Jamwillub BPAN Sumut

Pemuda Adat. Jambore Wilayah Luar Biasa (Jamwillub) BPAN Sumut secara musyawarah menyepakati Amin Nasution sebagai Ketua BPAN Sumut periode 2017-2020. Di saat bersamaan, Jamwillub secara mufakat juga menyepakati Harun Nuh (Ketua BPH AMAN Sumut), Alfi Syahrin (Sekjen BPRPI), dan Tengku Aminullah (Dosen Politeknik Teknologi Kimia Industri/PTKI) sebagai penasihat.

Jambore yang berlangsung pada 5-6 Agustus 2017 itu diadakan di Balai Adat Batang Kilat, Medan Labuhan, Medan. Para pemuda yang hadir berasal dari Kampung Sampali, Tumpatan Nibung, Bandar Setia, Kampung Terjun dan Batang Kilat.

Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran mengatakan bahwa perjuangan para pemuda adat sangat besar tanggung jawabnya untuk menjaga dan melestarikan warisan leluhur; dan yang paling vital adalah tanah. “Tanah itu bukan secara tiba-tiba bisa kita tanami, di tanah ini juga bukan secara tiba-tiba kita bisa mendirikan rumah. Itu buah dari perjuangan leluhur kita,” tegasnya.

Ia menekankan kepada para pemuda adat untuk lebih memaknai perjuangan mengurus wilayah adat. Menurutnya, orang mati saja perlu tanah, apalagi kita orang hidup. Karena itu perjuangan pemuda adat bukan hal sepele.

“Maknailah perjuangan ini kawan!” pesannya.

Sebelum pelantikan ketua wilayah dilakukan, seluruh peserta diajak melakukan serangkaian kegiatan, dimulai dari diskusi terbuka, membahas dan menetapkan agenda kerja Jamwil, mendengar sejarah perjuangan dari tetua adat setempat dan merumuskan program kerja organisasi serta pikiran rekomendasi terkait perjuangan Masyarakat Adat.

 

Fernando Manurung

PERINGATAN SATU DEKADE DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK MASYARAKAT ADAT SEDUNIA

Setiap 9 Agustus masyarakat adat di seluruh dunia merayakan International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dan telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994. Tanggal 9 Agustus dipilih karena alasan historis, dimana tanggal tersebut merupakan hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat Sub-Komisi untuk Promosi dan Perlindungan HAM pada 1982.
Tahun ini, perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia lebih istimewa karena bertepatan dengan Peringatan Satu Dekade (10 tahun) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang telah dideklarasikan pada 13 September 2007; 10 tahun yang lalu. Indonesia, telah berpartisipasi aktif dan merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi tersebut.
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi tidak saja merupakan pernyataan bahwa Indonesia setuju terhadap Deklarasi tersebut tetapi juga berkonsekuensi pada adanya kewajiban hukum dan moral bagi negara untuk menindaklanjuti Deklarasi tersebut ke dalam hukum dan kebijakan nasional.
Setelah 10 tahun Deklarasi tersebut ditandatangani, kita perlu secara jujur menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia masih jauh dari harapan dalam mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Dengan tidak mengurangi penghargaan atas upaya dan capaian Pemerintah dalam 10 tahun terakhir, kita harus secara terbuka mengakui bahwa Pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat masih jalan di tempat. Putusan MK 35/2012 masih belum secara serius dijadikan sebagai acuan dari pembentukan hukum dan kebijakan dan program pemerintah. Sampai saat ini, Pemerintah baru mengembalikan 13.000 hektar hutan adat kepada masyarakat adat.
Di sisi pembentukan hukum, RUU Masyarakat Adat juga sampai saat ini belum dibahas. Begitu pula pembentukan hukum di daerah yang lamban. Sementara itu, kriminalisasi terhadap masyarakat adat jalan terus; 14 orang warga masyarakat adat Seko telah dihukum karena memprotes pembangunan PLTA di wilayah adatnya. Begitu pula Trisno, seorang masyarakat adat di Tana Bumbu Kalimantan Selatan dihukum dengan alasan ladangnya merupakan bagian dari kawasan hutan.

Satgas Masyarakat Adat sebagai lembaga trouble shooter terhadap mandegnya agenda-agenda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat saat ini masih belum ditetapkan.
Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden jusuf Kalla pada dasarnya memiliki prasyarat untuk menjadi pemimpin global pada isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pemerintah hanya perlu menjalankan secara konsisten 6 (enam) agenda Nawacita yang berkaitan dengan masyarakat adat, antara lain:
1. Mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang,
2. Meninjau ulang peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat khususnya tentang hak atas sumber agraria,
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/201,
4. Menyusun (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundangundangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini,
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekeria secara intens untuk mempersiaphan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan, dan
6. Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berialan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam urusan Masyarakat Adat jika Pemerintah mulai bekerja secara konsisten untuk mencapai enam komitmen Nawacita tersebut di atas.

Rakyat Sumatera Utara Membutuhkan Abdon Nababan

Pemuda Adat. Sumatera Utara tengah mengalami krisis kepemimpinan yang akut. Dua periode berturut-turut gubernurnya masuk penjara karena terjerat kasus korupsi. Provinsi besar ini sangat membutuhkan sosok pemimpin yang bersih, jujur ingin membangun daerah dan berbuat untuk rakyat. Abdon Nababan sosok yang pas untuk itu.

 

Demikian inti pemikiran yang disampaikan pemerhati otonomi daerah, jurnalis senior asal Sumatera Utara Nestor Rico Tambunan, dalam diskusi terbatas dengan kalangan media dan kader-kader Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Senin, 7 Agustus 2017.

Diskusi tersebut berkaitan dengan keputusan Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak dan AMAN Sumut, serta Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara yang belum lama ini mengutus dan mendeklarasikan Abdon Nababan maju dalam Pemilihan Gubernur Sumut 2018.

 

Nestor menjelaskan, Sumatera Utara provinsi besar dengan 33 kabupaten dan kota, yang karakteristik wilayah dan masyarakat yang sangat beragam. “Abdon Nababan orang yang mampu mengelola keberagaman. Dia sudah 20 tahun lebih melayani dan berbuat untuk masyarakat adat Nusantara, dari Sabang sampai Merauke,” ujar jurnalis senior yang belum lama ini memperoleh kehormatan sebagai Wartawan Utama dari Dewan Pers.

 

Menurut Nestor, Abdon Nababan sosok orang cerdas yang rendah hati dan punya jiwa pengabdian yang besar terhadap masyarakat. Terbukti dengan penghargaan Ramon Magsaysay Award yang ia peroleh tahun ini. Pemberian penghargaan yang dijuluki “Nobel Asia” itu karena Abdon dinilai berhasil mengangkat dan menyuarakan keberadaan dan hak-hak sipil masyarakat adat di Indonesia. “Itu bukan prestasi dan penghargaan yang sembarangan,” tegas jurnalis yang juga dikenal sebagai aktivis sosial dan dosen ini.

 

Bukti lain kemampuan dan kapasitas Abdon Nababan, jelas Nestor, sampai sekarang pria kelahiran Siborongborong itu masih memegang beberapa jabatan dan pimpinan di berbagai organisasi/lembaga nasional dan internasional, antara lain Anggota Dewan Directur Tenure Facility yang berbasis di Stockholm (2016-sekarang), Anggota Komite Pengarah Global Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 yang berafiliasi dengan World Economic Forum (WEF) berbasis di Jenewa, Swiss (2015-sekarang). Dia juga pernah menjadi panel ahli di PBB (UNDP) dan KPK dan beberapa kementerian. “Tapi yang terutama, semangatnya untuk melakukan perbaikan kehidupan untuk masyarakat dan manusia,” ujar Nestor.

 

Sementara tantangan bagi Abdon Nababan, menurut Nestor, ia belum dikenal luas di masyarakat Sumatera Utara. “Saya kira, itu tugas AMAN dan jaringan organisasi masyarakat sipil yang mengutusnya. Tugas mereka memperkenalkan Abdon Nababan kepada rakyat di Sumatera Utara.”

 

Nestor menilai, keputusan mendorong Abdon Nababan maju dalam Pilgub Sumut 2018 melalui jalur independen, tidak melalui partai politik, memiliki nilai emas. “Dengan demikian Abdon tidak punya hutang politik kepada elit atau partai. Hutang politik yang membuat kepala-kepala daerah terjebak dalam korupsi, termasuk di Sumut. Hutangnya kepada rakyat yang memilihnya,” tegas Nestor. *

Abdi Akbar

Sumber: www.aman.or.id

UU Masyarakat Adat Selangkah Lagi, Sah!

Pemuda Adat, Jakarta (28/7)—Memasuki fase akhir pengajuan RUU Masyarakat Adat (RUU MA) sebagai salah satu bagian dari Prolegnas 2017, Fraksi Nasdem sebagai pengusul di DPR menggelar Uji Konsep (focus group discussion) terhadap RUU MA. Uji Konsep ini bertujuan untuk memfinalisasi masukan terhadap penyusunan RUU MA sebelum diserahkan ke Badan Legislasi untuk dibawa ke sidang paripurna.

Anggota DPR RI Fraksi Nasdem Luthfi Andi Mutty menyampaikan bahwa uji konsep ini untuk mematangkan substansi supaya sidang paripurna tidak “mem-pimpong” RUU MA. Dia juga menekankan agar perjuangan memenangkan “pertarungan” di DPR, kiranya intervensi pemerintah cepat dan tepat.

Luthfi Andi Mutty

“Kami meminta AMAN untuk melobi Presiden (Joko Widodo—red) atau KSP agar mengutus perwakilannya dari pemerintah untuk mengawal RUU ini, lalu bertanggung jawab untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM),” ujar pria yang biasa juga disapa Opu Luthfi itu.

Secara spesifik ia meminta utusan pemerintah dari kementerian yang tepat. Penekanan ini menurutnya karena berkaca dari proses-proses selama ini di mana pemerintah mengirim Kementerian Kehutanan. Kementerian ini, lanjutnya, pada dasarnya sangat bersifat teknis.

“Kementerian Hukum dan HAM yang tepat mengawal ini dari pemerintah, bukan KLHK,” katanya.

Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM dalam paparannya menegaskan bahwa pada dasarnya Komnas HAM sangat mendukung RUU MA disahkan. Namun ia menggarisbawahi dukungan tersebut benar-benar powerful apabila isi RUU MA tetap sesuai mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, menjunjung tinggi HAM dan berdasarkan masyarakat adat itu sendiri.

“RUU ini (jika disahkan) hanya akan menambah masalah jika isinya tidak sesuai dengan masyarakat adat. Kami harus kritis di sini sebab itu sudah tugas,” katanya.

Poin penting yang ditekankan Sandra juga adalah menyangkut ketegasan RUU MA mengatur masyarakat adat sebagai subjek hukum. Masyarakat Adat yang diatur dalam RUU ini tidak termasuk wilayah eks Swapraja dan lembaga eks Kesultanan dan/atau Kerajaan.

Terkait hal itu, pasal penjelasan masyarakat adat dan syaratnya dituntaskan dalam Uji Konsep ini.

Dalam draft yang disusun Perancang Undang-Undang DPR RI menyebutkan bahwa untuk diakui sebagai Masyarakat Adat harus memenuhi 7 persyaratan yaitu: 1) memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu bentuk paguyuban, memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan/atau territorial; 2) mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun; 3) mempunyai identitas budaya yang sama; 4) memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Adat; 5) mempunyai Lembaga Adat yang diakui dan berfungsi; 6) memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisional; dan/atau; 7) memiliki harta kekayaan/benda adat.

Menurut Malik, peneliti hukum dari Epistema Institute, persyaratan yang diatur dalam draft tersebut seharusnya tidak mengatur mengenai syarat tetapi kriteria sebagai Masyarakat Adat sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi, dan ktiteria tersebut cukup meliputi 3 hal saja yaitu: sejarah asal usul, wilayah adat, dan kelembagaan adat.

Sebagai narasumber dalam Uji Konsep ini, Sandra juga menyampaikan agar di dalamnya isu tentang perempuan masyarakat adat turut dibunyikan.

Dari sisi perincian pasal per pasal, narasumber berikutnya Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi menambahkan bahwa RUU ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik secara holistik di masyarakat adat.

“Konflik di masyarakat adat adalah produk dari masa lalu yang secara sadar ingin mengeliminir hak-hak masyarakat adat. Itulah politik hukum di masa lalu. Dan RUU ini hanya perlu mengatur mekanisme-mekanisme pokok,” ujarnya.

Hadir dalam pertemuan ini Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Wakil Ketua DAMANAS yang baru kemarin meraih Ramon Magsaysay Award 2017 Abdon Nababan, utusan Walhi serta perwakilan lain yang konsen terhadap Masyarakat Adat.

Peserta Uji Konsep RUU Masyarakat Adat

 

Jakob Siringoringo

 

 

Abdon Nababan Laureate of Magsaysay Award

Jakarta, Thursday, July 27, 2017 – The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Award Foundation has on Thursday (27/7) in Manila, the Philippines, made an announcement that Abdon Nababan has been selected as the laureate of the Ramon Magsaysay Award 2017 for the category of Asian Community Leadership.

The Indigenous Peoples Alliance of Nusantara (AMAN) has warmly welcomed that Ramon Magsaysay Award 2017 is awarded to Abdon Nababan. The so-called Asian Nobel Prize was officially announced on Thursday, July 27, 2017.

The Ramon Magsaysay Award made a statement that Nababan is a leader who can bring about changes. His courage and advocacy have become the voice and face for the Indigenous Peoples Alliance in Indonesia.

Nababan is the leader of the Indigenous Peoples’ struggle in Indonesia, even before the reform era. The five-yearly congress of the Indigenous Peoples Alliance of Nusantara appointed Nababan as a Secretary General to AMAN, in two consecutive periods, namely 2007-2012 and 2012-2017. Nababan now serves on the National Council of AMAN 2017-2022, representing the Sumatra regions.

“I am happy and proud as I represent tens of thousands of people who have been struggling with me over the last 24 years for the indigenous movement in Indonesia,” Nababan said. He claimed that he had no knowledge at all of who proposed his name and how the selection process of this Ramon Magsaysay Award was made.

During his leadership period, AMAN’s works could give positive contributions to the struggles for the Indigenous Peoples rights in this country. They are among others decision by the Constitutional Court No.35 / PUU-X / 2012 concerning Indigenous Forests, the inclusion of indigenous territories on the map as a thematic map by the Geospatial Information Agency, and the National Inquiries by the National Commission on Human Rights on violations against the Indigenous Peoples’ rights in the forest areas. AMAN has also actively encouraged and facilitated the Draft Law on Indigenous Peoples (RUU MA). The bill is now at the hand of the House of Representatives’ National Legislation Program for 2017.

Still, in his leadership period, AMAN ensured the inclusion of six points related to Indigenous Peoples in the Vision and Mission of President Joko Widodo (known as NAWACITA). The most obvious result is the handout of Decree on Recognition of Indigenous Forest to 9 Indigenous People by President Joko Widodo at the State Palace by the end of December 2016.

Rukka Sombolinggi, Secretary General to AMAN for the period of 2017-2022, said Nababan rightly deserves to be the laureate of this award. “Leading organization as big as AMAN through the transition period for changes from confrontational to engagement strategy could only be made possible by a visionary leader with a strong strategy for making a change, and Nababan has proven the quality of his leadership,” Rukka said on Thursday (27/07).

The Ramon Magsaysay Award is an annual award given to the inspiring leadership which can bring about change. Some of the laureates of the award were the 14th Dalai Lama in 1959, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) in 1993, and Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah Central Board) in 2008.

This annual award is awarded by the Philippines-based Ramon Magsaysay Foundation. This year’s award presentation ceremony is scheduled for August 31 in Manila.

Infokom AMAN

Abdon Nababan Mendapat Ramon Magsaysay Award 2017

Pemuda Adat, Jakarta (27/7)—Ramon Magsaysay Award Foundation hari ini di Manila, Filipina mengumumkan Abdon Nababan terpilih sebagai penerima Ramon Magsaysay Award 2017 untuk kategori Community Leadership dari seluruh Asia.

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut hangat penghargaan Ramon Magsaysay Award 2017 yang diberikan kepada Abdon Nababan.

Cari tahu lebih lanjut tentang Abdon Nababan di sini.

 

“Abdon merupakan seorang pemimpin yang membawa perubahan. Keberanian dan advokasinya menjadi suara dan wajah bagi Masyarakat Adat di Indonesia,” tulis rmaward.asia.

 

Abdon merupakan pemimpin perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara, bahkan sebelum era reformasi. Acara lima-tahunan Kongres Masyarakat Adat Nusantara menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN di dua periode berurut, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017. Kini Abdon duduk di Dewan AMAN Nasional 2017-2022 mewakili Region Sumatera.

 

“Saya senang dan bangga karena saya mewakili puluhan ribu orang yang selama 24 tahun terakhir berjuang bersama saya dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia,” kata Abdon.

 

Dalam periode kepemimpinannya, kerja AMAN telah berkontribusi positif terhadap perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di negara ini. Beberapa di antaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, pencantuman peta wilayah adat sebagai peta tematik oleh Badan Informasi Geospasial, dan Inkuiri Nasional oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di kawasan hutan. AMAN pun secara aktif mendorong dan memfasilitasi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA). RUU ini kini ada di Program Legislasi Nasional DPR RI untuk 2017.

 

Masih di periode kepemimpinannya, AMAN memastikan pencantuman enam poin terkait Masyarakat Adat di dalam Visi dan Misi Presiden Joko Widodo (dikenal sebagai NAWACITA). Hasil paling nyata adalah penyerahan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Adat oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada akhir Desember 2016.

 

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN periode 2017-2022, menilai Abdon memang sangat pantas mendapatkan penghargaan ini. “Memimpin organisasi sebesar AMAN melewati masa transisi untuk berubah dari strategi konfrontasi ke engagement hanya bisa dilakukan seorang pemimpin yang visioner dan memiliki strategi yang kuat dalam melakukan perubahan, dan Abdon telah membuktikan kualitas kepemimpinannya,” kata Rukka, Kamis (27/07).

 

Ramon Magsaysay Award adalah penghargaan untuk kepemimpinan yang menginspirasi dan membawa perubahan. Beberapa nama yang pernah mendapat penghargaan ini adalah Dalai Lama ke-14 pada 1959, Abdurrahman Wahid (Gusdur) pada 1993, dan Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) pada 2008.

 

Penghargaan tahunan ini diberikan Ramon Magsaysay Foundation, yang berbasis di Filipina. Acara penyerahan tahun ini dijadwalkan pada 31 Agustus di Manila.

 

Infokom AMAN

SAS Sebarkan Virus Pendidikan Adat

Modesta Wisa, Dewan BPAN Nasional Region Kalimantan ini tak berhenti berkreasi. Rabu lalu dia tiba di Jakarta memenuhi undangan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang berlangsung selama tiga hari, 13 – 16 Juli di Garut. Ia mendapat undangan dari Sajogyo Institute dan The Samdhana Institute untuk berbagi cerita tentang sekolah adat.

“Aku mewakili Sekolah Adat,” akunya.

Dalam kesempatan ini, media propaganda Pemuda Adat berkesempatan kembali mengobrol dengannya. Ternyata sudah banyak perkembangan cerita Sekolah Adat Samabue (SAS). Perempuan yang juga anggota BPAN Kalbar ini membagikan cerita-cerita baru tersebut.

Ia menceritakan bahwa isu Sekolah Adat saat ini tengah booming di Kalimantan Barat. Dengan kata lain SAS berhasil menularkan virus-virus pendidikan adat yang selama ini bahkan tidak dianggap. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar dalam ulang tahun SAS yang pertama, Februari lalu.

“Kita sudah diketahui Dinas Pendidikan Provinsi (Kalbar—red). Bahkan mereka menyumbang laptop agar bisa membantu menyimpan data-data Sekolah Adat,” ujarnya.

Sambutan positif pun berdatangan dari beragam stake holder. Saat ini dukungan dari berbagai pihak menguat seperti support materi, moril dan semangat. Faktanya beberapa kabupaten tertarik mengikuti jejak SAS untuk mendirikan sekolah adat, misalnya di Kecamatan Jagoi Babak, Kabupaten Bengkayang berbatasan dengan Malaysia. Selain itu, SAS juga membantu menginisiasi Sekolah Adat Radakng Pamane (Sarapa) di Desa Lingga, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.

“Rencananya SAS dan Sarapa akan bersama-sama menginisiasi Sekolah Adat di Kecamatan Delta Kapuas, Kabupaten Kubu Raya.”

Kini jumlah peserta didik Sekolah Adat sudah ada 120 orang yang tersebar di empat komunitas: Binua manyalitn, Binua Kaca Tangah, Binua Lumut Ilir dan Binua Lumut Tangah.

Penambahan kelas

Perkembangan terbaru khusus di SAS terdapat dua kelas yang tambah: kelas makanan tradisional dan kelas Silat Dayak.  Silat warisan leluhur serupa, misalnya dapat dilihat pada Silat Kuntao dari Paser, Kalimantan Timur. Untuk tenaga pengajar kelas silat terdiri dari murid Sekolah Adat yang sudah belajar silat sejak kecil. Kelas silat yang dimaksud adalah Silat Dayak peninggalan leluhur.

Dalam kelas singara juga, selain tetua adat yang bercerita, belakangan sudah dilakukan para pemuda. Para pemuda ini sudah mempelajari dan tahu tentang kisah-kisah lokal (cerita-cerita rakyat) sesuai istilahnya singara: mendongeng. Para pemuda yang mempelajari dan meneruskan pengetahuan singara dan mengisi dalam kelas singara SAS di antaranya Nopianus Yance, Alexander Alex, Janur dan Kuswanto.

Selama libur Lebaran 2017, aktivitas di SAS berlangsung mulai pagi hari. Para peserta didik SAS langsung bermain dan belajar ke alam; di sana diadakan kelas tentang pengetahuan tanaman tradisional. Bagaimana bentuk-bentuk tanaman tradisional, apa manfaatnya, bagaimana menjaganya, mengapa tumbuhnya membutuhkan tanah yang steril dari limbah pabrik misalnya, dan sejumlah pertanyaan yang menjadi panduan pelajaran bagi mereka.

Meskipun demikian, anak-anak justru sudah banyak yang mengenal dan memahami kegunaan sejumlah tanaman tradisonal tersebut. “Mereka (peserta didik—red) justru lebih tahu tentang manfaat tanaman-tanaman yang ada di hutan. Kita hanya memberi tugas, menuliskan seputar tanaman sekitar hutan dalam Bahasa Dayak, dan juga membuat cerita rakyat dalam Bahasa Dayak,” kata perempuan yang ikut dalam COP 22 tahun lalu di Maroko ini.

Wisa melanjutkan, untuk proses tersebut mereka langsung melibatkan orangtua, utamanya terkait bahasa dan tulisan-tulisannya. Mereka bertanya langsung kepada para orangtuanya di rumah. Selain itu juga para penggagas SAS turut serta menambah wawasannya dengan berdiskusi kepada para tetua adat.

Wisa mengaku saat ini dia dan tim SAS tengah menulis tentang etnografi kampung. Proses penulisan etnografi kampung yang berhubungan dengan wilayah adat. Semuanya dia lakukan dengan mendatangi para tetua adat untuk bertanya.

“Saya terlibat dengan tim Perempuan AMAN tentang penulisan asal usul kampung. Pada permulaan ini, saya menulis tentang kampungku (Manyalitn—red) sendiri. Isinya tentang perubahan-perubahan yang terjadi di kampung, contohnya soal lingkungan, sejarah dll,” katanya.

Hasilnya nanti, tambahnya, akan diajarkan kepada anak-anak.

Terakhir di internal penggagas SAS, saat ini mereka memasuki fase penyusunan kepengurusan baru. SAS tengah merencanakan pembagian divisi masing-masing, sehingga setiap anggota tim fokus mengurusi bidang tersendiri.

 

Jakob Siringoringo

BPAN Inhu Teruskan Menelusuri Jejak Leluhur

Batang Cenaku – Baru-baru ini (29 Mei), AMAN dan BPAN melakukan kegiatan mengunjungi jejak Leluhur. Kegiatan tersebut bertujuan agar para pemuda adat bisa mengetahui sejarah masing-masing kampung serta mendorong para pemuda adat terlibat dalam penjagaan hutan tetap lestari.

Ketua BPAN Inhu Supriadi mengatakan pemuda-pemudi adat mulai meninggalkan dan melupakan budaya dan tradisi terutama sejarah di masing-masing kampung. Sementara akar pondasi berdirinya sebuah kampung perlu dilandasi sejarah. “Ini memprihatinkan,” ujarnya.

Supriadi menambahkan, BPAN Inhu membuat strategi penyadaran terhadap pemuda pemudi adat dengan berkunjung ke tempat bersejarah. Kunjungan bermanfaat untuk menggali sejarah dengan cara bertanya kepada para batin adat, tetua adat lalu didokumentasikan dan dijadikan buku.

“Nanti kami jilid lalu jadilah buku sebagai bacaan masa depan,” ujarnya.

Ketua AMAN Inhu, Gilung melalui seksi dokumentasi Arwan membenarkan pihaknya tengah solid mengepak sayap organisasinya itu. Menurutnya, kegiatan bersama BPAN dilakukan setiap tanggal 25 dalam tiap bulan.  Di setiap acara tersebut juga selalu hadir para batin adat, para tua tahu, dan pemuda adat di setiap kampung atau komunitas Talang Mamak.

Dalam acara juga disisipkan berbagai kegiatan ekstra, seperti halnya bercerita sejarah leluhur. Para pemuda adat juga dibudayakan menanam pohon di sekitar makam bersejarah dan hutan lindung. “Penanaman pohon itu untuk menjaga tempat tersebut, pokoknya maju terus.”

Di sisi lain, Gilung bangga melihat pemuda adat yang pantang mundur mengurus wilayah adat. Mereka terus bekerja tak kenal lelah untuk menelusuri jejak leluhur. Para pemuda adat Talang Mamak terus bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat.

“Saya benar benar kagum dengan semangat mereka, ternyata para pemuda adat sudi menjaga dan melindungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Talang Mamak,” akunya.

Gilung juga berharap kepada pemuda pemudi adat lainnya agar ikut peduli terhadap tempat bersejarah dan lingkungan sekitarnya, kepedulian terhadap budaya suku Talang Mamak. Tak luput, Gilung tetap menyetarakan rasa perduli wajib dimiliki oleh siapa saja terkait kelestarian alam. “Baik itu Talang Mamak maupun pihak lainnya,” ujarnya mengakhiri.

Arwan Oscar

AMAN Inhu Bahas Perluasan Pemetaan Partisipatif

Rengat – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Indragiri Hulu (Inhu) gelar pertemuan bersama para batin adat, Senin (3/7/2017) di kediaman Seko di Talang Jerinjing. Pertemuan tersebut membicarakan pemetaan wilayah adat. Pasalnya terdapat beberapa kebatinan adat yang belum dipetakan, yakni Kebatinan Talang Jerinjing, Talang Sungai Jirak dan Kebatinan Muke-Muke di kelurahan Pangkalan Kasai.

Menurut Ketua AMAN Inhu Gilung, sebelumnya AMAN telah memetakan wilayah adat di 15 kebatinan adat yang dulu dinamakan pemetaan partisipatif skala luas. Sejatinya tiga kebatinan tersebut telah tergabung di dalam AMAN, akan tetapi terkait wilayah keadatannya belum terpeta secara gamblang. “Jadi, kemaren ada permohonan pengajuan pemetaan kembali untuk ketiga wilayah adat tersebut, ” katanya.

Gilung menyampaikan bahwa maksud dan tujuan pemetaan wilayah adat tersebut sesuai dengan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Ia juga menjelaskan tentang apa saja yang telah dilakukan AMAN selama ini bersama masyarakat adat Talang Mamak di Inhu.

Joni Iskandar, pengurus AMAN di biro Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) yang juga anggota BPAN Inhu menerakan proses pemetaan, yaitu mulai dari pembuatan sketsa, pengambilan titik, digitasi peta di komputer serta banyak hal lagi yang terkait dengan pemetaan.

Joni mempertanyakan masyarakat sekadar memompa semangat masyarakat, apakah mereka akan serius melakukan pemetaan, karena menurutnya akan banyak menelan pengorbanan. Pengorbanan dimaksud yaitu berkorban secara pikiran, tenaga, biaya dan banyak lagi lainnya.

Pemetaan yang dimaksud, yang wajib melakukannya adalah  masyarakat itu sendiri secara bersama-sama untuk memperoleh imej positif dan baik ke depan. Paling penting lagi, mereka akan lebih tahu secara pasti batas-batas antara wilayahnya masing masing. “Petakanlah wilayah adatmu sebelum dipetakan orang lain,” ujarnya.

Batin Adat, Jamin, menyampaikan terima kasih kepada AMAN atas kedatangannya ke Talang Jerinjing. Ia juga mengajukan permohonan pemetaan wilayah adat dan meminta AMAN memfasilitasinya. Jamin berharap, permohonannya akan dilaksanakan bersama beberapa kebatinan yang mengajukan pemetaan.

“Apa pun persayaratan untuk mengajukan pemetaan akan segera kami lengkapi dan akan direkomendasikan kepada AMAN,” tambah Jamin.

Selain Gilung, terlihat hadir dalam pertemuan tersebut semua penggurus AMAN Inhu, Batin Adat Muke-Muke M. Risal, Batin Adat Talang Jerinjing Jamin, tokoh adat berserta masyarakat adat di desa Talang Jerinjing.

Arwan Oscar

PT MHP Kembali Ingin Menggusur Kebun Masyarakat

Semangus Baru, 6/7/2017—Kesewenang-wenangan perusahaan terhadap masyarakat kembali terjadi. PT Musi Hutan Persada (MHP), perusahaan marubeni Jepang kembali ingin menggusur kebun masyarakat Desa Semangus Baru, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Instruksi ini dikeluarkan PT MHP sebagaimana disampaikan Sirin dari pihak perusahaan. Perusahaan meminta agar masyarakat segera mengosongkan seluruh kebun di areal PT.

“Seluruh kebun masyarakat yang ada di Sungai Hitam, Semangus Baru akan digusur PT MHP. Kami meminta kepada pemilik kebun agar segera mengosongkan kebun dalam jangka waktu 3 hari terhitung dari 3 Juli sampai sekarang,” katanya.

Masyarakat Semangus Baru menolak adanya penggusuran. Mereka tetap berjuang mempertahankan tanahnya. Tanah yang sudah mereka kelola sejak lama dan bahkan sesungguhnya berada di luar izin kelola perusahaan.

“Tanah tersebut adalah tanah yang kami kelola sendiri sejak lama dan berada di luar izin kelola PT MHP,” ujar Ilham Junaidi salah satu pemilik kebun rakyat. Isinya karet dan sawit, tambahnya.

Ia berharap agar permasalahan ini selesai dan ada tindakan dari pemerintah dan kembali dapat bertani di kebun tersebut.

Sementara itu, tokoh masyarakat Eduar M. Dina mengutuk keras tindakan dan perilaku PT MHP. “Jika kami benar maka tunjukkanlah kebenaran bagi kami dan jika kami salah maka lumpuhkanlah,” ujarnya.

 

Agung Prabowo

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish
en_USEnglish