di daratan maupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  12. Terkait dengan akan berakhirnya Otonomi Khusus Papua, kami mendesak Pemerintah Pusat untuk tetap menjamin, melindungi dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat di Papua.
  13. Pemerintah Daerah harus menghormati dan melindungi keberadaan sekolah-sekolah adat di Komunitas Masyarakat Adat.
  14. Kami mendesak pemerintah untuk memastikan hak-hak Masyarakat Adat dan pelibatan penuh Masyarakat Adat dalam proses-proses persiapan hingga implementasi dan evaluasi proyek strategis nasional antara lain pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, proyek food estate dan proyek strategis nasional lainnya.
  15. Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh proyek-proyek pembangunan termasuk proyek-proyek strategis nasional yang mengancam ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, serta keberlangsungan lingkungan hidup dan masa depan.
  16. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memasukkan pengetahuan dan pengalaman Masyarakat Adat dalam mitigasi, tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi kebencanaan.

Kami menyadari bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Perubahan hanya akan datang melalui rencana dan kerja nyata yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan bersifat menyeluruh. Oleh karena itu kami seluruh Pengurus AMAN dan Organisasi Sayap AMAN di berbagai tingkatan menyatakan:

  1. Akan senantiasa memperhatikan situasi politik dan kebijakan sehingga dapat menyusun langkah-langkah yang tepat dalam mengamankan wilayah adat dari berbagai ancaman perampasan sebagai akibat ketidakberpihakan negara kepada Masyarakat Adat.
  2. Akan senantiasa memperkuat kemampuan dalam pengelolaan organisasi dan para staf di setiap pengurus sebagai prasyarat penting dalam melaksanakan dan mempercepat pencapaian agenda-agenda perlindungan, pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat.
  3. Membangun kerja sama yang lebih massif dengan pemerintahan desa, lembaga adat, organisasi masyarakat sipil lainnya, kalangan akademik, dan media dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
  4. Melaksanakan ritual adat untuk memohon restu leluhur dan aksi-aksi yang terorganisir untuk mendesak percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.
  5. Secara tegas MENOLAK Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CILAKA) yang akan merampas ruang hidup dan mengkriminalisasi kami sebagai Masyarakat Adat dan pejuang-pejuang Masyarakat Adat.
  6. Akan tetap konsisten menjaga kedaulatan wilayah adat dengan tidak melakukan penjualan tanah-tanah adat demi kepentingan generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
  7. Hutan kami adalah hutan adat. Oleh sebab itu, kami menolak dengan tegas program HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan atau Perhutanan Sosial di wilayah-wilayah adat kami. Di sisi lain, kami akan memperkuat dan memperluas penguasaan wilayah-wilayah adat serta mempercepat usulan pengakuan wilayah adat dan hutan adat.
  8. Menegaskan bahwa kami TIDAK SAMA atau berbeda dengan kerajaan-kerajaan nusantara. Oleh sebab itu, kami senantiasa akan menjaga identitas kami yang sejati, yang berbeda, dan di sisi lain kami akan menolak setiap upaya yang menyamakan kami dengan kerajaan-kerajaan nusantara.
  9. Senantiasa berupaya menggalang dana mandiri dan membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) untuk memperkuat kemandirian dan ekonomi Masyarakat Adat.
  10. Memastikan keterlibatan kami dalam setiap proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan di semua tingkatan, khususnya di tingkat desa, termasuk dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
  11. Mendorong kader-kader terbaik kami sebagai utusan politik Masyarakat Adat untuk merebut posisi-posisi strategis di berbagai tingkatan, terutama di tingkat desa sehingga kepentingan-kepentingan kami sebagai Masyarakat Adat dapat disuarakan dalam setiap pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kami dan kepada generasi Masyarakat Adat yang akan datang.
  12. Memobilisasi seluruh sumber daya organisasi untuk melawan para Calon Kepala Daerah yang memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM.
  13. Mengerahkan segenap upaya tetap mengawal dan mengevaluasi berbagai kebijakan yang mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.
  14. Senantiasa memperbaharui dan memperkuat hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat adat terutama kelompok perempuan; pemuda; anak-anak; orang lanjut usia; orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, usia, struktur masyarakat, jenis kelamin, dan karena kemampuan; dan penyandang disabilitas.
  15. Senantiasa memperkuat rasa senasib-sepenanggungan dengan sesama Masyarakat Adat dimana pun.

Demikian Resolusi ini kami sepakati sebagai bentuk dari kesadaran kami terhadap berbagai situasi memperihatinkan yang dihadapi Masyarakat Adat di seluruh nusantara. Resolusi ini juga merupakan bentuk  desakan perubahan terhadap negara agar segera melakukan langkah-langkah perubahan untuk melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Selanjutnya, melalui resolusi ini kami telah memperkuat komitmen kami sebagai Masyarakat Adat untuk senantiasa berjuang bersama-sama dalam mempertahankan identitas dan hak yang kami warisi dari leluhur kami.

Disepakati pada Tanggal 18 November 2020

Tertanda,

Seluruh Peserta RAKERNAS AMAN VI

Dokumen Resolusi RAKERNAS AMAN VI  RESOLUSI RAKERNAS AMAN VI _2020

sumber: https://www.aman.or.id/2020/11/resolusi-masyarakat-adat-nusantara/

Pertahankan Tradisi, Masyarakat Adat Hukaea Laea Adakan Ritual Pesta Panen

bpan.aman.or.id – Pada tanggal 31 Oktober hingga 1 November 2020, Masyarakat Adat Hukaea Laea melaksanakan kegiatan tahunan, yaitu pesta panen serta ritual-ritual adat yang masih dipertahankan sejak dulu.

Adapun dua ritual adat yang digelar dalam pesta panen ini: pertama, ritual “Mewusoi”. Ritual ini dipimpin oleh Kumpuko (pawang padi). Ritual Mewusoi ini dilakukan untuk mengucap syukur terhadap sang pencipta dan kepada leluhur atas melimpahnya hasil panen pae/padi Masyarakat Adat Hukaea Laea.

Ritual kedua ialah ritual Mo’oli. Ritual ini dipimpin oleh “Miano Motua Kampo” (orang yang dituakan di kampung). Ritual Mo’oli adalah ritual yang tujuannya meminta izin kepada sang leluhur agar bisa membuka lahan baru untuk dipergunakan bersawah atau berladang.

“Kedua ritual di atas dilakukan setiap tahun ketika menutup tahun panen dan menghadapi awal tahun menanam,” ujar Mansur Lababa, kepala kampung.

Selain ritual, pada rangkaian kegiatan pesta panen ini juga ditampilkan tradisi asli Suku Moronene oleh Masyarakat Adat Hukaea Laea. Contohnya tarian Momani, tarian Mompesara, permainan tradisional gasing, masakan tradisional hingga cerita-cerita rakyat yang dikisahkan langsung oleh Bapak Mansur Lababa selaku Puu Tobu (kepala kampung) Hukaea Laea.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh Wakil Bupati Bombana, Johan Salim, Ketua DPRD Bombana, Arsyad, S.Pd., Wakil Ketua DPRD Bombana Ardi, TVRI Sultra, serta seluruh Masyarakat Adat Hukaea Laea.

Penulis: Juminal Nopiansyah, pemuda adat Moronene

Sumembong dan Kedaulatan Pangan

bpan.aman.or.id – Ada banyak sekali kearifan di Minahasa yang digunakan untuk hidup dan terus hidup sebagai manusia. Baik dalam kegiatan di kampung, maupun kerja bersama di kebun.

Kearifan tersebut misalnya, Mapalus, Ru’kup, Sumembong, dan banyak lagi lainnya.

Pengetahuan tersebut merupakan warisan kehidupan para pendahulu Minahasa. Masing-masing kampung, punya kearifannya sendiri. Ini adalah produk kebudayaan Minahasa.

Beberapa hari lalu, bersama beberapa kawan, saya ikut Sumembong di kobong (kebun) pece alias sawah, milik Theo Rory. Kami bersama membantu memanen padi miliknya. Theo menggarap beberapa petak sawah. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Ia mengolah sawahnya secara mandiri. Mawuntul, itu namanya dalam bahasa Minahasa.

Mawuntul dalam bahasa Tontemboan Minahasa berarti mengolah atau mengusahakan sesuatu secara mandiri, tidak menyewa pekerja.

Sejak mengolah sawah dari proses Lemepo (membersihkan sawah untuk ditanami), Musew (menanam padi), merawatnya, sampai memanen diusahakannya sendiri.

Hanya di tahapan tertentu, ia dibantu oleh orang lain secara sukarela. Misalnya, seperti saat memanen padi. Ia dibantu oleh beberapa kawannya.

Upaya membantu secara sukarela ini, disebut Sumembong. Sumembong dari kata sembong. Artinya, bantu secara sukarela. Tradisi ini sudah lama hidup di Minahasa, terlebih di Ro’ong Wuwuk. Selain kerja di kebun, Sumembong juga kerap diterapkan di acara dan kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, ada peristiwa duka, pesta, atau membangun rumah dan pondok di kebun. Sumembong menjadi satu nadi dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa.

Bairis (memanen) padi dan Babanting (memisahkan padi dari batangnya dengan cara dipukulkan ke tempat kecil seperti meja) padi merupakan kegiatan yang kami lakukan di kebun Theo. Ini wujud dari Sumembong.

Selain berkebun sawah, Theo juga seorang petani cap tikus. Di sela-sela waktunya mengolah pohon aren, ia juga melakukan aktivitas berkebun lain. Ini memang menjadi ciri khas para petani di Minahasa. Mereka tidak hanya melakukan satu aktivitas berkebun.

Di tengah pandemi, orang-orang seperti Theo dan beberapa petani di kampung, membuktikan resiliensi terhadap situasi ini. Mengolah sawah dan tanah menjadi bukti kongkrit. Hasilnya, 13 karung padi yang dipanennya di musim tanam ini, menjadi salah satu bukti bahwa petani dan orang muda yang berkebun menjadi penjaga kedaulatan pangan. Pangan yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar mereka. Selebihnya bisa dijual atau diberikan kepada orang lain.

Sumembong dalam berkebun menjadi pernyataan sikap generasi muda hari ini. Ini juga bukti bahwa berkebun bukan “bahan jualan” untuk hidup, seperti yang dilakukan oknum untuk meraih simpati dan suara. Berkebun adalah upaya untuk terus hidup dan menjaga kehidupan terus berlangsung.

Ia adalah jati diri.

Penulis: Kalfein M. Wuisan

Omnibus Law Disahkan, Masyarakat Adat Berduka

“Mari sejenak seluruh rakyat Indonesia kita naikkan bendera setengah tiang sebagai simbol duka atas pengesahan UU Omnibus Cilaka. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat maka sekarang ini kita seperti anak kecil yang baru lahir. Tanpa sehelaipun pelindung dari serbuan investor yang akan menginvasi wilayah adat”.

Begitu paragraf pertama tulisan Rukka Sombolinggi di akun Facebook miliknya pada Senin (5/20/2020) malam. Ia nampak sedih. Itu tergambar dari ungkapan yang dia tulis tersebut.

Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tentu punya alasan yang kuat ketika menulis sebuah tulisan panjang di Facebook. Apalagi tulisannya itu dibuka dengan ungkapan duka.

Beberapa jam sebelum itu, ia berbicara di sebuah program berita di salah satu stasiun televisi Indonesia. Ia diundang berbicara mewakili Masyarakat Adat Nusantara merespon disahkannya Rancangan Undang Undang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Senin, 5 Oktober 2020 memang menjadi sebuah hari penting. Hari Berkabung bagi Masyarakat Adat. Tanggal ini menjadi penanda lahirnya sebuah UU baru yang penuh polemik. Walapun banyak mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, UU tetap disahkan. Hanya dua fraksi di DPR yang menolak Omnibus Law yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS. Sementara itu, 7 Fraksi lainnya mendukung. Fraksi tersebut yaitu Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN.

AMAN dalam banyak kesempatan, sejak awal terus menyatakan penolakan atas RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja.

Seperti dituliskan Rukka di paragaraf kedua di akun facebooknya, “UU Omnibus Cilaka memang sah tetapi tidak punya legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia”.

Rukka juga menggunakan tagar #MosiTidakPercaya dalam tulisanya tersebut.

Perempuan Adat asal Toraja ini juga menuliskan secara panjang soal Omnibus Law. Disampaikannya pula, ada dua hal terkait proses pembentukan Omnibus Law.  Pertama, tidak pernah ada konsultasi dengan gerakan Masyarakat Adat. Artinya melanggar hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi di dalam pembentukan hukum. Kedua, terkesan memanfaatkan situasi pandemik yang membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum

Omnibus Law ini juga bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum HAM, serta anti demokrasi. Hal ini terlihat dari yaitu: pertama, RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan tradisinya. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat. Kedua, sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh RUU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.

Omnibus Law juga memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat. Gambarannya seperti berikut. Satu (1), memang ada klausul yang menyatakan bahwa izin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (KEMEN-LHK, KEMEN-ATR/BPN, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit belit, ego sektoral, dan saling mengeliminasi. Dua (2), Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (isu kelautan). Anehnya, RUU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administratif bagi pemanfaatan usaha di laut tanpa izin usaha (Pasal 16A).

Omnibus Law juga menjadi ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Di dalam Pasal 69, RUU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Artinya RUU Cipta kerja tidak dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Hadirnya Omnibus Law memberikan karpet merah kepada investasi. Hal ini terlihat dari, pertama, izin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke Masyarakat Adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi. Kedua, RUU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administratif kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin usaha (Pasal 82A). Dunia usaha yang melanggar Perizinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administratif.  Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa izin atau yang melakukan pelanggaran terhadap izin usahanya. Ketiga, pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat hanya diberikan sanksi administratif (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian.

Dituliskan Rukka pula bahwa Omnibus Law merupakan ancaman terhadap Perda Masyarakat Adat. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh RUU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alasan menghalangi investasi. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan izin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perizinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup. Kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan Perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung.

Di paragaraf akhir tulisannya, Rukka menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi Masyarakat Adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena RUU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan prizinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan Masyarakat Adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit-belit dan saling mengeliminasi. Selain itu, di tengah ketidakjelasan instrumen pengakuan Masyarakat Adat, maka penyederhanaan izin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.

Di akhir tulisan panjang tersebut, Rukka menyertakan tanda pagar #TolakOmnibusLaw dan #JegalSampaiBatal

Foto bendera AMAN yang dipasang setengah tiang, turut diunggah bersama tulisannya di Facebook.

Tulisan statusnya ini juga sudah dibagikan sebanyak 105 kali di Facebook.

Sebagai organisai sayap AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) lewat Ketua Umum Jakob Siringoringo juga ikut menyatakan sikap atas disahkannya RUU Cipta Kerja. Hal ini disampaikannya pula lewat unggahan di media sosial Facebook miliknya.


“Indonesia berduka. Kibarkan bendera setengah tiang. Tolak Omnibus Law!”

Gambar bendera BPAN yang dinaikkan setengah tiang dengan latar belakang warna hitam, turut diunggahnya. Gambar tersebut menjadi simbol duka, mosi tidak percaya, dan penolakan atas Omnibus Law.

Kecam Aksi Kekerasan kepada Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, Ketum BPAN Minta Presiden Bertindak

“BPAN Sumut siap mempertahankan tanah adat dari mafia tanah dan PTPN II”, teriak mereka dengan suara lantang. Suara mereka penuh semangat, menggebu-gebu khas orang muda.

Mereka adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Sumatera Utara (BPAN Wil. Sumut).
Ungkapan perjungan tersebut diucapkan anggota BPAN Sumut di dalam video yang diunggah akun Instagram BPAN, @bpa_nusantara, pada hari Senin (28/09/2020).

Terdapat 11 orang, termasuk Ketua BPH AMAN Wilayah Sumut Ansyarudin di dalam rekaman video mengangkat tangan sambil dikepal. Suara mereka nampak garang, penuh amarah.

Video tersebut dibuat mereka sebagai respon atas upaya PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) berupaya mengokupasi wilayah adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, Kabupaten Langkat, Sumut, di hari yang sama.

Hari tersebut menjadi awal hari yang penuh pilu bagi Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak. Namun, duka mereka memuncak pada keesokan harinya, Selasa (29/09/2020). Pihak PTPN II, Tentara, Polisi, SPBUN, dan preman datang dengan buldoser ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap Masyarakat Adat setempat.

Kronologi Konflik dan Bentrok Berdarah

Menurut Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak, kronologi konflik di hari tersebut adalah seperti berikut. Sekitar pukul 03.00 Wib Selasa dini hari pihak PTPN II dikawal TNI sudah mempersiapkan alat berat untuk melakukan okupasi. Sementara, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak juga telah bersiaga menghadang terutama perempuan adat.

Pukul 06.30 Wib, sebuah mobil Innova melaju memasuki wilayah adat Kampong Durian Selemak dari arah belakang pintu gerbang yang berbatasan dengan Kampong Pertumbukan. Mobil tersebut ditumpangi Kasat Reskrim Polres Langkat. Seketika itu juga, para perempuan adat langsung menghadang mobil tersebut. Mereka bergandengan dan membacakan surat Yasin saat menghalangi mobil tersebut masuk ke wilayah adat.

Pukul 07.00, pihak PTPN II, tentara, polisi, SPBUN, dan preman datang dari arah depan membawa buldoser ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Warga Masyarakat Adat yang umumnya perempuan adat langsung menghadang. Namun, kekuatan pihak PTPN II lebih kuat. Bersama aparat tentara, intel polisi, SPBUN, dan preman yang dibawa, mereka kemudian melakukan tindakan kekerasan serta penganiayaan kepada para perempuan adat dengan cara ditendang, dipukul dan dilemparkan ke parit. Usai melakukan tindakan kekerasan tersebut, aparat TNI, Sekuriti, SPBUN, Preman menjarah buah jeruk tanaman milik Masyarakat Adat. Warga pun menangis. Mereka berteriak agar buah jeruk yang mereka punya, tidak dijarah atau dicuri. Namun pihak TNI dan sekuriti menendangi para perempuan adat. Pukul 08.45 WIB, sepuluh orang perempuan adat menghalangi alat berat dari pintu depan. Tiga orang membaringkan diri didepan alat berat. Ibu Ainun, Ibu Safrah, dan Nenek Pariah melakukan itu dengan maksud untuk menghalangi alat berat. Sekuriti PTPN II kemudian mengangkat 3 perempuan tersebut karena menghalangi alat berat. Mereka ditaruh di pinggir parit. Ibu Safrah mengalami memar pada perut atasnya karena disikut. Pada pukul 09.30, para perempuan adat dan satu orang anak kecil diungsikan karena menjadi korban kekerasan dan intimidasi serta mengalami trauma ketakutan. Pukul 10.00, para warga Masyarakat Adat dari kampong-kampong lain datang untuk membantu warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak. Kampong-kampong tersebut antara lain yaitu Kampong Secanggang, Kampong Selemak, Kampong Pertumbukan, Kampong Pante Gemih, Kampong Kwala Begumit, Kampong Batu Gajah, Kampong Manggusta, Kampong Menteng Tualang Pusu, Kampong Bandar Setia, Kampong Bandara Klippa, Kampong Tumpatan Nibung, Kampong Sintis, Kampong Tj. Mulia, Kampong Jati Rejo, dan Kampong Sampali.

Pukul 10.30, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu mendatangi lokasi yang mulai diokupasi oleh Pihak PTPN II bersama TNI, Polisi, SPBUN dan preman yang terus melakukan penjarahan buah jeruk milik warga Masyarakat Adat. Saat berdialog, terjadi dorong mendorong. Pihak PTPN II bersama tentara, polisi, SPBUN, dan preman mengintimidasi serta menendang para perempuan adat. Korban pun, berjatuhan dari pihak Masyarakat Adat.

Pukul 11.00, sebanyak 8 orang perempuan adat yang menjadi korban dilarikan ke puskesmas terdekat. Banyak perempuan adat mengalami kaki terkilir, kepala berdarah dan lebam akibat tendangan serta pukulan. Sementara pihak tentara, polisi, sekuriti , SPBUN, dan preman terus menjarah buah jeruk milik warga Masyarakat Adat. Mereka diteriaki oleh warga Masyarakat Adat, namun tidak diindahkan. Pukul 11.30, para pemimpin kampong melakukan diskusi dan berbagi tugas. Semua korban dibawa ke puskesmas. Ada juga yang melaporkan ke Polres, namun pihak Polres tidak mau menerima pengaduan warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

Pukul 12.00, Ketua BPH AMAN Sumut, Ketua Umum BPRPI, Dewan AMAN Wilayah Sumut, dan OKK AMAN Sumut, pergi ke DPRD Langkat untuk melaporkan kejadian okupasi pihak PTPN II di wilayah adat kampong durian selemak. Namun, utusan AMAN Sumut tidak bertemu pihak DPRD. Mereka lalu kembali ke wilayah adat Kampong Durian Selemak. Pukul 14.00, pihak PTPN II terus menggunakan buldoser dan menjarah buah jeruk warga Masyarakat Adat Kampong Durian Selemak. Seluruh warga yang masih bertahan mencoba untuk melarang. Walapun begitu, pihak PTPN II tetap saja membuldoser dan menjarah buah jeruk warga.
Pukul 15.00, warga Masyarakat Adat kemudian berhadap-hadapan dengan pihak PTPN II bersama tentara, polisi, SPBUN dan preman. Adu argumen terjadi. Pihak warga Masyarakat Adat mempertanyakan kepada PTPN II untuk menunjukkan dokumen HGU-nya. Namun pihak PTPN II tidak bisa menunjukkan apa yang diminta warga. Pihak PTPN II malah memancing kemarahan dan berbicara rasis. Pukul 15.15, pimpinan warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang berada di barisan depan yaitu Ibu Riama S dan Saudara Midun ditendang dari belakang oleh Sekuriti PTPN II. Mereka diseret sampai ke parit. Aparat TNI kemudian melakukan penembakan senapan ke udara. Setelah suara tembakan apparat tersebut, pihak sekuriti PTPN I,I SPBUN, preman, polisi, dan TNI secara beringas dan membabi buta melakukan pemukulan dan intimidasi kepada warga Masyarakat Adat. Korban dari Masyarakat Adat kembali berjatuhan. Banyak yang dilemparkan ke parit-parit. Rusnan, seorang warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, dianiaya di semak-semak, di areal tanaman jeruk. Ia kemudian mengalami patah tangan.

Pukul 15.30, aparat TNI, polisi, security, SPBUN, dan preman menyerang serta menghancurkan sekretariat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Kampong Durian Selemak. TNI juga menembakkan senjata berulang-ulang, menganiaya Warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sehingga banyak yang mengalami luka-luka. Seperti Fauzi, mengalami koyak dan berdarah di bagian kepala. Ada juga warga yang telinganya mengeluarkan darah. Banyak warga adat lain, wajahnya lebam-lebam dipukuli dan ditendangi oleh aparat TNI, sekuriti, SPBUN dan preman PTPN II. Tindakan kesewenang-wenangan tersebut terjadi sampai sekitar pukul 17.00 Wib.

Adapun korban dari peristiwa tersebut yaitu 1 orang patah tangan dan dirawat di rumah sakit. Satu (1) orang kepala koyak 5 cm, lebam di kening, bibir pecah, dan giginya tanggal satu. Satu (1) orang mengalami benjol di bagian kepala dan kuping keluar darah. 30 orang perempuan adat mengalami kekerasan seperti lebam, kaki terkilir, sesak di dada dan sakit di bagian pinggang. 40 orang laki-laki mengalami luka lebam dan terkilir. 3 keluarga kehilangan rumah. 1 sekretariat, 1 musholla, dan 8 rumah habis dihancurkan. Pasca bentrok berdarah tersebut, sampai pukul 18.00, areal diokupasi pihak PTPN II seluas 6 hektar, terutama tanaman jeruk siap panen.

Penggusuran paksa ini tidak hanya mengakibatkan korban di pihak warga, tetapi juga menimbulkan korban materi dan hilangnya rasa aman pada Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, di tengah upaya mereka memastikan ketahanan pangan menghadapi pandemi COVID-19.

Selama wilayah adat di kuasai oleh PTPN II, warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak mengalami kemiskinan. Akibat kondisi ini, para petua adat melakukan musyawarah adat. Hasil musyawarah, kemudian menyepakati bahwa semua warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak wajib melakukan reclaiming wilayah adat yang sudah ditelantarkan oleh pihak PTPN II.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Masyarakat Adat, Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, memiliki wilayah adat seluas 966 hektar. Wilayah adat yang telah dikelola secara produktif dan telah menghasilkan pendapatan bagi warga Masyarakat Adat yaitu seluas 189 hektar. Sisanya dikelola oleh PTPN II dan dijadikan pemukiman.

Tahun 2006 sampai tanggal 28 September 2020, Warga Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak berhasil menguasai tanah adat/ulayat. Tanah itu kemudian diolah dengan ditanami berbagai tanaman palawija, sayur-sayuran, kelapa sawit, dan buah-buahan. Selama pengelolaan wilayah adat, rata-rata satu orang kepala keluarga mengelola tanah adat seluas 12.5 Rante atau setara dengan 0,5 hektar (1/2 ha). Hasil pengelolaan tanah adat/ulayat membuat warga memiliki penghasilan rata-rata Rp2.500.000,00 per bulan. Pendapatan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, biaya pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sebanyak 20 kepala keluarga juga telah memiliki rumah tempat tinggal di tanah adat yang dibangun dari hasil perladangan.

Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (Ketum BPAN), Jakob Siringoringo menyampaikan sikapnya atas kejadian yang menimpa Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Langkat.

“Kejadian yang dialami Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, khususnya Kampong Durian Selemak adalah sebuah tindakan kejahatan luar biasa. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu adalah Masyarakat Adat yang sudah hidup turun-temurun di wilayah adatnya, mengelola titipan leluhur mereka yang kemudian diklaim PTPN II”, ucapnya.

Ia mengatakan bahwa BPAN sebagai organisasi pemuda adat nusantara mengecam dan mengutuk aksi kekerasan yang menimpa Masyarakat Adat Rakyat Penunggu.

“Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara mengutuk dan mengecam tindakan brutal dan kejam yang dilakukan PTPN II bersama aparat TNI, Polri, sekuriti hingga preman. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu bukan kriminal apalagi penjahat”.

Ia kemudian menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia agar turun tangan dan menghentikan tindakan tidak berprikemanusiaan ini.

“Saya menyerukan kepada Presiden Joko Widodo agar segera memerintahkan anak buahnya menghentikan tindakan tidak manusiawi ini. Buka data HGU PTPN 2, akui hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan RUU Masyarakat Adat”, tegas Jakob.

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish